MBH 02

1614 Words
Myco Septian Anzadello. Laki-laki tampan, mapan, bukan mantan playboy, coverboy, ataupun Boboiboy. CEO muda disalah satu perusahaan besar yang bergerak dibidang properti. Muda dan sukses di usia yang bahkan baru menginjak dua puluh tiga tahun, membuat Myco seringkali diteror pertanyaan 'kapan nikah?' entah itu dari keluarga, kerabat, sampai sahabat sekalipun. Dari gadis sampai janda banyak menyimpan rasa pada CEO tampan itu, bahkan ada pula yang secara terang-terangan menyatakan perasaannya. Namun, tidak ada seorangpun yang mampu meluluhkan hatinya. Benda pipih canggih berwarna putih berdenyit dari atas meja kerja. Meraih benda tersebut lalu mengangkat panggilan yang masuk. "Ada apa?" "Tuan muda, Nyonya meminta Tuan muda agar pergi ke kafe Lamora sekarang." "Mau apa?" "Nyonya mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Tuan muda." "Saya akan segera ke sana." "Baik, Tuan." Myco mematikan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Kemudian melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan. Myco terlihat gagah dan tampan dengan setelan jas hitam serta dasi berwarna merah yang dipadukan dengan celana hitamnya. Postur tubuh yang proporsional dengan warna kulit terang menambah kesempurnaan fisiknya. Myco melipat lengannya sampai siku. Lalu menyisir rambut ke belakang dengan jari. Beberapa karyawan yang tak sengaja berpapasan dengannya mengangguk sambil tersenyum sopan. Langkah kaki Myco membawanya menuju Toyota Altis yang terparkir di sana. Masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi membelah jalanan menuju tempat yang diminta oleh Delia - Bunda Myco. Sementara itu, di dalam sebuah rumah besar bernuansa putih, Salwa melangkah menuruni anak tangga dengan tangan yang membawa sebuah koper besar. Gina yang saat itu kembali dari dapur, terkejut saat melihat putrinya. "Sayang, kamu mau kemana? Kok pakai bawa-bawa koper segala?" Salwa menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. "Salwa mau pergi dari rumah ini." "Apa? Salwa jangan bercanda kamu." Gina menatap khawatir pada Salwa. "Salwa serius, Ma. Percuma juga Salwa tetap tinggal di sini, tidak ada yang mengerti Salwa." Kedua mata Gina berkaca-kaca. "Jangan, Sayang. Mama mohon jangan tinggalkan Mama, kamu tetap di sini karena memang ini rumah kamu." Salwa menggeleng. "Maaf, Ma. Lebih baik Salwa pergi daripada harus menikah dengan orang yang tidak Salwa kenal." Gina meraih tangan Salwa, menggengamnya erat denga tatapan memohon. Air mata sudah tak bisa lagi ia tahan. "Sayang, Mama mohon tetap tinggal di sini." "Biarkan saja Salwa pergi, Ma. Kita lihat seberapa kuat dia bertahan tanpa fasilitas dan uang dari Papa." Suara Azka terdengar, membuat Salwa semakin kesal. Gina menoleh ke arah sang suami. Berjalan cepat menghampirinya. "Pa, Mama tidak mau kehilangan Salwa." Azka mengusap tangan Gina. "Tenang ya, Ma. Percaya sama Papa, hal itu tidak akan terjadi." Dengan raut wajah dingin dan datarnya. Salwa menyimpan kunci mobil, beberapa kartu ATM yang Azka beri, dan juga ponsel di atas meja. "Salwa tidak butuh itu," ucapnya kemudian melangkah keluar dari dalam rumah megah itu. "Salwa! Jangan tinggalkan Mama!" Gina berteriak dengan air mata yang semakin mengalir deras memasahi pipi. Seperti yang tidak mendengar teriakan Gina, gadis itu tetap melangkah keluar lalu masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan sebelumnya. "Salwa!" Gina semakin menangis hiteris, melihat taksi itu membawa Salwa pergi. "Ma, sudah, Ma. Biarkan saja. Papa percaya Salwa akan kembali ke sini," ucap Azka mencoba menenangkan. "Bagaimana kalau tidak? Mama tidak mau kehilangan Salwa, Pa. Mama takut terjadi sesuatu sama Salwa." Azka mengusap wajah beberapakali. Lalu menghela napas panjang. "Papa akan meminta orang untuk mengawasi Salwa. Dan Papa pastikan Salwa akan kembali ke sini, karena anak itu paling tidak bisa jauh dengan fasilitasnya selama ini, belum lagi jika dia harus merelakan bagian warisannya kepada Dion semua." Gina semakin menangis histeris. Ia khawatir akan terjadi apa-apa pada putri semata wayangnya. Apalagi setelah semalam mendengar cerita dari Dion mengenai Salwa yang hendak diperkosa oleh kekasihnya sendiri. ♡♡♡ "Dijodohkan?" Myco menatap tak percaya pada kedua orangtuanya. Arya mengangguk mantap. Myco tersenyum kecut. "Untuk apa? Myco bisa mencari calon istri sendiri." Delia menghembuskan napas panjang. "Mau sampai kapan? Sudah sejauh ini pun kamu belum juga mengenalkan calonmu pada Ayah dan Bunda." "Sabar, Ma. Myco juga pasti akan mengenalkannya kalau memang sudah ada yang cocok dengan Myco. Lagipula Myco kan masih muda. Masih panjang perjalanan Myco." "Justru karena masih muda, memangnya kamu ingin menikah di usia yang sudah tua? Siapa yang mau menikah sama Om-om? Apalagi kamu ini terlalu fokus dengan pekerjaanmu sampai lupa masalah jodoh. Jodoh memang berada di tangan Tuhan, tapi kita sebagai manusia berusaha agar dipermudah untuk segera bertemu dengan jodoh kita," ucap Delia. Myco menghela napas berat. Memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut. "Jangan bilang kalau kamu masih mengharapkan perempuan itu, Myco?" Arya memicing menatap Myco. Myco mendesah pelan. "Tidak ada gunanya Myco mengharapkan dia, Yah. Sudahlah jangan membahas dia." "Ya sudah kalau begitu kamu harus mau kami jodohkan," ucap Delia. "Bun...." Delia menggeleng kuat. "Ini perintah, Myco. Jadi kamu tidak berhak untuk memilih." "Myco yang akan menjalani, Bun. Tentu Myco berhak untuk memilih siapa calon pendamping hidup, Myco." "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Sudahlah, apa susahnya kamu menuruti kami? Ayah dan Bunda ini sudah menginginkan cucu. Mengertilah." Delia menatap tajam pada Myco. "Tapi Myco tidak mengenalnya." "Kalian bisa berkenalan nanti," jawab Arya. "Dan Ayah yakin, kamu pasti akan menyukainya. Dia gadis yang sangat cantik dan pas untuk menjadi pendamping hidup kamu." "Yang cantik diluaran sana banyak, Yah. Dan Myco pun tersakiti oleh perempuan cantik juga, bukan?" Myco tersenyum kecut. "Kalau begitu, cobalah untuk kamu mengenalnya lebih dulu. Kalau memang kamu tidak merasa cocok dengannya, maka perjodohan akan kami batalkan. Begitupun sebaliknya. Bagaimana?" Arya memberikan pilihan. Myco terdiam, mengimbangi pilihan yang Arya lontarkan. Sedangkan Delia menatap tajam pada sang suami. "Tenang, Bun. Ayah yakin, Bara akan menyukai anak dari rekan bisnis Ayah itu. Bunda juga sudah tahukan anaknya seperti apa? Myco tidak mungkin menolaknya," ucap Arya mencoba meyakinkan sang istri. Menarik napas dalam-dalam, lalu Bara mengangguk mantap. "Baik, Myco setuju. Tapi Ayah sama Bunda harus janji sesuai kesepakatan," ucap Myco. Arya tersenyum lebar. "Siapa takut." Myco meraih minumannya yang berada di atas meja. Meneguknya hingga setengah gelas. Delia meraih tangan Myco dan menggengamnya di atas meja. Menatap dalam-dalam kedua mata tajam Myco. "Bunda mohon, ini demi masa depan kamu. Pesan Bunda hanya satu, jangan menjadikan masa lalu sebagai boomerang untuk kehidupan kamu di masa yang akan datang. Cobalah buka pintu hatimu." Kedua bola mata Delia memancarkan harapan. Dan Myco sangat tidak bisa melihat bundanya seperti ini. Myco menarik kedua sudut bibirnya. Kemudian menganggukan kepala. "Iya, Bun." ♡♡♡ Ditepi danau yang terletak jauh dari jalan raya dan pemukiman warga, Salwa dan Nando berbaring di atas rumput hijau dengan menjadikan tangan mereka sebagai bantalan. "Aku tidak mau jika harus menikah dengan laki-laki lain, apalagi kami tidak saling mengenal." Salwa menoleh menatap Nando yang kemudian juga menoleh menatapnya. "Aku hanya ingin menikah denganmu, Baby." Nando tersenyum. Satu tangannya terulur mengusap pipi Salwa. "Aku mengerti. Tapi bagaimanapun juga kamu tidak boleh pergi dari rumah, By. Kasihan orangtuamu." Salwa tersenyum kecut. "Mereka tidak memedulikanku." Menghela napas panjang. Tatapan Nando beralih pada koper yang berada di belakang Salwa. "Lalu kamu akan tinggal dimana?" Salwa terdiam sejenak, sampai akhirnya tercetus sebuah ide. "Aku bisa tinggal di apartemen kamu." Nando mengerit. "Tidak bisa, Baby." "Kenapa? Kamu tidak mau tinggal sama aku?" Salwa memicing curiga. Nando bangun dari posisi berbaringnya, lalu diikuti oleh Salwa yang masih menatap curiga pada Nando. "Tidak. Bukan seperti itu. Tentu aku sangat senang jika harus tinggal bersamamu. Tapi bagaimana kalau sampai orangtuamu dan Bang Dion tahu? Mereka pasti akan semakin membenciku. Dan itu pasti akan semakin mempersulitku untuk mendapatkan restu dan kepercayaan dari mereka, Baby." Bibir Salwa mengerucut. Memang ada benarnya juga ucapan Nando. "Terus aku harus tinggal dimana?" "Hotel, mungkin?" Salwa menggeleng. "Aku tidak ada uang." "Ha?" Nando mengerit bingung. "Semua fasilitasku Ayah tarik kalau aku tidak mau menuruti perintahnya itu," ucap Salwa. "Itu semua demi kamu, Baby." Nando mengusap wajah beberapakali. Menatap lelah pada gadis angkuh di hadapannya. "Jadi sekarang kamu tidak mempunyai apa-apa?" Salwa menggeleng. "Aku hanya punya kamu." "Ya ampun, Sayang. Kenapa kamu nekat?" "Aku tidak mau kehilangan kamu, Baby." Salwa merengek dengan tangan bergelayut manja pada Nando. Nando terdiam sejenak. Pikirannya bercabang kemana-mana. "Tidak bisa seperti ini. Bagaimapun juga Salwa harus kembali ke rumahnya dan memegang kembali semua fasilitasnya," batin Nando. Salwa mendongak menatap Nando. "By, aku tinggal di apartemen kamu saja ya. Aku janji, mereka tidak akan mengetahuinya." "Tidak." Nando menatap tajam pada Salwa. "Kamu harus kembali ke rumahmu." "Aku tidak mau dijodohkan," ucap Salwa. Nando memegang kedua pundak Salwa. Matanya menatap tajam gadis itu. "Dengarkan aku, kamu harus tetap menerima perjodohan itu. Walaupun kamu sudah menikah dengan laki-laki pilihan orangtuamu, tapi kita tetap berpacaran. Tidak akan lama, hanya satu tahun. Setelah itu kamu ceraikan suamimu. Dan dalam waktu setahun itu, aku pastikan kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan. Lalu kita akan menikah dan hidup bahagia selamanya." Salah satu hal yang membuat Azka, Gina, dan juga Dion tidak memberi restu atas hubungan Salwa dan Nando karena Nando adalah seorang pengangguran. Dan dimata mereka, Nando hanya memanfaatkan Salwa. Entah ada rasa cinta atau tidak dari Nando kepada Salwa. Salwa terdiam sejenak, mencerna ucapan Nando. "Bagaimana kalau Papa dan Mama tetap tidak merestui hubungan kita?" "Kita kawin lari!" "Ha?! Aku nggak mau!" Salwa menggeleng tegas. "Katanya kamu mau hidup bahagia sama aku. Ya sudah, tidak ada pilihan lain." Menghembuskan napas panjang, Salwa kembali bertanya. "Lalu, kalau aku hamil bagaimana?" "Kamu bisa pakai obat pencegah kehamilan, Baby." "Tapi aku tidak mau melakukan itu dengan laki-laki lain selain kamu," rengek Salwa. "Kalau begitu kamu minta dia untuk tidak menyentuhmu." Salwa menggigit bibir bawahnya. Otaknya bekerja keras. Lalu, dengan satu tarikan napas ia mengangguk setuju. "Okay. Kalau begitu aku akan kembali ke rumah dan menerima perjodohan itu." Nando tersenyum lebar. "Good girl," pujinya sembari mengacak-ngacak puncak kepala Salwa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD