•Hilang (A)•

983 Words
"Hilang sudah kesempatanku untuk memilikimu seutuhnya." -Xavira Naraya Rahadi- _________ Bagaikan hidup dalam api neraka yang panas. Terhitung sejak pertemuannya satu bulan yang lalu dengan Xabiru, sekarang Xavira tidak lagi bisa melihat raut wajah laki-laki itu. Raut wajah yang hampir setiap hari menghiasi hari-harinya, kini telah lenyap sudah. Xavira hanya bisa mengurung diri di kamar. Rahadi tidak main-main dengan ucapannya. Laki-laki paruh baya itu melarang berbagai pertemuan yang melibatkan Xabiru dan Xavira. Padahal, rumah mereka berseberangan. Namun, Xabiru seperti tidak berusaha menemui dirinya sama sekali. Xavira kesepian. Xavira butuh Xabiru. Xavira ingin berucap. Dan bibirnya hanya mampu terbuka di depan Xabiru. Karena rasa nyaman itu sulit di dapatkan. Hanya dengan Xabiru, Xavira merasakan rasa yang amat nyaman. Pandangan mata Xavira pagi ini lurus ke depan, menatap bunga-bunga yang bermekaran di balik kaca jendela kamarnya. Tidak ada kegiatan spesial yang bisa dilakukan oleh Xavira, selain belajar, melamun, tidur, dan kegiatan ala kadarnya. Ketukan pada pintu kamarnya saat ini tidak mampu membuat Xavira beranjak dari tempatnya duduk lalu membuka pintu kamarnya itu. Xavira bahkan tidak terusik sedikit pun saat ketukan pintu itu kian terdengar keras disertai suara Rahadi yang meminta untuk dibukakan pintu. Setelah lima menit berlalu, Xavira tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi, Xavira segera merebahkan dirinya di tempat tidur dan pura-pura memejamkan matanya rapat-rapat. Ceklek... Suara pintu terbuka. Meskipun, kamar Xavira terkunci, Rahadi tetap bisa membukanya. Bagaimana bisa? Karena Rahadi mempunyai semua kunci cadangan di setiap ruang yang ada di rumah mereka. "Xavi..." suara bariton khas milik Rahadi terdengar sayup-sayup melalui indra pendengaran Xavira. "Maafin, Papi." Secara batin, Xavira memang sangat tersiksa karena Rahadi terlalu mengekangnya. Banyak sekali hal-hal yang tidak boleh dilakukannya. Xavira tidak bisa hidup bebas. Dan akhirnya, menjadi ketergantungan akan hal-hal yang bersifat instan. Semua serba tersedia, membuat dirinya menjadi pribadi yang manja nan lembut karena tidak tahu betapa kerasnya hidup di dunia ini. "Papi cuma pengin kamu ngerasain bahagia, tapi kamu malah tersakiti kayak gini." Dengan mata yang terpejam, Xavira bisa membayangkan raut wajah Rahadi saat ini. "Harta kekayaan itu yang paling penting, Xavi. Kamu nggak bakal bahagia, tanpa ada uangnya. Karena uang yang membuat hidup kita bahagia." Omong kosong! "Kenapa Papi ngomong kayak gini?" tangan Rahadi mulai tergerak untuk mengelus rambut panjang Xavira yang lembut. "Karena Papi ngalamin sendiri." Apa yang terjadi pada Rahadi tidak akan terulang pada Xavira, 'kan? "Papi diusir, dicaci maki, bahkan nggak dianggap ada. Lalu Papi ditinggalkan dengan adanya kamu." Itu pasti ulah seseorang yang telah melahirkannya di dunia ini. "Ma---" Sebelum Rahadi membahas lebih lanjut tentang hal itu, Xavira lebih dahulu bangkit dari tidurnya lalu memeluk papinya erat. "Nggak usah bahas itu lagi." Karena itu sama saja mereka berdua sedang membuka luka lama yang telah menutup. Membukanya secara sengaja hingga menggoreskan semburat luka untuk yang kesekian kalinya. Ingatan akan apa yang terjadi di masa kecilnya itu memang tidak menimbulkan bekas trauma. Namun, lebih dari itu. Ada luka yang menganga begitu lebar. Ada rindu yang tidak bisa untuk dipertemukan. Dan ada rasa yang tidak bisa diungkap. "Itu semua karena uang, Xavi." Xavira mulai meneteskan air matanya. "Tapi, Xabiru nggak gitu, Pi." "Xabiru memang baik sekarang..." katanya mulai memberi penjelasan pada Xavira. "Tapi, nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Papi tahu kamu terlalu mencintainya. Papi tahu itu sejak lama." "Aku mau Xabiru, Pi..." "Papi bisa aja ngerestuin kamu nikah sama Xabiru. Tapi, apa kamu bahagia? Setelahnya, mungkin kamu akan dicampakkan." Itu tidak mungkin, 'kan? Apakah Xabiru setega itu pada dirinya yang rapuh dan sangat mengharap pembalasan cintanya? "Dari sorot matanya. Rasa sayang dia ke kamu itu beda. Xabiru menganggap kamu sudah seperti Adiknya sendiri. Sebatas teman. Sebatas sahabat. Di mata Xabiru, kamu bukan perempuan dewasa yang termasuk ke dalam kriterianya untuk dijadikan pendamping hidupnya, Xavi." Sebagai sesama laki-laki, Rahadi tahu bagaimana perasaan Xabiru yang sebenarnya. "Kenapa Papi bilang akan merestui kalian hanya jika kamu mengandung anak Xabiru? Bukan berarti, Papi sangat mengharapkan kamu hamil di luar nikah," kata Rahadi yang membuat Xavira semakin terisak. "Itu semua agar Xabiru tidak bisa mencampakkanmu. Dengan hadirnya buah hati di antara kalian nanti... Xabiru pastinya akan mempertahankan hubungan kalian." ---------- Setelah percakapan penuh air mata itu, Rahadi mempertemukan Xabiru dengan Xavira atas dasar mereka bertiga pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan putri tunggalnya secara pasti. Hati Xavira seperti ditumbuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran dengan indahnya hanya karena bisa melihat raut wajah Xabiru yang terpampang di hadapannya saat ini. "Bi, aku kangen kamu." Xavira selalu ingin bersama Xabiru. Namun, keadaan yang tidak mengizinkan keduanya untuk bersama lagi seperti sedia kala. Xavira yakin dalam hatinya bahwa takdir Tuhan yang telah digariskan kepadanya itu lebih indah dari apa pun yang ia impikan. Makanya, Xavira menyerahkan semuanya pada Sang Pencipta. Xavira masuk ke dalam ruang periksa itu dengan ditemani oleh dua orang laki-laki sekaligus, yaitu di samping kirinya ada sang papi dan Xabiru di samping kanannya. Perempuan itu langsung disuruh berbaring di atas brankar dan dokter spesialis kehamilan mulai memeriksa keadaannya. Melakukan pengambilan tes darah melalui urine dan beberapa cara lainnya guna mencari tahu apakah Xavira sedang hamil atau tidak. Pengambilan beberapa tes itu hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam, tapi yang lama adalah menunggu hasilnya. Tidak ada tatapan hangat lagi yang terpancar dari Rahadi untuk Xabiru, yang ada hanyalah tatapan tajam yang begitu mengusiknya. Keadaan di antara mereka bertiga saat ini sungguh mencekam. Makanya, Xavira berinisiatif untuk mencairkan keadaan dengan memulai pembicaraan. Namun, Xabiru hanya mengembangkan senyum saat Xavira mulai berbicara. Tidak menanggapinya secara langsung, tapi ia mendengarkan Xavira hingga dokter kembali datang membawa hasil itu. Xavira yang melihat hasil tes itu berada di tangan dokter, menatapnya dengan was-was. Pilihannya hanya ada dua. Dirinya hamil atau tidak. Dirinya akan menikah dengan Xabiru atau hubungannya akan merenggang. Semua itu tergantung dari hasil tes yang ada di dalam amplop itu. Dan saat dokter mengatakan hasil tes itu, secara detail, secara rinci, dan secara lisan di indra pendengarannya, Xavira merasa dunia ini akan runtuh seketika. "Anda dinyatakan negatif," katanya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD