18. Savage

2366 Words
Tepat lima minggu Ify tidak masuk kelas, ini pertama kalinya Ify kembali ke rutinitasnya. Apa lagi kalau bukan sekolah, sesuai dengan statusnya yang seorang siswa sekolah menengah atas. Tidak ada pesta penyambutan atau ucapan selamat atas sembuhnya Ify dari koma. Semua teman sekelasnya acuh pada Ify, bahkan kebanyakan dari mereka tidak mau menjenguk Ify di rumah sakit karena alasan sikap Ify yang tidak disukai oleh anak-anak lain. Sementara Ify sendiri, dia pun tidak merasa dirugikan meski tidak dijenguk oleh mereka. Ify tahu, kalau setelah kejadian dia histeris di taman kala itu, membuat beberapa murid jadi mencibirnya di belakang. Mereka akan membicarakan dan menertawakan Ify saat tidak ada Ify. Tapi mereka akan pura-pura bodoh dan polos ketika Ify ada di antara mereka. Banyak dari mereka yang mengolok-ngolok Ify bahwa gadis itu hanya pura-pura garang. Ada lagi yang mengatakan kalau Ify melakukan itu untuk mencari sensasi dan perhatian. Juga, masih banyak lagi yang mereka bicarakan di belakang Ify. Dan Ify tahu semuanya, tanpa terkecuali. Hanya saja, Ify tidak peduli. Gadis berwajah seram itu tidak pernah peduli orang mau bicara apa tentangnya. "Maaf, Ibu menyela waktu kalian sebenar. Hari ini kalian punya teman baru, dia berhasil mengikuti ujian untuk ikut program kelas akselerasi. Dan mulai hari ini, dia akan bergabung di kelas ini." guru yang sudah berumur sekitar empat puluh dua tahun itu datang bersama seorang siswa baru yang berparas tampan, hingga membuat beberapa siswi bersorak senang. "Silakan, perkenalkan diri kamu!" guru tadi mempersilakan siswa baru di kelas ini. "Selamat pagi, perkenalkan nama saya Raga Kawekas. Kalian bisa memanggil saya Raga, senang bisa menjadi bagian dari kelas ini dan mohon kerja samanya. Terima kasih." Raga melihat dari kanan ke kiri untuk melihat semua teman satu kelasnya sebagai tanda perkenalan. "Ada yang mau dipertanyakan?" Kiki, nama guru yang mengajar bahasa inggris itu kembali membuka suara. "Berapa nomor teleponnya?" tanya salah seorang murid yang duduk di pojok kiri bagian depan. "Nomor sepatunya berapa?" sahut siswi lainnya. "Nomor rumahnya sekalian." "Kalau mau ngasih tahu nomor celananya juga nggak apa-apa." Kelas begitu ricuh karena Raga, terutama bagi kaum hawa. Hal itu membuat beberapa siswa yang mulanya memang ada di kelas itu jadi menyoraki mereka. Sedangkan Raga yang ditanya, dia hanya diam saja tanpa menjawab apa-apa. Dia hanya nyengir kuda sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Sudah-sudah, jangan berisik! Nanti kalian mengganggu kelas sebelah." tegur Kiki disertai gerakan jari telunjuknya yang menempel di depan hidung. Semua murid jadi bersorak sambil tertawa pelan. Mereka juga berharap kalau Raga bisa duduk di samping mereka, tapi akhirnya Kiki meminta Raga duduk di bangku kosong yang ada di bagian belakang karena hanya tersisa satu itu saja bangkunya yang tidak berpenghuni. Raga berjalan ke arah bangku yang dimaksud Kiki. Ekor matanya melirik seorang gadis yang tampak menempelkan kepalanya ke meja seraya menyumpal kedua telinganya menggunakan earphone. Di samping gadis itu, ada gadis lainnya yang juga melihat ke arah Raga. Ingatan Raga tidak buruk, dia tahu siapa gadis yang sekarang ini sedang menatapnya sambil tersenyum ramah itu. "Gue kira lo masih kelas sepuluh." katanya berbisik ke arah Raga. "Oh, waktu itu gue lupa ganti bet kelas." sahutnya yang ingat tentang apa yang dimaksud gadis itu. Kiki sudah mulai menjelaskan di depan, tapi Raga tidak peduli. Lagi pula, dia juga bisa mengerjakan tanpa harus mendengarkan apa yang dijelaskan oleh Kiki selama jam pelajaran. "Kenalin, gue Via." ternyata gadis tadi adalah Via, dia kini mengulurkan tangannya ke arah Raga. "Raga." tanpa ingin membuat Via tersinggung, akhirnya Raga menerima uluran tangan Via dan kembali memperkenalkan dirinya. Di saat mereka sedang salaman, tiba-tiba saja gadis yang tadinya tidur itu bangun hingga membuat jabatan tangan mereka terputus secara terpaksa. Siapa lagi gadis yang duduk di samping Via kalau bukan Ify. Ify kaget ketika ada sesuatu yang terasa seperti memukul punggungnya. Dia menoleh ke kiri dan menatap Via seraya melepas earphone dari telinganya. Ify menutup mulutnya ketika sedang menguap. Ify tidak bertanya apa pun pada Via dan dia belum tahu kalau Raga, lelaki yang mencari gara-gara dengannya dulu, sekarang jadi satu kelas. Terlebih lagi, Raga duduk di samping kanan Ify. Meski mereka tidak satu meja, tapi mereka berdekatan. "Jangan nengok kanan, Fy!" Via menarik kepala Ify yang sudah hampir menengok ke kanan, membuat Ify jadi mengerutkan keningnya. Kedua alis Ify menyatu, dia heran pada tingkah Via yang tiba-tiba berubah. Padahal tadi sebelum masuk jam pelajaran juga tidak begini. "Udah, mending lo tidur lagi aja. Pelajaran Bu Kiki nggak asik, paling juga lo bakal jenuh." kata Via mencoba mencari alasan yang kemungkinan tidak akan dicurigai oleh Ify. "Lepasin!" titah Ify dengan tatapan sarkas namun bernada pelan. Via menggelengkan kepalanya, dia tidak menuruti perintah Ify. Dia terus menahan kepala Ify agar temannya itu tidak menoleh ke kanan. Kalau sampai Ify menoleh ke kanan, bisa jadi kelasnya Kiki pagi ini bubar dalam sekejap mata saja. Mata Via sampai melotot-lotot demi menahan Ify agar tetap pada pandangan ke kiri. Namun tenaga Ify jauh lebih kuat ketimbang Via, jadilah gadis berpipi chubby itu kalah saat Ify mencengkeram kedua pergelangan tangannya hingga lepas dari kepala Ify. Setelah begini, barulah Via nyengir kuda menatap Ify. Hal itu membuat Ify jadi semakin penasaran. Sebenarnya apa yang ada di samping kanannya? Tanpa slow motion, Ify langsung menolehkan wajahnya ke kanan. Matanya melebar sempurna ketika dia menemukan lelaki yang dulu pernah menumpahkan air padanya, kini sedang duduk di salah bangku kosong di kelasnya. "Lo ngapain di sini?" Via memejamkan matanya, dia menundukkan kepalanya agar teman-teman sekelasnya tidak ikut melihatnya. Kiki yang tadinya sedang menjelaskan di depan pun jadi menghentikan aktivitasnya dan lebih tertarik pada Ify. Semua mata kini tertuju ke arah Ify. Banyak dari temannya yang mencibir tindakan Ify karena dianggap merugikan mereka. "Ada apa, Fy? Apa ada yang salah? Atau kamu tidak nyaman dengan metode pembelajaran saya?" tanya Kiki beramah tamah pada putri dari pemilik sekolah tempatnya mencari uang. Kiki berjalan mendekat, dia ingin melihat serta memastikan apa yang sekarang sedang mengganggu Ify. "Lo ngapain ada di sini?" tanya Ify lagi pada Raga, tanpa mengindahkan pertanyaan Kiki. Raga balik menatap Ify, dia tersenyum sinis ke arah gadis berdagu tirus yang sedang menatapnya tajam. Sesekali Via melirik ke arah mereka berdua dan dia tampak salut pada Raga yang tidak takut sama sekali akan tatapan tajam Ify. Bahkan, Raga tidak mengalihkan pandangan ke arah lain sedetik pun. Lelaki itu terus membalas tatapan tajam Ify tanpa merasa terintimidasi. Padahal setahu Via, selama ini yang berani menatap mata Ify hanyalah dirinya, Alvin dan Mr. Stuart. Hanya mereka bertiga, tapi sekarang bertambah dengan Raga. Keren sumpah. Dalam hati, Via memuji keberanian Raga. "Kenapa, Fy?" Kiki kembali bertanya pada Ify tentang keributan ini. "Kenapa dia ada di sini, Bu?" kali ini Ify menjawab pertanyaan Kiki, tidak seperti tadi yang hanya diam. Kiki menoleh ke arah Raga, dia sedikit bingung karena dia seperti melihat bahwa Ify dan Raga seakan-akan sudah kenal lebih dulu sebelum Raga masuk di kelas ini. "Maksud kamu Raga? Dia adalah salah satu murid yang berhasil loncat kelas, dan kebetulan dia kebagian di kelas ini. Jadi mulai hari ini, Raga menjadi salah satu murid yang satu kelas dengan kamu." panjang lebar Kiki menjelaskannya, berharap kalau Ify akan menerima keputusan komite sekolah bahwa ini sudah ketentuan mutlak yang tidak bisa diubah lagi hanya karena untuk menuruti kemauan Ify. "Dan lagi, ketua yayasan berpesan kalau keputusan ini tidak bisa diganggu gugat. Beliau meminta saya untuk menyampaikan ini apabila kamu protes pada keputusan yayasan." meski sedikit takut, tapi Kiki memberanikan diri untuk menyampaikan pesan sesuai apa yang dia dapat di sewaktu rapat. Mendengar ketua yayasan, Ify jadi menurunkan emosinya. Dia tidak bisa marah-marah di sini karena secara tidak langsung dia akan menentang papanya sendiri. Ify hanya bisa menelan rasa marahnya dalam-dalam dan menyimpan emosinya untuk dia lampiaskan kepada Mr. Stuart nanti saat dia sudah tiba di rumah. "Kalau begitu, pelajaran akan saya lanjutkan." Kiki kembali ke posisinya semula dan kembali menerangkan tentang pelajarannya. "Udah, mending lo tidur aja lagi. Daripada tambah kesel 'kan?" bisik Via mencoba membujuk Ify agar tidak berteriak di dalam kelas. Kali ini, Ify menuruti apa kata-kata Via. Ify memakai earphone-nya lagi dan merebahkan kepalanya ke mejanya. Dengan sengaja, Via mengusap-usap kepala Ify. Via berharap dengan begini maka Ify akan cepat tertidur meski akhirnya tangannya pun ditepis kasar oleh Ify. Tanpa ada yang tahu, Raga tersenyum sinis melihat Ify yang kalah dengannya. Malaikat yang sedang menjelma sebagai manusia itu merasa menang, karena dia berhasil mengatur semuanya demi bisa satu kelas dengan Ify. Dia kira, dia hebat dengan hidup bertopeng begitu? Raga mencibir Ify dalam hati. *** "Kova! Sini!" Seakan tak pernah lelah untuk menebarkan senyuman. Itulah yang Rio lakukan. Dia tersenyum hanya karena melihat Shilla bermain-main bersama Kova. Hal sekecil apa pun itu, bisa membuat Rio tersenyum, seakan-akan suasana hatinya tidak pernah buruk. Meski Rio merasa kesakitan ketika para petani sedang memanen bunga mawar, dia akan tetap tersenyum pada mereka seraya memberi semangat agar petaninya senang dan betah bekerja di ladang mawar miliknya. "Apa kamu tidak punya kesibukan? Sampai-sampai kamu bermain dengan Kova tanpa lelah?" Shilla menolehkan wajahnya ke kiri saat dia mendengar ada suara lembut Rio menyapa telinganya. Gadis cantik itu mengembangkan senyuman di wajahnya hingga membuat kedua matanya terlihat lebih sipit. Shilla berdiri sambil menggendong Kova yang terlihat begitu dekat dengannya. "Kesibukanku membuat binatang selalu bahagia. Saat ini aku sedang membuat Kova bahagia, jadi aku memiliki kesibukan sekarang ini." jawabnya membuat Rio hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Shilla kembali sibuk dengan Kova, tanpa memedulikan Rio lagi. Begitu pula dengan Rio yang membebaskan Shilla datang ke rumahnya kapan saja. Terlebih lagi, sekarang ada Kova di sini. Jadi kemungkinan besar, Shilla akan lebih sering datang ketimbang dulu sebelum ada Kova. Mengenai Kova, dia adalah anak anjing yang ditinggal mati induknya. Kebetulan, Kova tidak memiliki saudara. Saat induknya sedang meregang nyawa, Shilla ada bersamanya. Malaikat yang bertugas menjaga kesejahteraan hewan itu merasa iba pada Kova, lalu dia memutuskan untuk membawa Kova ke rumah yang ditinggali Rio. Shilla berusaha sekeras mungkin untuk membuat Kova tidak bersedih karena kehilangan induknya. Jadilah, dia sangat sering datang ke rumah yang ditinggali Rio untuk mengajak Kova bermain. Shilla, dia juga malaikat seperti Rio dan Raga. Mereka berteman dekat sudah lama, meski usia Shilla terpaut jauh dari mereka berdua. Shilla, dia malaikat yang penuh tawa dan ceria. Kesehariannya hanya tersenyum, tertawa dan juga ramah. Namun tidak ada yang boleh bermain-main dengan Shilla, karena kalau dia sedang marah, maka keburukan apa saja yang dia ucapkan akan benar-benar terjadi. Itulah bahaya yang harus dihindari dari Shilla. "Kamu tidak merasa lelah?" "Aku sudah biasa merasakan semua ini selama tiga belas tahun." Lelaki tua bernama Axel datang menghampiri Rio. Walau raut wajahnya sudah tua dengan rambut yang sudah beruban, Axel tetap terlihat bugar dan sehat. Tiga belas tahun Rio hidup di sini, dia belum pernah melihat Axel sakit sampai dirawat di rumah sakit. "Kamu tidak berniat untuk melakukannya? Apa kamu akan membuat Raga bertindak lebih jauh lagi?" tiba-tiba saja, Axel menanyakan tentang hal yang tidak pernah dia tanyakan selama tiga belas tahun dia memperbolehkan Rio tinggal di rumahnya. Benar sekali, rumah yang sekarang ditempati oleh Rio itu sebenarnya adalah milik Axel. Lelaki tua yang saat ini sedang memegangi beberapa tangkai mawar hasil panennya sendiri. Rio tidak menjawab, dia hanya tersenyum meski Axel tidak tahu apa arti dari senyuman lelaki yang berdiri di sampingnya itu. "Jangan terlalu pasrah dan mengalah. Ada kalanya, kamu harus bernyali untuk merebut apa yang seharusnya kamu dapatkan." Axel menepuk-nepuk bahu Rio beberapa kali sebelum akhirnya dia meninggalkan Rio dan beralih kepada Shilla yang masih bermain bersama Kova. Apa yang dikatakan Axel barusan jadi terngiang-ngiang di telinga Rio. Dia tidak ingin memikirkannya namun tidak bisa. Rio sudah terlanjur memikirkannya walau sebenarnya dia juga enggan untuk berlarut-larut. Apa aku harus bergabung bersama Raga? Tanya hati kecilnya tiba-tiba. *** "Minggir!" titah Ify tak mau kalah dari Raga. "Lo yang minggir!" Raga balik berteriak di depan wajah Ify. "Kunyuk lo!" Ify mendorong kasar tubuh Raga sampai lelaki itu terhuyung ke belakang karena dia tidak siap kalau ternyata akan mendapat serangan dadakan dari Ify seperti ini. Setelah berhasil mendorong tubuh Raga, Ify langsung berjalan ke depan dan diikuti oleh Via di belakangnya. Beberapa murid mencibirnya karena menganggap itu hanyalah cari perhatian belaka. "Fy, lo mau makan bareng gue?" Tanpa takut, Ray menghampiri Ify yang terlihat sedang emosi. Dia bahkan mengajak Ify untuk makan siang bersama. "Nggak." Ify menolaknya mentah-mentah tanpa menoleh ke arah Ray sedikit pun. "Nih, gue ada coklat buat lo." Usaha demi usaha untuk mendapatkan Ify masih terus Ray lakukan, tapi selama ini usahanya selalu gagal. Sebanyak Ray mendekati Ify, sebanyak itu pula Ify menolak Ray. "Gue nggak suka coklat." sahutnya yang masih terus berjalan menyusuri koridor menuju kantin. Via nyengir-nyengir ke arah Ray seraya menengadahkan tangannya ke arah ketua OSIS itu. Via harap, Ray jadi ganti memberikan coklat tadi padanya. "Tapi gue pernah lihat lo makan coklat kok." Ray masih berusaha seakan dia tidak mengenal kata lelah. Ify menghentikan langkahnya sejenak lalu menatap Ray yang ada di samping kirinya. Tatapan matanya masih sama, tajam dan menakutkan. "Maksud gue itu, gue nggak suka coklat murahan." tanpa beban Ify mengatakan ini, lalu dia kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Ray sendirian di tempat mereka berhenti tadi. Mata Via melebar sempurna mendengar Ify bicara demikian. Via menepuk bahu Ify pelan, hingga membuat gadis itu memelotitinya dan seakan-akan ingin menelan Via hidup-hidup. "Mulut lo savage banget sih? Nggak bisa apa, jadi cewek tuh yang lebih lembut dikit gitu kayak cewek-cewek lain. Kalau gini terus, kapan lo bakal punya pacar?" komentar Via karena dia mengkhawatirkan nasib Ify yang nyaris tidak pernah punya pacar meski usianya sudah delapan belas tahun. "Gue Ify! Bukan cewek-cewek lain! Dan emang, lo pikir gue mau ngabisin waktu nggak berguna cuma buat pacaran?" "Kenapa gue bisa betah temenan sama cewek kayak lo coba?" "Karena lo butuh nilai bagus biar bisa naik kelas." sahut Ify santai. "Mulut lo kayak babi, anjir. Gini-gini, otak gue juga bisa diadu sama Albert Einstein." "Albert Einstein dari Hongkong? Lo ngalahin gue aja harus panjat tebing, ngelewatin lautan terus balik panjat gunung dulu. Pake nyombong segala bawa-bawa Albert Einstein." balas Ify disertai senyuman sinisnya melihat Via kegerahan karena kata-katanya. Via hanya bisa mengelus dadanya sendiri, dia berusaha sabar menghadapi sifat dan sikap Ify yang selalu seperti ini. "Mulut lo, lama-lama gue kasih sambel biar dower." Via terlanjur kesal, sampai-sampai dia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai guna melampiaskan kekesalannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD