10 - Terkejut - √

2012 Words
  1 minggu sudah berlalu, itu artinya Inez sudah tidak lagi berada di Bandung, karena Inez sudah kembali ke Jakarta. Inez berangkat dari Bandung sore, jadi ketika sampai di Jakarta hari sudah beranjak malam.    Sama seperti sebelumnya, kali ini Inez juga pulang menaiki kendaraan pribadinya, tentu saja bersama dengan Malik juga Ayunda.    Inez baru saja sampai dia apartemennya. Inez di antar oleh Malik dan Ayunda, setelah mengantarnya, Malik akan mengantar Ayunda, barulah pulang ke kosannya sendiri. Mereka akan bertemu lagi pada hari senin, karena besok mereka akan istirahat.    Inez memutuskan untuk pulang ke apartemen, bukan ke rumah orang tuanya. Padahal saat akan pulang ke apartemen, ia melewati rumahnya. Tapi Inez memilih untuk melewatinya, sama sekali tidak mampir, walau sekedar untuk menyapa Ibu juga adiknya.   Jika Inez mampir, maka ia yakin kalau ia akan mendapatkan banyak sekali nasehat dari Ibunya. Nasehat yang sama sekali tidak penting, menurut Inez.   Kemarin sore, Narendra menghubungi Inez, memberi tahu Inez kalau dirinya akan pergi ke Singapura selama 1 minggu. Tidak ada sang Ayah di rumah, itulah alasan kenapa Inez memilih untuk pulang ke apartemen.   Nanti jika sang Ayah sudah kembali dari Singapura, ia pasti akan pulang. Untuk saat ini, lebih baik ia tinggal di apartemennya. Ia akan pulang ke rumah jika Ayahnya sudah pukang. Tapi mungkin besok atau lusa, ia akan pulang sebentar karena ada barang yang harus ia ambil di rumah orang tuanya.   Inez berharap kalau saat nanti ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya, ia tidak bertemu dengan Ibu ataupun adiknya, terutama Ibunya.   Inez menempelkan telapak tangan kanannya pada alat pemindai, tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka.    Inez memasuki apartemen, lalu menaruh beberapa barang bawaannya di meja, kecuali tasnya. Tadi Malik dan Ayunda menawarkan diri untuk membantunya membawa barang-barang tersebut, tapi ia menolaknya karena ia tahu kalau keduanya juga sangat lelah seperti dirinya.   Inez melangkah menuju kamarnya, masih sambil menenteng tasnya. Begitu ia sudah memasuki kamar, ia melihat ada gundukan panjang di tengah-tengah tempat tidurnya.   Mata Inez memicing, mengamati dengan seksama gundukan tersebut. Kira-kira, apa yang ada di tengah tempat tidurnya?   Kedua mata Inez membola sempurna begitu ia sadar kalau mungkin saja gundukan tersebut adalah orang.   Inez jelas sangat shock, tapi di saat yang sama, ia juga merasa penasaran. Siapa oarng yang saat ini berbaing di atas tempat tidurnya? Apa Erlina? Atau justru maling yang sedang bersembunyi begitu tahu kalau pemilik apartemennya datang? Tapi jika orang yang saat ini berbaring di tempar tidurnya adalah maling, bukankah seharusnya tidak bersembunyi di tempat tidurnya? Bukankah seharusnya maling tersebut bersembunyi di tempat lain? Misalnya kamar mandi, atau bahkan lemarinya?   Inez tidak bisa melihat orang tersebut laki-laki atau perempuan karena seluruh tubuhnya tertutupi dengan selimut. Terlebih saat ini lampu kamarnya dalam keadaan mati, jadi suasana kamarnya sangat remang-remang.    Cahaya yang saat ini menyinari kamarnya adalah dari lampu balkon kamarnya. Gorden kamarnya dalam keadaan terbuka, karena itulah cahaya dari lamu balkon bisa memasuki kamarnya mengingat pemisah antara kamar dan balkon adalah dinding kaca, bukan tembok..   Inez menarik dalam nafasnya, mengumpulkan keberanian untuk menghamiri orang tersebut.   Ya, pada akhirnya, Inez memutuskan untuk menghampiri orang tersebut. Inez ingin tahu siapa orang tersebut, karena itulah ia akan menyibak selimut yang menutupi tubuh orang tersebut, dan jika orang tersebut bersenjata, maka ia akan terlebih dahulu memukul wajahnya menggunakan tas yang saat ini masih ia bawa.   Tapi, bagaimana jika orang tersebut memang benar perampok dan ternyata membawa senjata api? Tapi, belum tentu kalau orang yang saat ini terbaring di atas tempat tidurnya peramok, dan ia akan tahu siapa orang tersebut jika ia melihatnya sendiri.    Secara perlahan, Inez mendekati tempat tidurnya, mencoba untuk melangkah sepelan mungkin agar orang tersebut tidak menyadari pergerakannya.   Begitu jaraknya dan orang tersebut sudah dekat, dengan cepat, ia menyibak selimut tersebut, bersiap untuk memukul orang tersebut.    "Arsa!" Inez berteriak heboh, sangat terkejut saat tahu kalau Arsalah yang saat ini berbaring di atas tempat tidurnya. Astaga! Untung saja ia tidak langsung memukul Arsa menggunakan tasnya. Inez tidak bisa membayangkan betapa kesakitannya Arsa jika ia memukul wajah pria itu menggunakan tasnya.    Inez mendengus, lalu menaruh tasnya di nakas. Inez menekan tombol, lalu tak lama kemudian, semua lampu kamar menyala.   Inez lalu duduk di samping kiri Arsa, mengamati dengan seksama wajah pria yang sudah 1 minggu ini tidak ia lihat.   "Kenapa Arsa bisa memasuki apartemennya? Padahal ia sudah mengganti sandi apartemennya?" Pertanyaan tersebut kini mengganggu pikiran Inez.    Inez akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut jika ia bertanya langsung pada yang bersangkutan.   Sekarang Arsa masih tidur, jadi Inez harus membangunkannya. Padahal teriakannya tadi cukup keras, tapi ternyata Arsa sama sekali tidak terganggu dengan teriakannya. Apa ia harus berteriak di telinga Arsa agar Arsa bangun dari tidurnya?   Inez menggeleng, menolak untuk melakukan hal tersebut. Ia takut teriakannya malah akan membuat gendang telinga Arsa rusak, jadi lebih baik ia tidak berteriak di telinga Arsa.   "Ar, Arsa. Bangun Arsa!" Inez mengguncang bahu Arsa sambil terus memanggil Arsa.   Tak berselang lama kemudian, Arsa bangun dari tiduranya.   Arsa mengerang sambil memegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Arsa merubah posisinya menjadi duduk, lalu menatap orang yang saat ini duduk di samping kirinya.    "Inez," gumam Arsa dengan mata memicing. Arsa tidak yakin, apa perempuan yang saat ini duduk di hadapannya memang Inez atau bukan? Tapi dari aroma parfume yang masuk ke indera penciumannya, ia yakin kalau perempuan di hadapannya ini memang Inez. Inez memiliki aroma parfume yang khas, karena Inez memang meracik sendiri parfumenya.    "Kamu mabuk?" Inez mencium bau alkohol yang begitu menyengat dari mulut Arsa. Inez memindai penampilan Arsa, menghela nafas berat begitu ia sadar kalau pria di hadapannya ini memang benar-benar mabuk berat.   Astaga! Padahal Arsa tahu kalau mabuk itu tidak boleh, tapi kenapa Arsa malah mabuk? Rasanya Inez ingin sekali memukul kepala Arsa, tapi ia tidak akan bisa melakukan hal itu.   "Kamu sudah pulang?" Arsa balik bertanya. Arsa merangkum wajah Inez, lalu mengamatinya dengan seksama. "Ini beneran nyata atau cuma ilusi ya?" gumam Arsa kebingungan. "Eh, kok wajah kamu ada banyak sih? Bukan cuma 1, tapi ada 3." Arsa panik begitu melihat wajah Inez ada bayak. Arsa menggeleng, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada Inez. "Nah, kalau sekarang wajahnya cuma 1, enggak banyak kaya tadi," ucapanya pelan. Setelah itu Arsa tertawa, tapi tak lama kemudian mulai meracau..   Inez memutar jengah bola matanya, rasanya ia ingin sekali meninju wajah Arsa sekaligus berteriak di depan wajah Arsa kalau dirinya ini nyata, bukanlah sebuah ilusi. Wajahnya juga hanya 1, tidak banyak.    Inez melepas kedua tangan Arsa dari wajahnya, ia lalu mundur, menjauhi Arsa. Inez bersedekap, tak lupa untuk memberi Arsa tatapan tajam. "Kenapa kamu bisa masuk ke apartemen aku? Kamu tahu sandi apartemen aku dari mana? Terus, kenapa kamu ada di kamar aku? Sejak kapan kamu ada di apartemen aku? Padahal aku sudah mengganti sandi apartemen aku."    "Dasar cerewet." Arsa menggerutu.   Kedua mata Inez melotot sempurna begitu mendengar gerutuan dari Arsa. Arsa bilang apa barusan? Dasar cerewet? Dirinya cerewet?   Inez menoyor kepala Arsa, benar-benar kesal karena Arsa baru saja mengatakan kalau dirinya cerewet. "Aku bukan cerewet, tapi aku sedang mengintrogasi kamu."   "Baiklah, aku jawab semua pertanyaan kamu. Pertama, aku enggak tahu sandi apartemen kamu. Kedua, aku masuk ke apartemen kamu tidak pakai sandi, tapi pakai kartu akses kamu yang ketinggalan di mobil aku. Ketiga, aku ada di kamar kamu karena aku ngantuk, makanya aku tidur."    Inez lantas menepuk keningnya, lalu menggerutu, merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana ia bisa lupa tentang fakta kalau apartemennya bisa di akses dengan berbagai macam cara. Pertama, apartemennya bisa di akses menggunakan telapak tangannya. Kedua, bisa di akases menggunakan sandi. Ketiga, bisa di akses menggunakan key card, dan yang terakhir, bisa di akses menggunakan wajahnya.   Inez berhenti merutuki kebodohannya begitu ia mendengar Arsa yang mulai meracau. Inez tidak tahu apa yang Arsa katakan, karena ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.    "Kenapa kamu mabuk, hm?" Inez yakin Arsa pasti sangat stres sampai pada akhirnya Arsa memutuskan untuk pergi mabuk. Dulu, setelah kedua orang tuanya meninggal, Arsa sempat mabuk. Tapi setelah hari itu, Arsa tidak pernah lagi mabuk dan sekarang Arsa malah kembali mabuk, dengan kata lain, Arsa jarang sekali menenggak miras.   "Karena kamu." Arsa menunjuk Inez, lalu tertawa terbahak-bahak, seolah ada kejadian yang lucu, padahal tidak terjadi hal yang lucu.    "Ternyata dia benar-benar mabuk," ucap Inez sambil menghela nafas panjang.    Inez melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, kembali menghela nafas berat, saat tahu kalau ini sudah malam. Ia sudah sangat lelah, jadi ia malas untuk mengantar Arsa pulang ke rumahnya. Ia juga tidak mungkin meminta Reno untuk datang menjemput Arsa, karena saat ini Reno sudah berada di rumah sakit.    Nesya pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan begitu ia meminta agar Reno datang menjemput Arsa di apartemennya. Jika Nesya sampai tahu kalau Arsa mabuk, Nesya akan sangat marah pada Arsa.    Saat Inez sedang sibuk berpikir, Arsa mendekati Inez.   "Akh!" Inez sontak menjerit histeris, terkejut sekaligus panik ketika Arsa tiba-tiba mengangkat tubuhnya, lalu mendudukkan dirinya dalam pangkuan pria itu.   "Jangan teriak-teriak, berisik tahu."   Inez memukul bahu Arsa, bukan hanya sekali tapi berkali-kali, melampiaskan rasa kesal yang ia rasakan. "Makanya jangan buat aku terkejut!" teriaknya, lagi.   Arsa hanya terkekeh, sama sekali tidak merasa bersalah karena sudah membuat Inez kesal.   "Akhirnya, akhirnya aku bisa memeluk kamu sekaligus menghirup aroma parfume yang kamu kenakan." Arsa membatin, sama sekali tidak bisa menutupi rasa senangnya karena kini Inez sudah kembali.   Arsa terus menatap Inez, hal yang sama juga Inez lakukan pada Arsa. Inez juga terus menatap Arsa, menyelami manik mata Arsa yang begitu indah.   Pandangan Arsa turun menuju bibir ranum Inez. Inez sadar kalau Arsa kini menatap bibirnya, bukan lagi menatap matanya.   Deru nafas Arsa mulai memburu, dan itu juga terjadi pada Inez. Inez mencoba untuk tidak tergoda dengan pesona yang Arsa miliki, tapi ternyata ia tidak bisa menolaknya.   Seharusnya ia turun dari pangkuan Arsa, lalu meminta agar Arsa pulang atau tidur di kamar yang satunya. Tapi ia malah mengalungkan kedua tangannya pada leher jenjang Arsa, membelai leher jenjang Arsa dengan gerakan sensual.   Arsa mendongak dengan mata terpejam, menahan gairahnya yang mulai membara. Sentuhan yang saat ini Inez lakukan di lehernya berhasil memancing gairahnya.   Dengan cepat, Asra merangkum wajah Inez, menempelkan bibirnya pada bibir ranum Inez. Arsa mencium Inez dengan penuh nafsu, dan Inez membalas ciuman Arsa.   Entah Inez sadar atau tidak, tapi kini kedua tangannya memasuki kaos polos yang Arsa kenakan, lalu membelai perut berotot Arsa.   Arsa terkejut dengan apa yang Inez lakukan, tapi ia sama sekali tidsk menolak sentuhan Inez, karena ia memang menikmatinya.   Semakin lama, kedua tangan Inez semakin masuk, dan kini sudah berada di balik punggung Arsa. Kedua tangan Inez membelai punggung kekar Arsa, naik turun dengan intens.   Sentuhan yang Inez berikan berhasil membuat Arsa semakin pusing, di barengi dengan gairahnya yang semakin berkobar.   Inez mendesah. Suara desahan Inez membuat Arsa semakin bersemangat untuk mencium Inez.   Inez menyudahi ciumannya dengan Arsa, lalu mendongak, memberi Arsa ijin untuk mengexplore leher jenjangnya.   "Jangan buat tanda kissmark!" Inez memberi peringatan tegas. Inez tidak mau ada tanda kissmark di lehernya, karena itu hanya akan membuatnya kerepotan.   Arsa baru saja akan menghisap leher jenjang Inez begitu mendapatkan peringatan tegas dari Inez.   Arsa menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Inez, lalu kembali merangkum wajah Inez. Arsa mengecup bibir Inez yang membengkak, sekaligus memerah, dan itu semua karena perbuatannya.   Sama seperti Inez, bibir Arsa juga sama bengkaknya dengan bibir Inez.   "Ar, aku lelah." Perjalanan dari Bandung ke Jakarta cukup melelahkan, karena itulah Inez ingin beristirahat.    "Dan aku sangat merindukan kamu," lirih Arsa. Arsa semakin mengeratkan pelukannya pada Inez, dan Inez sama sekali tidak menolak pelukannya.   "Aku juga kangen banget sama kamu," ucap Inez dalam hati. Inez tidak akan mengatakannya karena ia takut kalau Arsa menyadari perasaannya.    Inez memejamkan matanya, lain halnya dengan Arsa yang kini malah membuka kelopak matanya. Arsa menunduk, melabuhkan banyak sekali kecupan di pelipis Inez. "Akhirnya kamu pulang."   "Pekerjaan aku sudah selesai, makanya aku pulang." Inez menyahut lirih.   "Selamat datang."   "Hm." Inez hanya bergumam, lalu membalas pelukan Arsa. "Tidur ya, aku ngantuk banget."   "Tidurlah," bisik Arsa. Arsa membaringkan Inez di sampingnya, lalu menutupi tubuh mereka dengan selimut.   Besok adalah hari minggu, Arsa tidak akan masuk ke rumah sakit. Jadi tidak akan masalah kalau nesok ia bangun kesiangan. Tadi sore, Arsa juga sudah menghubungi Reno dan juga Nesya, meminta keduanya agar tidak khawatir padanya jika malam ini ia tidak pulang ke rumah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD