SMA Angkasa gonjang-ganjing pagi ini. Berita tentang seorang Kakanda Aqsa Jauhari yang bukan lagi salah satu cogan SMA Angkasa yang masih jomlo tersiar heboh dari mulut-mulut tukang ghibah sampai ke mulut penjaga kantin. Semua orang masih tak percaya atas berita yang cukup mengejutkan awal hari mereka pagi ini. Responnya pun bermacam-macam. Ada yang langsung nyebut karena jodoh impian mereka diambil orang lain, ada yang langsung banting tas karena tak terima, bahkan ada yang pingsan seketika.
Kaka yang baru saja masuk kelas sontak dihujani pertanyaan mengenai kebenaran berita tersebut oleh penghuni cewek bahkan yang cowok pun ikut kepo. Kaka yang masih tak menangkap apa maksud teman-temannya melirik Zidan yang sibuk bermain game di ponselnya. Masih tak menyahut, Kaka akhirnya menendang pelan kaki Zidan.
Zidan mendongak. "Apa, sih? Ganggu aja lo kek Mama gue," gerutunya kesal.
"Ada apa?" tanya Kaka.
"Apanya? Yang jelas dong kalo ngomong jangan setengah-setengah," ujar Zidan dongkol.
Kaka melirik teman-temannya sembari menaikkan kedua alisnya. Zidan mengangguk paham, dia menyudahi game-nya lalu memasukkan ponselnya di saku celana. Dia menarik napas sebelum berucap.
"Jadi gini, se-Angkasa udah tahu kalo lo udah punya pacar," ucap Zidan jelas.
"Oh," jawab Kaka singkat. Dia kemudian berlalu menuju bangkunya lalu duduk dan menyenderkan punggung di sana. Semua orang yang menunggu klarifikasi dari Kaka mendesah berat. Kakanda ya Kakanda, cowok yang kadar ke-cuek-annya sudah pada level tertinggi. Zidan yang kasihan melihat teman-temannya tak mendapat apa-apa setelah mencoba menjadi wartawan sontak berdehem pelan.
"Teman-teman, biar akting kalian jadi wartawan gak mubazir, silakan tanyakan apapun sama gue, gue bakal jawab dengan senang hati," ucapnya lantang.
Semua orang saling melirik. Mereka terdiam, merasa tidak ada faedahnya kepo tentang kehidupan Zidan. Zidan berdecak. Dia melipat tangan di d**a.
"Oke kalo gak ada yang tanya, sekarang giliran gue yang tanya. Teman-teman, gue ini tampan nan manis, kan?"
Tanpa pikir panjang, semua orang menjawab serentak. "Itu adalah fitnah yang keji."
Zidan mengukir senyum lebar untuk menyabarkan diri."Orang ganteng haram marah."
***
Aurara tersentak kaget saat Claudia menggebrak mejanya kuat. Napas cewek itu terlihat ngos-ngosan. Aurara yang tengah sibuk mengepang rambut dibuat harus kehilangan karet gelangnya karena tertarik putus akibat kelakuan bar-bar Claudia.
Penghuni kelas 11 IPS 2 ikut terjingkat. Mereka melirik kesal pada si pelaku, yakni Claudia yang pagi-pagi sudah menciptakan keributan.
Claudia yang mendapat tatapan tak mengenakkan mengangkat dua jarinya dan bergumam pelan kata sorry.
"Clau, ini masih pagi, tolong kelakuan bar-barnya disimpen sampe nanti agak siangan," saran Aurara jengah. Kepangannya yang baru setengah sudah terlepas sana-sini. Rambutnya kembali tak beraturan.
"Ra, ini gue lagi serius pake banget, jangan ajak bercanda." Tanpa izin, Claudia duduk di sebelah Aurara. Menghadap Aurara dengan ekspresi serius.
"Kenapa? Lo mau ajak gue sidang isbat?" tanya Aurara polos.
"Bukan. Ini gue mau tanya, lo jawabnya yang serius, ya?" tanya Claudia memastikan jika Aurara benar-benar akan menyimak ucapannya.
"Iya deh. Biar cepet," pasrah Aurara akhirnya.
"Lo jadian sama Kak Kakanda, ya?" Claudia memulai percakapan serius mereka. Bahkan mungkin sudah level duarius.
"Emang iya, kenapa? Banyak yang protes? Sini biar gue jewer satu-satu," ucap Aurara menggebu-gebu.
"Sejak kapan? Gimana caranya?" Claudia terus bertanya tanpa membalas ucapan Aurara. Dia sampai memperdekat jarak mereka demi agar tak salah dengar.
"Nanti istirahat kami resmi jadian yang ke 24 jam. Gimana? Keren nggak?" Aurara terkikik geli. Raut Claudia serius sekali.
"Lo pake dukun mana?" Kali ini, nada bicara Claudia setengah berbisik.
Aurara sontak melotot, dia menangkup kedua pipi Claudia cukup keras. "Astaghfirullah ukhti, dateng ke dukun itu dosa besar. Apalagi minta tolong sama dukun. Astaghfirullah, astaghfirullah." Aurara geleng-geleng sembari memejamkan mata takzim.
Claudia meringis. "Sakit, Rara! Lo ada dendam kesumat sama gue?" ucapnya sewot sembari memegangi pipinya.
Aurara nyengir. "Lo, sih nanyanya aneh banget. Lagian lo belum tahu atau emang nggak nyadar, sih Clau?"
"Nyadar apa?"
"Pesona gue itu besar banget bagai badai dan petir yang menyambar langit dan bumi di tambah suara guntur yang menggelegar tau, gak. Jadi Kak Kaka mau sama gue," ucap Aurara yang mampu membuat Claudia terdiam. Otak Claudia diajak untuk berpikir keras apa dari maksud perkataan Aurara barusan.
Nimas yang baru saja selesai menghapus papan dan sempat mendengar percakapan Aurara dan Claudia yang memang cukup keras sontak memukul telapak tangan Aurara dengan penghapus yang dia bawa. "Lo kalo ngomong tuh pake bahasa manusia makanya. Kasian Claudia nggak ngerti."
"Nimas, lo hobi banget sih pukul gue?! k*******n dalam persahabatan ini namanya! Gue bisa aja laporin ke SNI!" Aurara jadi nge-gas sendiri.
"Lo pikir makanan pake SNI segala," koreksi Nimas masih setengah sabar.
"Ya terserah gue, mulut juga mulut gue." Aurara menjulurkan lidah.
Claudia mengangguk-angguk. Dia kembali menatap Aurara yang tengah cemberut. "Jadi, lo beneran jadian sama Kak Kakanda ya, Ra?" Sekali lagi, Claudia memastikan.
Aurara menoleh, dia menatap Nimas dan Claudia jengkel. "Iya astaga, gak percayan banget, sih!"
"Ya abis, aneh aja gitu, Ra. Kak Kaka, yang dikejar banyak cewe entah itu cantik dan pinter tetep aja keukeuh sama pendiriannya. Lah ko sekarang luluh-luluh aja." Claudia berucap panjang lebar. Mungkin bukan hanya Claudia saja yang heran, banyak orang juga pasti heran.
Aurara memutar bola mata malas. "Udah ah, ribet aja kalian. Kata nenek gue, nggak boleh iri kalo orang lain lagi bahagia," ucap Aurara sok bijak. Tak mau membebani pikirannya dengan pernyataan Claudia tadi.
"Belagu sumpah," rutuk Claudia yang disetujui anggukan oleh Nimas.
***
"Lo ngapain ikut kita segala, sih?" tanya Zidan kesal di sela langkahnya.
"Aku ikut Kak Kaka ya, bukan ikut kalian, pede banget," balas Aurara tak kalah sewot.
Mereka yakni Kaka, Aurara, Zidan, Seno dan Ilham sekarang tengah berjalan menuju kantin. Keberadaan Aurara cukup membuat semua orang yang melihat penasaran. Banyak yang menduga jika itu adalah cewek yang sedang menjadi perbincangan panas hari ini. Aurara yang mungil terlihat sangat kontras di antara keempat cowok jangkung itu. Aurara memang merupakan pribadi yang friendly dan mudah akrab. Namun dia tidak cukup menarik untuk dikenal seluruh kalangan penghuni sekolah.
"Ngeles aja lo," tukas Zidan. Dia tiba-tiba berjalan lebih cepat, bermaksud mendahului Aurara. Aurara yang terpancing ikut berjalan dua kali lebih cepat, langkah Aurara yang memang kecil, tak mampu menyaingi langkah lebar milik Zidan. Bukannya berjalan cepat, Aurara justru berlari agar bisa membalap Zidan. Zidan yang tak terima karena dicurangi mencegat langkah Aurara.
Kaka menghela napas keras. Mereka ini seperti anak kecil saja.
"Jangan kayak anak kecil." Kaka berucap datar. Nadanya yang tegas mampu membuat Aurara dan Zidan berhenti dan berbalik.
Kaka menunjuk Aurara dengan telunjuknya.
"Sini samping gue," suruhnya pada Aurara yang dibalas Aurara dengan anggukan dan senyuman lebar. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kantin. Jika Kaka yang biasanya akan bersikap acuh terhadap orang-orang yang menatapnya, entah kenapa dia merasa risih sekarang. Murid-murid yang melihat mereka berlima berbisik-bisik. Tanpa banyak bicara, Kaka meraih telapak tangan Aurara lalu menggenggamnya erat, seolah mengisyaratkan jika cewek yang sedang bersamanya adalah memang benar pacarnya.
Semua yang melihat terbelalak, tak terkecuali Aurara. Dia sampai menahan napas saat melihat tangannya digenggam oleh Kaka, pacarnya.
"Kak Kaka," panggil Aurara. Dia mendongak, lalu kembali memandang genggaman mereka setengah tak percaya. Hati Aurara menghangat, genggaman Kaka terasa nyaman dan sangat pas dalam jemari-jemari mungilnya.
Kaka menunduk. "Apa?"
Aurara menggeleng kikuk. Tak jadi melontarkan kesenangannya. Tak terasa, mereka sudah sampai kantin. Keempat cowok itu berjalan menuju meja yang biasa mereka tempati. Aurara mengikuti dari belakang. Saat masuk area kantin tadi, Kaka melepas genggaman mereka. Entah kenapa saat genggaman itu terlepas, Aurara jadi sedih sendiri. Tapi tak apa, lain waktu kan ada hehehew.
"Biar cepet, gue yang mesenin. Kalian pesen apa?" tawar Seno.
"Kayak biasa aja," ucap Kaka, Zidan dan Ilham kompak.
"Gue kebelet. Ke toilet dulu, ya." Tiba-tiba Ilham berdiri dan ngibrit begitu saja keluar dari kantin.
"Dia kayaknya bukan buang hajat ke kamar mandi," celetuk Seno menatap kepergian Ilham.
"Pasti buang s**l," sahut Zidan sepemikiran dengan Seno.
Seno tertawa singkat, lantas langsung segera beranjak memesan makanan mereka. Namun, suara cempreng Aurara menghentikan langkahnya. "Ih, aku kok nggak ditanya, sih? Aku, kan pengen makan juga."
"Oh, lo mau makan juga? Kirain lihat Kaka makan doang udah kenyang," sindir Zidan melirik malas.
Aurara mendelik. "Situ nyolot mulu deh," kesalnya kemudian beralih menatap Seno.
"Kak Seno, aku bakso sama jus alpukat ya."
Tak mau berlama-lama, Seno mengangguk.
Setelah kepergian Seno, keadaan meja berubah hening. Tiga orang itu sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga suara Aurara tiba-tiba memecahnya.
"Kak Kaka," panggilnya memiringkan kepala menghadap Kaka.
Kaka yang sibuk dengan ponselnya mendongak sekilas. "Apa?" Setelahnya dia kembali pada layar ponselnya.
"Kita rayain jadian kita, yuk," ucap Aurara nyaris memekik. Dia tersenyum lebar.
Kaka kembali mendongak. Dia meletakkan ponselnya di meja lalu menaikkan sebelah alis. "Maksudnya?"
"Tepat saat jam istirahat ini, kita resmi jadian selama 24 jam, loh." Aurara bertepuk tangan heboh. Dia sampai berdiri dari duduknya. Terlalu excited.
Zidan yang sedari tadi menyimak pun berdecak malas. "Alay."
"Ih, apa, sih? Ngiri aja deh," ujar Aurara menjulurkan lidah.
"Dih, gue? Iri sama lo? Ogah! Mending gue jomlo daripada harus jadian sama cewek kek elo," tukas Zidan sewot.
"Emang aku mau gitu sama situ? Enggak!" jawab Aurara melotot.
"Wah, lo pikir gue juga mau sama cewek bar-bar macen elo? Sorry dory stroberi la yaw," balas Zidan dengan ekspresi jijik.
"Berisik," ketus Kaka melirik Zidan.
"Ka, lo jadi belain nih cewek?" tanya Zidan tak terima.
"Bener tuh, Dan. Lo emang berisik." Ilham yang baru ngomong langsung dijitak oleh Zidan.
"Lo juga belain nih cewek ribet? Jahat lo semua, jahat!" Zidan mulai lebay. Dia memasang raut semenyakitkan mungkin. Dia mengambil garpu dari wadah di atas meja, lalu seolah-olah akan menusuk hatinya sendiri. Tak mendapat cegahan dari sahabat-sahabatnya, Zidan membanting garpu itu kesal.
Kaka tak memedulikan tingkah laku tak jelas Zidan. Dia menatap Aurara yang masih memegangi kedua pipinya. "Kenapa? Kedinginan?"
Aurara menggeleng. "Ini namanya blushing, tau."
"Kenapa blushing?"
"Kamu belain aku, sih."
Kaka terdiam sesaat, kemudian mengangguk mengerti. "Tapi gue nggak lagi ngebela elo."
"Kok gitu, sih?" protes Aurara tak jadi senang.
"Ya emang gitu."
Mendengarnya, Aurara mengerucut kesal. Tidak bisakah memberi jawaban yang jelas dan lebih panjang sedikit? Dasar Kaka.
Zidan tertawa mengejek menatap Aurara. "Jangan kegeeran lu cebol," ucapnya sengaja betul.
"Astaga, Kak Zidan diem bisa nggak, sih?" keluh Aurara karena kesal Zidan terus-terusan nyerocos dan ikut campur pembicaraannya dengan Kaka.
"Nggak bisa. Orang gue punya mulut. Ya kalo nggak punya," jawab Zidan santai. Membuat Aurara mendengkus kesal.
"Maklumin, Ra. Mulut Zidan kan ada tiga," timpal Ilham berger
Kaka menggeleng kecil. Semakin ramai saja 'tongkrongan' mereka sekarang.
"Ih, Kak Kaka kok betah, sih temenan sama modelan begini?" Aurara menatap Kaka masih dengan raut kesalnya.
Kaka balas menatap Aurara. "Terpaksa," jawab Kaka enteng yang membuat Zidan langsung melotot.
"Fak!" Zidan bersungut-sungut. "Dengerin gue biar lo sadar. Kaga ada yang mau temenan sama lo kecuali gue sama dua cecunguk itu, Ka. Jadi ayo sini, bilang terimakasih."
"Aku mau kok temenan sama Kak Kaka. Ikhlas." Aurara menyahut lucu. Memberikan telapak tangan ingin bersalaman dengan Kaka.
Kaka menatap telapak tangan Aurara lalu wajah Aurara yang sedang menampilkan ekspresi polosnya. Sejak kemarin, Kaka bisa menilai jika Aurara adalah tipe orang yang tulus. Cewek itu hanya akan mengucapkan apa yang memang ingin dia ucapkan se-refleks apapaun kata yang ada dalam otaknya akan keluar begitu saja.
Setelah beberapa detik membiarkan tangan Aurara melayang tanpa terjabat, Kaka mengambil tissue yang ada di saku seragamnya. Lantas meletakkan tissue itu di atas telapak tangan Aurara.
"Lo keringetan."
Aurara berkedip dua kali. Terkejut atas perhatian kecil Kaka, namun setelahnya Aurara langsung mengusap dahinya yang berkeringat. Gerah sekali memang di kantin.
"Sejak kapan lo, Ka nyimpen tissue segala?" heran Zidan tak lelah-lelahnya ikut berkomentar.
"Minta lo, kan? Di tas lo kan banyak tissue, buat ngusap ingus."
Aurara yang mendengarnya langsung tertawa ngakak. Lucu juga Kaka, batinnya.
"Anj. Sabar Zidan sabar, orang ganteng haram marah." Zidan merapal mantra ajaibnya. Satu-satunya penenang di kala dia dilanda emosi jiwa.