Enam

1368 Words
Tepat ketika Tamara dan Mario kemari menyambangi Sweet Moments, seluruh anggota tim rahasia negara dibuat harap-harap cemas. Bahkan ketiga ketua tim, tidak bisa duduk diam di kursi mereka masing-masing. Panji sesekali memutar kursi ke arah ruang rapat, lantas melirik jam. Lia sengaja berlama-lama menggunakan mesin fotocopy yang berada tepat di samping ruang rapat, berharap bisa mencuri dengar apa yang terjadi di dalam ruangan. Sementara Erwin, berulang kali bolak-balik dari kursi ke pantri dengan alasan mengambil minum. Padahal siapapun tau, kalau tumblr kaca yang dipegangnya masih penuh oleh air putih. “Masih belum selesai juga?” Axel yang baru saja selesai rapat di ruangan berbeda, tidak tahan untuk tidak berkomentar. Secara semua orang di divisi wedding sibuk menatap ke arah ruang rapat. Ekspresi mereka jelas sekali menunjukkan kegelisahan. Sebagai seseorang yang tidak terlibat sedikit dalam acara besar yang akan diselenggarakan dua big boss mereka, pria itu tak bisa menampik dirinya ikut penasaran apa hasil dari rapat kedua dengan pasangan calon pengantin. Suara pintu yang terbuka, membuat seluruh orang dari divisi wedding berbalik badan. Pura-pura kembali fokus pada layar komputer masing-masing. Sebuah pemandangan yang jelas memancing tawa bagi Axel. Pria itu bergegas kembali ke mejanya, sembari menutup mulut. Menyembunyikan tawanya yang hampir terdengar. “Sekali lagi terima kasih atas bantuannya ya Mbak Dini dan Mas Fian. Kami sangat menantikan pertemuan berikutnya,” ujar Mario sembari merangkul pinggang Tamara, berjalan menuju lift. “Kami benar-benar minta maaf karena sudah membuat semuanya kerepotan.” “Nggak masalah, ini sudah menjadi kewajiban kami untuk bisa menemukan solusi dari kebingungan para klien.” Fian tersenyum kecil, lantas membuka kembali buku catatannya. “Berarti pertemuan berikutnya, dua minggu dari sekarang ya Mas Mario dan Mbak Tamara. Hasil dari diskusi kita nanti akan terus kami update. Mungkin setelah ini saya dan Dini akan membentuk grup chat dengan anggota tim lainnya. Jadi jangan kaget ya kalau pas pulang tiba-tiba dimasukkin ke grup tidak dikenal.” Suara tawa renyah terdengar dari Mario yang mengangguk paham, bersamaan dengan pintu lift terbuka lebar. Untuk kali terakhir kembali berpamitan. “Sekali lagi terima kasih banyak, saya titip salam buat kakak-kakak saya ya.” Setelah berucap seperti itu, pasangan tersebut bergegas masuk ke dalam lift. Baik Dini maupun Fian sama-sama mempertahankan senyuman mereka. Senyum lebar itu terus tertahan bahkan beberapa detik setelah pintu lift tertutup. Membuat rekan kerja mereka yang lain mulai merasa khawatir, sebab keduanya bak seseorang menjelma menjadi patung. “Mmm, Fian, Di-“ “DINI!” “MAS FIAN!!!” Secara mengejutkan baik Dini maupun Fian sama-sama berteriak nyaring. Langsung bertos ria sembari berjingkrak-jingkrak. Benar-benar bersikap selayaknya anak kecil yang baru saja memenangkan perlombaan remeh temeh. Kini dengan penuh percaya diri Dini dan Fian menghampiri teman satu tim mereka sembari mengangkat tinggi buku catatan dan beberapa lembar kertas di tangan. Seolah-olah sedang mengangkat benda keramat. “TEMA APPROVED! LET’S GO KITA RAPAT!” *** Hampir seluruh pekerja di Sweet Moments tau bahwa Ardi selalu menyempatkan diri untuk kembali ke kantor meski seharian sibuk rapat di luar. Seperti saat ini, jam sudah menunjukkan jam 10 malam ketika pria itu tiba di sebuah gedung perkantoran di mana perusahaannya berada. Dirinya sempat berpapasan dengan beberapa orang di lobi, sebelum berjalan menuju lift. Bergegas menuju lantai dimana kantornya berada lantas menghela napas, kembali teringat bahwa Seli sempat mengingatkannya ada beberapa berkas yang harus dirinya periksa dan tanda tangani. Ketika pintu lift terbuka, Ardi tidak terlalu terkejut akan fakta kebanyakan lampu sudah padam. Bahkan lampu di lorong saja sengaja dibuat sedikit redup. Untung saja bertahun-tahun menempati lantai perkantoran ini Ardi belum sama sekali mendengar cerita ‘mistis’ yang dialami para pekerjanya. Kalau ada, ia yakin tidak mungkin para pekerjanya itu dengan kesadaran penuh tetap di kantor hingga semalam ini. Sampai secara tidak sengaja mata Ardi menangkap pemandangan ganjil di depan ruangannya. Mendapati seorang perempuan berambut panjang tertunduk, sembari memegang erat sebuah tas kertas. Kalau yang melihat pemandangan barusan adalah Hendra, ia yakin sekali kalau sahabatnya itu akan menjerit dan lari tunggang langgang meninggalkan kantor. Lantas membombardir Tasya, istrinya, dengan berbagai rengekan soal ia baru saja melihat penampakan makhluk halus. “Dini?” terka Ardi mencoba menebak siapa perempuan yang berdiri dengan cara menyeramkan di depan ruangannya tersebut. Benar saja tebakannya, Dini spontan mendongakkan kepala seraya menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah. Lantas jadi gelagapan sendiri, kala mendapati keberadaan sang bos besar. “Kamu belum pulang?” “Ini-ini saya mau pulang Pak.” Sesaat Dini mengulum bibir, nampak sekali ragu-ragu. Perempuan itu menghela napas lantas menyodorkan sebuah paper bag kecoklatan yang tadi ia pegang. “Saya mau kasih ini buat Bapak, sebagai ungkapan terima kasih udah bantuin saya cari solusi soal tema acara.” “Itu sudah kewajiban saya sebagai atasan buat bantu kamu mencari solusi.” Dini entah kenapa jadi panik sendiri mendengar jawaban bosnya. Namun ketika dirinya mengira pemberiannya akan ditolak, secara tidak diduga Ardi justru mengambil alih paper bag tersebut. Sempat mengernyit sedikit, kala mendapati benda yang ada di dalamnya masih terasa hangat. “ Ini apa? Kok anget gitu?” “Kata Mbak Seli, Bapak belum sempat makan seharian ini. Jadi saya pikir mau beliin bapak makanan buat ganjel perut.” Terlihat sekali Dini sedang bertengkar dengan isi pikirannya sendiri perihal pantas atau tidak memberikan makanan yang ia bawa kepada sang atasan. Jadi dengan suara pelan dan dipenuhi ragu, ia kembali berucap. “Akhirnya saya beliin bapak bakpau.” Hening. Ardi tidak mengatakan apa-apa, bersamaan dengan Dini yang semakin menunduk dalam. “Maaf pak, tadinya saya mau beliin kue atau roti tapi tokonya udah tutup semua. Jadi saya cuman kepikiran bakpau yang suka mangkal di depan kantor kita pas malam.” Untuk kesekian kali Dini merutuki dirinya. Baru saja membongkar bahwa bakpau yang ia berikan adalah jajanan pinggir jalan. Jelas bukan sebuah benda yang bisa terbilang pantas untuk diberikan kepada atasan apalagi sebagai bentuk terima kasih. Memang seharusnya tadi Dini tidak menuruti pemikiran impulsifnya dan menunggu sampai besok saja jika memang ingin memberikan sesuatu. Setidaknya dia bisa memberikan sesuatu yang lebih baik daripada beberapa bakpau hangat. Dini mengernyitkan dahi, kala suara tawa tertahan perlahan terdengar. Ia mendongak, mendapati Ardi menunduk sembari menutup mulutnya. Menyembunyikan tawa, sebuah pemandangan langka dari bosnya yang terkenal jarang menunjukkan beragam ekspresi tidak seperti bosnya yang satu lagi. Sayang sekali, pemandangan tersebut tidak bisa dilihat begitu jelas oleh Dini. “Terima kasih ya bakpaunya. Kebetulan saya memang lagi lapar,” ujar Ardi sembari berjalan maju dan membuka pintu. Ia lantas menoleh ke arah Dini. “Hati-hati pulangnya ya Dini.” “Iya pak, selamat malam.” *** “Kenapa kamu senyum-senyum gitu?” Mario yang sedang dalam perjalanan mengantarkan Tamara kembali ke apartemennya setelah menghabiskan shift sorenya yang melebihi jadwal. Tunangannya yang beberapa menit lalu mengeluh kelelahan, kini sedang senyum-senyum sendiri sambil mengetikkan sesuatu di ponsel. Perempuan berambut panjang itu, kini menatap Mario sembari tersenyum lebar. “Kamu tau nggak sih kalau Mas Ardi tuh naksir salah satu pekerjannya?” “Oh ya? Kok aku baru tau? Jangan bilang Kak Hendra nggak tau soal ini?” tanya Mario balik, sedikit terkejut bahwa calon kakak iparnya satu itu sedang menyukai seseorang. Secara selama ini yang ia tau ‘kakak’ Tamara satu itu adalah tipikal orang gila kerja dan tidak tertarik menjalin hubungan dnegan siapapun. “Ngaco, udah pasti Kak Hendra taulah. Cuman sengaja di diemin aja.” Tamara lantas menunjukkan sekilas isi percakapannya dengan Ardi. “Lihat dia baru aja cerita dikasih bakpau buat ucapan terimakasih. Aku yakin itu dia makannya sambil senyum-senyum sendiri.” “Nggak mungkin Mas Ardi begitu, Sayang.” “Ih, kamu tuh nggak tau kalau Mas Ardi lagi jatuh cinta kayak gimana!” ujar Tamara sembari tertawa geli. “Oh ya karena kita udah pernah ketemu, gimana kalau sekalian kita jodoh-jodohin mereka aja biar Mas Ardi bisa gerak buat deketin?” Kini Mario mengernyitkan dahi, sedikit tidak mengerti kalimat Tamara barusan. “Pernah ketemu? Emang siapa?” “Loh itu si Mbak Dini.” Mendapati ekspresi terkejut Mario, sang puan mengernyitkan dahi bingung. “Kenapa Yo? Kok kamu kayak kaget gitu.” “Kamu belum dikasih tau sama Mas atau Kakak?” Kini perlahan Mario menghentikan laju mobilnya, berhenti di bahu jalan. Merasa tidak tepat jika mereka membicarakan topik ini sembari berkendara. “Mbak Dini itu anaknya Bu Ratih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD