07 - Sakit hati - √

2193 Words
Inez bangun saat jarum jam pendek menunjuk angka 4, dan jarum jam panjang menunjuk angka 3. Itu masih sangat pagi, tapi Inez memilih untuk tidak lagi tertidur, Inez lapar, itulah alasannya tidak kembali tidur. Saat keluar dari kamar, Inez mendengar suara bising dari arah dapur. Inez yakin kalau Arsa juga sudah bangun, dan saat ini ada di dapur. Entah apa yang sedang Arsa lakukan di dapur sepagi ini, apa mungkin Arsa sedang masak? Tebakan Inez terbukti benar, bahwa Arsa sedang memasak. "Kamu baru bangun? Atau sudah bangun dari tadi?" Arsa yang sejak tadi fokus pada kegiatannya terlonjak kaget. Arsa tidak menyadari kehadiran Inez, karena itulah ia sangat terkejut begitu mendengar suara Inez. Inez tak kuasa menahan tawanya begitu ia melihat Arsa yang terkejut. Astaga, refleks yang Arsa miliki sangat bagus. Arsa menoleh, menatap tajam Inez yang saat ini malah mentertawakannya. Arsa kembali fokus pada kegiatannya, mengabaikan pertanyaan Inez. Kali ini, Inez melangkah mendekati Arsa. Inez ingin tahu apa yang sedang Arsa masak. "Kamu lagi masak apa?" Inez mengulang kembali pertanyaannya karena Arsa belum juga menjawab pertanyaannya. "Aku lagi masak mie." Arsa lapar, dan untunglah stok makanan di dapur Inez sangat banyak. Isi kulkas Inez penuh dengan makanan cepat saji, tapi dari sekain banyaknya makanan yang ada, Arsa malah memilih untuk memasak mie. "Aku juga mau ah." "Kamu lagi sakit, sebaiknya jangan makan mie dulu. Makan bubur saja ya." Arsa menyahut tanpa berbalik menghadap Inez. "Baiklah." Inez menyahut pasrah. Pada akhirnya, Arsa memakan mie, dan Inez memakan bubur. Setelah makan, Arsa dan Inez tidak tidur, tapi memilih untuk menonton televisi sampai pukul 5 lewat 30 menit. Arsa memutuskan untuk pulang begitu tahu kalau Ayah Inez akan datang menjenguk Inez. Arsa dan Inez sama-sama tidak mau kalau Narendra tahu jika semalam Arsa menginap di apartemen Inez. Arsa dan Inez memang tidak melakukan apapun, tapi tetap saja, Ayah Inez bisa salah paham. "Kamu hari ini enggak usah kerja, istirahat aja dulu." "Iya. Hari ini, aku memang tidak akan pergi kerja." Semalam Inez sudah menghubungi asistennya, mengatakan pada asistennya tersebut kalau hari ini ia tidak akan datang ke butik. "Baguslah kalau begitu, aku pulang ya." Arsa mengusap lembut kepala Inez. "Terima kasih," ucap Inez tulus. Jika semalam ia tidak makan dan minum obat, mungkin pagi ini kondisinya masih memburuk. Pagi ini kondisinya sudah membaik, dan itu semua berkat Arsa, karena itulah ia berterima kasih pada Arsa. "Sama-sama." Arsa membalas senyuman Inez, lalu kembali pamit undur diri. Inez kembali menutup pintu apartemennya begitu melihat Arsa sudah memasuki lift. Inez memasuki kamar, bersiap untuk mandi sebelum nanti Ayahnya datang. Inez baru saja akan memasuki kamar mandi begitu mendengar suara bel berbunyi. Inez yakin kalau yang datang adalah Ayahnya. "Semoga saja tadi Ayah tidak bertemu dengan Arsa." Doa Inez dalam hati. Inez bergegas menuju pintu, lalu mengintip siapa yang datang dari layar kamera yang ada. Memang benar kalau yang datang adalah Ayahnya. Inez segera membuka pintu, lalu memeluk erat Ayahnya begitu pintu apartemen terbuka. Narendra tak kuasa menahan tawanya begitu mendapatkan pelukan dari sang putri. "Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?" "Sudah Ayah. Inez sudah merasa jauh lebih baik dari semalam." "Syukurlah." Narendra benar-benar lega. Narendra yakin kalau kondisi sang putri memang sudah jauh lebih baik dari semalam, karena kini wajah Inez tidak lagi pucat pasi. "Hari ini jangan pergi bekerja ya, diam saja di apartemen. Istirahat yang cukup." "Siap Komandan." Inez menyahut sambil memberi hormat. Narendra hanya menggeleng sambil tertawa. Keduanya lantas memasuki apartemen, dan duduk di sofa. 15 menit adalah waktu yang Narendra habiskan di apartemen sang putri. Narendra tidak bisa berlama-lama, karena ia harus pergi ke kantor. *** Bosan, itulah yang saat ini Inez rasakan. Inez sudah menonton banyak sekali film atau drama, dan ia juga sudah banyak membaca novel online, tapi tetap saja ia merasa bosan. Inez menatap jam di dinding kamarnya, dan begitu tahu kalau waktu masih masih menunjukkan pukul 11 siang, tiba-tiba ide untuk datang berkunjung ke kantor Ayahnya tiba-tiba muncul. Jam makan siang sebentar lagi, jadi ia masih mempunyai kesempatan untuk menyiapkan makan siang untuk Ayahnya dan juga untuknya sendiri. Inez segera menghubungi sekretaris Ayahnya, menanyakan tentang agenda sang Ayah. Apa hari ini Ayahnya ada di kantor? Atau sedang pergi keluar kantor? Jika Ayahnya sedang berada di luar kantor, maka ia tidak akan datang berkunjung. Inez senang karena ternyata Ayahnya berada di kantor. Inez memberi tahu sekretaris Ayahnya kalau ia akan datang ke kantor, tapi ia meminta agar Ayahnya tidak di beri tahu tentang ke datangannya. Inez ingin membuat kejutan untuk Ayahnya. Setelah menghubungi sekretaris Ayahnya, Inez lantas menghubungi asisten yang ada di restoran miliknya, meminta agar asistennya tersebut menyiapkan makan siang untuknya dan sang Ayah. Setelah itu, Inez pergi siap-siap. Inez sudah mandi, jadi tak butuh waktu lama bagi Inez untuk bersiap-siap. Inez pergi terlebih dahulu ke restoran miliknya untuk mengambil makanan yang tadi ia pesannya. Setelah mengambil makanan, barulah ia pergi ke kantor sang Ayah. Jarak dari restoran ke kantor Ayahnya cukup jauh, tapi karena jalanan sangat lengang, Inez hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 15 menit. Saat memasuki area kantor Ayahnya, Inez melihat sebuah mobil yang sangat familiar. Mobil tersebut berada tepat di hadapannya, dan sama-sama baru memasuki area perkantoran. Begitu mobil tersebut terhenti di depan loby, pintu bagian kemudi terbuka, lalu keluarlah pria yang jelas sangat Inez kenal. "Arsa," gumam Inez tanpa sadar. Inez yakin kalau ia tidak salah lihat. Pria yang saat ini ia lihat memang Arsa. Tapi, apa yang Arsa lakukan di kantor Ayahnya? Inez lantas mengalihkan pandangannya pada loby, saat itulah ia melihat Erlina yang berjalan ke arah Arsa dengan senyum mengembang. Ah, sekarang Inez tahu apa tujuan Arsa datang ke kantor sang Ayah. Ternyata Arsa datang menjemput adiknya, mungkin mereka berdua akan makan siang bersama. Tanpa sadar, pegangan Inez pada setir mobil semakin kuat. Sakit, itulah yang saat ini hati Inez rasakan. Hatinya tiba-tiba berdenyut nyeri begitu tahu kalau Arsa dan Erlina akan makan siang bersama. "Sadar Inez, kamu tidak berhak marah ataupun cemburu. Kamu hanyalah temannya, tidak lebih. Dia bebas pergi dengan perempuan manapun yang dia mau," ucap Inez sambil tertawa. Saat ini Inez sedang mentertawakan dirinya sendiri yang merasa kesal, dan marah saat melihat Arsa dengan Erlina. Inez menarik dalam nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan. Setelah merasa kalau perasaannya menjadi lebih baik, Inez kembali melajukan mobilnya, mengingat tadi ia sempat memelankan laju mobilnya. Mobil milik Inez berhenti tepat di belakang mobil Arsa. Saat sadar kalau ada mobil yang baru saja berhenti, Arsa dan Erlina dengan kompak menoleh. Keduanya sama-sama terkejur saat melihat mobil siapa yang saat ini berhenti tepat di belakang mobil Arsa. Arsa dan Erlina tentu saja sangat mengenal siapa pemilik mobil tersebut. "Inez," lirih Arsa tanpa sadar begitu saat melihat Inez keluar dari mobil. Arsa jelas sangat terkejut, tak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Inez. Inez ingin sekali langsung memasuki loby tanpa harus menyapa Arsa dan Erlina, tapi ia tentu saja tidak bisa melakukan hal itu. Inez menghampiri Arsa dan Erlina, lalu menyapa keduanya secara bergantian. "Kita mau makan siang bareng. Kak Inez mau ikut?" Erlina memang menawarinya untuk ikut, tapi Inez tahu kalau Erlina tidak mau ia ikut, dan menganggu waktunya dengan Arsa. Inez tahu, teramat sangat tahu kalau adiknya tersebut jatuh cinta pada Arsa. Inez tentu saja menggeleng, lalu menolak tawaran Erlina secara halus. "Enggak, Kakak mau makan siang sama Ayah," ucapnya sambil mengangkat kotak makanan yang ia bawa. Erlina luar biasa lega karena sang Kakak menolak ajakannya. Sebenarnya ia tidak mau menawari Inez untuk ikut, tapi ia harus menjaga imagenya di hadapan Arsa, karena itulah tadi ia menawari sang Kakak untuk ikut. "Ya sudah, Kakak masuk duluan ya." Inez pamit pada Erlina, lalu pamit pada Arsa yang hanya bisa mengangguk. Saat memasuki loby kantor, Inez langsung menjadi pusat perhatian dari para karyawan yang sedang berlalu lalang, atau mereka yang sedang sibuk bekerja. Beberapa karyawan menyapa Inez, dan Inez membalas sapaan mereka semua dengan ramah. Inez memasuki lift khusus, karena lift tersebut hanya di peruntukkan untuk para petinggi perusahaan. Tak sampai 1 menit kemudian, Inez sampai di lantai tujuannya. Begitu lift terbuka, Inez bergegas keluar, melangkah penuh semangat menuju meja sekretaris Ayahnya. "Mba Susi." Inez menyapa dengan sangat pelan. Susi yang sedang berkutat dengan pekerjaannya lantas mendongak, tersenyum lebar saat melihat kedatangan Inez. Susi berdiri, lalu memeluk Inez. Susi sudah lama tidak bertemu dengan Inez, karena itulah ia sangat merindukan putri atasannya tersebut. Keduanya saling menyapa, lalu bertanya kabar satu sama lain. Inez memang dekat dengan Susi, karena Susi sudah menjadi Sekretaris Ayahnya sejak bertahun-tahun lamanya. Mungkin sudah sekitar 15 tahun lamanya, dan sejak kecil, Inez sudah dekat dengan Susi, bukan hanya dekat dengan Susi, tapi juga dekat dengan anak-anaknya Susi. "Apa Ayah sudah datang?" Susi menggeleng. "Belum, Pak Narendra belum datang. Tapi sebentar lagi meetingnya akan selesai, itu artinya sebentar lagi datang." "Ya sudah, Inez masuk duluan ya. Inez mau siapin makanannya." "Ok, masuk aja." "Oh iya lupa, ini makanan untuk Mba. Semoga Mba suka sama makanannya." "Wah, terima kasih banyak ya." Susi sangat senang karena Inez memberinya makan siang. "Sama-sama. Inez masuk duluan ya." Susi mengangguk, lalu mempersilakan Inez memasuki ruang kerja sang atasan. 5 menit setelah Inez memasuki ruang kerja Narendra, sang pemilik ruangan tiba. Narendra menyapa Susi, lalu memasuki ruangannya. Alangkah terkejut Narendra begitu melihat sang putri yang kini tersenyum manis padanya. "Sayang." "Hai Ayah." "Kok kamu enggak bilang sih sama Ayah kalau kamu mau datang berkunjung?" Narendra menghampiri Inez, lalu memeluk putrinya tersebut dengan erat. "Ini namanya kejutan." Inez menyahut penuh semangat. "Dan Ayah benar-benar terkejut." Narendra mengecup ubun-ubun Inez, lalu merenggangkan pelukannya, begitu pun dengan Inez. "Inez bawain makan siang kesukaan Ayah." "Ayah sudah lapar, jadi ayo kita makan sekarang." Narendra luar biasa senang. Akhirnya setelah sekian lama ia bisa kembali makan siang bersama dengan Inez. Beberapa saat kemudian. Narendra dan Inez baru saja selesai makan siang. Saat ini keduanya masih duduk di sofa. Posisi duduk keduanya saling berdampingan. "Ayah." "Iya Sayang, kenapa?" "Nanti malam, Inez mau ke luar kota." Awalnya Inez tidak ingin pergi, tapi setelah ia pikir-pikir lagi, akan jauh lebih baik kalau ia pergi. Ia bisa pergi kerja, sekaligus jalan-jalan. Siapa tahu, setelah nanti ia jalan-jalan, pikirannya bisa kembali jernih. Jadi ia bisa tahu tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya, terutama tentang sikapnya pada Arsa. "Liburan atau memang ada kerjaan?" "Inez ada kerjaan di Bandung, tapi mau sekalian liburan juga. Bolehkan?" "Kalau kamu memang merasa kondisi kamu sudah jauh membaik, ya silakan. Ayah tidak akan melarang kamu, karena jika itu bisa membuat kamu senang, maka Ayah juga ikut senang." Narendra membelai kepala Inez dengan penuh kasih sayang. Sentuhan yang Narendra berikan memang sangat simpel, dan sederhana, tapi sentuhan tersebut sangat berarti untuk Inez. Inez merasa di sayang oleh Narendra, karena sentuhan penuh kasih sayang tersebut tidak pernah ia dapatkan dari sang Ibu. "Terima kasih." Inez memeluk Narendra, luar biasa senang karena sang Ayah mengizinkan pergi. Narendra membalas pelukan Inez. "Sama-sama Sayang. Oh iya, kamu berangkat sendiri atau bagaimana?" Inez lantas menjelaskan semuanya secara mendetail juga rinci. Setelah mengobrol, Inez memutuskan untuk tidak pulang. Inez menemani sang Ayah sampai jam pulang kantor Ayahnya tiba. Inez tidak diam, tapi membantu pekerjaan sang Ayah. Inez memang tidak pernah bekerja kantoran, tapi bukan berarti ia tidak mengerti dengan pekerjaan sang Ayah. Sejak kecil, Ayahnya sering mengajarinya, karena itulah ia paham. Setelah pekerjaannya di rumah sakit selesai, Arsa memutuskan untuk pergi ke apartemen Inez. Nanti setelah melihat kondisi Inez, lalu jika Inez baik-baik saja, maka Arsa akan pulang. "Kok enggak bisa ya?" gumam Arsa penuh kebingungan. Arsa sontak mengumpat begitu ia tahu akan kalau Inez sudah mengganti sandi apartemennya. Karena jika Inez tidak mengganti sandi apartemennya, ia pasti bisa masuk. Tapi sekarang, pintu apartemen di hadapannya ini tidak mau terbuka, itu artinya Inez sudah mengganti sandi apartemennya. Arsa meraih ponselnya, lalu menghubungi Inez. "Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif." Arsa meremas kuat ponselnya, kesal karena nomor Inez dalam keadaan tidak aktif. Inez sudah mematikan ponselnya sejak tadi siang, itulah salah satu alasan kenapa Arsa datang ke apartemen Inez. Tadi Arsa sudah menekan bel, tapi pintu di hadapannya tak kunjung terbuka. "Apa jangan-jangan Inez tidak ada dia apartemen?" gumam Arsa frustrasi. Arsa tidak punya pilihan lain selain menghubungi Erlina, siapa tahu Erlina tahu di mana Inez berada. Tak berselang lama kemudian, Erlina mengangkat panggilannya. "Ada apa, Kak?" "Apa Inez ada di rumah?" "Kak Inez tidak ada di rumah, Kak Inez sedang pergi ke luar kota. Kakak tidak tahu kalau Kak Inez pergi?" "Pergi ke luar kota? Kota mana?" Arsa terkejut, tak menyangka kalau Inez pergi keluar kota, karena biasanya Inez akan bilang terlebih dahulu padanya sebelum pergi. "Untuk kotanya, Erlina tidak tahu, Kak. Kak Inez sudah berangkat tadi sore, jam 5." Erlina hanya tahu kalau Kakaknya pergi ke luar kota, tapi tidak tahu kota mana yang Kakaknya tuju. "Ok, terima kasih banyak ya." "Iya Kak, sama-sama." Sebenarnya Erlina masih ingin mengobrol dengan Arsa, tapi ia tahu kalau ini sudah malam. Arsa pasti lelah setelah seharian ini bekerja di rumah sakit. Ada hal yang membuat Erlina senang, yaitu fakta kalau hubungan antara Kakaknya dan Arsa merenggang. Erlina yakin kalau hubungan keduanya merenggang, karena jika tidak merenggang, pasti Arsa tahu ke mana Inez pergi, karena Inez pasti akan memberi tahunya. Baiklah, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia harus bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD