Enambelas

1115 Words
Bukan kemewahan yang akan membuatmu bahagia Tapi kesederhanaan Yang akan membuatmu tampak istimewa [] ♥♥♥♥♥ “Masih capek Chi?” tanya Arham ketika melihat sang istri berbaring diatas karpet yang mengisi ruang keluarga kecil mereka. Achi hanya menganggukkan kepalanya, tak sanggup menjawab lebih. Bayangkan saja, baru dua hari mereka pindah ke rumah yang diberikan orangtua Achi dan saat ini mereka masih dalam tahap berbenah. Pesta pernikahan mereka sudah berlangsung seminggu yang lalu dirumah orangtua Achi. Tamu undangan cukup banyak yang hadir, Achi mengundang beberapa teman sekolahnya, begitupun untuk teman kuliah, ia sudah memberi kabar pada mereka, namun tidak semua dapat hadir. Ia tahu mereka pasti masih disibukkan dengan persiapan pulang ke kampung halaman, maklum sudah libur semester. Teman-teman seperjuangan saat PPL pun tak luput diberi undangan, maka semakin ramailah pesta saat itu. Sementara Arham, ia tidak memberitahu teman kampusnya, termasuk teman-teman sekelasnya. Hanya beberapa orang saja yang dikabarkannya, itupun melalui SMS. Teman-teman sesama aktifisnya pun hanya beberapa saja yang mendapat kabar. Berhubung ia dan Achi berasal dari daerah yang berbeda, teman sekolahnya pun tidak sempat dikabarkannya, hanya empat orang sahabatnya saja yang mendapat undangan pesta pernikahannya. Arham memang sedikit tertutup. “Akhirnya ya Am, beneran ente yang duluan nikah ya,” ujar Saiful, salah satu sahabatnya kala mereka duduk berkumpul setelah tamu undangan mulai berpulangan. “Buruan nyusul ente, Ful. Apa lagi yang ditunggu.” Arham menanggapi ucapan sang kawan dengan gurauan. Teman-temannya yang lain sibuk memuji kepandaiannya dalam memilih pendamping. “Pande kali memang si Aam ini ah, lepas dari Hafiza, dapat yang top dia. Bagi tipsnya lah Am.” “Yang kayak istrimu masih ada lagi nggak Am. Temennya kenalin ke aku lah, biar ikutan nikah aku ni,” ujar yang satunya. Achi yang sedang duduk bersama teman-temannya pun hanya tertawa. “Limmited edition nih. Makanya, ente jangan hanya nyari yang disekitar kampung aja dong, masih zaman punya gandengan sekampung,” Arham kembali meledek teman-temannya. Arham mendekati sang istri yang tengah terbaring letih, mengelus kepalanya yang masih terbalut jilbab. Hari ini perjuangan mereka luar biasa, setelah kemarin disibukkan dengan aktifitas menyapu dan mengepel rumah, hari ini mereka mulai mendekor ruangan sesuai dengan keinginan mereka. Sebenarnya mama Achi telah mendekor ruangan sebelumnya, namun Achi merasa ada yang kurang pas dari peletakan yang sudah dibuat, jadilah mereka sibuk memindah-mindahkan perabotan lagi. Rumah ini cukup luas untuk dihuni pasangan pengantin baru seperti mereka. Ruang tamu berukuran empat kali lima yang kini diisi dengan sofa hijau lumut yang dibentuk menjadi huruf U dengan meja kecil diletakkan di tengahnya, lalu sebuah lemari kecil di sudut ruangan yang masih belum diisi apapun. Kemudian ruang keluarga yang hanya diisi dengan sebuah rak kaca lapis empat untuk tempat meletakkan TV mungil mereka yang berukuran 21 inch hadiah dari rekan bisnis sang papa dan sebuah karpet untuk duduk selonjoran. Tadinya sang mama meletakkan kursi malas disana, namun Achi lebih suka menonton TV selonjoran di lantai dan idenya disambut antusias oleh Arham, mereka sama-sama pencinta kesederhanaan. Lalu kamar tidur utama yang berukuran lima kali enam yang diisi dengan sebuah spring bed berukuran king size dengan meja kecil di kiri dan kanannya. Kemudian sebuah meja rias berwarna cream yang diletakkan di samping lemari baju tiga pintu dengan warna senada. Satu kamar tidur tamu yang diisi dengan sebuah spring bed lima kaki dan meja rias dengan lemari kecil disebelahnya. Tepat di sebelah kamar tidur tamu terdapat ruangan untuk mereka melaksanakan shalat. Beralih kebagian belakan rumah ada dapur yang diisi dengan sebuah meja makan mungil berwarna ungu yang diletakkan ditengah-tengah. Tempat memasak yang tak jauh dari tempat untuk mencuci piring. Sebuah kitchen set tertempel di dinding tempat memasak dan di dekat pembatas ruangan berdiri kulkas dua pintu berwarna putih serta sebuah dispenser hadiah dari Bayu. Kemudian kamar mandi yang letaknya tak jauh dari tempat untuk mencuci baju. Disana telah bertengger mesin cuci satu tabung yang dihadiahkan Dimas untuk adiknya yang memang tak bisa mencuci pakaian dengan tangannya, bukan alasan iritasi dengan detergen atau semacamnya, tapi Achi pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya patah, jadilah ia tidak bisa lagi memaksimalkan tenaga tangan kirinya. Di depan rumah ada halaman kecil sebelum bertemu dengan pagar yang membatasi rumah dengan jalan. Halaman itu belum diisi apa-apa, Achi dan Arham berencana untuk membeli beberapa macam bunga untuk mengisi halaman kecil mereka agar terlihat lebih asri. Tapi mungkin rencana pengisian halaman akan ditunda sementara berhubung dana yang masih kurang memungkinkan. Maklum lah, Arham hanya seorang guru honorer di dua sekolah swasta, malamnya ia menjadi tentor di dua bimbingan belajar sekaligus. Ia benar-benar harus pandai membagi waktu dan tenaga untuk bisa menjalankan semua kegiatannya. ♥♥♥♥♥ Achi memandangi sang suami yang sedang menyantap makan malamnya. Ini kali pertama ia memasak sendiri, sebelumnya ia hanya sekedar membantu sang mama saja di dapur. Hingga tadi pagi, mereka belum bisa memaksimalkan penggunaan dapur karena masih harus membenahi letak beberapa perabotan, jadilah mereka hanya membeli makanan di warung makan, dan baru ketika malam ia bisa menggunakannya. “Pedas ya Bi?” tanyanya ketika melihat mata sang suami sedikit berair dan keringat membasahi keningnya. “Lumayan. Ini yang masak lagi marah Abi rasa,” ledeknya. Achi menggaruk kepalanya yang terbungkus jilbab. “Abi ah.... Achi kan nggak tahu takaran cabainya, jadi asal masuk aja tadi.” “Belajar lagi nanti ya sayang. Sekarang kamu makan dulu, masak dari tadi ngeliatin Abi mulu. Memangnya yang mau kamu makan itu Abi?” “Hehehe... abisnya Achi takut nggak enak. Jadi dari pada Achi ikutan sakit perut, mending Abi sendiri aja...” “Jadi gitu, nggak mau susah bareng-bareng nih ceritanya? Udah nggak sayang lagi ya?” “Sayang kan nggak harus direalisasikan dengan sakit bareng-bareng, Bi..” Achi menjulurkan lidahnya, mengejek sang suami. Arham mengelus kepala istrinya itu, “Sekarang kamu makan, nih buka mulutnya, aaaaa.....” Arham menyodorkan sendok berisi nasi ke mulut Achi. Achi ragu-ragu menyambutnya, malu. Tapi akhirnya masuk juga suapan itu ke mulutnya. Wajahnya terasa panas. Ini makanan paling nikmat yang pernah ia rasakan selain makan dengan sulangan sang mama, sampai-sampai pedasnya sambal buatannya pun tak dihiraukannya. “Kamu doyan rebusan daun ubi ya?” tanyanya sambil tetap menyulangkan nasi untuk istri tercintanya. “Lumayan, apalagi kalau pakai sambal belacan Bi. Wuih, nikmatnya itu loh...” “Pantesan tadi siang daun ubi di nasi Abi kamu abisin semua.” “Abisnya Abi nggak mau makannya sih, kan mubazir. Kalau Abi doyannya apa?” “Apa aja sih, yang jelas jangan rebusan aja,” “Doyan apa aja ya. Kalau gitu besok Achi masakin tumis rumput sama sambal batu ya. Harus dimakan loh...” Arham mendelik, “Ini ceritanya mau mbunuh atau gimana?” Dicubitnya pipi Achi dengan gemas, yang dicubit malah tertawa renyah. “Abisnya Abi doyan apa aja sih. Kayak omnivora deh jadinya...” ♥♥♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD