13 - Rasa benci - √

2240 Words
  Inez akhirnya bertemu dengan Alexander di bandara. Alexander tidak sendiri, tapi bersama dengan istrinya yang bernama Alexa.   Nama keduanya memang mirip, Alexander, dan Alexandra. Nama panggilan Alexander adalah Alex, dan nama panggilan Alexandra adalah Alexa.   Sebenarnya Alexander dan Alexa baru saja pulang berbulan madu. Keduanya pergi bulan madu ke berbagai negara Eropa, dan waktu yang keduanya habsikan untuk berbulan madu adalah 1 bulan.    Selama berbulan madu, Alexander juga Alexa tidak menerima gangguan dari manapun, karena keduanya ingin fokus berbulan madu, oleh sebab itulah Inez sangat merindukan keduanya, mengingat selama 1 bulan ini ia tidak bisa berkomunikasi dengan keduanya.    Alexander memutuskan untuk  pulang ke rumahnya, tentu saja bersama sang istri, juga Inez.   Inez memilih untuk ikut karena Alexa memang memaksanya untuk ikut. Alexa ingin membicarakan banyak hal dengan Inez, terutama tentang kisah asmara keponakannya tersebut.    Alexa dan Inez memang dekat, tentu saja dekat karena sebenarnya Alexa adalah dosen di kampus Inez kuliah, dulu. Alexa sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Inez, karena sang suami sudah menceritakan semuanya, pleh sebab itulah ia sangat menyayangi Inez.    Alexa juga dekat dengan Erlina, tapi tidak kedekatanya dengan Erlina tidak sedekat hubungannya dengan Inez.    Rumah Alexander dekat dengan rumah Narendra, bahkan rumah Kakak beradik tersebut berada dalam 1 perumahan yang sama, hanya saja berada di blok yang berbeda.   Jika rumah Narendra dekat dengan gerbang utama, maka lain halnya dengan rumah Alexander yang berada di bagian tengah-tengah.    Saat ini, Alexander, Alexa, juga Inez masih dalam perjalanan pulang. Jalanan cukup padat, mungkin karena sedang hujan deras, jadi ada banyak sekali orang yang memilih untuk menggunakan mobil ketimbang motor. Itulah salah satu asalan laju mobil yang mereka tumpangi jadi melambat, tidak bisa melaju dengan lancar.    "Bagaimana?" Pertanyaan yang baru saja Alexander ajukan tentu saja tertuju untuk Inez.    Inez yang sejak tadi memeluk manja Alexa lantas medongak, menatap bingung sang Om. "Apanya yang bagaimana, Om?"   "Tante kamu bilang, kamu sedang jatuh cinta sama seorang pria, dan kamu sedang melakukan pendekatan. Bagaimana proses pendekatan yang kamu lakukan? Apa lancar atau tidak? Apa kamu butuh bantuan dari, Om?" Alexander menaik turunkan alisnya, sengaja menggoda sang keponakan.    Kedua mata Inez sontak membola, lalu menatap sang Tante dengan kedua tangan bersedekap. "Ih, Tante kan sudah janji sama Inez kalau Tante tidak akan memberi tahu siapapun tentang hal itu. lalu, kenapa Tante memberi tahu Om?" tanyanya merajuk.     Alexa meringis, merasa bersalah pada Inez. Alexa yakin, Inez pasti kecewa padanya karena ia sudah melanggar janjinya. Alexa lantas menatap sangs suami. "Awalnya Tante tidak mau bercerita, tapi Om kamu memaksa, di bahkan mengancam Tante. Ternyata saat kita mengobrol, Om kamu menguping pembicaraan kita."   Inez kembali mengalihkan atensinya pada Alexander yang kini tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang pasti sama sekali tidak gatal.   "Jadi, apa yang Tante katakan memang benar? Om menguping?" Inez menatap sang Om dengan mata melotot.   "Iya, maaf ya. Habisnya Om kan penasaran, dengan apa yang saat itu kalian berdua bicarakan" lirih Alexander sambil meringis.    "Ih dasar menyebalkan!" Inez sontak memukul Alexander, tapi bukannya meringis kesakitan karena kini Inez memukulnya, Alexander malah tertawa terbahak-bahak.    Alexa hanya menggeleng, ingin juga memukul sang suami, tapi biar Inez saja yang memukul suami menyebalkannya itu.    "Om jangan tertawa, itu sama sekali tidak lucu tahu."   Tawa Alexander sontak terhenti, lalu bergnati dengan senyum lebar yang kini menghiasi wajahnya. "Tapi kamu tenang saja, Tante kamu tidak memberi tahu Om siapa orangnya."   "Tentu saja, karena Inez saja tidak memberi tahu Tante siapa orang yang Inez cintai." Ya, Inez memang tidak memberi tahu Alexa siapa pria yang ia cintai karena ia takut kalau nanti Omnya tahu dan melakukan hal yang tidak-tidak.    "Apa kamu tidak berniat untuk memberi tahu, Om dan Tante tentang siapa pria yang kamu cintai?" Alexander berharap kalau Inez akan memberi tahunya, siapa pria yang dicintainya.    "Tidak akan pernah!" Tanpa banyak berpikir, Inez langsung menolak memberi tahu Alexander siapa pria yang ia cintai.   "Jadi, bagaimana? Apa kamu kesulitan?" Alexa bertanya lembuh, bahkan kini tangan kananya mengusap penuh kasih sayanng kepala Alexa.    Tanpa ragu Inez mengangguk, di sertai senyum kecut yang kini menghiasi wajahnya. "Iya Tante, rasanya sulit sekali. Dia sama sekali tidak peka dengan perasaan Inez, tapi dia pandai sekali memberi nasehat pada teman-temannya soal percintaan."   "Kamu enggak perlu bingung kenapa pria seperti itu, karena teman Om banyak juga yang seperti itu. Pandai memberi teman-temannya nasehat tentang masalah percintaan, tapi mereka sendiri tidak pandai dalam urusan percintaan mereka."    "Apa yang Om kamu katakan memang benar, karena dia juga seperti itu." Dengan santai, Alexa menimpali ucapan sang suami.    Alexander melotot, lain halnya dengan Inez yang malah tertawa.   Inez tahu betul bagaimana perjalanan kisah asmara Alexander dan Alexa sebelum akhirnya mereka bisa bersama, lalu menikah 2 bulan yang lalu. Perjalanan asmara keduanya lebih rumit dari perjalanan asmara Reno juga Nesya.   "Jadi kamu akan menyerah?" Pertanyaan Alexa sukses menghentikan tawa Inez.    "Menurut Tante, bagaimana? Apa Inez harus menyerah? Atau terus berjuang untuk mendapatkan balasan cinta darinya?" Inez kembali menyandarkan kepalanya di bahu kanan Alexa, lalu memejamkan matanya. Ikut berpikir tentang apa yang selanjutnya harus ia lakukan.   Kemarin saat di Bandung, ia sudah bertekad untuk melupakan Arsa, tapi begitu di hadapkan pada pria itu secara langsung, ia malah melupakan tekadnya.   Inez ingin menyerah, tapi di saat yang bersamaan, ia juga ingin terus memperjuangkan cintanya pada Arsa. Ingin menyerah dan ingin terus berjuang, keduanya sama-sama ingin Inez lakukan. Lalu yang mana yang harus ia pilih? Terus berjuang? Atau lebih baik menyerah saja?   "Kalau menurut Tante, lebih baik kamu berhenti berharap untuk mendapatkan balasan cinta dari pria itu." Alexa tidak tahu, apa saran yang ia berikan pada Inez benar atau tidak? Tapi ia yakin kalau itu adalah saran terbaik yang bisa ia berikan.    Inez mengangguk, setuju dengan saran yang Alexa berikan. Mungkin mulai sekarang, ia memang harus berhenti untuk mengharapkan balasan cinta dari Arsa, tapi itu bukan berarti ia akan berhenti mencintai Arsa, karena ia akan tetap mencintai Arsa. Ia hanya akan berhenti berharap kalau Arsa membalas perasaannya, bukan berhenti untuk mencintai pria itu.   "Menurut kamu bagaimana, Sayang?" Alexa ingin tahu apa pendapat sang suami.   "Lakukan apapun yang kamu mau, turuti kata hati kamu. Kamu sudah dewasa, jadi pasti tahu apa akibat dari segala tindakan yang kamu lakukan nantinya."     Tak lama setelah Inez pergi, Arion, Reifan, Keysa, dan Asyifa juga pamit undur diri. 15 menit kemudian setelah mereka berempat pergi, Erlina juga pamit undur diri.    Erlina sangat berharap kalau Arsa akan mengantarnya pulang, tapi ternyata Arsa hanya mengantarnya sampai loby rumah sakit, lalu meminta agar dirinya pulang menggunakan taksi.   Erlina jelas sangat kecewa, tapi saat Arsa mengatakan kalau karena tadi mengantar Erlina ke mall sangat melelahkan, rasa kecewa Erlina  tergantikan oleh rasa bersalah.    Sebenarnya sejak awal, Erlina sudah tahu, kado apa yang ingin ia berikan pada sang Ayah. Tapi saat itu, Erlina berpikir, jika ia memberi tahu Arsa kado apa yang ingin ia berikan pada Ayahnya, pasti waktu yang mereka habiskan di mall hanya sebentar. Itulah alasan kenapa dirinya pura-pura bingung, lalu berputar-putar ke mall untuk mencari kado apa yang cocok untuk Ayahnya, agar ia bisa menghabsikan banyak waktunya dengan Arsa.    Sekarang Arsa kelelahan karena, karena itulah Erlina merasa bersalah. Setelah Erlina pikir-pikir, ia memang sedikit keterlaluan karena mengajak Arsa berkeliling mall selama hampir 2 jam lamanya.    Erlina akhirnya sampai di rumah dengan selamat..   Ashila melihat kedatangan sang putri, kebingungan tat kala melihat mimik wajah putrinya yang terlihat sedih. Bukankah seharusnya Erlina bahagia, karena tadi sudah menghabiskan banyak waktunya dengan Arsa di mall? Tapi kenapa Erlina terlihat sedih? Apa terjadi sesuatu yang buruk pada keduanya?    Ashila menuntun sang putri agar duduk di sofa, di ikuti dirinya yang duduk di samping kanan Erlina. Ashila memberi Erlina segelas air putih, lalu Erlina minum sampai habis tak tersisa.    "Ibu sudah lihat foto-foto yang kamu upload di story social media kamu. Kamu jalan-jalan dengan Arsa, lalu makan siang sama Arsa di restoran mewah. Seharusnya kamu senang karena kamu akhirnya bisa jalan-jalan dan makan siang sama Arsa, tapi kenapa kamu terlihat sedih?"    "Kak Arsa kelelahan, Bu. Dia kelelahan setelah mengantar Erlina selama hampir 2 jam keliling mall." Erlina meringis, semakin merasa bersalah begitu melihat raut wajah Arsa yang memang terlihat lelah sekali.   "Itu namanya kesempatan."    Erlina dengan cepat menoleh, menatap bingung sang Ibu. "Maksud Ibu apa? Kesempatan?"   "Iya, itu kesempatan untuk kamu agar bisa lebih dekat dengan Arsa. Besok pagi, Ibu akan masak makanan kesukaan Arsa, lalu kamu bawa makanan tersebut ke rumah Arsa, tetu saja sebelum jam sarapan tiba. Dia pasti senang karena kamu begitu perhatian sama dia."    Raut wajah Erlina yang tadinya murung seketika berubah menjadi berseri-seri begitu tahu apa rencana Ibunya besok pagi.   "Bagaimana, apa kamu setuju?"    "Iya, Bu. Erlina setuju. Erlina tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mendapatkan perhatian dari Kak Arsa."   "Iya. Mulai sekarang, kamu harus lebih sering memperhatikan Arsa. Jangan mau kalah sama Kakak kamu."    Erlina menganguk, dan semangatnya untuk mendapatkan Arsa semakin membara. "Oh iya, apa Ibu sudah tahu kalau Om Alexander dan Tante Alexa sudah pulang dari Eropa?"     "Om Alexander sudah pulang?"    Begitu melihat mimik wajah sang Ibu, juga jawaban yang baru saja Ibunya berikan, Erlina yakin kalau Ibunya belum tahu tentang kepulangan Alexander juga istrinya, Alexa. "Iya, mereka berdua sudah pulang."    "Kata siapa? Siapa yang bilang kalau mereka berdua sudah pulang?"    "Dari Kak Inez. Beberapa menit yang lalu, Kak Inez di hubungi oleh Om Alex. Sepertinya saat itu Om Alex baru saja mendarat, karena Kak Inez pergi ke bandara untuk menjemputnya."   "Kenapa kamu enggak ikut sama Kakak kamu menjemput mereka ke bandara?" Ashila bertanya dengan nada cukup tinggi, dan itu membuat Erlina terkejut.   "Ih Ibu, tadi kan Erlina sedang bersama Kak Arsa. Erlina tidak mau membuang kesempatan untuk berduaan dengan Kak Arsa." Erlina menyahut dengan nada merajuk. Erlina kesal karena sang Ibu berbicara dengan nada tinggi padanya.   Ashila menoyor kepala sang putri, ingin sekali mengatakan kalau menjemput Alex dan Alexa jauh lebih penting ketimbang bersama dengan Arsa, tapi putrinya tersebut pasti tidak akan paham dengan ucapannya.    Ashila segera meraih ponselnya, lalu mendial nomor Alexa. Ashila menarik dalam nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ashila mencoba menghilangkan rasa kesal yang saat ini ia rasakan.   Ashila menatap tajam sang putri yang kini kembali memasang raut wajah masam.    Tak lama kemudian, Alexa mengangkat panggilan Ashila. Ashila segera mengucap salam, begitu pun dengan Alexa yang membalas salam juga sapaan Ashila.   "Erlina bilang kalau kamu dan Alex sudah kembali dari Eropa, apa itu benar?"    "Iya Mba, itu memang benar. Sekarang Alexa sama Mas Alex, dan juga Inez baru saja sampai di rumah."    "Kalian sudah sampai di rumah?"    "Iya Mba, kita semua baru saja sampai di rumah."    "Oh begitu, ya sudah nanti Mba main ke sana ya." Ashila luar biasa senang begitu tahu kalau Alex dan Alexa sudah sampai di rumah.   "Enggak usah Mba, nanti malam kita yang akan main ke rumah Mba. Kalau sekarang, kita mau istirahat dulu, capek banget, Mba." Alexa berharap Ashila mengerti, dan tidak memaksa untuk datang ke rumah.   "Ah iya, pasti kalian berdua capek banget setelah menempuh perjalanan yang panjang. Ya sudah, sekarang kalian istirahat aja, nanti malam makan malam di sini ya."    "Iya Mba, nanti malam kita akan malam di sana."    Ashila luar biasa senang begitu tahu kalau Alex, juga Alexa akan malam di rumahnya. Ashila berharap kalau Inez tidak akan ikut, karena ia hanya ingin makan malam bersama Alex juga Alexa tanpa adanya Inez.    Alexa meletakkan ponselnya di meja begitu sambungan teleponnya dengan Ashila berakhir.   "Siapa yang menghubungi kamu?" Pertanyaan tersebut terlontar dari Alexander yang baru saja memasuki ruang keluarga.    "Dari Kakak ipar, Mba Ashila." Alexa menjawab dengan jujur pertanyaan suaminya.   "Ngomong apa aja?"    "Mba Ashila tanya, apa kita sudah pulang atau belum? Ya aku jawab dengan jujur. Aku bilang kalau kita baru saja sampai di rumah. Awalnya Mba Ashila mau ke sini, tapi aku bilang kalau nanti malam kita akan makan malam di sana."    "Baguslah, lebih baik kita yang makan di sana daripada Mba Ashila sama Erlina yang makan malam di sini." Alexander menyahut dengan ketus.   Inez yang sejak tadi mendengar pembicaraan antara Alex dan Alexa sontak menatap bingung sang Om. "Om, kenapa sih Om keknya benci banget sama Ibu?"    Ya, Inez merasa kalau Alexander sangat membenci Ibunya. Sikap Alexander pada Ibunya juga Erlina sangat berbeda, tidak hangat seperti padanya.   "Tentu saja Om membenci Ibu kamu. Dia memperlakukan kamu secara tidak adil. Bisa-bisanya dia hanya menyanyi Erlina dan mengabaikan kamu." Alexander menyahut dengan cepat.   "Yakin hanya karena itu? Kok Inez merasa ada alasan lain. Alasan yang jauh lebih kuat." Jujur saja Inez merasa ragu dengan jawaban yang Alexander berikan padanya, ia merasa ada hal yang Alexander sembunyikan darinya, dan mungkin itu adalah alasan sebenarnya kenapa Alexander begitu membenci Ibunya.   Alexander dan Alexa sontak terkejut begitu mendengar ucapan Inez. Pasangan suami istri tersebut tidak menyangka kalau Inez akan berpikir sampai sejauh itu.  "Om kesal sama kamu, dan juga benci sama Ibu kamu. Om kesal sama kamu karena kamu melarang Om untuk memberi tahu Ayah kamu tentang sikap tidak adil Mba Ashila sama kamu. Om benci sama Ibu kamu karena dia berlaku tidak adil sama kamu, padahal kamu dan Erlina sama-sama anak kandung Ayah."   Inez segera menghampiri Alexander, lalu memeluknya dengan erat. "Maaf ya, Inez hanya tidak mau membuat Ayah khawatir, beban pekerjaan Ayah sangat banyak."   Alexander membalas pelukan Inez, lalu melabuhkan banyak sekali kecupan di pelipis Inez. "Iya Om tahu, karena itulah kalau kamu ada masalah, kamu harus bilang sama Om. Jangan memendamnya sendiri, karena Om akan sangat marah jika kamu melakukan hal itu."   Inez terkekeh, lalu mengangguk. "Iya, Inez pasti akan bilang sama Om kalau Inez sedang kesulitan ataupun memiliki masalah."   "Nanti malam kamu mau ikut atau enggak?"   "Ke mana?" Inez melepas pelukannya, begitu pun dengan Alexander.   "Makan malam di rumah Ibu kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD