11 - Perjodohan - √

1554 Words
Bel apartemen Inez berbunyi dengan sangat nyaring. "Siapa sih? Pagi-pagi datang bertamu." Inez menggerutu, kesal karena tidur pulasnya terusik Begitu kelopak matanya terbuka, Inez langsung menatap jam di nakas, menghela nafas panjang saat melihat jarum jam pendek masih menunjuk angka 6, sedangkan jarum jam panjang menunjuk angka 3. Padahal ia baru saja tertidur lagi setelah tadi bangun. "Bel berbunyi, itu artinya ada yang datang." Inez bergumam, lalu kembali memejamkan matanya. "Itu artinya ada yang datang." Ulang Inez dalam hati. Inez membuka matanya, melotot begitu ia sadar kalau ada orang yang datang mengunjungi apartemennya. Inez menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, bernafas lega saat melihat pakaian masih melekat utuh di tubuhnya. Inez menyingkirkan tangan Arsa dari pinggangnya, lalu berbalik menghadap Arsa. Inez akan membangunkan Arsa, karena ia memang harus membangunkan Arsa. "Ar, bangun Ar." Inez mengguncang bahu Arsa dengan kuat, dan tak lama kemudian Arsa bangun dari tidurnya. Membangunkan Arsa memang tidak sulit, sangat mudah. "Ada apa?" tanya pria tersebut dengan suara serak. Arsa mengucek matanya, lalu menatap Inez sambil menguap. "Bel apartemen aku berbunyi, itu artinya ada yang datang. Hanya orang tua aku dan Erlina yang tahu di mana unit apartemen aku berada, jadi kemungkinan besar yang datang adalah Ibu, atau adik aku." Inez menjawab dengan panik. Tidak mungkinkan kalau Ayahnya yang datang? Kan Ayahnya ada di Singapura. Jangan sampai orang yang datang adalah Ayahnya karena jika sampai Ayahnya melihat Arsa ada di apartemennya, lalu tahu kalau semalam Arsa menginap dan tidur 1 ranjang dengannya, maka Inez yakin kalau Ayahnya akan marah besar. "Ya sudah, biarin aja." Arsa akan kembali berbaring, tapi Ines menahannya. "Arsa!" Inez akhirnya berteriak, kesal karena Arsa menanggapinya dengan sangat santai. "Kalau Ibu atau Erlina tahu kamu ada di sini, dan semalam menginap di sini, mereka akan bilang sama Ayah, dan Ayah pasti akan marah. Kamu tahu, aku enggak mau Ayah marah sama aku." "Baiklah, aku akan sembunyi dan keluar setelah semuanya aman." Arsa baru sadar kalau jawaban yang tadi ia berikan pada Inez salah. Seharusnya ia tidak berkata seperti itu. Inez bernafas lega, lalu mengangguk, setuju dengan rencana Arsa. "Baiklah, aku mau keluar dulu, mau lihat siapa yang datang." Inez menuruni tempat tidur, tapi Arsa menahan pergelangan tangan kanan Inez, dan apa yang Arsa lakukan berhasil membuat langkah Inez terhenti. Inez berbalik menghadap Arsa, saat itulah Arsa menempelkan bibirnya pada bibir Inez, hanya mengecupnya tidak lebih. Inez ingin sekali memarahi Arsa, tapi bel terus berbunyi. Inez hanya mendengus, lalu bergegas keluar dari kamar. Senelum membuka pintu apartemen, Inez terlebih dahulu memindahkan barang-barang yang semalam ia simpan di meja ke balik sofa. Inez langsung membuka pintu tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang datang. "Ibu," gumam Inez tanpa sadar.. "Ah jadi benar kalau kamu sudah pulang." Ashila bersuara. "Bodoh, dasar bodoh!" umpat Inez dalam hati. Inez mengumpati dirinya sendiri yang ceroboh, tidak terlebih dahulu memeriksa siapa yang datang. Seharusnya tadi ia melihat terlebih dahulu, lalu merapihkan penampilannya yang memang sedikit berantakan. Biasanya Ashila akan mengomentari penampilannya yang berantakan, dan Inez sedang malas mendengar komentar dari Ibunya tersebut. Ashila mengamati penampilan Inez, mulai dari bawah sampai atas. "Kamu baru bangun?" "Iya Bu, Inez baru bangun." Inez membuka lebar pintu apartemen, mempersilakan Ashila memasuki apartemennya. "Kamu sendiri?" Ashila berbalik menghadap Inez yang kini berjalan tepat di belakangnya. Ashila menatap intens Inez, dan Inez sama sekali tidak merasa gugup. Inez terlihat santai. "Menurut Ibu?" Inez balik bertanya tanpa menjawab Ashila. Inez pergi menuju dapur, sedangkan Ashila memilih untuk duduk di sofa sambil terus mengamati setiap sudut apartemen Inez. Ashila akhirnya sadar kalau tata letak barang di apartemen Inez sudah berubah dari terakhir kali ia datang berkunjung. "Ada apa Ibu datang kemari?" Inez yakin kalau Ashila pasti mempunyai maksud tertentu karena datang menemuinya secara langsung. Inez meletakkan jus buah mangga tepat di hadapan Ashila, lalu duduk di sofa yang berbeda. "Ibu ingin menjenguk kamu, apa tidak boleh?" Setelah itu, Ashila meminum jus yang Inez suguhkan. Jujur saja, Inez tidak percaya dengan jawaban yang Ibunya berikan. Inez yakin, seyakin-yakinnya kalau pasti Ashila datang dengan maksud dan tujuan tertentu. Tapi Inez memilih untuk tidak lagi bertanya, dan ia ikut meminum jus. "Apa kamu sudah memiliki kekasih?" Inez hampir saja tersedak jus yang sedang ia minum begitu mendengar pertanyaan yang Ibunya ajukan. Inez menggeleng. "Belum, memangnya kenapa?" Seketika firasat Inez mulai tidak enak. "Kenapa belum memiliki kekasih? Usia kamu sudah dewasa, sudah waktunya kamu untuk menikah, membina rumah tangga seperti Ayah dan Ibu. Kamu cantik, juga mandiri, apa sulit untuk mendapatkan kekasih?" "Justru karena itulah, Inez sulit mendapatkan kekasih yang benar-benar tulus mencintai Inez." Ada banyak sekali pria yang mendekatinya begitu mereka tahu kalau ia adalah anak dari Narendra, salah satu pengusaha paling kaya di negeri ini. Saat itulah Inez tahu kalau mereka mendekatinya karena dia adalah anak orang kaya. "Ayah kamu memiliki banyak sekali rekan bisnis, dan rekan bisnis Ayah kamu juga memiliki anak pria yang usianya tak jauh berbeda dengan kamu. Kamu tidak ingin melakukan pendekatan dengan mereka? Ibu bisa saja mengenalkan salah satu anak mereka sama kamu," jelas Ashila secara rinci. "Jangan bilang kalau Ibu berniat menjodohkan Inez dengan salah satu anak dari rekan bisnis Ayah?" Inez menatap sang Ibu dengan mata memicing penuh curiga. "Bukankah itu ide yang bagus?" Ashila menatap Inez dengan sebelah alis terangkat. "Ibu tahu, Inez tidak akan pernah mau di jodohkan dengan siapapun itu, karena Inez ingin menikahi pria yang Inez cintai." Inez menyahut dengan tegas. "Kita lihat saja nanti, apa kamu akan setuju untuk di jodohkan? Atau justru akan menolak perjodohan tersebut, jika memang benar Ibu berniat menjodohkan kamu." Ashila tersenyum, lalu kembali menenggak jusnya, kali ini sampai habis tak tersisa. Inez tidak akan pernah mau di jodohkan jika memang nanti sang Ibu berniat untuk menjodohkannya, kecuali ada alasan kuat kenapa ia harus menerima perjodohan tersebut. Kira-kira, apa alasan kuat yang bisa membuatnya menerima perjodohan tersebut? "Baiklah, Ibu pergi ya." "Iya." Inez berdiri, begitu pun dengan Ashila. Inez mengantar kepergian Ashila. Begitu pintu apartemen tertutup, Inez menyandarkan punggungnya, merasa luar biasa lega karena ternyata Ibunya tidak pergi memeriksa kamarnya. "Ibunya tidak tahukan kalau Arsa ada di apartemennya? Atau jangan-jangan Ibunya tahu kalau Arsa ada di apartemennya?" Inez menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Inez pergi menuju kamar, saat itulah ia mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi. Inez yakin kalau Arsa sedang mandi. Inez memilih merapihkan tempat tidur, lalu membuka gorden dan jendela kamarnya. Sejuk, itulah yang Inez rasakan begitu jendela kamar terbuka, dan udara pagi menerpa wajahnya. Setelah merapihkan tempat tidur, Inez keluar dari kamar. Inez akan membuat sarapan, dan ia akan membuat sarapan yang simpel karena ia sedang malas masak. "Cokelat hangat dan roti bakar, sepertinya enak," gumam Inez penuh semangat. Inez mulai fokus membuat sarapan, dan sepertinya Inez terlalu fokus membuat sarapan sampai tidak sadar kalau sejak beberapa menit yang lalu, Arsa sudah berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Arsa memutuskan untuk menghampiri Inez, lalu berdiri di samping kanan Inez. Kali ini giliran yang Inez terkejut dengan kehadiran Arsa, dan Arsa yang tertawa. Arsa membantu Inez untuk menaruh sarapan yang sudah Inez buat di meja makan. Arsa dan Inez duduk berdampingan, dengan segelas cokelat dan sepiring roti bakar di hadapan mereka. "Terima kasih atas sarapannya." "Hm." Inez menyahut dengan lesu, dan Arsa sadar akan hal itu. "Jadi, siapa yang tadi datang?" Arsa ingin tahu siapa yang datang, karena mungkin orang itulah penyebab Inez berubah murung. "Ibu." "Oh Ibu kamu, mau ngapain?" Siapa tahu ada hal penting yang Ibunya Inez sampaikan karena itulah Ibunya Inez datang langsung menemui Inez. Pertanyaan Arsa sukses membuat Inez diam. Inez sedang mencoba untuk mencari tahu apa tujuan tadi Ibunya datang mengunjunginya. Sekarang setelah ia pikir-pikir, ia yakin kalau Ibunya berniat untuk menjodohkan dirinya dengan salah satu anak dari rekan bisnis Ayahnya, karena itulah tadi Ashila bertanya tentang, apa ia sudah memiliki kekasih atau belum? "Biasalah, tanya-tanya soal kemarin di Bandung." Inez terpaksa berbohong karena ia memang tidak mau Arsa tahu tentang apa yang tadi ia dan Ibunya bicarakan. Padahal pada kenyataannya, Ashila sama sekali tidak bertanya tentang kegiatannya selama di Bandung. Arsa mengangguk, paham. Arsa kembali menikmati sarapannya, begitu pun dengan Inez. "Oh iya, kamu hari ini mau ke mana?" "Aku enggak pergi ke mana-mana, karena aku mau istirahat." Sebenarnya ia masih lelah sekaligus mengantuk, tapi karena tadi Ibunya datang dan ia juga lapar, maka ia menunda untuk kembali tidur. Setelah sarapan, Inez berniat untuk kembali tidur, mengistirahatkan tubuh lelahnya. "Kamu sendiri mau ke mana? Ke rumah sakit?" "Iya, aku mau ke rumah sakit. Kamu enggak mau jenguk Nesya di rumah sakit?" "Nanti siang aku akan jenguk Nesya, kalau sekarang enggak bisa. Aku lelah banget, Ar." Arsa mengangguk, tahu betul kalau Inez memang kelelahan, itu terlihat jelas dari raut wajahnya. "Ya sudah, kamu istirahat aja dulu sampai puas. Nanti siang aku akan datang jemput kamu." "Enggak usah, aku bisa pergi sendiri." Inez menolak halus saran Arsa. "Jangan pergi sendiri, nanti biar aku jemput kamu." Dan Arsa tetap keras kepala. Inez menarik dalam nafasnya, lalu membuangnya secara perlahan. "Baiklah, aku akan menunggu kamu buat jemput aku." "Kamu mau aku jemput jam berapa?" "Jam 11 aja, sebelum jam makan siang. Aku mau makan siang bareng Nesya." "Ok, nanti aku jemput sebelum jam 11." Arsa mengusap kepala Inez dengan pelan. Sentuhan yang Arsa berikan mampu membuat jantung Inez berdetak lebih cepat dari biasanya. Keduanya fokus menikmati sarapan, setelah sarapan selesai, Arsa pergi meninggalkan Inez dan Inez sendiri memilih untuk kembali tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD