Duabelas

2385 Words
"Cinta nggak butuh pengorbanan, Begitu kamu merasa berkorban, Kamu sudah nggak cinta." __Sujiwo Tejo ♥♥♥♥♥ Tak terasa tinggal dua minggu lagi praktek mengajar mereka selesai. Perbedaan-perbedaan yang semakin lama semakin memancing konflik diantara mereka semakin kental terasa. Masing-masing mereka membangun dinding pemisah. Ada beberapa kubu diantara mereka. Ini sebenarnya yang menjadi ke khawatiran beberapa dari mereka, termasuk Achi. Kejadian perginya Cindy dan beberapa temannya ke pantai memicu banyak pertengkaran lainnya. Belum lagi kelakuan mereka yang mulai tidak terkontrol. Pernah beberapa kali tetangga menegur mereka karena melihat Putri dan Cindy pulang terlalu larut, hampir pukul dua belas malam. Memang hampir disetiap malam minggu para penghuni posko tidur diatas jam malam yang telah ditetapkan bersama, yaitu jam sepuluh. Namun mereka yang bergadang selalu berada didalam posko, tidak pernah keluar. Maka dengan terpaksa, Fikri meminta maaf atas perlakuan mereka. Biar bagaimanapun juga, dia ketua di posko itu. ♥♥♥♥♥ Arham masih duduk di luar kelas sambil menunggu gilirannya mengajar. Ia pun membuka buku yang kemarin dihadiahkan oleh mentornya. Panduan menjadi suami yang shaleh. Hari ini di sekolah ia tak dapat berkumpul dengan Achi. Biasanya jam mengajar Achi begitu padat, dan ia pun juga. Istirahat pertama dihabiskannya di luar kelas, malas beranjak menuju ruang guru, toh istirahat cuma lima belas menit, dan sesudahnya ia kembali masuk di kelas itu. Diambilnya ponselnya dari saku celana. Dipandanginya beberapa saat, tidak ada yang berubah. Tidak ada pesan masuk, begitu juga dengan telepon. Biasanya Achi akan mengirimkan pesan jika ia tak melihatnya di ruang guru. Tapi tidak dengan hari ini. Ya sudah, nanti saja istirahat ke dua ditanyakan. Mereka sudah sebulan menikah dan Arham merasa mereka seperti pasangan kekasih pada umumnya, belum ada sesuatu yang spesial. Sudah dua malam ia kembali tidur di rumah sang nenek, penyakit sang kakek kambuh dan bude beserta suami dan anak-anaknya yang tinggal didekat rumah sedang berada di Medan, jadilah ia yang menemani sang nenek untuk menjaga kakek. Tadinya Achi sempat memaksa untuk ikut, tapi Arham melarangnya, dia berencana akan pergi kesekolah agak siang sementara Achi mengajar pagi, ia takut mereka terlambat. Achi ngambek, mendiamkannya. Telepon tidak dijawab, SMS pun tidak dibalas. Frustasi akhirnya ia menelepon mertuanya. “Ahaha..... aduh Aam, Achi itu ya begitu itu. Tukang ngambek. Duh, kamu yang sabar ya nak. Tapi besok pasti udah nggak ngambek lagi, biasanya ngambeknya cuma sehari kok, sebentar doang...” Dan benar saja apa yang dikatakan sang mama mertua, besoknya Achi sudah kembali ceria seperti biasa. Malah Arham yang jadi salah tingkah karena belum pernah berhadapan dengan orang seperti itu sebelumnya. Bel istirahat ke dua ia kembali keruang guru. Matanya berkeliling mencari sosok yang tiba-tiba dirindukannya. Nihil, wanita pujaan hatinya tidak berada diruangan itu. Diletakkannya buku paket kimianya, sejenak melirik ke arah parkiran dan duduk terdiam. Perasaan motornya ada diparkiran deh, nggak mungkin dia nggak datang kan. Seorang siswa masuk keruang guru, mendatangi Rika yang sedang merapihkan buku. “Bu, Miss Arsy dimana? Dicariin sama Sir Roland.” “Loh, apa belum dikabari Pak Fikri? Miss Arsy sakit sayang. Bilang sama Sir Rolandnya ya.” Ujar Rika sambil menepuk pundak siswa itu. Arham yang mendengar ucapan Rika tersentak kaget. Istrinya sakit. “Sakit apa Achi, Ka?” tanyanya ketika siswa tadi sudah keluar ruangan. “Kau nggak tahu Ham? Itu lah kan, kau tinggal aja lah pula si Achi di posko, jadi nggak tahu kau kan istrimu sakit.” “Motornya ada didepannya. Lagian nggak dikabarinya aku. Sakit apa dia?” tanya Arham panik. “Nggak tahu aku.” Rika sengaja tidak memberitahukan apa sakit yang diderita Achi. Selama ini ia menilai Arham merupakan lelaki yang cuek. Lihat saja sekarang, sudah dari tadi tidak melihat kedatangan sang istri, tapi tidak ada niatnya untuk menghubungi si istri. Masa cuma modal ngeliat motor Achi trus dia beranggapan Achi di sekolah. Rika tahu bahwa Arham tidak menghubungi Achi, karena berdasarkan pesan yang dikirimkan Viza tadi, Achi masih tidur dengan menggenggam ponselnya. “Aku ke posko sekarang ya. Siapa disana?” Rika sukses membuat kepanikan Arham menjadi-jadi. “Tadi sih dia sama Viza. Tapi Vii udah masuk ngajar, berarti sendiri lah dia dirumah. Coba tanya Viza aja.” Tanpa merespon ucapan Rika, Arham bergegas membereskan buku-bukunya yang ada diatas meja, dan langsung mencari Viza di kelasnya. ♥♥♥♥♥ “Di kunci dari luar?” tanyanya kaget mengetahui istrinya sendiri di posko dalam keadaan sakit, dan posko dikunci dari luar. “Ya namanya nggak ada orang lagi di posko. Kalo nggak ku kunci tiba-tiba ada yang masuk gimana? Masa nggak belajar dari pengalaman hilangnya ponsel Iren kemarin!” repet Viza. Arham tak memperdulikan lagi Viza yang masih merepet. Diambilnya kunci posko dari tangan gadis itu dan langsung ia bergegas menuju tempat motornya diparkirkan. Lima menit. Hanya butuh waktu lima menit untuknya sampai di depan posko mereka. Beberapa kali tasnya sempat terjatuh, karena buru-burunya ia memarkirkan motornya. Ia langsung bergegas menuju kamar Achi yang berada diatas begitu ia sudah masuk kedalam posko setelah sebelumnya menutup pintu kembali. Dibukanya pintu kamar itu perlahan dan dilihatnya gadisnya itu terbaring lemah dengan kening berkerut. DEG!!! Jantung Arham seakan berhenti berdetak. Gadisnya tidak mengenakan kerudung. Keringat tampak membasahi keningnya yang berkerut itu. Perlahan ia mendekat ke arah kasur tempat sang gadis berbaring. Ia duduk tepat disampingnya. Dipandanginya wajah itu, sesekali si pemilik wajah meringis dalam tidurnya. Arham meraba kening sang gadis, tidak panas. Lalu sakit apa gadisnya ini? Disentuhnya rambut ikal panjang yang sehitam malam itu perlahan, takut perbuatannya menambah sakit sang gadis. Dadanya berkecamuk. Kenapa gadisnya tega tidak memberi kabar bahwa dirinya sakit, bukankah mereka sepasang suami istri, mereka sepasang sayap yang siap terbang tinggi, lalu mengapa? Apa ia yang tidak peka, tidak merasakan kesakitan sang istri? Belum bisakah Achi menerimanya sebagai suami? Atau bagaimana? Apa? Banyak pertanyaan yang berteriak meminta jawaban didalam hatinya, namun ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mata itu perlahan membuka. Setengah jam lamanya Arham duduk sambil membaca Qur’an disamping Achi, dan sekarang gadisnya telah membuka mata. Segera disudahinya bacaannya, dan meletakkan Qur’annya didekat bantal Achi. “A... Abi.....” Achi bergumam lemah. Achi berusaha bangkit dari tidurnya, badannya sakit sekali. Ia melihat sekeliling, diraihnya ponselnya kemudian melihat jam. Wajar saja posko masih sepi, masih jam belajar rupanya. Ia tersadar, rambutnya terurai, tanpa penutup. Ia melihat kesegala arah, mencari jilbabnya. Biasanya kalau ia tidur, jilbabnya selalu ia letakkan disampingnya, agar ketika bangun, gampang baginya untuk meraihnya. “Nyari apa?” singkat dan datar. “Hmm, Abi. Nyari jilbab.” Jawabnya masih dengan suara lemah. Arham menyerahkan kerudung yang ada disampingnya. Dipandanginya istrinya yang tengah mengenakan kerudung itu. Ditahannya semua emosi yang ada dalam dadanya. Ia selalu berusaha sabar menghadapi sesuatu dalam dirinya yang menjerit meminta kesejukan. Itulah salah satu tujuannya menikah, agar ia tidak salah melangkah demi mencari oase yang dapat memberikan kesejukan padanya. Tapi selama satu bulan pernikahannya ini, apa yang terjadi. Apakah ia telah salah mengambil langkah? Tidak, ia tidak boleh menyesalinya. Ini tidak lebih karena mereka tinggal di tempat yang berbeda. Baiklah, ia akan lebih bersabar lagi. “Arghh!!!” Achi mengerang, membungkuk menahan sakit. Arham panik melihat kesakitannya itu. “Kenapa? Apa yang sakit?” Air mata Achi yang meleleh semakin membuat Arham panik, ia belum pernah berhadapan dengan wanita yang sakit. “Sakit, semua sakit....” Achi merintih tak karuan. “Abi harus apa, Chi? Kamu kenapa?” Achi tidak menjawab pertanyaan Arham. Ia sibuk berguling, sesekali ia mengelus pinggulnya terkadang memukulnya. Air matanya terus menerus mengalir, wajahnya pucat. Arham segera menarik istrinya itu kedalam pelukannya, tak tahan melihat sang istri memukuli pinggulnya sendiri. “Achi bilang dong, mana yang sakit.” Bujuknya sambil tangan kirinya menggenggam tangan Achi yang masih memukuli pinggulnya, tangan kanannya berganti mengelus pinggul sang istri. “Achi jatuh? Jatuh dimana?” Yang ditanya hanya dapat menggeleng. Bahunya berguncang karena terisak. “Terus kenapa? Jangan buat Abi panik gini. Achi jawab dong. Abi bingung nih mau buat apa.” Arham terus membujuk sang istri untuk memberitahukan penyakitnya. “Seng... senggugut... sakittt....” ujar Achi ditengah isakannya. “Senggugut? Itu sakit apa? Abi nggak tahu.” Achi melepaskan pelukan Arham. “Abiii..... jangan nambah sakitnya laahhh....” ujarnya sambil memukul d**a sang suami. “Abi ini nggak peka. Achi benci...” Arham bingung, diraihnya lagi sang istri kepelukannya, “Abi nggak tahu Chi. Serius nih.” “Achi... Achi lagi dapet. Jadi senggugutan.” “Dapat? Dapat apa?” “Abi bodok aahhh.....” jerit Achi kesal. Tangannya mencubit pinggang sang suami yang tengah memeluknya. “Achi dapet, halangan, haid, menstruation. Masih nggak paham juga!” ia kembali meringis sambil memukul pinggulnya. “Oh!” itu toh masalahnya. Kirain sakit apaan. “Ya pinggulnya jangan dipukuli juga dong Chi.” “Sakit tahu Bi! Semuanya sakit. Capek jadi perempuan!” “Hush, nggak boleh gitu Achi. Nggak bersyukur itu namanya.” Ujar Arham mengingatkan istrinya. “Lagian kalau kamu nggak jadi perempuan, trus istrinya Abi siapa dong?” Ia mencoba bercanda sambil mengelus-elus pinggul sang istri. Tangan kanannya sibuk mengelusi kepala gadis tercintanya itu. “Biasanya minum apa biar sembuh?” “Nggak minum apa-apa, tiduran aja. Ntar juga sembuh.” “Nggak minum jamu-jamu itu? Apa namanya? Moratti? Meranti?” “Kan... Becanda lagi...” Arham terkekeh, “Kok bercanda sih, kan kalau Abi nggak salah kayak gitu itu namanya..” Achi mencubit pinggang suaminya lagi, “Itu nama toko roti di Medan kali Bi! Nggak, Achi nggak biasa minum gituan, ntar kecanduan, ketergantungan, jadi gendut...” “Ah, biar kamu gendut juga masih bisa muat di hati Abi,” candanya lagi. “Tuh kaaaannnnn...” Achi mencubit kembali pinggang suaminya. “Aduuhh...” Arham meringis. “Ya udah, kalo gitu sekarang tidur lagi ya. Abi temenin disini.” Achi menganggukkan kepalanya. Ia membaringkan tubuhnya kembali. Arham tersenyum melihat istrinya yang menjadi begitu penurut itu. Dipandangnya gadisnya itu lekat-lekat. Tangan kirinya mengelus pinggul si gadis yang memiringkan tubuh ke arahnya. Tahu sedang dipandangi, Achi menundukkan kepalanya. “Jangan mandang-mandang, ntar jatuh cinta!” Arham tertawa pelan, “Kamu tahu Chi, Abi khawatir gitu tahu kamu sakit tadi. Apalagi tahu kamu dikunci sendiri di posko, wuih Abi pengen terbang aja rasanya.” “Maaf Achi nggak ngabarin Abi yah.” “Iya, nggak apa-apa kok. Bener yang kamu bilang Chi, Abi nggak peka, nggak bisa ngerasain kamu sakit. Abi minta maaf ya Chi, janjinya kita mau sama-sama belajar, tapi kamu udah sering Abi kecewain...” Achi mencoba duduk, ia menggelengkan kepalanya. Achi menatap tepat dibola mata suaminya. “Sttt.... Abi, nggak boleh ngomong gitu, Achi yang minta maaf, udah sebulan jadi istri Abi, tapi belum mampu untuk menunaikan kewajiban yang satu itu. Achi merasa jadi istri durhaka. Pasti Abi kecewa banget karena menikah dengan wanita seperti Achi...” “Sttt....” gantian Arham yang mendiamkannya, ia meletakkan jarinya dibibir sang istri. “Nggak boleh bilang gitu. Selama sebulan ini kamu udah jadi istri yang hebat, tiap Abi nginap di posko, paginya kamu udah nyiapi teh dan sarapan untuk Abi. Ya okelah, untuk yang itu kita belum bisa memenuhinya, tapi ingat, itu nggak boleh kamu jadikan kewajiban kamu aja tapi juga kewajiban Abi. Ya memang nggak bisa dipungkiri lagi, terkadang Abi sering merenung juga, tapi kamu harus tahu, Abi nggak nyesal memiliki istri seperti kamu.” “Bi....” “Hmm, apa?” “Achi sayang Abi, insya Allah karena Allah....” Arham memandang kaget kepada sang istri, harusnya itu kalimat yang ia ucapkan, tapi ia keduluan. “Ah!!!” “Kenapa Bi?” “Abi keduluan kamu. Kamu nggak asik ih. Harusnya kan itu kalimat yang mau Abi ucapin setelah ini. Kamu ngerusak urutannya deh,” ia mengelus kepala Achi gemas. Achi tertawa sampai meneteskan air mata. “Dasar nakal. Sejak kapan?” “Apanya Bi?” “Sejak kapan sayang sama Abi?” Yang ditanya hanya bisa menunduk malu. Wajahnya memanas. “Nggak tahu...” jawabnya pasrah. “Kok bisa?” Ia mengangkat bahunya. “Memang Abi sayang Achi?” “Ooo, jelas dong...” “Mana buktinya? Sebulan nikah, sekalipun nggak pernah ngomong sayang. Cueknya setengah mati. Udah gitu kalo nginap dirumah nenek, Achi gak pernah diajak, ada aja alasannya. Malam nggak pernah nelepon, SMS juga jarang banget. Kalo bukan Achi yang SMS, gak pernah mau SMS duluan. Abi kira Achi gak khawatir!!!” Arham menggaruk kepalanya. “Duh, kok jadi curhat Chi?” dipegangnya tangan sang gadis. “Memangnya kalo sayang itu harus bilang tiap hari ya?” tanyanya lagi. “Oo, harus dong, ingat berapa banyak hubungan suami istri yang terasa hambar dipertengahan tahun pernikahan mereka karena nggak pernah lagi mengungkapkan perasaannya masing-masing. Memang sih kebanyakan orang gak ngerasa itu penting, tapi kan Bi bunga bisa layu kalo nggak dirawat loh. Memangnya mau kalo bunganya layu, trus mati?” “Waduh yang anak bahasa, puitis banget. Iya deh, Abi ngaku salah. Kamu tahu, sejak pertama ngeliat kamu duduk didepan gedung serba guna dengan rok hijau kembangmu dan tas ransel yang nangkring dibelakang punggungmu waktu nungguin buat kumpul pertama, kamu itu udah ngerusak tidur Abi. Enam belas nomor handphone baru, dua belas nomor wanita, dan parahnya Abi nggak ingat nama kamu, kamu tahu sendiri kan Abi pelupa. Abi coba buat nggak perduli dengan bayang-bayang kamu. Tapi makin lama, makin nggak terkendali, makin terasa berat saat kita kumpul malam minggu pertama itu, makanya Abi sebenarnya berat nerima ajakan Andre untuk nginap bergilir. Tambah lagi teh jahe buatan kamu, aiihhh....” Arham memeluk istrinya, “Makanya karena Abi takut terjadi sesuatu yang nggak-nggak, Abi beranikan diri buat ngobrol ke Mas Dimas, dan ternyata sambutan Mas Dimas diluar dugaan, dia nyuruh Abi buat melamarmu langsung, alasan kenapa itu kamu, ya kamu pun udah tahu kan, selanjutnya ya kamu terusin sendiri...” Arham menatap istrinya, “Chi, Abi sayang kamu. Bahkan sebelum Abi memutuskan untuk melamarmu. Abi janji, mulai hari ini Abi akan berusaha belajar jadi suami yang baik buat kamu. Ajari Abi untuk mencintaimu ya, kamu mau kan?” Achi menunduk malu, kepalanya mengangguk. Rasanya hatinya menggelembung dan berbunga-bunga. Cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. “Abi juga, jangan pernah berhenti untuk belajar menjaga dan mencintai Achi ya..” Arham mengangguk, “Insya Allah. Ehm... sayang...” panggilnya dengan suara lembut. Achi menolehkan kepalanya, memandang suaminya. Arham ingin mengatakan sesuatu, namun ia sedikit ragu. Takut kalau-kalau permintaannya akan ditolak sang gadis. “Kenapa Bi?” “Ehm... Chi... bolehkah Abi menci...” Achi menempelkan telunjuknya dengan cepat ke bibir Arham. Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya. ♥♥♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD