He's Complete Me

1272 Words
Tubuh Selly keluh. Mengapa dia jadi sedekat ini dengan Ibas. Selly mencoba kabur dari rangkulan Ibas. Disaat itu, Ibas membuka mata. Ibas terus tersenyum pada Selly dengan tangan semakin menjerat Selly dalam pelukkan. "Aku bukannya serakah jadi mau memilikimu. Tapi karena memilikimu merupakan satu kebutuhan premier buatku." Selly melotot. Memangnya dia sandang, pangan dan papan. Gadis itu menarik diri. "Udah, Bas. Jangan bercanda. Makan dulu, yuk," ajaknya langsung menyingkir. Tetapi Selly gak bisa bohong kalau malam ini ia begitu bahagia. Ditemani Ibas memasak plus ditambah rayuan gombalnya yang absurd itu. Selly sesekali melirik Ibas dengan bibir mengulum senyum. Sedang Ibas menoleh ke daun pintu. "Adek kamu betulan pergi, ya?" Ia merasa gak enak. Harus melihat pertengkaran Selly dan Dirga. Selly sudah selesai menuangkan sup ke mangkuk. "Gakpapa. Nanti juga balik lagi," balasnya sembari meletakkan mangkuk ke meja makan. Ibas mengangguk-angguk. Memilih duduk di depan sajian makan. Sepertinya dia sedikit lapar. Tapi bukan sayur sop dengan nasi yang mau Ibas lahap. Tetapi Selly, ia mau memakan wanita itu hanya untuknya. "Kayak kamu, kan maunya dikejar dulu. Biar balik lagi sama aku?" Ibas menyeringai dengan kata-kata yah sendiri. Kenapa dia bisa begitu narsis. Entah, Ibas sendiri tidak menyangka. "Iiiddih..., kata siapa kepedaan!!" sahut Selly. Lantas duduk di depan Ibas. "Em, aku bakalan cari adik kamu." Selly menahan Ibas yang mau pergi. "Eeh, jangan. Makanan udah siap. Pamali kalau ditinggal. Makan dulu!" Selly memerintah tegas. Tangannya memberi isyarat agar Ibas duduk lagi. "Tapi.., Dirga gimana?!" Ibas tahu. Walau bilang gakpapa. Pasti sebetulnya Selly resah, bukan? Maka dari itu. Ibas mau mencari Dirga. Selly segera berlari kehadapan Ibas. "Mau cari dimana?" Dagunya dinaikin. Selly sungguh mau tahu kemana Ibas memulai mencari Dirga. Tetapi Ibas malah menepuk-nepuk kepala Selly. Kalau diperhatikan sepertinya wanita ini gak bertambah tinggi satu sentipun. Apa dia gak cukup kalsium. Namun, kondisi tubuh Selly yang krucil bikin Ibas makin gemas. Ia mencubit kedua pipi Selly. Selly menangkis tangan Ibas. Sejak dulu mereka lebih mirip tikus dan kucing dibandingkan sepasang kekasih. "Eegghh," Selly geram. Ia mengeratkan giginya agar Ibas menyerah mempermainkannya. "Hahaa.., Cebol!" "Apa kamu bilang?!" Selly mencengkram kerah kemeja Ibas. Itupun harus terjingke. Dengan berani Ibas memperhatikan Selly tanpa berkedip. Membuat Selly grogi. "Udahlah. Aku bilang, kan kamu makan dulu aja. Soal Dirga biar aku cari sendiri." Selly bersiap mencari adiknya. Dipikir-pikir. Dirga juga begitu keterlaluan. Pergi tanpa pamit. Mana gak bilang mau kemana. Sewaktu Selly berbalik Ibas menahan tangannya. Pun meletakkan dahi di bahu Selly. "Cari sama-sama, oke. Aku gak mau ditinggal sendirian di rumah," rajuk Ibas manja. 'Heh, gak salah?' batin Selly kaget. *** Akhirnya Selly setuju mengajak Ibas. Dengan syarat ia gak boleh banyak tanya atau bicara tentang masa lalu. Ibas tersenyum manis. "Nanti kita makannya kalau udah ada adik kamu," sarannya. Selly menyetujui usulan Ibas itu. Dalam hati, ia terharu karena sikap Ibas yang terasa juga mengasihi Dirga. Ketika ingin keluar Selly menoleh kearah Ibas lagi. "Kamu gak pakai jaket?" selidik Selly. Merasa malam ini dingin dan tak ingin Ibas sakit akibat kedinginan mencari adiknya. Selly lupa kalau Ibas pria matang yang punya banyak massa otot yang bisa menghangatkan tubuhnya secara alami. Namun Ibas gak mau melewatkan perhatian kecil Selly. Ia berlakon seolah dirinya merasa kedinginan. "Huuh! Iyah, nih. Kok dinginnya?" Ibas merentangkan tangan. Selly boleh kok menghangatkan tubuh Ibas pakai tubuhnya alias peluk dia sekencang yang Selly mau. "Sebentar. Aku ambilin jaket dulu!" Selly bergegas ke kamar. Di ikuti Ibas yang bergerutu sepanjang jalan, "Memangnya ada jaket yang muat sama aku?" Karena pertanyaan Ibas. Selly jadi mematung. Eh, sebentar. Hampir saja ia membuka kartunya masih menyimpan jaket peninggalan Ibas. Satu-satunya objek yang ia pandangi ketika rindu menyapa. Selly jadi menyenggir kuda. "Bener juga,ya. Kayaknya punya aku gak ada yang muat sama kamu. Ya udah yuk kita pergi aja!" Ibas menahan bahu Selly. "Tunggu. Tadi kamu yakin banget. Sekarang?" "Eengg... itu, itu..!" Selly gak bisa kabur dari tatapan Ibas yang bagai busur panah. "Aku cari sendiri aja deh," putus Ibas. Ia yakin, jaket yang dimaksud Dirga adalah miliknya yang tertinggal. Sebenarnya Ibas gak memperdulikan jaket itu. Tapi fakta Selly masih menyimpan barangnya membuat jantungnya mau meledak. "Bas, tunggu ngapain. Kamu gak boleh masuk kamar aku!" Selly menarik-narik Ibas. Uuh, dikasih tahu gimana sih. Batu banget. Ibas tidak peduli. Toh, tadi dia sudah pernah masuk. Malah mencoba ranjangnya dan berguling dengan Selly. Jika dia gak ingat kalau dirinya sayang banget sama Selly-sampai mau menjaga dari buasnya diri sendiri. Ibas mungkin betulan sudah menerkam Selly. Sebentar ia sampai di lemari dua pintu berbahan kayu meranti. Ibas membuka bagian lemari gantung. 'Lho kok gak ada?' Sesaat Ibas kecewa. Ia cuma melihat baju-baju wanita saja. "Iih, ngapain sih, Bas?" sungut Selly tak suka. Ibas berdehem dan menatap Selly tajam. "Aku mau cari barang aku. Kayaknya ada satu yang ketinggalan di kamu," ucapnya masih berusaha mencari. Giliran Selly menggeleng tidak setuju. "Barang apa. Jaket kamu. Udah aku buang. Kamu tahu, kan. Aku pindahan rumah. Barang-barang yang gak aku pakai. Aku tinggal di kostan lama." Selly bilang begitu supaya Ibas tidak lagi menggangunya. Namun bukan Ibas kalau langsung percaya. Ia memberi reaksi ragu sambil bergumam, "Oh,ya?" "Ya. Masa kamu gak percaya sih. Buat apa aku simpen-simpen jaket kamu?!" Ibas mengidikkan bahu. "Ya aku juga gak tahu. Buat alasan biar ketemu aku lagi, mungkin. Lagian, aku, kan gak bilang mau cari jaket aku." Sungguh pria ini dari dulu nyebelin gak hilang-hilang. "Terus kamu mau cari apa, Bas di lemari aku!" Selly sampai memohon agar Ibas berhenti bersikap seperti ini. Dan jangan coba-coba buka bagian sebelahnya. Itu space rahasia. Tempat Selly meletakkan underware-nya. Ibas menghembuskan nafas. Baru saja tangannya mau membuka pintu lemari satu lagi. Selly sudah menomprok Ibas dari samping. Tidak siap, Ibas jadi jatuh terduduk untung dia masih bisa menahan pakai tangan. Namun.., yang mencenangkan kepala Selly jatuh tepat di antara paha Ibas. *** "Rian," "Hm.." Rian berdehem kecil menanggapi panggilan Manda. Ia masih terus mengelus rambut Manda. Perasaannya lega setelah berhasil melamar Manda. Dan rasanya bertambah nyaman karena Manda tidur dalam pelukkannya. Manda menyusuri d**a Rian yang tertutupi kaos abu-abu. Ia sebetulnya takut menyesakkan Rian karena tiduran tepat di dadanya. Namun berkali-kali Manda ingin bangun, Rian selalu menahan dan kembali mendekap Manda erat. Manda menyerah. Ia menaiki kakinya supaya selonjoran sama seperti Rian. Di temani bintang-bintang di angkasa. Manda mau tidur seperti ini. Merasa Manda mendusel ketiaknya. Rian terkekeh, lalu mencium ujung kepala Manda. "Kamu gak mau tidur Rian?!" "Ini aku lagi tidur. Sama calon istri aku." Manda merinding mendengar istilah Rian. Ia mencubit ujung d**a Rian. Membuat Rian meringis. "Ngaco. Maksud aku, tidur di kamar." Rian membuka mata. "Kamu mau kita tidur di kamar?" Eeh, bukan gitu..., maksud Manda. Rian di kamarnya dan dia di kamarnya juga. "Iih, kamu tuh,yah!" Manda bangun. Matanya mendelik tetapi Rian tetap terlihat tenang. "Iyah. Aku tidur di kamar aku. Kamu di kamar kamu," bebernya bikin Manda malu. Eh, jadi pikiran tidur bareng itu cuma ada di benaknya. Duh, gimana sih Manda. Malu-maluin banget. Tapi dari sorot mata Rian seperti ada yang ia fikirkan. Sejak awal, ia gak selepas seperti dirinya. Ada kesedihan yang bisa Manda rasakan menyelinap dari mata Rian. "Kamu ada masalah?" tebak Manda. Rian menaiki sudut bibirnya. "Aku gak cerita tapi kamu tahu!" Rian sedang terkagum dengan ketepatan Manda 'mengenalinya'. Dan Manda bilang, "Lho. Kita kan udah pacaran 4 tahun. Aku tahu gimana kamu. Saat sedih dan saat ada yang dipikirkan. Sekarang bilang sama aku. Ada apa, Sayang?" Manda menebak. Apa ini karena ucapan Rian barusan. Jika ia masih kepikiran mengapa Rian melamarnya. "Tadi waktu di bandara aku ketemu Zero." Manda melotot tajam "Zero?" beonya. Rian mengangguk. Ia yakin sosok itu Zero. Orang yang satu pesawat dengannya adalah teman yang sudah lama tidak ia temui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD