20. Namaku Mario

1928 Words
Satu langkah, dua langkah dan kemudian menjadi ratusan langkah. Begitulah cara Ify mengikuti ke mana perginya Rio. Dia terus melihat lelaki yang dia anggap mirip dengan lelaki yang dia tahu bernama Rio saat berada di dalam dunia mimpinya. Jelas saja Ify berjalan sambil mengendap-endap, walau dia tidak sampai harus menundukkan badannya atau bersembunyi di balik tiang saat Rio menolehkan wajahnya ke belakang. Ify berjalan santai sambil sesekali membenahi tas ranselnya yang sering melorot dari pundaknya. Benar, dia cowok yang ada di dalam mimpi gue waktu gue koma kemarin. Gumam Ify dalam hati seraya mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Tapi, apa nama dia juga Rio? Ify mulai ragu tentang nama mereka yang entah sama atau tidak. Kenapa tu cowok nggak noleh sekali pun? Dia sebenarnya sadar atau enggak kalau gue ikutin? Dalam hati, Ify mulai heran karena lelaki yang dia ikuti sama sekali tidak pernah menolehkan wajahnya ke belakang. Tapi sebenarnya bagus sih kalau dia nggak noleh ke belakang. Jadi gue bisa lebih leluasa buat ngikutin dia. Lagi-lagi, Ify membenarkan tindakannya sambil mengangguk-angguk beberapa kali. Tanpa ragu karena lelaki jangkung yang sedang dia ikuti itu tidak sadar kalau sedang diikuti, Ify jadi lebih memberanikan diri untuk lebih dekat lagi dengan Rio. Ify memajukan jarak sampai beberapa langkah lagi. Ketika sedang fokus memerhatikan ke mana Rio akan lanjut melangkah, tiba-tiba saja Ify dikagetkan oleh dering ponselnya. Lagu milik Celine Dion berjudul A Mother Prayer membuat Ify kaget sendiri, padahal itu bukan lagu yang mengagetkan. Melodinya pun sangat lembut dan mellow. Namun memang dasarnya Ify sedang menguntit, makanya dia jadi kaget. "Ish, Via ngapain sih?" dengusnya seraya memencet gagang telepon warna hijau. "Lo di-," "Lo bisa nggak, kalau nggak ngerecokin gue kali ini aja?!" Belum selesai Via menanyakan keberadaan Ify, gadis itu sudah lebih dulu dihentikan oleh Ify. Sesekali, Ify melirik ke arah Rio yang masih berjalan menuju gerbang. Jadi, Ify pun jalan perlahan-lahan agar Rio tidak akan sengaja mendengar apa yang dia katakan pada Via. "Gue cuma mau nanya, lo jadi ke kantin apa enggak?" Via jadinya mengganti pertanyaannya. "Gue mau pulang, gue capek. Dan lagi, lo jangan bilang-bilang ke Alvin tentang ini! Lo juga nggak usah ke rumah hari ini!" dengan cepat, Ify mengatakannya tanpa jeda. Entah Via akan mengerti yang dia katakan atau tidak, yang Ify tahu kalau dia sudah mengatakannya. "Oke. Tapi kalau lo kenapa-napa, lo harus langsung nyari gue." sahut Via dari seberang. "Mending gue nelfon 112." dengusnya lalu menutup panggilan dari Via. Selesai memutuskan sambungan teleponnya dengan Via, Ify langsung mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas. Gadis itu hanya ingin fokus menjadi penguntit kali ini. Mereka kini sudah sampai di luar gerbang. Seorang satpam yang sedang bertugas, hanya bisa mengangguk sopan pada Ify ketika tahu gadis itu keluar dari area sekolah. Karena sebenarnya, peraturan sekolah itu harus ditegur kalau ada murid yang keluar dari lingkup sekolah saat masih jam belajar. Namun peraturan itu tidak berlaku untuk Ify. Hanya Ify yang bisa seperti ini. Mulanya, yang tahu tentang Ify adalah putri dari pemilik yayasan hanyalah satpam, penjaga sekolah, kepala dan wakil sekolah dan guru yang pernah menjadi wali kelas Ify saja. Sayangnya, identitas Ify jadi terbongkar karena insiden di taman kemarin saat Tika dengan sengaja memberi bouquet mawar pada Ify. Padahal selama ini keluarga Schimtz lebih suka bertindak diam-diam. Eh, eh, dia naik taksi. Ify sedikit gelisah saat melihat Rio menyetop taksi kosong yang lewat. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada Ify. Saat gadis itu gelisah karena takut kehilangan jejak Rio, di saat itu pula ada taksi lain yang melintas. Ify berhasil menghentikannya dan dia segera meminta sopir taksinya untuk mengikuti ke mana perginya taksi di depan mereka. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia bisa ada di sekolah? Ada urusan apa dia di sekolah? Apa dia salah satu wali murid? Ada banyak sekali pertanyaan di benak Ify untuk lelaki yang sedang dia kuntit sekarang. Ingin sekali Ify bertanya langsung, hanya saja Ify tidak tahu harus bagaimana dia memulai basa-basi agar lelaki itu tidak curiga padanya. Tiga puluh menit sudah Ify mengikuti ke mana perginya taksi yang ditumpangi lelaki di depan sana. Dia mulai bingung, ke mana mereka akan pergi? "Sebenernya, di mana rumah dia?" tanya Ify pelan pada dirinya sendiri. "Ada apa, dek?" tanya sang sopir taksi pada Ify seraya melihat Ify dari kaca spion tengah. "Nggak." jawab Ify singkat. Sopir taksi tadi hanya mengangguk dan kembali fokus mengikuti taksi di depannya. Ify tidak tahu, sudah sejauh apa dia mengikuti lelaki yang dia anggap Rio. "Tapi, gue boleh tahu nama lo?" sambil melihat ke sembarang arah, Ify menanyakan ini pada lelaki yang sudah membantunya keluar dari ladang mawar. "Namaku Mario, kamu bisa memanggilku Rio." disertai senyuman cerah nan tampan, Rio memberi tahu Ify tentang siapa namanya. "Rio?" Ify kembali memastikan. "Iya, itu namaku." kepala Rio mengangguk-angguk sembari tersenyum amat tampan hingga membuat Ify sesekali meliriknya meski sebenarnya Ify tidak ingin melakukannya. "Oh, oke. Aku akan mengingat nama Rio." Rio malah tertawa mendengar perkataan Ify. Hal itu membuat Ify jadi malu karena sudah berkata seperti itu. Ify meremas rok seragamnya sendiri seraya menata perasaannya yang berubah jadi tak karuan. Bibirnya pun mengutuk dirinya tanpa suara karena dia tak ingin sopir taksi di depan kembali bertanya padanya. Aish, kenapa gue malah inget sama senyuman dia yang bikin gue nggak nyaman? Desah Ify ketika dia ingat bahwa dia sempat berkenalan dengan Rio di alam mimpinya. "Taksinya berhenti di depan, dek." sopir taksi tadi memberi tahu Ify seraya menunjuk seseorang yang keluar dari dalam taksi. "Kita berhenti di sini saja, Pak! Jangan terlalu dekat!" pintanya lagi. "Baik, dek." sopir taksi tadi menuruti apa mau Ify dan langsung menghentikan taksinya di sana tanpa banyak tanya. Cepat-cepat Ify membayar argo taksi yang dia tumpangi dan keluar. Ify masih melanjutkan perjalanannya, namun dia merasa seperti ada yang aneh. Kepalanya menoleh ke samping kanan dan kiri yang hanya ada tembok berwarna putih setinggi tiga meter. Bisa dibilang, itu ukuran yang cukup tinggi untuk sebuah tembok pembatas. "Tapi kenapa semuanya tertutup tembok? Apa yang sebenarnya ada di dalam tembok itu?" tanya Ify yang masih keheranan sekaligus penasaran. Ify kembali fokus pada lelaki yang terlihat masih berjalan. Kening Ify mengerut, melihat Rio yang sama sekali tidak merasa ada yang menguntitnya sekarang ini. "Kalau rumah dia masih jauh, terus kenapa dia turun di sekitar sini? Kenapa dia nggak minta sopir taksi tadi nurunin dia di depan rumahnya?" Ify begitu keheranan menghadapi Rio karena apa yang Rio lakukan tidak bisa ditebak. Di sana sangat sepi. Bahkan jarang ada kendaraan yang melewat atau orang yang berlalu lalang. Bahkan, di sana tidak ada rumah satupun. Hanya ada bangunan tembok di sisi kanan dan kiri, seperti yang tadi Ify lihat. "Sebenarnya, dia mau ke mana sih?" "Kalau kayak begini 'kan, gue jadi takut ketahuan." hati Ify mulai gelisah, takut kalau Rio tahu bahwa dia sedang menguntitnya. Ify jadi teringat, di dalam tasnya ada sebuah topi. Cepat-cepat Ify mengambilnya dan memakai topi berwarna putih yang entah dari kapan berada di dalam tas. Ify saja sampai lupa, barang apa saja yang ada di dalam tasnya selama beberapa hari ini. Dia hanya memakainya sebagai pelengkap berangkat sekolah saja. Ify bahkan tidak mengganti buku pelajaran selama beberapa hari terakhir. Buku-buku di dalam tasnya masih sama dengan buku pelajaran empat hari lalu. "Itu dia, ada gerbangnya." Ify mulai melihat kalau lelaki yang sedang dia ikuti membuka sebuah gerbang dan masuk ke dalam sana. Langkah kaki Ify semakin cepat. Gadis itu tidak ingin kehilangan Rio lagi. Semua itu karena Ify punya satu hal yang harus dia pastikan dari Rio. Sampailah Ify di depan gerbang yang menelan tubuh Rio tadi. Iseng-iseng Ify memegang gagang gerbang berwarna putih. Perlahan-lahan Ify membukanya namun tak lama Ify langsung mundur tanpa menutup kembali gerbangnya. Dada Ify langsung sesak, kedua matanya membulat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Ify melihat ada banyak sekali pohon mawar merah di balik tembok putih yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri jalan. Tubuh Ify terhuyung, dia terjatuh karena Ify merasa dadanya semakin sesak. Tangan kanannya meremas-remas baju seragamnya dan dia berusaha bernafas sebisanya. Sementara tangan kirinya dia pakai untuk menopang tubuhnya yang terduduk di aspal. "Jadi, ladang mawar merah itu memang beneran nyata adanya?" gumam Ify dengan kondisi yang masih mengatur napasnya yang tak beraturan. Tiba-tiba saja, Ify jadi teringat pada apa yang Via katakan. Gadis itu melepas tas ranselnya dan mengeluarkan semua isinya. Ify mencari ponselnya untuk menghubungi Via segera. Semua barang yang ada di dalam tas milik Ify kini berserakan di jalanan beraspal kasar. Tak sampai dua menit, Ify sudah langsung menemukan ponselnya. Segera saja Ify menghidupkan benda pipih yang tadi dia matikan agar Via tidak mengganggunya. "Kenapa ini terbuka? Perasaan tadi aku sudah menutupnya." sebuah suara dari dalam terdengar samar-samar. Seorang lelaki tampan keluar dari dalam gerbang. Siapa lagi kalau bukan Rio. Lelaki itu kaget ketika tahu ada anak sekolah yang terduduk di aspal depan gerbang taman mawarnya. Rio segera mendatanginya dan berjongkok di depan Ify. Dia berniat menolong Ify yang tampak kesakitan. "Kamu tidak kenapa-napa?" itulah pertanyaan pertama yang Rio lontarkan saat Ify membalas menatapnya. Jantung Ify berdetak tak karuan saat Rio bertanya demikian. Ditambah lagi, lelaki itu mampu menatap kedua mata Ify. Meski Ify tahu kalau sekarang ini pasti bola matanya tidak begitu mengintimidasi. Rio melambaikan tangannya di depan wajah Ify. Dia melihat gadis di depannya itu seperti syok ketika melihatnya. "Aku bukan orang jahat. Aku pemilik kebun mawar merah ini." katanya sembari menunjuk ke arah dalam gerbang menggunakan jari telunjuknya. Perlahan-lahan, Ify mulai bisa mengatur napasnya dan dia mencoba menekan rasa takutnya agar tidak berlebihan. Tatapannya masih tidak bisa lepas dari wajah Rio. "Siapa nama lo?" Dari sekian banyak pertanyaan yang ada di benak Ify, pilihan pertama yang Ify tanyakan pertama ternyata jatuh pada rasa penasarannya tentang nama lelaki yang dia lihat mirip Rio. Kening lelaki itu mengerut, dia pun juga terlihat heran atas pertanyaan anak sekolah yang ingin dia tolong karena terlihat sedang kesusahan. Namun Rio tidak menyangka kalau gadis berdagu tirus itu akan menanyakan namanya. "Namaku?" Rio malah ganti bertanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Belum sempat Ify menjawab, dia sudah dialihkan ke panggilan telepon dari Via. Secepat kilat Ify menerima panggilan dari sahabat karibnya. "Lo kenapa? Kenapa lo cuma misscall doang?" suara Via terdengar cemas dari seberang sana. "Jemput gue, Vi. Gue shareloc sekarang juga, dan lo jemput pakai taksi aja. Jangan sama sopir! Jangan bilang ke Alvin juga kalau lo mau jemput gue!" pinta Ify tanpa memberikan alasan yang pasti. "Lo bukannya di rumah?" tanya Via sedikit panik. Usai meminta pertolongan dari Via dan tanpa menjawab pertanyaan temannya itu, Ify langsung mematikan panggilannya dan mengirim lokasinya sekarang. "Jadi, siapa nama lo?" Ify masih penasaran dan dia kembali menanyakan nama lelaki yang masih berjongkok di depannya. "Bagaimana kalau kita bicara di dalam saja? Sekalian kamu menunggu teman kamu datang." penuh kehati-hatian, Rio mencoba menawarkan kebaikan kepada Ify karena dia tidak mau Ify kepanasan kalau harus menunggu Via menjemputnya. "Jawab aja! Siapa nama lo?" titah Ify kasar dan disertai nada bentakan pelan. Ify tidak mengindahkan ajakan Rio sama sekali. Gadis itu hanya berfokus pada nama Rio saja. Selain karena Ify terlalu takut kalau harus melewati jalanan yang di sisi kanan dan kirinya terdapat pohon mawar yang berkembang. "Namaku Mario, kamu bisa memanggilku Rio." Usai mendengar jawaban Rio, Ify langsung menghela napas kasar. Hal itu karena sedari tadi Ify menahan napasnya dalam-dalam. "Kenapa kamu ingin tahu siapa namaku? Apa aku mengingatkanmu pada seseorang? Nama kita yang sama atau wajah kita yang sama?" Jadi benar, Rio yang gue kenal bukan cuma ada di dalam mimpi gue semata. Tapi Rio itu benar-benar nyata. Buktinya dia sekarang ada di depan gue dan dia juga sama-sama punya kebun mawar. Kata hati kecil Ify.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD