Bab 4. Test Pertama

2041 Words
Pulang sekolah adalah waktu yang paling dinantikan Jemi hari ini. Bersama dokter Steven, dia akan membawa Arion untuk memeriksakan kesehatan pria itu lebih lanjut. Terutama amnesia yang dideritanya. Jemi berharap amnesia Arion tidak permanen, agar dia dapat mengetahui masa lalu pria itu. Yang paling penting adalah mereka semua bisa tahu penyebab Arion sampai ditemukan di pinggir jalan itu dengan penuh luka di sekujur tubuhnya. Dokter Steven ingin memastikan apakah kasus ini termasuk kejahatan ataukah hanya kecelakaan. Beberapa kali Jemi mengintip jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kanannya, beberapa kali juga dia mendesah kecewa. Entah kenapa waktu berjalan sangat lambat saat kita sedang menunggu seperti ini, dan akan berjalan sangat cepat saat mereka sedang ujian. Apalagi ujian matematika, waktu seolah melesat cepat. Sangat menyebalkan! Lima menit terasa seperti lima jam, itulah yang dirasakan Jemi sekarang. Dia terus mengawasi pergerakan jarum jam dari jam dinding yang terpasang di dinding di atas papan tulis. Jarum itu bergerak sangat lambat membuatnya gemas. Seandainya saja bisa sudah pasti digerakkannya lebih cepat jarum jam itu agar mereka cepat pulang ke rumah dan dia dapat cepat bertemu Arion. Tadi pagi mereka tidak bisa bertemu, dia terlambat bangun tidur dan harus segera ke sekolah kalau tidak ingin terlambat. Bahkan sekedar untuk menyapa pun dia tidak bisa. Sialan! Padahal tadi malam dia tidak bermimpi indah apalagi mimpi buruk yang membuatnya tidak bisa tidur, tapi terap saja dia bangun terlambat. Dasar sial! Tinggal satu menit lagi. Jemi merapikan semua alat tulisnya, memasukkannya ke dalam tas sehingga saat bel berbunyi nanti dia bisa langsung keluar kelas. Tepat seperti perkiraan Jemi, bersamaan dengan dia yang memasukkan alat tulis terakhir bel pulang sekolah menjerit kencang. Helaan napas lega terdengar dari seisi kelas. Akhirnya hari yang melelahkan di sekolah berakhir. Mereka akan pulang ke rumah dan kembali ke sekolah esok hari. Jemi bergegas keluar kelas, sedetik setelah Mr. Edward menghilang di balik pintu. Setengah berlari Jemi menuju tempat parkir di mana Pak Bram sudah menunggunya. Tadi dia menghubungi Pak Bram, memintanya untuk menunggu di pelataran parkir sekolah, bukan di luar pagar sekolahnya yang lumayan jauh dicapai kalau berjalan kaki. "Kita pulang sekarang, Pak!" ucap Jemi begitu sudah berada di dalam mobil. Dia meletakkan semua benda yang tadi dibawanya pada jok kosong di sebelahnya, mengembuskan napas lega, dan menyandarkan punggung pada sandaran jok. Senyum terkembang di bibir mungil yang berwarna merah alami begitu mobil sudah berada di jalan raya, melaju bersama deretan mobil lainnya. Sebentar lagi dia akan tiba di rumah. Tidak masalah menunggu beberapa menit ataupun satu jam, yang penting setelah ini dia akan berjumpa dengan Arion. Berbicara mengenai Arion, di sekitar sini Jemi menemukannya empat tahun yang lalu, tertelungkup dengan tubuh bersimbah darah, di dekat semak besar itu. Sebelah alis Jemi terangkat, semak besar tempat dia menemukan Arion masih di sana. Tidak berubah sedikit pun, baik letak maupun bentuknya. Apa memang tanaman semak akan tetap seperti itu sampai tanaman itu mati? Jemi mengangkat bahu tak peduli, tak ada waktu baginya untuk memikirkan pelajaran Biologi. Sekarang adalah waktunya memikirkan Arion. Sejak melihatnya setelah dibersihkan empat tahun yang lalu, Jemi sudah menyukai pria itu. Kulit Arion yang pucat nyaris kekurangan darah, serta luka di sana-sini tak membuat kadar ketampanannya menurun. Sampai saat ini, tubuhnya kurus dan kulit wajahnya tampak sedikit berkerut, Arion tetap terlihat sangat tampan. Jangan sampai teman-teman sekolahnya melihat, atau merek akan jatuh pingsan. Jemi tidak mengada-ada, itu kenyataan. Teman-teman sekolahnya selalu kekurangan stok pemuda tampan sampai-sampai mereka mulai melirik pria yang berusia lebih tua dari usia mereka. Dia tidak mengatakan kalau Arion termasuk yang berusia tua, ia masih muda. Kata dokter Steven, usia Arion diperkirakan berkisar dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, tidak lebih dari itu. Masih sangat muda tapi juga cukup matang. Usia yang sangat ideal bila bersanding dengannya. Jemi tersenyum salah tingkah. Pipinya terasa memanas padahal tak ada yang melihat apalagi mendengar semua yang ada di pikirannya, tapi tetap saja dia malu. Jemi menepuk pipi pelan, berusaha menghilangkan rona merah yang dia yakin mewarnai pipinya. Menegakkan punggung menatap keluar jendela mobil. Mereka sudah tidak berada di lokasi tempatnya menemukan Arion, mobil sudah bergerak menjauh. Jemi mengembuskan napas lega, jalanan cukup ramai sore ini, lalu lintas normal, tidak macet seperti saat jam makan siang atau saat pulang dari kantor. Pada jam itu dia biasanya sudah berada di rumah. Berenang atau bermalasan di dalam kamarnya. Namun, hari ini kegiatannya sepulang sekolah akan berbeda. Dia akan ke rumah sakit dan memeriksakan keadaan Arion. Sejak kecil, Jemi tidak suka pada rumah sakit. Dia juga tidak menyukai dokter dan sangat membenci jarum suntik. Meski ayahnya bersahabat dengan dokter Steven dan pria itu sudah seperti Ayah kedua baginya, Jemi tetap tidak menyukai pekerjaan dokter Steven Lee. Baginya, pekerjaan sebagai seorang dokter adalah yang terburuk. Sama seperti rumah sakit yang dinobatkannya sebagai tempat terburuk di dunia. Mungkin dia terlalu berlebihan, tapi begitulah kenyataannya. Jemi memiliki pengalaman yang buruk dengan rumah sakit. Mamanya meninggal karena melahirkannya, di rumah sakit. Sahabatnya sejak kecil, Carlista, juga meninggal, di rumah sakit. Para dokter yang mengaku hebat itu tidak dapat menyelamatkan nyawa orang-orang yang disayanginya. Bukankah itu sangat menyebalkan? Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Pak Bram sengaja tidak memasukkannya ke garasi karena mobil akan digunakan kembali. Mereka akan memakainya untuk ke rumah sakit. Bergegas Jemi keluar dari mobil, dia bahkan melupakan semua alat perlengkapan sekolahnya dan meninggalkannya di dalam mobil. Biarkan saja, Pak Bram pasti akan membawakan sampai ke kamarnya. Dia harus menemui Arion sekarang. "A!" seru Jemi di depan pintu kamar Arion yang terbuka. Dokter Steven sedang bersamanya. Kedua pria itu sudah rapi, mereka sudah siap. Hanya tinggal menunggu kedatangannya saja. Jemi menghampiri Arion yang duduk di atas ranjangnya, dokter Steven baru selesai melakukan pemeriksaan. Pria berambut pirang yang masih betah melajang diusianya yang tak lagi muda itu memastikan kalau Arion aman untuk melakukan perjalanan. Meskipun bukan perjalanan jauh, Arion masih harus tetap diperiksa. Dokter Steven tak ingin pasiennya jatuh pingsan di perjalanan nanti. "Kenapa diperiksa lagi?" tanya Jemi dengan sepasang alisnya yang berkerut. Untuk masalah seperti ini, dia paling tidak tahu. Pokoknya dia tidak ingin berurusan dengan semua yang berbau dokter maupun rumah sakit. Hanya untuk Arion saja dia mau menginjakkan kakinya ke tempat penuh kuman itu. Jemi menggeliat jijik membayangkan ribuan bahkan jutaan kuman yang bersarang di setiap rumah sakit. "Tidak apa-apa." Dokter Steven tersenyum, menyimpan stateskop-nya ke dalam tas dokter yang selalu dibawa ke mana pun ia pergi, kecuali saat menghadiri pesta atau undangan formal. "Om hanya ingin memastikan Arion sudah bisa bepergian." Jemi memutar bola mata jengah. Menurutnya dokter Steven terlalu berlebihan. Tentu saja Arion bisa bepergian, ke mana pun juga ia bisa. Arion-nya sudah sehat, ia sudah sembuh. Dasar dokter Steven saja yang terlalu perfeksionis. "Kamu siap-siap, Arion. Kita pergi sekarang," ucap dokter Steven. Ia sudah berdiri tegak di sisi tempat tidur Arion. "Jemi, apa kamu masih capek? Kita pergi sekarang, apa kamu bisa?" Jemi mengangguk. "Bisa!" jawabnya mantap. "Aku udah nggak capek lagi. Udah hilang pas ketemu A." Dokter Steven mengangkat kedua alisnya. Menatap Jemi horor mendengar kata-kata gombal yang keluar dari mulut gadis itu. Dari mana Jemi belajar kata-kata seperti itu? Remaja zaman sekarang ternyata sangat mengerikan. Steven menggeleng pelan, mulutnya berdecak. Kalau dokter Steven terkejut, Arion justru memerah mendengarnya. Sepertinya zaman sudah berubah saat ia tertidur. Remaja seusia Jemi dengan mudah mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Seingatnya dulu sangat jarang seorang gadis seperti itu. Eh? Seingatnya? Arion menatap Jemi dengan tatapan penuh arti. Menatap gadis belia itu dengan seluruh hatinya. Perlahan tangannya terulur, menarik Jemi ke dalam pelukannya. Menciumi pucuk kepala gadis itu beberapa kali sebelum melepaskan ya dan turun dari tempat tidur. "Kamu gombalnya dapat dari mana, hm?" tanya Arion di telinga Jemi. Ia harus membungkuk untuk dapat membisiki gadis itu. Arion mengacak puncak kepala Jemi gemas, mencium pipinya. "Yang pasti dari teman di sekolah," jawab Jemi santai, menggerakkan tangannya melingkari lengan Arion. "Kita pergi sekarang, A!" Arion mengangguk. Membiarkan Jemi menariknya menuju keluar kamar, menyusul dokter Steven yang sudah keluar lebih dahulu. Ia ingin memanaskan mobilnya. Dokter Steven akan pulang ke rumahnya setelah dari rumah sakit. Oleh sebab itu, ia menggunakan mobilnya sendiri, tidak ikut bersama Jemi dan Arion di dalam satu mobil yang dikemudikan oleh Pak Bram. *** Arion memijit pelipis. Ia merasa pernah melihat atau berada di rumah sakit ini. Entahlah, yang pasti ia merasa mengenal tempat ini. Semacam dejavu, mungkin. Semua pemeriksaan yang dijalaninya pun seolah pernah ia lakukan. Seakan ia mengulangi semua kejadian lampau. Keringat dingin selalu menetes sepanjang pemeriksaan berlangsung. Begitu semua tes yang dijalaninya selesai, Arion langsung keluar ruangan tanpa menunggu dokter Steven. Beruntung ia tidak tersesat. Napasnya tersengal begitu tiba di ruangan di mana Jemi menunggunya. Arion langsung memeluk gadis mungil itu begitu mereka bertemu. "A, udah selesai?" tanya Jemi di d*da Arion. Dia mendongak agar dapat menatap wajah tampan pria itu. Sepasang alis sewarna rambutnya berkerut, Arion tampak pucat. Ia juga berkeringat. "Kamu nggak apa-apa, A?" tanyanya lagi, khawatir." Arion mengangguk. Kalau tadi ia merasa ingin mati, sekarang ia sudah tidak apa-apa. Ia selalu merasa aman dan nyaman bila berada di dekat Jemi. "Aku nggak apa-apa, Jemi. Jangan khawatir." Arion tersenyum, membingkai pipi Jemi yang terasa dingin di telapak tangannya. Menundukkan kepala, sedetik kemudian bibirnya sudah mendarat di bibir gadis itu. Mata Jemi melebar. Arion menciumnya! Mencium bibirnya! Jemi gemetar, ini adalah ciuman pertamanya, dan Arion sudah mengambilnya! Lalu, apakah itu sebuah masalah? Jawabannya adalah tidak. Dia malah sangat senang. Dia tidak pernah keberatan memberikan ciuman pertamanya pada Arion. Jemi memejamkan mata, membiarkan Arion memainkan bibirnya selama beberapa saat. Setelah napasnya terasa semakin berat barulah Jemi mendorong d*da bidang pria itu. "Aku ... nggak ... bisa napas," ucap Jemi putus-putus. Arion terkekeh geli. Reaksi polos Jemi begitu menggemaskan di matanya. Arion mengusap bibir bawah Jemi yang mengkilap. Sepasang alis tebalnya berkerut, ia merasa pernah melakukan ini. Namun, di mana dan dengan siapa ia tidak tahu. Arion berharap ia melakukannya bersama Jemi, bukan perempuan lain yang tidak dikenalnya. Ia tahu itu adalah kepingan dari masa lalunya, tapi tak salah, 'kan, berharap Jemi juga merupakan bagian dari masa lalunya yang hilang itu? Arion tersenyum tipis, baru satu hari ia bangun dan sudah merasakan ketergantungan pada Jemi seberat ini. Ia benar-benar pria yang payah. "Maaf," bisik Arion memeluk Jemi dan mengecup pucuk kepalanya. "Astaga, A! Untung kamu di sini!" Arion terkejut mendengar seruan itu, tapi tidak melepaskan Jemi dari pelukannya. "Saya cari kamu," ucap Steven dengan bahasa Indonesia-nya yang terdengar kaku. Sama seperti Felix, Steven menghabiskan masa setelah kuliahnya selesai dengan pergi ke Indonesia. Katakan saja ia mengikuti Felix yang menikahi perempuan pribumi yaitu Ibu Jemi, karena itu memang kenyataannya. Ia yang menghabiskan masa remaja di negeri Paman Sam bersama Felix, juga memilih tidak nggak di Indonesia dan menjadi dokter di sini. Meskipun begitu, meski sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di negara ini, bahasa Indonesia-nya masih saja kaku. Lidahnya masih tidak seluwes penduduk asli. "Saya khawatir kami tersesat." Arion meringis, mengusap tengkuknya dan melepaskan Jemi. Ia merasa bersalah telah meninggalkan dokter Steven di ruangan tes tadi. Ia menyadari kalau perbuatannya sangat tidak sopan. Hanya saja, ia merasa sudah tidak tahan lagi berada di dalam ruangan itu. Sedikit lebih lama lagi berada di sana bisa-bisa ia pingsan, atau lebih buruk lagi ia akan mati. Ia tahu kata-kata itu sedikit berlebihan. Namun, entah mengapa, ia merasakan sangat tertekan berada di ruangan itu. Seolah ia pernah berada di ruangan itu sebelumnya, tapi dalam kondisi yang berbeda. Kondisi yang lebih parah dari sekarang, atau mungkin sama? "Maaf, Dok, tapi tadi aku udah nggak tahan lagi. Rasanya udah nggak jasa napas lagi." Dokter Steven mengangguk, ia mengerti. Kebanyakan pasien memang merasa seperti itu. Merasa tertekan dan sulit bernapas. Arion beruntung karena ia tidak pingsan. Beberapa pasien ada yang mengalami pingsan dan tidak bangun selama berhari-hari. Arion termasuk kuat menurut dokter Steven. "Kok, kamu nggak bilang kalo ngerasa kayak tadi?" tanya Jemi dengan mata menyipit menatap Arion. Sinar matanya menyudutkan. Arion menggeleng. "Karena aku merasa udah baik-baik saja pas ngeliat kamu," jawabnya jujur. Jemi cemberut. Alasan Arion sangat konyol menurutnya dan tidak dapat diterima. Jemi mengentakkan kaki, menarik tangan Arion keluar dari ruangan itu. "Kita pulang sekarang, A!" pinta Jemi. "Pemeriksaan kamu udah selesai, 'kan?" Tak ada jawaban, Arion tidak tahu harus menjawab apa. Ia yakin kalau ini bukan yang terakhir, masih ada beberapa tes lagi yang harus dijalaninya. Arion berharap, tes-nya nanti berjalan lebih mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD