Ify memerhatikan Via sedang merapikan buku-buku tugas milik teman satu kelasnya. Dia tidak habis pikir dengan ide Via tadi yang sama sekali tidak membuat Ify ingin membantunya.
"Ayo, Fy," ajak Via setelah dia berhasil membawa semua buku-buku tadi.
Ify melengos, dia tidak menjawab tapi Ify tetap berdiri dan mengekor di belakang Via. Dia enggan berjalan di depan Via ataupun di samping Via karena Ify malas mendengar ada mulut-mulut yang kalau bicara suka seenaknya sendiri tanpa tahu kenyataannya bagaimana. Walau Ify sadar bahwa yang keluar dari bibirnya itu menyakitkan hati orang lain tapi Ify hanya bicara sesuai fakta.
"Heh... Bantuin dong!" pinta Via sambil mengarahkan buku-buku di tangannya yang sudah pasti berat.
Kata-kata Via mental, tidak ada pergerakan sedikitpun dari Ify. Gadis dengan sorot mata tajam itu tetap saja memandang ke depan tanpa menghiraukan Via yang tampak kesusahan.
"Nggak punya hati lo ya jadi temen, seneng banget lihat gue sengsara begini!" pekik Via sekencang mungkin, sampai suaranya mengundang beberapa murid yang sedang berbincang di selasar jadi menatap ke arah mereka berdua.
Ekor mata Ify melirik ke arah Via sekilas lalu fokus ke depan lagi. Dari luar maupun dalam, Ify benar-benar tidak ada niat sedikit pun buat membantu Via meski hanya membawa satu buku saja. Dia malah asik menyilangkan kedua tangannya ke depan d**a.
"Suruh siapa lo mengajukan pertolongan ke guru buat bawa itu buku-buku. Lo 'kan yang pengen sok jadi pahlawan. Jadi ya, nggak usah nyeret gue dalam kerepotan lo itu lah."
Via melongo, kedua matanya tidak berkedip mendengar apa yang baru saja Via katakan. Dia tak menyangka akan mendengar Ify bicara sepanjang itu. Rasa beratnya pada buku-buku yang dia bawa sirna seketika. Via lebih tertarik pada Ify yang tiba-tiba menyahutinya lebih dari dua kalimat.
"Kepala lo? Nggak habis kebentur tiang bendera 'kan, Fy?" tanya Via heran.
Suara kekehan sinis terdengar dari bibir tipis Ify. Kepalanya menoleh sebentar ke arah Via sambil menatapnya tajam namun ada seringaian menyebalkan di wajah cantik Ify.
"Bukan kebentur tiang bendera, tapi abis kena bola basket," sahutnya sinis.
"Argh...!" Ify meringis lirih ketika dia merasa ada yang membentur kepalanya. Ify sempat melihat bola basket benar-benar mendarat indah di keningnya. Padahal tadi dia hanya berkata asal, namun malah menjadi kenyataan.
"Ify! Jangan pingsan!" pekik Via kehebohan karena barusan Ify benar-benar terkena lemparan bola basket dari arah lapangan yang ada di sebelah kiri.
Semua buku tugas yang tadi dibawa oleh Via langsung terjatuh berserakan di lantai akibat rasa kagetnya melihat Ify terkena bola basket lalu ambruk tergeletak dengan posisi tengkurap. Via langsung menggoyang-goyangkan badan Ify, berharap sahabatnya itu segera terbangun.
"Duh, tolongin dong! Tolong!" Via sudah dilanda rasa panik karena tak kunjung ada yang mendekat.
Banyak murid yang melihat, tapi mereka tidak berani mendekati Via. Alasannya apa lagi kalau bukan karena yang pingsan adalah Ify. Gadis paling mengerikan di sekolah dan yang paling ditakuti semua warga putih abu-abu termasuk gurunya.
Via panik bukan main, dia melihat ke arah lapangan buat mencari siapa yang sudah melemparkan bola basket tadi sampai mengenai Ify. Namun di lapangan banyak anak basket, sehingga Via tidak tahu pastinya siapa.
"Fy, bangun dong! Jangan pingsan di sini!" pekik Via kebingungan karena sampai sekarang masih belum ada satu pun murid yang berani mendekat kepadanya dan menolong Ify.
Berulang-ulang Via menggoyang-goyangkan tubuh Ify, tapi hasilnya tetap nihil. Ify tidak bergerak sedikitpun. Temannya itu benar-benar pingsan.
"Sorry, gue nggak sengaja." Sebuah suara mengalihkan pandangan Via, ternyata yang bicara barusan itu adalah Raga.
Via tidak tahu kalau Raga ikut club basket, jadi dia sedikit kaget ketika melihat Raga datang dengan pakaian basket seperti sekarang ini. Raga adalah orang pertama yang mau mendekati Via.
"Jadi lo yang udah ngelempar bola basket ke Ify?" tanya Via marah.
Raga menggaruk tengkuknya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. Mau tak mau, Raga akhirnya menganggukkan kepalanya dan mengakui kesalahannya.
"Aku tidak sengaja melakukannya," kata Raga berusaha membela diri.
Via marah kepada Raga, ingin rasanya dia memukul wajah laki-laki yang sering sekali membuat Ify celaka itu. Namun Via mengurungkan niatnya ketika melihat Ify yang pingsan. Tak hanya itu, Via juga menatap ke semua buku-bukunya yang berserakan di lantai.
"Aish!" desah Via menahan umpatannya untuk Raga karena Via sedang tidak ingin semuanya jadi runyam.
Tatapan tajam Via pada Raga, membuat lelaki itu menunduk. Raga tidak berani membalas tatapan Via yang jelas-jelas kesal kepadanya.
"Mending sekarang lo bawa Ify ke UKS!" titah Via sambil menunjuk jalan menuju ruang usaha kesehatan sekolah berada.
Raga sedikit takut-takut untuk mengiyakan perintah Via, tapi Raga juga tidak punya keberanian untuk menolak. Terlebih lagi kali ini memang dia dalam edisi tidak sengaja. Bukan seperti kemarin-kemarin yang memang sengaja merekatkan lem di kursi Ify atau menaruh bouquet bunga mawar merah di dalam tas Ify. Entah kenapa, Raga malah lebih takut karena ketidaksengajaan seperti ini ketimbang dia melakukannya dengan sengaja.
"Malah bengong. Cepetan bawa Ify ke UKS!" titah Via lagi. "Gue mau ke ruang guru buat nganterin buku-buku ini," lanjut Via sembari membereskan buku-buku milik teman satu kelasnya yang harus dikumpulkan sekarang juga.
Raga tampak kikuk, dia tidak tahu bagaimana caranya menolong Ify karena biasanya Raga malah menjahilinya. Terlebih lagi Ify adalah putri dari pemilik sekolah yayasan tempat mereka bersekolah. Kalau salah sedikit, bukan lagi surat peringatan yang dia dapatkan, melainkan surat drop out yang bakal Raga bawa pulang. Kalau sudah begitu, bisa sia-sia usahanya buat bisa masuk ke SMA Golden's.
"Cepetan, Raga!" sentak Via yang sudah berada di ambang batas kesabarannya.
"Aku takut mau nolongin Ify," akhirnya Raga mengutarakan hal yang sedari tadi dia pendam.
Via menepuk keningnya sendiri, dia menatap Raga lama hingga akhirnya Via meletakkan bukunya lagi ke lantai.
"Ya udah, lo anter itu buku-buku ke ruang guru, biar gue yang bawa Ify ke UKS," kata Via memilih membantu Ify ketimbang kena marah dari guru.
Raga gelagapan, dia semakin dibuat bingung karena tindakan Via. Sekarang Raga sudah melihat Via yang berusaha menggendong Ify di punggungnya tapi tidak berhasil.
"Iya deh iya, gue bawa Ify ke ruang UKS." Raga akhirnya mengalah dan mau menolong Ify dan Via.
Raga segera menggendong Ify yang menurutnya seringan kapas. Sedangkan Via, dia melancarkan aksinya buat membawa buku-buku tugas tadi ke ruang guru. Barulah nanti setelah dari ruang guru, Via akan menyusul Ify di ruang UKS.