Empat

2091 Words
“Panji, Lia, Erwin ayo kita rapat.” Jika yang memanggil barusan adalah Hendra, mungkin seluruh anggota divisi wedding tidak akan merasa panik. Masalahnya yang barusan memanggil ketiga ketua tim adalah pimpinan tertinggi Sweet Moments, Ardi. Ia tak sendiri, melainkan diikuti oleh Hendra serta sekretaris mereka. Langsung menuju ruang rapat 1, satu-satunya ruang rapat tertutup dan kedap suara yang mereka miliki. Menandakan bahwa rapat yang akan diadakan bersifat rahasia. Ekspresi tiga ketua tim tak terlihat panik, cenderung tak terbaca. Mereka hanya mengambil catatan lantas menatap tim masing-masing secara cermat. Memilih dua orang untuk ikut rapat mendadak, sehingga mereka yang dipanggil terlihat kelabakan membenahi penampilan sebelum menyusul ke ruang rapat. Begitupun tim 2, yang diketuai Panji. “Dini sama Fian, ikut ya.” Tanpa memberi penjelasan tambahan, Panji berlalu begitu saja menuju ruang rapat. Meninggalkan dua rekannya yang terkejut bukan main. Fian dan Dini yang duduk berhadapan, sontak saling memandang satu sama lain dengan ekspresi penuh tanya. Sebelum akhirnya mengambil catatan masing-masing dan bergabung ke ruang rapat. “Mukanya kok pada tegang semua deh, kalian nggak ada bilang apa-apa kenapa mereka dipanggil?” Hendra menaikkan sebelah alisnya bingung, menyadari bahwa hampir semua orang di dalam ruangan memasang ekspresi tidak enak. Ia lantas menoleh ke arah 3 ketua tim yang hanya menggeleng sembari tersenyum kecil, merasa lucu akan ekspresi panik dari anggota tim masing-masing yang terpancar jelas. “Santai aja guys, kita bukan mau rapatin masalah gawat darurat kok.” Lia menjadi orang pertama yang menyeletuk, berusaha menenangkan rekan kerjanya. “Justru kita dipanggil karena dua bos kita ini mau ngasih projek khusus.” Penjelasan sederhana itu, mampu menghapus rasa khawatir kebanyakan dari penghuni rapat. Mereka refleks menjadi lega, dan tak lagi duduk dengan tegang. Termasuk Dini dan Fian yang sama-sama menghela napas lega lantas senyum-senyum sendiri. “Oke, pagi semua. Jadi saya sama Hendra, sudah minta tolong ke ketua tim masing-masing untuk memilih dua anggota terbaik dari tim mereka untuk bergabung ke projek yang akan saya kasih.” Setelah memastikan ketegangan mereda, Ardi mulai memimpin rapat. Ia menoleh ke arah Hendra yang memberi isyarat agar ia saja yang menjelaskan semua. “Saya mau kalian jadi tim inti yang mengurus pernikahan adik-adik kami.” Permintaan itu bukan hanya membuat mereka merasa bangga karena terpilih dalam projek penting dari dua atasan mereka, namun membawa keterkejutan pula. Siapapun tau siapa adik dari Hendra, Mario Hadinata, artis papan atas ibukota yang telah berhasil masuk ke dunia hollywood. Bukan sekedar masuk, melainkan bermain di beberapa film terkenal mancanegara. Tidak ada yang tau kisah cinta sang aktor, jelas informasi barusan bagaikan rahasia negara yang baru saja dibocorkan. “Kok lo nggak bilang, kalau Mario punya pacar?” bisik Dini kepada Fian, sembari menutupi mulut dengan buku catatannya sendiri. “Di akun julid emang nggak ada rumor soal pacar dia. Makanya gue kaget,” balas Fian tak ingin disalahkan. “Tapi ya, emang Pak Ardi punya adek?” Ardi selalu terang-terangan kepada siapapun mengenai latar belakangnya. Itulah mengapa, karyawannya juga tau kalau ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu di sebuah panti asuhan di Bandung. Mendengar kata ‘adik-adik kami’ dari mulutnya jelas terasa janggal. “Saya punya adik kok, memang bukan kandung. Tapi hubungan kami sama kuatnya seperti saudara kandung lainnya.” Seolah sudah tau pertanyaan macam apa yang muncul di kepala para karyawannya, Ardi berinisiatif menjelaskan. “Adik saya itu akhirnya mau nikah sama adiknya Hendra.” “Iya, jadi adik saya tuh bukannya nggak pernah pacaran. Cuman emang lagi ngejar satu cewek aja, untung akhirnya beneran nikah mereka.” Hendra tanpa ragu mengungkapkan kisah cinta sang adik yang jelas merupakan rahasia besar. “Makanya kami ambil orang-orang terbaik di Sweet Moments untuk bantu mempersiapkan pernikahan mereka. Jadi tolong kerjasamanya ya.” Baik Ardi maupun Hendra kini menatap semua orang di dalam ruang rapat, dengan pandangan penuh permohonan. Sesuatu yang dibalas anggukan pasti oleh setiap karyawannya. “Oh iya, kita mau segala persiapannya dirahasiakan sampai hari-h. Jadi jangan sampai bocor oke? Saya bisa percaya kan?” “Tenang aja, Bang. Mereka yang kami pilih, memang mereka yang pernah terlibat di projek yang private dari pihak media.” Erwin menyakinkan sang atasan, yang kini mengangguk puas. Ucapan Erwin membuat Dini mengedarkan pandang, mengamati setiap orang yang berada di dalam ruang rapat. Benar juga, kalau diperhatikan yang dipanggil hanya mereka yang berpengalaman menangani projek dari klien penting. Seperti dia dan Fian yang pernah mengurusi pernikahan tertutup yang diselenggarakan oleh salah satu anak gubernur terkenal yang digadang-gadang akan maju dalam putaran pemilihan presiden tahun depan. “Baik, kalau gitu kita mulai rapatnya sekarang.” *** “Jadi intinya, pernikahan kali ini semuanya kita yang nyari ya?” Pukul 7 malam, orang-orang yang tersisa di kantor hanyalah mereka yang tergabung dalam tim rahasia negara. Hendra sendiri yang memberikan nama tim tersebut, sebab menurutnya pernikahan sang adik memang akan menjadi rahasia negara minimal sampai saat mereka menyebarkan undangan. Sampai saat itu, segala pemberitaan mengenai persiapan pernikahan harus diminimalisir sekecil mungkin layaknya rahasia negara. “Kayaknya sih gitu, Pak Hendra sempat ngasih tau kalau ini all-in.” “Memangnya keluarga Pak Hendra nggak punya vendor yang udah terpercaya?” Cintya menyahut disela-sela kegiatannya membuka kuaci. “Beda dari Pak Ardi, Pak Hendra kan aslinya old money gitu. Keluarganya yang punya bisnis retail besar di Indonesia itu kan? Biasanya yang kayak gitu udah punya vendor terpercaya masing-masing nggak sih?” “Memang punya, tapi kalau buat acara semacam ini biasanya keluarga Pak Hendra akan ikutin semua kemauan yang punya acara.” Anggi, sekretaris Pak Hendra yang malam ini ikut bergabung mulai bercerita. “Soalnya pas nikahan beliau juga gitu, kecuali kalau Pak Hendra minta rekomendasi ke keluarganya.” “Kalian beruntung, kali ini yang dikerahin banyak.” Erwin dari meja pantri sebelah menyahut, mengambil potongan lain pizza di atas meja. “Jamannya Pak Hendra yang ngerjain cuman kita para ketua tim termasuk ketua tim divisi musik, makanya waktu itu Sweet Moments nggak terima klien sementara waktu.” “Wah, beneran sibuk banget sih waktu itu.” Panji tertawa kecil, mengingat seberapa repotnya ia dan yang lain ketika pernikahan Hendra. “Tapi gara-gara pernikahan beliau juga, klien wedding kita mulai banyak dari orang-orang penting. Memang koneksi Pak Hendra nggak main-main deh.” “Tapi kalian ada yang tau adiknya Pak Ardi yang dimaksud nggak sih?” Pertanyaan itu datang dari Dini, yang sibuk memilah referensi tema pernikahan bersama Fian. Keduanya memang bertugas menjadi orang pertama yang melakukan rapat dengan klien mereka. Bertugas mencari tema yang sesuai dan menyocokkan preferensi dari kedua mempelai. Pertanyaan itu jelas bukan ditanyakan hanya karena ia kepo siapa yang berhasil menaklukan hati sang artis favorit ibukota. Melainkan mencoba mengenal lebih jauh kedua pihak mempelai, agar bisa memperkirakan hal-hal seperti apa saja yang akan disukai. Kasarnya, mengeliminasi kemungkinan tema yang jelas tidak akan dipertimbangkan klien mereka. “Memangnya Mbak Seli nggak sempet ngasih tau siapa adiknya?” “Mbak Seli tadi pulang duluan karena anaknya sakit, jadi kita nggak ada yang sempat nanya,” jelas Dini menghela napas menatap tumpukan ordner miliknya dan Fian. Mereka menjadi satu-satunya orang yang memilih duduk di lantai pantri dengan lembaran kertas berserakan dimana-mana, mencoba memilah-milah tema seperti apa yang akan mereka sarankan di pertemuan besok. Tak seperti Dini yang nampak bingung memutuskan, Fian terlihat tenang. Menatap kumpulan tema itu dengan sepotong pizza di tangan kanan, sudah menyisihkan beberapa tema miliknya yang akan ia ajukan nanti. Walau berada di tim yang sama, siapapun tau kalau Dini dan Fian selalu memiliki cara berbeda ketika berhadapan dengan klien. Fian lebih sering memberikan tema-tema yang sedang tren di kalangan masyarakat, sementara Dini akan menyarankan tema yang sesuai dengan keinginan dan kepribadian para klien. Itulah mengapa biasanya di tim dua, Fian akan menjadi orang pertama yang melakukan pertemuan dengan klien lantas mencoba menyocokkan dengan beberapa preferensi yang telah ada sebelum Dini melanjutkan untuk penambahan detail-detail yang lebih menarik yang kerap luput dari pengamatan klien. Membuat klien tidak merasa ada yang kurang sejak awal tema pernikahan ditentukan. “Gue nggak tau ini akan membantu atau nggak,” gumam Panji yang akhirnya bersuara setelah sedaritadi diam karena mendiskusikan sesuatu dengan anggota tim yang lain. “Cuman pak bos bilang, adik-adiknya mau pernikahan mereka tertutup dan bisa membuat mereka lebih dekat sama tamu yang ada.” “Garden party?” usul Fian, menarik lembaran tema berisikan garden party yang pernah ia dan Dini buat. “Kalau klien mau tema pernikahan yang bisa buat mereka lebih dekat dengan tamu, garden party emang pilihan bagus.” Dini menyetujui Fian untuk memasukkan lembaran tema itu ke dalam satu ordner yang akan mereka bawa untuk rapat besok. Sang puan terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menarik beberapa lembar tema yang sangat berbeda. “Kok itu dipilih?” “Jaga-jaga aja.” *** “Mbak Dini, klien mbak udah datang.” Pemberitahuan dari orang front office, membuat Dini tanpa sadar jadi menahan napas karena gugup. Sedikit tergagap ia meminta kliennya itu diantarkan ke ruang rapat satu, buru-buru membenahi penampilannya. Fian yang menyadari kehebohan sang rekan, jadi melirik lewat bagian atas bilik yang memisahkan mereka. Tanpa bersuara Dini memberi tahu bahwa klien penting mereka telah datang. Buru-buru Dini melepas bando yang ia kenakan, dan mengikat rambutnya menjadi satu. Segera mengganti sandal santainya dengan sepatu flat, sebelum meraih ordner dan catatan yang ia ambil kemarin. Berjalan bersisian dengan Fian menuju ruang rapat. “Semangat, gue percaya sama kalian.” Kalimat penyemangat itu diberikan oleh Panji yang tersenyum kecil, sembari menepuk pundak anggota timnya yang nampak tegang. “Jangan tegang guys, nanti malah kebelet di tengah rapat.” “Doain yang bener apa, bro!” protes Fian memasang ekspresi setengah kesal kepada sang ketua tim yang hanya tertawa. Ketika Dini dan Fian masuk ke dalam ruangan, mereka langsung mendapati dua orang yang telah duduk di kursi rapat. Orang front office nampak menawarkan kudapan dan minuman yang akan menemani mereka selama diskusi. Dini sesaat terdiam, menyadari bahwa perempuan yang mendampingi Mario adalah perempuan yang ia lihat dua hari lalu. Perempuan yang sama dengan perempuan di salah satu album foto milik sang ibu. Ah, jadi dia adik Ardi yang dimaksud itu. “Pagi, salam kenal saya Fian.” Fian menjadi orang pertama yang memperkenalkan diri, menjabat tangan kedua kliennya sembari menyunggingkan senyum. “Ini Dini, kita berdua yang akan rapat pertama soal tema pernikahan.” “Salam kenal, saya Dini.” “Saya Mario, dan ini calon istri saya Tamara.” Mario memperkenalkan perempuan di sampingnya dengan senyum lebar tersungging. Nampak sekali sangat bahagia karena berhasil meminang sang puan yang hanya tersenyum malu-malu. “Mohon bantuannya ya Mas, Mbak.” “Baik, apa sudah ada gambaran mau seperti apa acaranya?” Baik Mario ataupun Tamara saling berpandangan, sebelum akhirnya sama-sama menggeleng. “Kita beneran nggak punya ide, Mas” Biasanya para calon pengantin yang tidak memiliki ide seperti apa pernikahan mereka, berasal dari pasangan yang dijodohkan oleh orang tua dan baru mengenal satu sama lain. Itulah mengapa mengetahui kalau kliennya ini sudah bersama sejak lama, membuat Dini dan Fian tak menyangka bahwa mereka tak memiliki gambaran sama sekali perihal acara yang akan dibuat. “Sebenarnya Mas, kita tuh aslinya mau nikah di KUA aja sih. Cuman, dengan kondisi sosial kita kayaknya nggak mungkin.” Dini paham betul maksud Tamara. Artis papan atas sekelas Mario tak mungkin menyelenggarakan pernikahan hanya dengan akad di KUA. Pernikahan bukan hanya menjadi ajang untuk meresmikan hubungan mereka, namun juga memperkuat citra keduanya di kehidupan sosial. “Tapi kita mau pernikahan nanti suasananya lebih intim? Jadi kalau bisa temanya itu yang buat kami bisa berinteraksi dengan tamu undangan lain. Saya nggak mau merasa asing di acara sendiri.” “Pak bos juga bilang begitu sih, jadi kita udah nyiapin beberapa pilihan.” Fian mulai membuka ordner yang dibawanya, memperlihatkan beberapa tema yang sekiranya sesuai dengan keinginan calon pengantin. “Jadi saya sempat berpikir sepertinya tema garden party sangat cocok-“ “Nggak bisa, Mas,” potong Mario langsung menolak tema yang ditunjukkan Fian padanya. “Sepertinya kakak-kakak kami lupa bilang, Tamara alergi bunga.” Fakta baru yang sukses membuat dua wedding planner tersebut terdiam. Bagaimana tidak, hampir semua tema yang mereka pilah berhubungan dengan bunga. Mulai dari dekorasi, tempat, dan pernak-pernik. Bunga selalu identik dengan pernikahan, itulah mengapa mereka tak menyangka hal krusial seperti itu harus ditanggalkan dalam proyek mereka kali ini. Sadar bahwa Fian langsung bingung, Dini segera mengambil alih. “Saya dan Mas Fian sepertinya melupakan hal penting dari pertemuan kita kali ini.” Ordner tersebut segera Dini tutup, lantas dia menatap kedua kliennya dengan tenang. “Bagaimana kalau kalian menceritakan tentang diri masing-masing, dan bagaimana kalian bisa memutuskan untuk maju ke jenjang pernikahan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD