2

1562 Words
Empat Belas Bulan Sebelumnya Seorang gadis mengeluhkan namaku sambil memperbaiki letak pakaian dalamnya. Aku tidak memperhatikannya. Aku sedang menaikkan risleting celana dengan hati-hati. Dia gadis yang baru kutemui di The Power. Jangan tanya padaku namanya! Aku bahkan sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya. Dia menghabiskan waktu menunduk di atas pangkuanku saat mataku terpejam menikmati. Bagaimana aku bisa mengenali gadis itu? "Kau mau turun untuk minum?" Gadis itu mengedipkan mata. Begini, aku bukan laki-laki yang suka terlibat drama. Aku adalah orang yang efektif. Aku tidak akan menggunakan tisu dua kali. Tidak ada gunanya menyimpan tisu bekas dalam waktu lama. Aku akan mencari cara untuk membuangnya dengan sopan. "Maafkan aku, Cupcake." Kepalaku menggeleng dengan penyesalan yang dibuat-buat. "Aku harus segera kembali. Kau membuatku sangat lelah tadi," kataku dengan lembut tanpa repot memikirkan namanya. Tidak. Aku tidak lelah. Aku masih bisa main basket dengan tenaga penuh. Aku hanya tidak ingin melihatnya lagi. Urusan dengannya sudah selesai ketika risleting celanaku dinaikkan tadi. Gadis itu mengangkat alis. "Kau yakin?" Aku melebarkan senyum sambil menatapnya. Perempuan menyukai ekspresi seperti ini. "Ya, sayang, maafkan aku. Mungkin lain kali." Gadis itu tersenyum, lalu menciumku sebelum keluar dari mobil. Ia melambai setelah beberapa meter dari mobil. Aku diam saja. Toh, dia sama sekali tidak bisa melihatku di balik kaca gelap ini. Aku melihat bekas tempat gadis itu duduk untuk mencari jejak yang mungkin dia tinggalkan. Bukannya OCD, aku hanya suka kebersihan dan aku tidak ingin Si Cantik Evoque kotor. Yah, kalau kau melihat mereka menyombongkan mobil berkabin tunggal mereka, aku sudah jatuh cinta pada mobil besar ini sejak pandangan pertama. Aku juga memiliki koleksi mobil berkabin tunggal di garasiku, tapi Si Cantik ini memberi segala yang kuinginkan. Ini baru yang kunamakan cinta. Kubuka sedikit kaca jendela untuk mengeluarkan aroma parfum menyengat gadis tadi. Sayang sekali, aroma parfum menghalangi aroma seks yang seharusnya membuatku semakin b*******h. Dia harus belajar bagaimana memilih parfum yang menarik, bukan yang baunya bisa tercium sampai ratusan kaki. Tapi parfum yang memberikan kesan saat berdekatan dalam jarak intens. Seharusnya, dia dan banyak perempuan lain memahami hal ini dan berhenti menyakiti hidung laki-laki. Saat itulah aku melihatnya. Gadis itu berjalan dengan cepat. Dari pakaiannya, bisa kusimpulkan bahwa dia adalah SPG pameran mobil yang sedang diadakan di Mall ini. Rambutnya digulung dengan jepit plastik murah asal-asalan. Dia tidak terlalu tinggi. Stiletto hitam berkilap meningkatkan tinggi badannya. Dia tidak melenggok-lenggokan p****t seperti gadis murah yang ingin terlihat seksi. Dia tidak menggeleng-gelengkan kepala agar rambutnya berkibar-kibar dengan norak. Langkahnya tegap dengan wajah menatap lurus dan d**a membusung, seolah ada harga diri yang harus dijaga. Sebentar kemudian, gadis itu berpaling. Aku bisa melihat mata gelapnya yang tajam. Entah kenapa jantungku jadi berdetak abnormal. Aku merasa seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang mengintip sambil onani. Mataku memperhatikan dadanya, tidak terlalu besar. Aku melihatnya dari samping dan bisa memperkirakan dengan tepat seberapa besar kedua p******a itu. Bukan bentuk yang luar biasa, tapi nyaman untuk dilihat dengan tubuh mungilnya. Mungkin, ukurannya pas dalam genggaman tanganku. Astaga, kenapa dahimu berkerut seperti itu? Aku laki-laki biasa. Aku menilai perempuan dari bagaimana mereka terlihat. Bukankah untuk itu perempuan tercipta, menyenangkan pandangan kami, kaum laki-laki? Kau bisa lihat, perempuan tercipta dengan sangat indah. Lengkungan feminin tercipta bukan hanya untuk proses reproduksi saja. Semua itu keindahan untuk mata laki-laki. Aku melihat Tuhan berkarya dengan sangat indah untuk perempuan. Lihat bagaimana rambut perempuan tergerai? Kulit yang lembut saat disentuh? Bagian-bagian tubuh yang mengesankan saat dipegang? Aku memuja perempuan. Kurayakan pemujaan dengan menikmati mereka. Bagaimana aku bisa melewatkan keindahan hanya lewat di depan mataku begitu saja tanpa mendekat dan mengapresiasinya? Perempuan tercipta untuk dinikmati dan dibaca. Mereka seperti buku dengan sampul berbeda. Ada buku yang sampulnya menarik, tapi ternyata isinya hanya cerita porno. Buku jenis ini pasti disukai orang, tapi hanya sampai pembaca bosan dan mencari cerita porno lainnya. Kenapa? Apa enaknya membayangkan hal yang sama terus-menerus? Ada banyak buku lain yang bisa dilihat, kan? Ada buku yang sampul dan judulnya sangat tidak menarik dan menjadi tumpukan debu di ujung toko. Sekalipun isi buku ini bisa memenangkan Pulitzer, orang tidak akan mau memilihnya. Ada juga buku yang sampul dan isinya sangat keren dan menuntut, buku yang membuat pembacanya lelah dan memilih untuk mencari hiburan lain di sela-sela membaca. Seperti perempuan yang kulihat ini. Aku bisa melihat tubuhnya terawat dengan olah raga yang baik. Ini sampul yang sangat memikat. Dari caranya bergerak, aku tahu bahwa dia bukan perempuan yang akan langsung menggesek-gesekan tubuh pada laki-laki. Tatapan matanya, memberiku gambaran bahwa gadis ini bersiaga penuh. Gadis yang tidak bisa kutiduri dengan mudah. Gadis yang tidak akan mengalah begitu saja. Gadis yang akan terus menyerang, ya, di atas ranjang. Aku merasakan lelakiku bersiaga. Suara raungan motor terdengar dari kejauhan. Motor dikendarai dengan cepat menuju perempuan itu dari arah belakangnya. Kejadiannya sangat cepat. Penumpang motor itu menarik tas selempang dari bahu gadis yang kulihat. Aku membayangkan gadis itu jatuh terguling karena terseret motor. Tapi, aku salah. Si Gadis langsung berjongkok dengan menarik selempang tas yang masih berada di tangannya. Dia membebankan berat tubuhnya pada gravitasi, sebuah langkah cerdas untuk mengejutkan penjambret. Penjambret itu jatuh dengan bunyi berdebam keras. Tapi, pengemudi motor tetap melajukan kendaraannya tanpa berpaling. Penjambret yang malang tertinggal dan harus menghadapi korban perempuannya. Aku terpaku seperti i***t t***l. Gadis itu tetap memegangi selempang tasnya sambil menghampiri penjambret yang berguling menahan sakit. Mereka berebut tas. Si Gadis menarik lepas kuat tasnya. Penjambret berdiri dan menyerang. Laki-laki itu duduk mengangkangi si gadis yang meronta dan menjerit. Aku cuma duduk melongo dari dalam mobil seperti orang bodoh. Tidak. Aku tidak ketakutan. Aku mahir Jiu Jitsu. Tetapi, sesuatu menahanku untuk diam dan menonton perkelahian tidak imbang itu dengan rahang menggantung. Tiba-tiba, gadis itu terlihat tenang. Tangannya dikunci rapat oleh penjambret di atas kepalanya. Tidak ada jeritan atau gerakan lain. Apa gadis itu menyerah? Akhirnya, aku mendapatkan kembali akal sehatku. Aku bernapas cepat dan membuka pintu mobil untuk menyelamatkan Si Gadis seperti layaknya laki-laki. Aku akan melempar laki-laki itu dan membawa pergi gadisnya. Mungkin, dia akan berterima kasih dengan memberiku malam yang menyenangkan. Saat keluar dari mobil, pemandangan yang kulihat sangat ganjil. Gadis itu mengangkat pinggul tinggi-tinggi hingga kakinya bisa melilit kepala lelaki itu. Kaki berlapis stocking itu menarik kepala penjambret ke belakang dengan kuat. Penjambret mengerang keras, terkejut dan melepaskan tangan yang menekan tangan Si Gadis. Punggung laki-laki itu melenting ke belakang mengikuti tarikan kuat kaki Si Gadis. Terdengar bunyi derak tulang yang mengerikan. Suara lolongan menyedihkan laki-laki membuatku kembali melongo, takjub. Gadis itu melepaskan kakinya untuk berdiri dan mulai menendangi lawannya. Penjambret itu berusaha melindungi kepalanya. Tapi, kaki ber-stilleto itu menemukan sasaran yang lebih baik, kemaluan. Terdengar suara lolongan yang lebih keras dan memilukan. Aku merasa ngilu pada kemaluanku sendiri. Kau tahu rasanya? Lebih baik laki-laki langsung ditembak mati daripada diinjak seperti itu. Sebagai sesama laki-laki, aku merasa sangat bersimpati. Aku segera menghampiri mereka dan menarik pinggang si gadis sebelum k****************i malang itu hancur. Si gadis meronta di pelukanku. Suaranya menggeram marah. "Tenang! Sudah! Kau bisa membunuhnya." Gadis itu menatapku dengan marah. Matanya hitam. Tidak terlalu besar, tapi bulat sempurna. Bulu matanya panjang dan alisnya melengkung manis. Mulutnya kecil dengan bibir cukup tebal. Bagian bawah bibirnya membentuh lekukan yang serasi dengan belahan di dagunya. Tidak terlalu cantik tapi memesona. Siapapun yang melihatnya akan membayangkan keindahan wajah itu di atas bantal. Ada dorongan di dadaku untuk langsung menciumnya. Tapi jelas, aku tidak mau menjadi korban injakan selanjutnya. Gadis ini selincah cheetah. Penjambret tadi melarikan diri. Lelaki itu berlari terseok-seok dengan tangan masih memegangi k*********a. "Sial!" Suaranya mirip desisan. "Apa masalahmu?" Gadis itu mundur dan siap menyerangku, fisik atau verbal. Matanya melotot. Napasnya masih terengah-engah. Jepit rambutnya terlepas membuat rambut panjangnya tergerai berantakan. Seksi sekali. "Aku menyelamatkanmu." "Kau menyelamatkannya." "Aku menyelamatkanmu dari penjara." Dia terdiam. Wajahnya mengeras. Matanya penuh kebencian. Aku tidak suka melihat perempuan marah. Tapi, ada sensasi menyenangkan di dalam dadaku melihat gadis ini marah. Sepertinya, kemarahannya bisa menyenangkanku lebih dari narkoba jenis apapun. "Haruskah aku berterima kasih?" Nada bicaranya terdengar sarkastis sekali. "Aku ingin membantumu." "Apa aku terlihat seperti perempuan yang butuh bantuan, Batman?" Dengar, kan? Bukan hanya kaki, tapi mulutnya juga siap menyerang. Napasnya terengah bukan karena kelelahan, tapi lebih karena emosi yang dihabiskannya untuk menyerangku. "Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?" Kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulutku. Aku ingin mengantarkannya pulang ke pelukanku. Aku ingin membawanya ke mana saja. Perempuan ini bisa saja psikopat atau perampok yang menyamar. Tapi, siapa peduli kalau akhirnya aku bisa bercinta dengannya di dalam mobil? "Kenapa aku harus memercayaimu?" Dia mengangkat alis dengan tatapan menantang. Aku menghela napas. Seharusnya sudah kusadari dia bukan gadis yang mudah. Pertanyaannya hanya kujawab dengan bahu terangkat. "Aku cuma ingin membantumu. Sungguh. Siapa yang tahu, kalau jambret tadi memanggil teman-temannya dan menunggumu di suatu tempat. Penjahat seperti itu tidak akan beraksi sendirian." Gadis itu seperti menimbang sesuatu. Ia mengawasiku. Lama, dia berpikir dengan wajah kesal. Aku berusaha menampakan wajah polos agar ia bisa memercayaiku. "Oke. Aku ikut," jawabnya sambil menghela napas. Ekspresinya sama sekali tidak berubah. Tidak ada ucapan terima kasih yang manis seperti gaya seorang gadis. Dia tidak ingin merengek untuk diselamatkan. Dia tahu apa yang dilakukannya dan memilih apa yang akan dilakukan karena keinginan sendiri, bukan belas kasihan orang lain. Lihat bagaimana caranya berjalan di belakangku dengan waspada seolah aku punya akan bulus untuk menjebaknya. Matanya tidak berhenti mengawasi sekeliling dan wajahku tanpa henti. Dia ingin meyakinkan diri kalau aku bukan b******n yang berniat menculiknya. Aku jadi ingin menciumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD