2. Pangeran Gula Jawa

1510 Words
Bagi Ariano Mahesa Kusmawan Hartadi, keramaian tidak pernah menjadi tempatnya. Salah satunya adalah pesta—dalam bentuk apapun. Termasuk pesta perkawinan beradat Jawa kental namun bergelimang kemewahan yang tengah ia hadiri di salah satu hotel termewah di Solo saat ini. Lelaki berkacamata itu lebih memilih duduk berdiam diri dengan gelas minuman di tangannya tanpa menyimak obrolan yang tengah dilakukan orang-orang di mejanya. "Aduh, Mbak Asmarini ini loh hebat sekali. Meski single parents, ditinggal janda sejak muda tapi bisa sukses menjalankan bisnis sendirian sekaligus membesarkan anak-anaknya hingga menjadi sukses seperti sekarang." Ariano menyesap gelas minumannya. Sejak tadi percakapan ibu-ibu yang duduk melingkar satu meja dengannya memang berfokus pada topik tentang seberapa sukses seorang Asmarini Pramusita Hartadi. Wanita berkepala lima yang ada di balik perusahaan jamu nomor satu di Indonesia, yang pasarnya bahkan kini sudah mencapai ke mancanegara. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibu kandungnya sendiri. "Aku tuh salut banget Mbak, kalau aku jadi Mbak Asmarini, ditinggal meninggal pas anak-anakku masih kecil mungkin hidupku hancur yang ada. Tapi Mbak malah bisa bertahan dan justru lebih sukses dari sebelumnya." Kini giliran seorang Ibu-ibu berkebaya brukat dengan warna merah mencolok dan sanggul sebesar bola rugby memulai sesi memujinya. "Opo toh Mbak, rahasia bisa sukses berbisnis dan punya anak-anak pintar juga sukses seperti Mbak. Anakku tuh ya, cuma dapet beasiswa S2 hukum di Yale padahal Papanya sudah siapkan tempat untuk dia urus perusahaan saja tapi anaknya masih betah cari ilmu. Padahal sudah aku bilang dia perempuan, sekolah nggak usah tinggi-tinggi nanti juga bakal menikah dan ikut suami." "Oh, ya? Anak keduamu itu, kan? Siapa namanya?" "Lestari, Mbak." Ibu berkebaya merah itu menyodorkan ponselnya ke arah Asmarini, memperlihatkan sebuah foto seorang gadis yang mengenakan sebuah toga. "Cumlaude loh dia Mbak lulus S1nya kemarin." "Ayunya, pintar lagi." Asmarini melirik ke arah putranya yang berpura-pura tidak mendengarkan percakapan antara ibunya dan ibu-ibu berkebaya merah tersebut. Merasa tidak digubris, Asmarini secara terang-terangan menepuk lengan putranya dan menyodorkan langsung foto tersebut ke arahnya. "Cantik ya, Mas?" Ariano menghela napas, namun demi tata krama dan norma kesopanan yang sudah ditanamkan oleh Ibunya sejak kecil, Ariano mengulas senyum sopan sebagaimana mestinya. "Cantik, Bu." Ariano tidak berbohong soal pujiannya, meski hanya melirik sekilas foto gadis itu, Ariano dapat langsung menangkap paras ayu gadis itu. Tetapi ya hanya sebatas itu. Tidak ada ketertarikan lain. Penasaranpun tidak. "Kalau dikenalkan—" "Bu." Ariano menegur sang Ibu secara halus. Gelengan samar Ariano membuat Asmarini langsung berdecak. Selalu seperti ini. Wanita yang hari itu mengenakan atasan berwarna hijau zambrud itu akhirnya hanya bisa mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya dengan sebuah senyuman meminta maaf. Malam itu, ia gagal lagi menemukan calon yang tepat untuk anak laki-laki semata wayangnya tersebut. *** "Mas, mau sampai kapan kamu menolak dikenalkan dengan anak-anak teman Ibu?" Asmarini membuka pembicaraan begitu mobil yang mereka tumpangi perlahan meninggalkan gedung hotel tempat resepsi pernikahan tersebut berlangsung. "Ibu sudah bebaskan kamu untuk melepas perusahaan kita dan lebih memilih bekerja di perusahaan orang lain, tetapi sesuai janji kamu untuk urusan jodoh kamu biarkan ibu yang atur." "Ibu, jodoh itu adanya di tangan Tuhan." "Ariano!" Ariano tersenyum, ia meraih tangan sang ibunda yang mulai dihiasi keriput samar menandakan usianya tidak lagi muda. Meski secara penampilan Ibunya masih sangat terlihat cantik dan segar terlebih karena Ibunya memang selalu menggunakan rias wajah dan rambut yang tergelung rapi, tetapi garis-garis usia itu tidak bisa dibohongi. "Ibuku yang cantik, Ibu tahu sendiri pekerjaanku sedang sibuk-sibuknya. Aku ndak punya waktu untuk kencan, aku takut nantinya malah mengecewakan calon-calon yang Ibu kenalkan, nanti Ibu juga yang ikut tidak enak sama orang tua mereka." Ariano mengelus lembut tangan sang Ibu dan mengecup punggung tangannya. "Ariano pasti akan menikah, tapi bukan sekarang. Nanti kalau pekerjaanku sudah senggang, aku janji akan menerima dikenalkan dengan siapapun pilihan Ibu." Asmarini menghela napas. "Terserah kamu lah, Mas. Kamu sih kenapa susah payah kerja dan ngurusin perusahaan orang lain, sementara perusahaan Ibumu sendiri kamu ndak mau pegang." Anak laki-lakinya ini memang selalu paling bisa mengelak dari rencana perjodohan yang ia susun. Kendati demikian, Asmarini selalu luluh jika anaknya itu sudah membujuknya dengan sejuta alasan. "Kan sudah ada suaminya Mbak Anindya yang pegang. Lagipula Mas Bagus itu juga kompeten kok, bahkan perusahaan Ibu semakin berkembang pesat kan di tangannya." Ariano lalu menatap wajah Ibunya dalam penerangan minim di dalam mobil sebelum melanjutkan, "Mbak Anindya juga berbakat di bisnis lho, Bu. Ibu bisa minta Mbak Anindya bantu urus." "Bagus kan hanya menantu Ibu, tidak sedarah. Dan Anindya itu perempuan, kodratnya itu ya di rumah saja mengurus suami dan anaknya. Cukup Ibu saja yang melanggar kodrat itu dulu, tidak ada lagi Hartadi yang boleh hidup tidak mengikuti aturan." Pernyataan final dari Asmarini menutup obrolan mereka malam itu. Terlebih lagi, mereka sudah hampir tiba di tujuan yaitu kediaman keluarga Hartadi. "Pak Dahlan, nanti habis drop Ibu, tolong antarkan saya langsung ke bandara ya." "Lho kamu mau kemana, Mas?" Asmarini menatap anaknya bingung. "Kamu nggak nginep lagi?" "Aku harus balik ke Jakarta malam ini Bu, besok pagi ada meeting." "Kalau kamu kerja di perusahaan Ibu, ndak bakal kamu dipaksa bolak-balik begini." Here we go again. Ariano nyaris memutar bola matanya, tetapi akal sehatnya berhasil menahan tindakan tidak sopan tersebut sebelum sempat terlaksana. "Iya, Bu." "Kamu tuh katanya bos di perusahaan itu, masa ndak bisa jadwal meetingnya yang menyesuaikan jadwalmu bukan sebaliknya." "Bu, nanti kita bicarain ini lagi lain waktu ya? Penerbanganku satu setengah jam lagi, aku takut telat." Asmarini tidak lagi bersuara ketika Ariano melayangkan kecupan di kedua pipinya dan memberinya pelukan erat. "Sampai ketemu lagi ya, Bu. Salam untuk Mbak Anindya dan Mas Bagus." Lalu Ariano menyalimi tangan sang Ibu yang masih berekspresi muram. *** Ariano menatap boarding pass di tangannya, penerbangannya masih empat jam lagi ketika ia tiba di Bandar Udara Adi Soemarmo. Ya, Ariano berbohong kepada Ibunya perihal keberangkatannya. Jadwal meetingnya pun baru dilaksanakan seusai makan siang besok dan saat ini jam baru menunjukkan sebelas lewat dua puluh. Masih ada banyak waktu dan sebetulnya, Ariano bahkan tidak perlu terburu-buru pergi. Meski dalam hati merasa bersalah telah membohongi sang Ibu, Ariano tidak menyesal dengan keputusannya. Lebih baik ia menyendiri duduk merenung di salah satu kursi kosong coffee shop ketimbang mendengarkan ocehan Ibunya tentang jodoh. Ariano tidak berbohong soal pekerjaannya yang sedang sibuk. Sebagai salah satu executive muda di sebuah perusahaan multinasional bernama Life Care yang memproduksi produk pembersih dan perawatan tubuh nomor satu di dunia, Ariano punya banyak sekali tanggung jawab. Terlebih ia mengepalai bagian personalia yang mana tugas utamanya adalah pengelolaan seluruh karyawan di dalam perusahaan yang jumlahnya lebih dari lima ratus kepala. Meski kantor mereka adalah kantor cabang, skala perusahaan mereka termasuk yang terbesar di Asia Tenggara. Salah satu alasannya, karena pemilik perusahaan yang berkantor pusat di Manhattan New York, Amerika Serikat tersebut merupakan seorang warga Amerika yang menikah dengan seorang wanita Indonesia. Ariano melepas kacamata berlensa tebal yang selalu setia bertengger di hidungnya sejak ia sekolah menengah. Yang juga selalu menjadi bahan ledekan sahabatnya, Jayler, si cassanova kelas kakap yang selalu berpakaian modis dan mengikuti tren masa kini. Memanfaatkan uangnya yang tidak akan habis meski sering ia hamburkan untuk urusan tidak bermanfaat seperti terbang ke luar negeri langsung hanya untuk membeli tas Judith Leiber seharga jutaan dollar untuk gadis yang didekatinya. Jelas jauh berbeda dengan dirinya yang sama sekali tidak mengikuti perkembangan fashion. Buta bisa dikatakan. Baginya semua kemeja sama saja, kalaupun harganya berbeda itu hanya karena brand yang menyertainya, fungsinya tetap sama-sama sebagai pakaian sehingga kedudukannya tidak perlu dibedakan. Giorgio Armani siap menamparnya bolak-balik jika mendengar produk buatannya disamakan dengan kemeja yang dibeli di department store sekelas SOGO atau METRO. Kata-kata semacam nerd, cupu, culun sampai ndeso mungkin sudah tidak asing disandingkan dengannya. Meski kata-kata itu kebanyakan dilontarkan dari mulut kurang ajar sahabatnya sendiri secara langsung, tetapi Ariano tahu ada banyak yang mengatakan hal yang sama tentang dirinya di belakang. Ariano tidak peduli, dia hanya mengenakan hal yang membuatnya nyaman lagipula pakaiannya sopan dan sesuai standar yang semestinya. Gaya berpakaiannya tidak akan mempengaruhi kualitas dan kinerjanya sebagai seorang direktur personalia, case closed. Ariano menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sambil menyesap pelan hot americanonya lalu berdiri untuk memesan croissant sebagai pengganjal perut karena dirinya tidak benar-benar menikmati makanan di pesta tadi. Tetapi kemudian ia menangkap suara berbisik dari kursi di belakangnya ketika ia kembali ke meja. Kursi itu diisi tiga orang gadis yang mungkin usianya baru di awal dua puluhan. Meski berbisik, tetapi Ariano masih bisa menangkapnya dengan jelas karena sepertinya ketiga gadis itu tidak betul-betul niat untuk merahasiakan obrolan mereka. "Gila mas itu manis banget woy pas lepas kacamata, pangling!" "Asli, tadi pas baru dateng culun banget rambutnya, bajunya juga pake kemeja batik kayak bapak-bapak dan kacamatanya tebel banget! Eh pas lepas, aduh kayak pangeran." "Kulitnya coklat kayak gula jawa tapi senyumannya bahkan lebih manis dari gula jawa. Uh panggilannya jadi pangeran gula jawa!" Ariano menggeleng pelan, lalu merapikan barang bawaannya sebelum beranjak pergi dari situ termasuk mengenakan kembali kacamata bulat berlensa tebalnya. Tatapannya tidak sengaja beradu dengan salah satu gadis tersebut yang seketika menegang di tempatnya. Ariano menganggukkan kepala dan tersenyum sebelum meninggalkan coffee shop dan tiga orang gadis yang tanpa sadar tengah menahan napasnya. "Pangeran gula jawa? Ada-ada aja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD