Ava menatap wajahnya di cermin. Ia mengumpat dalam hati. Ingin sekali rasanya ia berlari menerobos dua pria yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. Ia melirik ke arah gaun putih yang kini ia kenakan, serta make up di wajahnya yang tidak terlalu tebal. Ava menendang meja di depannya. “Gue gak mau nikah!” teriak Ava.
Ya … gaun yang Ava kenakan saat ini adalah gaun pernikahan. “Gue gak mau!” teriak Ava sekali lagi.
Beberapa jam sebelumnya …
Ava mengerjapkan mata saat merasakan sesuatu menahan pergelangan tangannya. Ia membuka mata sempurna. Ia merasakan ada yang aneh. Ava hendak bangkit, namun tangannya langsung tertarik sesuatu. Ketika gadis itu menoleh, matanya membeo. Sebuah tali mengikat kedua tangannya. “Eh?”
“Eh, apaan, nih? Kok gue diikat?”
Ares berdeham. Pria itu berdiri diambang pintu. “Selamat pagi, Ava.”
“Res, lepasin gue. Lo, kok, malah ngiket gue gin? Emang gue mau diruqyah apa?”
Ares terkekeh. “Enggak diruqyah, tapi dikhitbah.”
“Ck! Lepasin, ih!”
Eh … tunggu. Dikhitbah? Maksudnya ia akan … “LO NGEJEBAK GUE, YA?!” tuduh Ava dengan suara keras, membuat Ares harus menutup telinga.
“Lo lagi ngerencanain apa, hah?!”
Ares duduk mendekati Ava, lalu menghela napas berat. “Va, gue selalu dengerin lo, kan?” Ava terdiam. “Dengerin gue kali ini aja.”
Ava mengerutkan dahinya. “Tolong menikah, Va.”
Memang, Ares selalu mendengarkan kata-katanya, menuruti nasihatnya, dan melakukan banyak hal untuknya. Tapi menikah? Kenapa harus mendengarkan orang lain? Ava ingin menikah, tentu saja. Tapi atas keinginannya sendiri. “Res, lo buang-buang waktu ngelakuin semua ini. Karena gue tetap gak akan mau nikah.”
“Oke, kalau lo gak mau. Tapi lo harus tahu satu hal, Va. Lo tahu apa alasan kita putus? Karena seseorang mendapat tanggung jawab untuk jaga lo seumur hidup … dan itu bukan gue.”
Ava tertawa sumbang. “Lo ngomong apa, sih, Res? Gak jelas banget.”
“Kalau mau jelas, tanya sama calon suami lo.”
“Ck. Gue gak mau nikah!” tolak Ava dengan wajah agak marah.
“Harus!”
“Enggak, ih! Apaan, sih?!”
Ares menoleh ke belakang, menyuruh beberapa orang untuk masuk ke ruangan. “Tolong urus anak nakal ini. Pastiin dia cantik, dan ingat! Gak boleh sampai kabur.”
Ares pergi meninggalkan Ava yang masih yerikat di tempat tidurnya. Gadis itu melebarkan matanya, lalu berteriak, “ARES SIALAN!”
-----
Ava melirik ke arah pintu. Dua orang pria masih berdiri di sana, tdiak membiarkan Ava melangkah sedikitpun. Ia menghela napas. Matanya memandang ke luar jendela. Langit biru yang begitu cantik. Seandainya ia punya cara untuk kabur. Ya benar … kabur. Ava baru terpikirkan satu cara. Kenapa ia tidak melompat pergi melalui jendela? Meminta tetangganya menolongnya? Ava ingat sekali kamar sebelah ada penghuninya. Semalam seorang pelayan membawa makanan ke kemar itu. “Otak gue emang pinter banget,” gumam Ava dengan bangganya. Ia berjalan menuju jendela, membuka perlahan lalu memanjat pagar yang memisahkan antara balkonnya dan balkon di kamar sebelahnya. Untung saja ia memilih kamar yang menyediakan balkon. Ava hanya berharap tetangganya ini mau menolongnya. Tapi bagaimana jika sepasang suami istri?
“Nanti kalo gue ganggu mereka lagi ….” Ava tidak melanjutkan perkataannya.
Ia menggaruk belakang kepalanya yang agaka gatal. “Ah, tau, ah. Kalo ganggu, ya, bilang aja mendesak.”
Ava langsung mengangkat gaun putihnya agar kakinya bisa memanjat dengan sempurna. Ia berhasil memanjat pagar pembatas yang tingginya hampir sepinggulnya itu. Ava melompat, namun dengan pendaratan yang kurang mulus. Efek karena memakai gaun jadi tidak bisa bergerak banyak. Gadis itu mengusap bokongnya yang terbentur lantai. Ia melirik ke arah pintu balkon yang sedikit terbuka. Ava tersenyum. “Gue gak mesti repot-repot gedor pintu, pintunya udah welcome sama gue.”
Ava bangkit, lalu berjalan mengendap masuk ke dalam kamar itu. Ia agak kebingungan karena mendapati kamar yang kosong. Tempat tidur begitu rapi, dan ia tidak melihat ada barang. Namun matanya menangkap sebuah kemeja putih tergantung di dekat lemari. Mungkin penghuni kamar ini adalah seorang pria. Ava tertawa pelan. Setidaknya penghuninya sedang tidak ada. Lebih baik Ava kabur. Tapi, ia tidak punya access card untuk membuka pintu. Ia menghela napas. “Kayaknya sia-sia aja gue di sini.”
Sebuah tangan menyentuh bahu Ava. Gadis itu menoleh dengan wajah terkejut.
“Ava?”
“Pak Arka? Pak Arka juga ke Bali?” tanya Ava masih dengan wajah terkejutnya.
“Saya di sini sejak 3 hari lalu. Kamu ngapain di sini? Menginap di hotel ini juga?”
Ah, pantas saja dosennya ini begitu mudah meberikannya izin untuk tidak bimbingan. Sungguh tidak menyangka akan bertemu dosennya di sini. Kesempatan bagus untuk memita tolong Arka untuk kabur dari hotel.
“Pak, tolong saya, please!” mohon Ava dengan wajah memelas sambil memegang kedua tangan Arka.
“Saya mau dipaksa nikah, Pak. Saya dijebak sama keluarga saya. Saya harus kabur dari sini. Pak Arka bantu saya kabur, ya. Di luar ada dua bodyguard yang jaga di depan pintu kamar saya. Tolong bantu saya keluar. Saya janji, saya akan dengerin kata Pak Arka. Saya akan baca buku-buku refrensi dari Pak Arka. Saya janji akan selesaikan sampai Bab 5. Tapi tolong, Pak.”
Arka bisa melihat wajah Ava yang benar-benar sudah putus asa. Lucu sekali. Beruntunglah ia bisa mengontrol twanya. Jika tidak, ia akan tertawa keras sejak tadi.
“Oke … saya bantu.”
Ava tersenyum lebar. Ia langsung memeluk Arka dengan erat, saking eratnya pria itu sampai sesak. “Terima kasih, Pak. Saya tahu … Pak Arka itu baik, cuma kadang nyebelin aja.”
“Ya udah, lepasin saya dulu.”
Ava melepaskan pelukannya, lalu menunjukkan cengiran. Arka hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia menarik lengan Ava, lalu membawanya keluar melewati pintu. Tentu saja, Ava bersembunyi di sebelahnya. Dua bodyguard yang ada di depan kamar Ava nampak terkejut. Meskipun Ava bersembunyi dan menutupi wajahnya pun, gaun pengantinnya tidak bisa membohongi kedua bodyguard itu. Arka langsung memberikan isyarat untuk tidak menghampiri keduanya. Kedua pria berbadan kekar itu langsung menurut. Ava tidak tahu saja—kedua pria itu—Arka lah yang mengutusnya.
Mereka berjalan menuju lift. Ava masih menutup wajahnya dengan telapak tangan. Hingga keduanya berhasil masuk ke dalam lift. Ava bernapas lega. Akhirnya ia bisa melarikan diri dari pernikahan sialan ini. “Akhirnya, saya gak harus nikah.”
“Memangnya kenapa kamu gak mau nikah?” tanya Arka sedikit penasaran. Ia yakin alasannya tidak hanya karena takut calon pilihan mamanya adalah om-om.
“Saya, tuh, gak siap, Pak. Saya ngurus diri saya aja masih males, apalagi saya ngurus suami. Bisa sengsara hidupnya.”
Arka terkekeh pelan. Cara berbicara gadis ini sangat lucu. Pipinya akan mengembung ketika mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal. Gelagat tubuhnya juga sangat aktif sekali. Orang-orang didekatnya pasti kewalahan jika gadis ini bercerita. Ava baru menyadari satu hal; Arka memakai setelah jas hitam. “Pak Arka mau ke mana? Rapi banget.”
“Saya mau ke acar penting. Kebetulan di hotel ini.”
Ava mengangguk. Ia melirik ke arah layar yang kini menunjukkan angka 8. Eh? Kenapa mereka malah naik? “Kok, ke atas, Pak? Saya, kan, mau ke lantai bawah.”
Arka tidak menjawabnya, hingga mereka tiba di rooftop. Pintu lift terbuka. Betapa terkejutnya Ava ketika melihat apa yang ada di hadapannya.
“Itu dia pengantinnya,” pekik Malvin ketika melihat Ava. Tidak … tidak … tapi, melihat keduanya; Ava dan Arka. Gadis itu langsung menatap Arka dengan wajah kebingungan.
“Arka! Ayo bawa calon istrinya ke sini. Kita sebentar lagi mau ijab qabul,” teriak Adelia—Mamanya .
Calon istri? Jadi … yang ingin dinikahkan dengannya adalah … Arka? Dosennya? Ava rasanya ingin menangis. Arka pasti sengaja membantunya kabur agar bisa membawanya ke altar pernikahan. Ava membenci pria itu—Arkano Parmudya.
Arka hendak marih tanga Ava, namun gadis itu langsung menepisnya. Ava berjalan lebih dulu dengan wajah marah. Arka menghela napas berat. “Maafin saya, Ava.”
-----
Ava berdiri disebelah pria yang kini berstatus suaminya. Ah, sungguh sial sekali hidupnya ini. Matanya tertuju pada sosok Ares yang sedang melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum manis yang menyebalkan. Ava mendengkus. Ia memutuskan untuk pergi ke meja yang penuh dengan hidangan. Ava meraih minuman yang ada di meja lalu meneguknya hingga habis. Matanya memerah, mungkin sebentar lagi akan ada air mata yang keluar dari sana. Buru-buru Ava berbalik, sebelum orang-orang melihatnya menangis. Tubuhnya berbenturan dengan seseorang yang baru saja datang menghampirinya. Ia mendongak. Arka—pria itu menatap Ava agak lama. Yang ditatap langsung memalingkan wajahnya, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh sebagai bentuk dari amarahnya hari ini.
Tangan Arka terulur, mengusap air mata Ava. Gadis itu menjauhkan wajahnya kemudian melangkah hendak pergi. Namun Arka lebih dulu menahannya. “Kamu mau ke mana?”
Ava tersenyum simpul. “Memangnya saya bisa ke mana lagi?" Ia menepis tangan Arka lalu meninggalkan pria itu yang masih berdiri di tempatnya.
--to be continued--