BAB 04

1116 Words
"BUSET, pagi-pagi gini ya nggak ada orang lah di sini. Sebenarnya lo mau apa sih bawa gue ke UKS?" Kembali Olivia menggerutu sebal, ia berdiri tepat di hadapan Dion sambil menunjuk-nunjuk wajah cowok itu dengan jarinya. Dion tersenyum, ia kemudian berjalan melewati Olivia dan mendaratkan bokongnya di salah satu brankar UKS. Ditatapnya Olivia yang ikut menatapnya balik, Dion tersenyum lagi, sementara Olivia langsung berdecak kesal dan membuang muka ke sembarang arah. Bunyi sleting jaket yang di buka mengalihkan fokus Olivia kembali. Ia menatap Dion dengan alis yang naik ke atas. "Lo mau ngapain? Dari tadi gaje banget sumpah." Olivia mencak-mencak, tangannya terkepal kuat. Ingin rasanya menonjok wajah cowok itu. Lagi dan lagi Dion tersenyum manis, tidak tahu kalau senyuman itu berdampak debaran aneh yang menyelinap di jantung Olivia. "Sini duduk!" Dion menepuk brankar di sampingnya yang kosong. Dan Olivia tidak bodoh untuk mengerti maksud dari cowok itu. Awalanya ragu, tetapi ia mengikuti perintah cowok itu. s**l, duduk di dekat cowok itu terasa sangat canggung. Pulang sekolah nanti Olivia tidak lupa akan memarahi jantungnya yang sudah bergejolak tak keruan. "Lo obatin gue!" Tubuh Dion berputar, menghadap ke arah Olivia. Terpancar aura bingung di wajah Olivia. "Obatin lo? Emang lo sakit apaan?" "Sakit punggung sama pundak, buruan obatin!" Dion berujar dingin, ia menunjuk lemari kaca yang ada di ruangan ini dengan dagunya, seolah dengan itu ia memberi komando kepada Olivia untuk segera mengambil obat-obatan dari dalam sana. Olivia menghela napas jengkel, lalu memutar bola matanya. Ia tersenyum kecut. Sebelum benar-benar kakinya melangkah, cekalan dari tangan dingin membaluti lengannya. Olivia segera menatap garang ke arah Dion yang sudah mencegah pergerakannya. "Jangan coba-coba kabur," ujar Dion dingin, sampai tidak sadar Olivia membulatkan matanya penuh sembari menelan salivanya dengan kasar. "Gu—gue nggak mau kabur kok," jawab Olivia terbata. Sial! Jelas sekali Dion akan curiga kalau dirinya berbicara gugup seperti itu. Tidak mau membuang waktu, tangan Dion yang masih mencekal tangannya, langsung saja Olivia tampik begitu kasar. Senyuman Dion mengembang, ia terus memperhatikan Olivia yang sedang fokus mencari obat di dalam lemari kaca. Cewek itu memang cantik, apabila tersenyum lebar juga akan terlihat manis. Rambut berwarna hickory itu terlihat begitu cocok, apalagi kalau di cepol satu seperti ekor kuda. Dion sadar, segera ia mengumpat kecil. "Ngapain aja sih lo, nyari obat atau nyari harta karun. Lama bener," cibir Dion, sengaja mempermainkan emosi cewek itu. "Sebenarnya lo juga bisa ambil obat sendiri. Dasar manja!" Olivia melipat kedua tangannya, ia menghunus nyalang tepat di manik mata Dion. Ia kemudian melempar obat secara asal sampai tidak sadar bahwa obat itu mengenai kening Dion hingga membuatnya meringis. "Lha ... Lo ngapain bawain gue obat encok!" Olivia langsung berdecak kesal. "Gimana sih lo! Yang sakit apaan? Punggung lo, kan?" Olivia ngotot, tidak mau disalahkan karena posisinya di sini ia tidak merasa bersalah. "Gue emang sakit punggung, tapi nggak sampai encok segala k*****t!" "Lha terus?" "Punggung gue ada luka, dan pasti sekarang udah merah-merah akibat pukulan lo yang bisa di bilang mirip pukulan emak-emak." Dion menjawab santai, tangannya lalu meletakkan obat di nakas yang tadi dilempar oleh titisan Medusa itu. Olivia tertawa keras, terbahak-bahak, tetapi terkesan garing. Namun, sedetik kemudian tawanya sirna, benar-benar lenyap, dan kini digantikan dengan tatapan super tajam. Demi apapun, wajah sangar itu tampak menyeramkan dari pada sebelumnya, matanya sudah mulai memerah hingga tak sadar Dion menelan ludahnya susah payah. "Maksud lo apa? Gue ambilin salep terus ngolesi punggung lo gitu?!" Olivia segera memalingkan wajahnya dengan mulut terbuka. "Gila banget, gue jelas nolak itu." "Tapi jelas, taruhannya tetep mobil lo! Elo nggak mau obatin luka gue, ya gue juga ogah banget ganti rugi mobil lo itu." Olivia sudah mencak-mencak di tempatnya. Mungkin baru kali ini, untuk kali pertama, ia dipertemukan dengan cowok semenyebalkan Dion. "Gimana? Deal nggak?" Dion menggoda, ia menaikturunkan alisnya. "Nggak setuju, mending gue bakal obatin lo!" Tentu saja Olivia lebih memilih menuruti permintaan cowok itu daripada harus memperbaiki mobilnya yang lecet. Dan Olivia sadar jika memperbaiki mobilnya agar mulus kembali mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. "Tunggu apa lagi? Buruan ambilin salep." Dion berujar santai lagi, kemudian terkekeh, kedua tangannya menyanggah di brankar. Olivia mengatupkan rahangnya kuat, tangannya sudah gatal kepengin melempar muka songong Dion dengan sepatunya. Sangat menyebalkan! Olivia berjalan sambil mengentakkan kakinya kuat-kuat ke lantai menuju lemari kaca lagi. Ia sungguh kesal, mungkin dengan cara itu emosinya bisa tersalurkan. Sebelum membuka pintu kaca itu kembali, Olivia menoleh ke arah Dion, memberi sinyal peperangan. "Nih salepnya," ujar Olivia, tangannya terjulur ke hadapan Dion dengan salep di tangannya, tetapi wajahnya terpaling ke arah lain. Dion tidak langsung mengambilnya, ia mendongak, menatap dengan raut wajah bingung tepat di paras cantik Olivia. Olivia merasa tangannya sudah pegal karena cowok s****n itu tidak mengambil benda di tangannya ini. Tidak tahan, Olivia memalingkan wajahnya dan menatap Dion geram. "Kenapa lo nggak ambil sih?" sembur Olivia kesal. "Kan udah jadi tanggung jawab lo." Dion menukas sambil tersenyum manis. Hal tak terduga yang terjadi setelahnya dan membuat bola mata Olivia terasa hampir meloncat keluar adalah Dion tidak tahu malunya melepas seragamnya hingga tak bersisa. Sekarang tubuh cowok itu terekspos begitu jelas. Olivia memekik kecil, ludahnya ia telan dengan kasar, wajahnya masih terkejut melihat Dion sudah bertelanjang d**a di hadapannya. Ya ampun, Olivia belum pernah berhadapan dengan cowok seperti ini. Bibir Olivia bergetar, tatapannya kemudian jatuh di perut cowok itu yang tidak jauh berbeda dengan roti sobek. Tidak menyangka sebelumnya, cowok itu rupanya memiliki tubuh keren juga. Olivia kemudian teringat sesuatu, ia pun langsung menolehkan seluruh badannya hingga memunggungi Dion. Matanya ia pejamkan begitu rapat. Ya ampun, bisa-bisa ia menjadi gila mendadak. "Ngapain lepas seragam lo, pakai lagi nggak?!" Olivia berbalik sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dion tidak kunjung menjawab, tetapi Olivia dapat mendengar jika cowok itu terkekeh kecil. Jantung Olivia tidak bisa di ajak bekerja sama sekali untuk sekarang. Cewek gila mana yang tidak terpesona melihat tubuh ideal seperti itu? Olivia berjalan mendekati nakas, masih dengan mata terpejam. Kemudian salep di tangannya ia letakkan di sana. "Gue nggak mau, gue mau balik ke kelas," ujarnya setengah gugup. Namun, sebelum kaki Olivia benar-benar beranjak sebanyak tiga langkah, Dion sudah kembali memegang tangan cewek itu, sementara Olivia mencoba berontak, tetapi berakhir gagal. Ia tidak punya cukup tenaga yang lebih. kembali Olivia mencoba mengelak, barangkali tiba-tiba saja ada keajaiban yang datang. Tapi itu cukup mustahil untuk di percaya. Merasa geram, Dion langsung menarik tangan Olivia kuat-kuat, sampai pada akhirnya tubuh Olivia limbung dan jatuh di atas perut Dion. Kalau tidak mengingat posisi dirinya ada di area sekolah, mungkin saja, detik ini juga Olivia sudah berteriak kencang. Astaga, telapak tangan Olivia kini mendarat di daada cowok itu yang tidak terbalut kain apapun! Astaga!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD