Satu

1024 Words
Ketika dua hati telah di gariskan untuk bersatu . . . Sesulit apapun rintangan yang menghalangi mereka . . . Sekuat apapun usaha mereka untuk menghindari . . . Sebesar apapun perbedaan diantara mereka . . . . Sejauh apapun jarak mereka tinggal . . . . Mereka akan tetap bersatu juga . . . . [] ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ “Capek ya Bi?” tanya Achi sambil menyodorkan teh manis panas untuk Arham. Yang ditanya hanya mengagguk dan menerima teh untuknya. Achi berjalan ke belakang badan sang suami, meletakkan kedua tangannya di bahu sang suami, mengurutnya denga pelan. “Alhamdulillah sekali ya Bi, acaranya meriah. Seneng banget ngeliat Mas Dimas sebahagia itu. Akhirnya Mas Dimas melepas masa lajang juga,” ucapnya begitu antusias. “Hmm...” "Mama sama Papa juga bahagia banget. Akhirnya anak sulung mereka menikah juga, setelah kita langkahi, Bi,"sambungnya lagi. "Hmm..." Achi mengernyitkan keningnya, merasa aneh dengan jawaban sang suami. “Kenapa Bi?” tanyanya bingung serta penasaran karena suaminya hanya menjawab kalimatnya dengan dehaman. Arham bangkit dari duduknya. Meletakkan teh panas yang belum ada diminumnya seteguk pun diatas meja rias. Berjalan menuju lemari baju, mengambil baju gantinya dan berlalu keluar kamar untuk berganti baju. Meninggalkan Achi sendiri dengan beribu tanya berkecamuk dalam dadanya. Achi bangkit, dalam hati ia hanya bisa berdo’a semoga perubahan sikap Arham hanya pemikirannya belaka. Dibukanya lemari, berjongkok untuk melihat ke arah rak paling bawah. Ada benda yang disembunyikannya di sana. Benda yang hampir tiga tahun tidak dilihatnya. Entah masih berwujud entah pula sudah menjadi santapan rayap, dia pun tak tahu. Benda ini, setidaknya harus ku kembalikan. Toh pemilikmu sudah kembali dan aku sudah hidup dengan damaiku, bersama suami tercintaku, pangeran di hatiku. Pintu kamar terbuka. Arham memandang dingin ke arah Achi yang duduk di lantai bersandarkan tempat tidur mereka, ditangannya ada sebuah kotak yang sebelumnya tak pernah dia lihat. “Aaa.. abii...” Achi tergagap karena tak mengira Arham telah kembali dari kamar mandi. Arham menutup pintu kamar dan menguncinya, kebiasaan mereka ketika akan tidur. Ia tidak merespon panggilan Achi. Ditatapnya Achi dingin, sampai yang ditatap pun bingung harus berbuat apa. Achi bangkit, menutup kotak yang telah dibukanya, meletakkan kembali ketempatnya, di sudut bagian dalam lemari yang tak akan terjamah tangan yang tidak tahu. “Abi kenapa?” tanyanya menghampiri Arham, menyentuh lembut lengan lelaki yang dicintainya itu. “Hampir satu tahun kita menikah Chi. Kenapa masih banyak yang kamu sembunyikan dari Abi?” Achi mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan maksud pertanyaan Arham. “Ma... maksud... maksud Abi?” ujarnya balik bertanya. “Kenapa tidak kamu katakan kalau lelaki itu sudah kembali?” “Siapa? Siapa yang Abi maksud?” “Pura-pura bodoh kamu. Terserahlah.” putus Arham dingin. Berjalan menuju tempat tidur dan merebahkan badannya disana, membelakangi sang istri. ♥♥♥♥♥ Hampir satu minggu sikap Arham berubah menjadi dingin pada Achi. Terhitung sejak pesta pernikahan Dimas, abang sulung Achi berlalu. Achi yang tidak tahu harus mengadu kemana hanya bisa diam. Ia paham dan selalu memegang prinsip bahwa tidak semua masalah rumah tangga dapat ia ceritakan kepada orang terdekatnya, termasuk orangtuanya dan mertuanya. Ia tetap mencoba melayani Arham dengan sabar walau terkadang hanya diabaikan. Tetap membuatkan sarapan walaupun disantap tak seantusias biasanya. Tetap mencoba tersenyum walau tak ada balasan dari lelaki yang sangat dicintainya itu. Tetap setia mengantarkan dan menunggu kepulangannya walau tak ada lagi kecup mesra dikening atau hanya sekedar belaian tangan yang sangat disukainya. Sama seperti hari ini, ketika Arham memutuskan untuk tidak pulang kerumah mereka, Achi masih menunggu di teras rumahnya sambil terus berdo’a semoga tidak terjadi apapun dengan suaminya. Berkali-kali ia mencoba untuk bertanya dimana letak kesalahannya, namun yang didapatkannya hanya tatapan dingin dan ucapan datar dari Arham yang menyuruhnya untuk berfikir sendiri. Tidak ada lagi Arham yang selalu menggoda hingga kedua pipinya merona merah. Tidak ada lagi Arham yang selalu berkata lembut dan penuh kasih sayang. Tidak ada lagi Arham yang hanya dengan tatapan lembut dan mesranya mampu meluluh lantakkan hati Achi hingga tak mampu lagi menahan semua gejolak rasa yang ada dalam dirinya. Tidak ada lagi. Achi melirik jam dinding yang terletak di dinding tempat mereka biasa menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Sudah pukul delapan lebih tiga puluh menit. Ia baru saja menyelesaikan shalat isya-nya. Terdengar suara motor berhenti. Ia bergegas melipat mukenah, mengambil jilbab, memakainya dan berlari ke teras rumah. Sayang, ternyata bukan motor kekasih hatinya yang berhenti. Hanya orang yang numpang bertanya alamat padanya. Achi kembali terduduk di kursi rotan yang menghiasi teras rumahnya. Di tangan kanannya tergenggam tasbih yang terputar oleh jemari bersamaan dengan lantunan dzikir dari mulutnya. Tangan kirinya menggenggam ponsel yang tak kunjung berdering. Menanti pemberitahuan dari sang suami. Ia tidak punya jalan lain selain menghubungi teman-teman Arham. “Assalamu’alaikum...” “Wa’alaikum salam...” sahut suara di seberang. “Enda, ini Achi.” “Iya Chi. Ada apa ya?” “Enda, Achi mau tanya. Aam ada disana?” tanya Achi ragu. Enda adalah orang pertama yang bisa ditanyainya tentang keberadaan Arham karena makhluk yang satu ini adalah sahabat dekat Arham sejak masih SMA yang berada di kota yang sama dengan mereka dan juga masih satu kampus dengan mereka. “Eh... nggak ada loh Chi. Memangnya Aam belum pulang?” tanya Enda heran. “Emmm, belum En. Belum ada ngabarin juga. Tadi di kampus ada ketemu nggak?” “Di kampus....” Enda menjawab sedikit lama, mungkin berfikir. “Ah iya, ada tadi jumpa sebentar di kampus. Udah dihubungi Hpnya Chi?” “Udah En, tapi nggak diangkat.” Jawab Achi lesu. “Kalau gitu biar aku bantu telpon ya. Kamu coba hubungi temannya yang lain. Mungkin sama teman-teman dakwahnya.” “Oh iya. Makasih ya En. Assalamu’alaikum...” “Wa’alaikum salam. Iya sama-sama...” Achi mencoba menghubungi beberapa teman Arham lain yang dikenalnya, namun jawaban yang didapatkannya semua sama. Arham tidak bersama mereka. Achi mencoba menghubungi teman sesama aktifis dakwah kampus Arham, namun mereka mengatakan tidak ada kegiatan hari ini, alias tidak ada jadwal berkumpul untuk mendiskusikan kegiatan mereka seperti yang beberapa minggu belakangan ini biasa mereka lakukan, mengingat sebentar lagi akan ada peringatan hari besar. Achi menangis putus asa. Abi, Abi dimana? Achi khawatir Bi. Segera hubungi Achi, Bi... ♥♥♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD