Dua

1048 Words
“Alfiii, bangun!” Suara Mama Alfi menggelegar memenuhi indra pendengaran Alfi. Mimpi indahnya seketika kacau, saat kesadarannya berhasil kembali karena suara Mamanya yang berkolaborasi dengan gedoran di pintu kamar. Alfi mengerjapkan matanya, berusaha untu membuka matanya. "Emang jam berapa, Ma?" Alfi menyipitkan matanya, lalu memperjelas penglihatannya. "Setengah enam, Satheo udah nunggu kamu diruang makan tuh." "Oh yaudah, nanti aku nyusul ya, Ma. Hoamm.." Alfi pun menggeliat. Ia tampak kelelahan dengan hari kemarin, hari pertamanya masuk SMA Budi Perwira. Sehingga malam ini ia tidur begitu nyenyak.   ***   "Satheo! Gue capek ahh dandan kayak kemaren!" Alfi datang dari arah tangga lalu langsung berteriak seperti itu pada Satheo. "Eits, gak Bisa gitu dong! Inget perjanjiannya." Di sela-sela makannya, Satheo pun berbicara. Sudah seperti rumah sendiri bukan? Bahkan sarapan pagi pun Satheo dirumah Alfi. "Gue lupa caranya ngepang!" Ucap Alfi ngasal. Satheo tak memperdulikannya, ia hanya sibuk dengan sarapannya. Tentang taruhan Alfi dan Satheo itu, Mama Alfi sudah tau. Karena apapun yang terjadi padanya, Alfi selalu bercerita pada Mamanya. Baginya, teman curhat terbaiknya yang pertama adalah Mamanya, Mama adalah seorang pendengar yang baik, serta penasehat pula bagi Alfi setelah bercerita. Sedangkan pada Satheo, nasehatnya itu suka ngawur bin ngelantur. Makanya Alfi kalo cerita sama Satheo pas lagi kesel aja, jadi Satheo Bisa di omelin mulu sama Alfi. Bletakk!! "Aww.." Alfi meringis kesakitan ketika sebuah centong yang masih bersih mendarat di kepalanya. Ia menatap Satheo kesal, karena tiba-tiba menggetok kepalanya dengan centong. Orang tua Alfi hanya tertawa melihatnya. "Satheo! Lo apa-apaan sih?! Sakit tau!" Omel Alfi sambil memegangi kepalanya. "Kan elo bilang lupa caranya ngepang, yang gue liat di tv tv tuh, kalo lupa begitu getok aja, nanti inget lagi deh." Dengan wajah tanpa dosanya, Satheo menyaut. "Hahaha! Bener kamu, Sat." Papa Alfi malah mentertawai, bukan membela anaknya. Alfi hanya cemberut, melihat Mama-Papanya malah ikut tertawa dengan Satheo. Mereka benar-benar seperti keluarga, tapi keluarga ini sepertinya belum lengkap. Ada seseorang lagi yang belum datang. "Mama kotak pensil aku kok nggak ada?" Suara cempreng yang nyaring itu tiba-tiba datang. Panjang umur, baru aja di omongin. "Emang kamu naronya dimana sayang?" Tanya Mama lembut. Gadis kecil yang mengenakan seragam sekolah dasar itupun menggeleng bingung. "Selqa gak tau, lupa, Mama!" Selqa pun ikut duduk untuk sarapan bersama. "Nah, Sat! Selqa juga lupa tuh, getok juga dong!" Alfi melahap rotinya yang berisi selai kacang, Satheo pun menoleh. "Selqa mah masih kecil, wajar kalo lupa." Satheo tersenyum jail saat menjawabnya. Alfi lagi-lagi hanya cemberut. Selqa Keylani, dia adalah satu-satunya adik Alfi. Gadis kecil ini tak jauh beda dengan kakaknya, masih kecil saja sudah keliatan bahwa ia akan tumbuh menyebalkan seperti Alfi. Alfi dan Selqa itu jarang akur, Selqa yang masih kecil suka ngeyel, Alfi nya juga yang sudah besar gak mau ngalah.   ***   Dengan gaya sok kerennya, Satheo memasuki sebuah kelas yang bukan kelasnya. Dari ambang pintu matanya sudah menuju pada satu arah. Tepat! Orang yang Satheo tuju rasanya sedang sibuk dengan orang lain. Namun itu tak mengurungi niat awal Satheo ke kelas itu. Satheo berjalan pada sebuah tempat duduk yang berada di sudut kelas. Terlihat seorang lelaki sepantarannya sedang asik memainkan laptopnya. Satheo pun langsung menghampiri lelaki itu. "Gue kira ngerjain tugas, taunya maen game." Ucap Satheo saat melihat layar laptop lelaki itu. Lelaki itu hanya tersenyum sekilas. "Masih jaman ngerjain tugas." Ucap lelaki itu datar. "Sonoan dong, Za!" Satheo menggeser Reza untuk duduk nya agak kesamping, karna ia pun hendak duduk. "Rusuh nih lo dateng, oh iya, Sat. Gue mau nanya deh..." "Nanya apa?" Satheo langsung memotong pembicaraan Reza. "Sabar! Gue belom selesai ngomong! Ituloh, anak baru yang katanya sepupu lo! Yang namanya Alfia Septiani, dia Alfi sahabat lo yang kece badai itukan?" Reza pun menutup laptopnya, karna hendak mengobrol dengan Satheo. "Iya." Jawab Satheo singkat. "Kenapa penampilannya jadi aneh gitu?" Reza semakin penasaran, karena memang Reza itu kenal dengan Alfi. Jadi ia bingung saat melihat Alfi dengan penampilan seperti itu. "Biasa, gue ama Alfi lagi taruhan." "Permainan lo ama Alfi mah aneh-aneh ajadeh, si Alfi yang kece badai gitu di rombak jadi apaan kali tuh?" Reza menutup laptopnya karna hendak mengobrol dengan Satheo. "Haha, nambah cantik kok dia digituin." Satheo tertawa puas, membayangkan bagaimana Alfi saat ini. "Gigi lo cantik, ancur iya!" Sanggah Reza. "Nah, Za! Gue kesono dulu ahh, biasa. Gue kan orang penting.." Satheo menepuk pundak Reza, berdiri kemudian pergi kearah orang yang menjadi niat awalnya kesini. "Ehh bentar deh.." Satheopun balik lagi ketempat Reza. Mengambil sesuatu yang berada dimeja Reza. Satheo melemparkan benda itu ke meja Wulan. Wulan pun sontak menengoknya. Satheo langsung menghampiri meja Wulan, sedang Reza menatap bingung tingkah Satheo. "Ehh sorry, flash disknya." Satheo mengambi flash disk yang jatuh ke meja Wulan. Ohh tidak, dia bukan mengambil flash disk yang tadi di lemparnya, melainkan malah mengambil flash disk yang juga ada di meja itu. "Ehh iya? Punya lo ternyata." Wulan menatap Satheo bingung, yang cengar-cengir sendiri sehingga menampilkan sederet gigi berbehelnya. Sepertinya ini bagian dari rencana Satheo. Wulan menggaruk kepalanya bingung, saat Satheo telah berlalu. Habis sikap Satheo benar-benar aneh. "Kalo kata psikolog, ciri-ciri begitutuh namanya gila? Haha, masa iya cakep cakep gila?" Wulan tertawa sendiri, mengingat Satheo yang tadi cengengesan terus.   ***   Ia mengedarkan pandangannya, mejelajah setiap sudut ruangan tersebut. Matanya pun berhenti pada suatu objek. Seulas senyuman terpampang jelas dibibirnya saat ia melihat orang itu. Ia pun menghampiri orang itu, lalu mengambil sebuah buku yang tertata rapi di rak perpustakaan ini. Ia berdiri disamping orang itu yang sedang duduk sambil membaca buku. "Aku boleh duduk disini?" Tanyanya. Orang itu tak menjawab, hanya diam dan fokus pada bukunya. "Kalo diem berarti boleh." Meskipun tak mendapat persetujuan dri orang itu, ia tetap memaksakan duduk disebelah orang itu. "Aku nggak ngerti, kenapa kamu gak mau ngomong sih sama aku? Emang aku salah apa sih sama kamu? Kamu kok kayak marah gitu?" Ucapnya dengan nada lugunya. Alfi! Yap, dia adalah Alfi. Seperti biasanya, ia sedang berusaha mendekatkan Refal. Refal masih tak bergeming, tak peduli dengan apa yang di katakan Alfi. "Yaudah kalo kamu masih marah sama aku, walaupun aku gak tau salah aku apaan. Aku kesono deh yaa, bye Refal." Alfi pun berdiri dari duduknya, kemudian pergi meninggalkan Refal. Awalnya, Refal sama sekali tak menoleh Alfi. Lalu kemudian Refal pun melihat punggung Alfi yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Pikirannya kini mengingat sejak kemarin, awal pertemuannya dengan Alfi. Gadis itu sepertinya unik dan lucu, itulah yang di pikirkan Refal. "Kenapa gue ngerasa dia berbeda?" Tanya Refal dalam hatinya. Namun sesaat kemudian Refal menapik pikirannya tentang Alfi itu. Tidak! Cewek di dunia ini itu semua sama, tak ada yang berbeda. Hanya ada satu orang yang berbeda. Hanya satu! Tekan Refal dalam batinnya. Dan sudah pergi dari dunia ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD