PART 3

1618 Words
Ribuan purnama telah terlewati, tapi kenyataannya masa itu kembali. Bagai lorong waktu yang terbuka kembali dan menarik Kim begitu dalam. Dave Brown, kisah masa lalu yang belum dapat ia singkirkan. Wanita berambut cokelat keemasan itu masih menyimpan nama Dave di dalam hatinya, bahkan kehadiran Trevor tak mampu menggantikan. Cinta masa muda seorang Kimberly Jhonson. Bayangan berada dalam situasi dilema. Teriakan Tuan Jhonson saat mencari Kim di kediaman Dave, seakan masih terasa nyata hingga kini. Ia tak punya pilihan, tidak memiliki keberanian dan tak berdaya untuk mempertahankan rasa cintanya, mempertahankan pria yang wanita itu cintai. Kim menelan ludah, menyingkirkan bayangan dalam isi kepalanya. Surat pangilan persidangan untuk proses perceraian yang ia terima seakan bagai tinjuan telak. Kim pernah begitu mencintai, pernah begitu mengagumi, dan juga pernah sebegitu bodoh karena melepaskan Dave. “Kau benar-beanr akan pergi ke New York, Kim?” Pertanyaan tersebut membuat Kim menoleh, menatap ibunya dari balik bahu. Rebecca, wanita paruh baya itu tampak bahagia dengan kehidupan barunya di antara bunga-bunga dan tumbuhan yang ia awat sepanjang hari. “Entahlah, Ibu. Semuanya terasa mengejutkan bagiku.” Kim mengatakannya dengan sangat berat. Pandangan matanya tertuju pada hamparan perkebunan peninggalan mendiang ayahnya. “Kau harus bisa menyelesaikannya, Kim.” Rebecca kini telah menjulang tepat di hadapan Kim, sembari menggenggam beberapa batang mawar merah yang tampak segar. Ia pun duduk tepat di seberang Kim, menatap anak tunggalnya dengan tatapan penuh kasih sayang. “Ibu tahu bukan hal yang mudah untuk bertemu dan ibu yakin, begitu juga dengannya. Tapi kau juga harus ingat, dirimu pun akan menikah dengan Trevor. Kau butuh surat itu.” Kim dan Rebecca bertatapan dalam. Mata hijau ibunya tampak berkaca-kaca saat mengatakan hal tersebut, membuat Kim tertunduk lesu. Apa yang dikatakan itu memang benar. Kim akan menikah dengan Trevor. Mereka telah bertunangan di hadapan mendiang Tuan Jhonson, sebelum menghembuskan napas terakhirnya. “Apa kau akan menceritakan rencanamu ini pada Trevor?” Pertanyaan Rebecca membuat Kim dengan cepat mengangkat wajah untuk menatapnya. Wanita tua itu tampak sedang menunggu jawaban dari Kim, yang masih memberi jeda di sana. “Aku belum tahu. Rasanya akan menjadi mudah jika ia tidak tahu,” jawab Kim dengan keyakinan yang terasa melegakan. Bayangan wajah Dave Brown melintasi isi kepala Kim, bak sebuah film yang diputar ulang. Sialnya ia begitu menyukai saat-saat itu, bahkan termasuk dengan semua kegilaan laki-laki itu. Ya, Kim ingin bertemu dan melihat Dave yang sekarang. “Kau yakin?” Kim menoleh lagi, mengumpulkan semua keyakinannya sebelum menjawab. “Ya. Aku yakin dengan keputusanku, Ibu.” Kim tersenyum setelahnya dan tampak Rebecca pun ikut melakukan hal yang sama, melengkungkan garis di bibirnya. Kim lantas menarik napas panjangnya sekali lagi, memandang hamparan perkebunan sebelum sosok Trevor muncul dari kejauhan sambil menarik pelana kuda. “Aku akan berbicara dengannya sekarang,” ujar Kim sambil beranjak dari kursi yang ia duduki, meninggalkan Rebecca seorang diri di tempatnya. Kim melangkah keluar dari bangunan kaca milik ibunya, lalu berjalan menghampiri Trevor. Ia terlihat sedang berbincang dengan Mike Evans, salah seorang pekerja perkebunan. Cuaca hari ini tampak bersahabat dengan sinar matahari yang tak terlalu menyengat dan embusan angin pun terasa kian membuai. “Hi,” sapa Kim disusul dengan Trevor yang berbalik di atas sepatunya untuk mendapati wanita itu. Trevor adalah pria yang kini menjadi tunangan Kim, dan dia juga sahabat Dave. “Hi, Sayang,” balas Trevor disusul dengan kecupan di pipi Kim. “Baiklah, saya permisi dulu, Tuan, Nyonya.” Mike berpamitan untuk meninggalkan Kim dan Trevor. Mereka pun membalasnya dengan anggukan. Pria muda itu berjalan menjauh. “Kau tampak cantik seperti biasanya,” puji Trevor dan Kim hanya tersenyum menanggapinya. “Ada hal yang harus kita bicarakan. Apakah kau ada waktu?” tanya Kim tanpa basa-basi. Waktu yang tertera dalam dokumen panggilan persidangan itu akan berlangsung lusa. Jadi mau tidak mau, Kim harus segera membicarakan hal tersebut pada Trevor, yang sekarang sedang menatapnya penuh selidik. “Apa ada masalah?” tanya Trevor yang langsung menaikkan sebelah alisnya, membuat Kim menelan salivanya sendiri, sebelum mengatakan maksud dan tujuannya ingin berbicara. “Sebaiknya kita mencari tempat untuk berbicara,” ajaknya menarik pergelangan tangan Kim. Mereka pun berbincang di teras rumah Kim dengan dua cangkir kopi yang masih mengepul. Ia telah memikirkan alasan yang akan diberikannya pada Trevor mengenai kepergiannya ke New York. Kim juga sudah memastikan semuanya tanpa ada yang terlewat jika saja hal terburuk terjadi, tentang kecurigaan Trevor. “Apa yang ingin kau bicarakan, Sayang?” tanya Trevor usai menyeruput kopi dalam cangkir yang dipegangnya. Kim memperbaiki posisi duduknya dan meletakkan kembali cangkir yang ia pegang ke atas meja. Trevor menatap tunangannya itu dengan kesungguhan. “Aku ... Aku mendapatkan undangan untuk ... pertemuan ilmiah di New York,” kata Kim memulai pembicaraan dan ternyata, ia harus mengikis kebenaran dengan sebuah kebohongan di sana. Jeda beberapa detik, Kim ingin menyaksikan reaksi apa yang diberikan Trevor padanya. Mimik wajah laki-laki itu bahkan tidak terbaca, sampai ia kembali menyeruput kopinya. “Aku ... Aku merasa membutuhkan pertemuan itu,” imbuh Kim dan Trevor menatapku dari atas tepian cangkir yang di pegangnya. Sorot mata cokelatnya tak dapat ditebak oleh Kim=. “Kapan acaranya?” Mata Kim membulat dan jantungnya seakan berhenti untuk dua detik karena terkejut. Ia menelan ludah lagi, menarik napas, berusaha untuk menjeda intonasi suaranya. “Lusa,” jawab Kim pendek. Trevor meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Menyapukan serbet ke bibir dan menyingkirkan sisa kopi di sudutnya. “Kau ingin aku menemanimu?” Kim menahan napas dan tersadar untuk segera menjawab, “Tidak. Aku akan pergi sendiri jika kau tidak keberatan.” Kim tersenyum, merasakan jantungnya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Ia meraih cangkirnya dan menyeruput kopi yang tersisa setengah, mencoba untuk menampik tatapan mata Trevor yang sepenuhnya ditujukan padanya. “Baiklah. Bukan masalah bagiku. Berapa lama kau akan berada di sana?” Kim membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ia belum memiliki jawaban untuk pertanyaan Trevor kali ini. Wanita itu lupa menghitung waktu keberadaannya nanti di New York. Alhasil, Kim hanya bisa terdiam dan Trevor mengamatiku dengan lekat. “Aku, seharusnya hanya tiga hari,” sabut Kim begitu kikuk. Trevor mengangguk pelan, ia melayangkan tatapan matanya ke arah kebun bunga milik Rebecca. Kim merasakan pikirannya sangat kacau dengan kebohongan ini, tapi tak ada jalan lain. “Aku hanya ingin mengingatkan padamu, pernikahan kita sebentar lagi, Kim.” Trevor mengatakannya tanpa menatap ke arah Kim. Rahangnya terlihat kaku dari samping. “Ya, aku ingat hal itu.” Sahut Kim meraih cangkirnya lagi.   *** Kim merasa sesak tiba-tiba. Ponselnya berdering saat ia keluar dari dalam kamar mandi. Kim masih berbalut piyama putih dengan kepala yang terbungkus handuk. Panggilan itu berhenti saat dirinya berhasil meraih benda pipih miliknya yang tergeletak di atas nakas. Deretan nomor yang tak dikenal tertera di layar. “Kim, boleh ibu masuk?” tanya Rebecca dari balik pintu kamar kim. “Iya, Ibu. Masuklah,” sahut Kim. Rebecca muncul dari balik pintu, menampakan kepalanya dan tersenyum pada Kim sebelum ia masuk ke dalam sana. “Makan malam sudah siap, kau ingin makan sekarang?” Kim melepaskan handuk di kepalanya dan duduk di tepian tempat tidur, “Kau kenapa? Bagaimana pembicaraanmu dengan Trevor?” Rebecca kembali mengajukan pertanyaan, bahkan dua sekaligus, yang sukses membuat Kim menoleh padanya. “Aku sudah mengatakannya, Ibu. Aku menggunakan alasan pertemuan ilmiah.” Kelopak mata Rebecca terbuka lebar dan manik indahnya memancarkan keterkejutan. “Apa dia curiga?” Suara Rebecca berubah pelan seakan ia sedang mengajukan pertanyaan rahasia dan Kim tersenyum sembari menghela napas. “Entahlah, Ibu.” Ponsel Kim kembali berdering, masih menampilkan deretan nomor yang sama dengan panggilan tak terjawab beberapa saat lalu. “Siapa?” tanya Rebecca sangat pelan. Tentu saja Kim hanya bisa menggeleng, karena memang ia sama sekali tidak tahu, siapa yang sedari tadi sibuk menghubunginya. Kim pun beranjak dan menggeser tombol di layar ponselnya. “Halo,” kata Kim. “Halo, selamat malam. Apa saya berbicara dengan Nona Jhonson?” Suara seorang pria di seberang saluran telepon Kim. “Ya, saya sendiri,” sahut Kim melirik Rebecca dari sudut matanya. Ia tampak mengamati sang putri. Di ujung sana, si penelepon terdengar sedang menarik napasnya sebelum berbicara, “Perkenalkan namaku Andrew Stanton, pengacara dari Tuan Brown.” Bagai terkena sengatan listrik ribuan volt, Kim mematung di tempatnya sedang berpijak. Napasnya tersekat ketika nama Dave kembali terdengar di telinganya. “Saya ingin menanyakan mengenai—” “Ya, saya sudah menerima surat panggilan itu,” sela Kim yang sepersekian detik kemudian sadar, jika perbuatannya itu sangat tidak beretika, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Helaan napas dalam juga terdengar begitu jelas dari Kim, nyaris seperti seseorang yang kehabisan oksigen. “Apa Anda akan hadir?” tanya pria bernama Andrew dengan lugas. Kim menelan saliva, menatap Rebecca yang masih tetap setia mengamatiku dari atas tempat tidur. Wajahnya tampak sebegitu cemasnya. “Ya, saya akan hadir.” “Bagus. Itu yang kami harapkan,” terang Andrew, membuat Kim kembali menelan saliva agar dapat menyingkirkan kegugupannya saat ini. “Baiklah, untuk sementara hanya itu saja. Saya hanya ingin memastikan kehadiran Anda Nona Jhonson.” Tak ada sanggahan untuk yang kedua kalinya dari Kim, Andrew pun mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia menunggu wanita itu untuk berbicara, tetapi keheningan terjadi, meski hanya beberapa detik. Alhasil, suara berat Andrew terdengar lagi, melontarkan sebuah pertanyaan, “Satu hal lagi. Apa Anda akan menggunakan jasa pengacara?” Tentu saja Kim benar-benar buta dengan jawaban apa yang harus ia katakan di sana, sampai-sampai dirinya harus menarik napas, lalu menghembuskannya dengan keras dan itu terdengar jelas di telinga Andrew. “Tidak, saya akan datang sendiri.” Meski begitu, lima detik kemudian sebuah pemikiran logis pada akhirnya dipilih oleh Kim. Andrew menutup panggilan telepon tersebut, ketika ia sudah mendapatkan jawabannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD