Tujuh

1453 Words
Aku menghela napas berat ketika mobil yang dikenadarai oleh Papa sudah berhenti di sekolahku. Aku menatap bangunan sekolahku sekali lagi sebelum akhirnya aku memutuskan untuk berlama-lama di dalam mobil. Entah mengapa rasanya enggan sekali untuk masuk sekolah hari ini. "Al..." panggil Papa. Mama yang duduk di samping Papa menoleh ke arahku yang duduk di kursi belakang. "Ada apa, sayang?" tanya Mama penuh perhatian, berbeda sekali dengan Papa yang terkesan mengacuhkanku dan tak peduli dengan apa yang kurasakan. "Alya hanya datang terlalu pagi ke sekolah. Tuh lihat, baru anak satu dua yang masuk ke gerbang." kataku berbohong. "Biasanya kamu memang lebih disiplin Al, sejam datang lebih awal, kan?" kilah Papa. "Papa ada meeting di kantor, jadi kamu buruan turun deh." kata Papa lagi. "Tunggu sampai kelihatan Dian atau Kiran deh, Pa... " kataku berusaha mengulur waktu. Papa menoleh ke arahku dan kembali menatapku dengan tatapan jengah, seolah apa yang baru saja aku katakan itu adalah sebuah kesalahan. "Itu Soraya dan Ardi udah datang, sayang...."kata Mama, Papa kembali menoleh ke depan dan melihat ada Soraya dan Ardi yang juga baru turun dari mobil diantar oleh kedua orang tuanya. "Buruan turun, Al. Mama dan Papa harus segera ke kantor. Itu sudah ada Raya dan Ardi." Tapi, kan mereka semua gak bisa melihat makhluk halus seperti Aku, Kiran dan Dian, Pa! Aku hanya bisa mendengus kesal dalam hati seraya terpaksa menuruti Papa untuk turun dari mobil, dari pada aku dan Papa harus berdebat. Itu hanya akan membuat moodku semakin hilang saja. "Baik-baik di sekolah ya, sayang... " kata Mama dari dalam mobil. Aku hanya mengangguk kecil sebelum Papa kembali menjalankan mobil menjauh dariku. Suara klakson mobil Papa menyapa Papa Soraya dan Ardi yang sedang bercakap-cakap di depan mobil Soraya. Papa Soraya dan Ardi adalah teman satu klub olah raga Papa. Kabarnya mereka juga teman satu sekolah SMA papa dulu. Papaku, Papa Soraya, Papa Ardi, Papa Kiran dan Papa Dian adalah satu angkatan dan satu kelas saat masih SMA. Mereka tergabung di klub futsal sekolah selain menjadi OSIS. Sekolahku yang sekarang ini adalah sekolah bekas mereka berlima. Sekolah yang cukup bergengsi di jaman Papa dulu. Sebelum Papa dipindah tugaskan ke Jakarta, aku berada di Bandung. Dian dan Kiran juga dulu berada di Bandung sebelum keluarga mereka juga hijrah ke Jakarta beberapa bulan lebih dulu dariku. Bandung bagiku lebih menyenangkan dan lebih menenangkan dari pada Jakarta. "Ngelamunin apa?" tanya Raya seraya menepuk bahuku. "Kepikiran Nancy?" tanya Ardi. Aku memilih mengangguk. "Dia gak masuk, katanya mau ke rumah neneknya di puncak sampek hari minggu." "Jadi besok ia juga gak masuk sekolah?" tanya Raya memastikan. "Besok sabtu, jadi sekalian." "Yah... Lo bakalan jomblo donk... " goda Raya ke Ardi. "Sialan lo!" kata Ardi membalas Raya. Mereka berdua tertawa keras satu sama lain. "Masuk yuk!" ajak Raya dan aku kembali mengangguk setuju ke arahnya. Aku terpaksa berjalan memasuki sekolah. Aku ingat kata Imam Masjid bahwa aku tak boleh takut sama sekali ke makhluk yang bukan dari golongan manusia. Mereka makhluk halus bisa merasakan aura manusia yang takut kepada mereka dan mereka akan lebih jahil dari sebelumnya. Saat memasuki gerbang sekolah, kakiku seolah melayang dan angin tiba-tiba saja berhembus kasar. Mataku yang menyipit karena menghindari debu agar tak masuk ke dalam mataku perlahan kubuka ketika angin sudah tak berhembus kesal. "Angin sialan! Rambutku jadi kusut!" kata Raya kesal. Aku masih berusaha membuka mataku yang sebelah kiri karena rasanya susah sekali untuk Membukanya. Pedih. Mungkin mataku kemasukan debu. "Lo kenapa, Al?" tanya Ardi cemas. "Pedih, Ar! Tiupin mata gue dong ... Kayaknya kemasukan debu deh." imbuhku." "Sini!" kata Soraya. Aku mendekatkan wajahku ke Soraya dan ia sedang berusaha meniup-niup mataku yang pedih karena debu. "Sudah." kataku pada Soraya. Ia menyudahi meniup mataku dan menjauh dari pandanganku. Ketika aku baru saja membuka kedua mataku dan memandang ke depan, di saat itulah aku melihat sosok perempuan penuh darah yang mengerikan menatapku menyeringai. Seperti waktu yang berjalan melambat, aku melihatnya dengan sangat jelas. Ia yang mengenakan seragam sekolah yang sama denganku itu perlahan tubuhnya berubah, darah muncul di sana sini tubuhnya. Kukunya memanjang dan kulitnya memgeriput perlahan. Rambut panjangnya menjuntai ke depan. Ia seolah sedang terbakar karena tubuhnya perlahan mengisut dan bola matanya seolah akan keluar. Napasku memburu, dadaku berdebar hingga aku hanya bisa terpaku karena menyaksikan sendiri kengerian yang benar-benar nyata di mataku. Ia seolah sedang terbakar perlahan. Ketika perlahan bola matanya jatuh pun aku masih saja tercekat dan tak bisa mengatakan satu kalimatpun karena saking kagetnya menyaksikan hal mengerikan seorang diri. Soraya dan Ardipun suaranya tak sampai ditelingaku. Aku benar-benar tak mengerti bagaimana bisa aku disuguhkan pemandangan mengerikan ini seorang diri? Bola matanya menggelinding terus ke arahku dan berhenti tepat ketika mengenai sepatuku, ia bergerak maju mundur hingga berhenti sama sekali dengan bola mata hitam yang menatapku dengan sangat menyeramkan. "Argggg!! " aku tak tahan lagi. Kengerian ini benar-benar mengguncang diriku. Tubuhku digoyang-goyang oleh Soraya, ia menanggil-manggil namaku juga dengan sangat lantang seolah ia berusaha menyadarkanku. Di saat sebuah air dingin mengguyur rambutkulah aku bisa mendengar suara Soraya dan Ardi dengan benar dan menatap kembali ke arah kakiku. Bola mata itu telah menghilang. Perlahan aku memandang Soraya yang menatapku dengan sangat cemas. Sebuah gelas plastik kosong ada di tangan kirinya. Rupanya ia yang telah menyiramku barusan. Mataku mengedar dan kulihat aku dikelilingi beberapa siswa siswi yang menatapku bertanya-tanya. Malu karena aku jadi pusat perhatian, akhirnya aku memilih berjalan cepat-cepat ke sekolah dan berlalu masuk ke dalam toilet wanita. Aku segera membasuh wajahku yang telah basah dengan air. Aku mencoba menyadarkan diriku sendiri, seolah usaha yang dilakukan oleh Soraya barusan tak berarti apa-apa bagiku. Kengerian akan hantu perempuan di sekolah ini benar-benar menyita seluruh perhatianku. Aku sendiri tak yakin bisa bertahan lebih lama di sekolah ini. "Al..." aku menoleh ke arah di mana suara itu berasal dan melihat Soraya yang menatapku bersalah. "Sorry, gue nyiram lo." katanya lagi. "Gak perlu, Ra..." kataku. "Ini." katanya seraya menyodorkan sebuah seragam. "Gue selalu bawa cadangan buat jaga-jaga." katanya lagi menjelaskan. "Lo bawa hair dryer, kan?" tanyaku dan ia mengangguk. Soraya memang terkenal sangat cantik dan rapi jadi tak heran jika ke sekolah saja ia membawa perlengkapan makeupnya dan baju ganti, bahkan aku pernah melihat ia membawa catokan rambut, padahal hair dryer saja sudah memenuhi ruang tas, benar tidak? Soraya mengeluarkan hari dryer dari tas tangan yang berukuran besar. Ia kemudian memberikanku hair dryer miliknya. Tanpa butuh waktu lama lagi aku segera memakainya untuk mengeringkan rambutku dan sebagian bajuku yang basah. "Lo lihat makhluk aneh lagi?" tanyanya penasaran. "Hmmm gitu deh." kataku malas. "Kenapa gak lo coba usir kayak hantu yang nempel di tubuh Nancy?" tanya Soraya lagi. "Dia gak nempel di tubuh orang." kataku. "Dia ada, dia pergi... " kataku lagi. "Punya kekuatan kayak lo luar biasa, Al... " kata Soraya dengan suara yang terdengar bangga. "Tidur hampir gak tenang tiap hari lo bilang luar biasa?" "Emang lo gak tenang setiap kali lo tidur?" "Kalo ada hantu yang minta tolong aja sih... " "Hantu minta tolong?" "Iya, mereka-mereka yang mati dibunuh atau mati kecelakaan." "Dan lo bantuin mereka?" "Ogah. Urusan mereka udah kelar di dunia." "Jangan-jangan termasuk hantu yang nempel di tubuh Nancy kemarin?" tanya Soraya lagi dan aku mengangguk pasrah. "Ya Tuhan!" pekiknya tak percaya. "Doi minta apa, Al?" "Minta gue balesin dendam dia." "Trus?" "Ya gue bilang ke dia gue gak mau nurutin dia. Kalau untuk ngubur jasadnya secara layak gue mau." kataku lagi. "Itu kenapa lo tahu di mana jasadnya berada." kata Soraya dan aku mengangguk sekali lagi. "Dia mati kenapa, Al?" tanya Raya dengan wajah penasaran. "Gitu deh, Ra... " jawabku sekenanya. Aku menyudahi aktifitas mengeringkan rambutku dan mengembalikan hair dryer milik Soraya setelah mendengar lonceng tanda masuk kelas berbunyi. Sebenarnya aku ragu untuk keluar kamar mandi, tapi aku tak ingin masuk BK dan dicap sebagai anak pindahan yang nakal. Nggak, aku gak sanggup jika harus melihat Papa dan Mama bertengkar gara-gara aku. Aku mengendap-endap keluar kamar mandi diikuti Soraya. Ketika pintu kamar mandi terbuka, aku celingukan melihat ke kanan kiri, hanya ada siswa siswi yang berlomba-lomba berlari memasuki kelas mereka. "Kenapa sih, Al?" tanya Soraya mengangetkanku. "Lo takut?" tanyanya lagi. Aku diam tak menjawab pertanyaannya dan segera berjalan menuju kelas, Soraya memprotes tindakanku dengan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai ketika aku berlari-lari kecil ke kelas meninggalkannya. Aku sampai di ambang pintu kelas lebih dulu, ketika akan membuka pintu aku menyempatkan diri menoleh ke arah Soraya yang berlari ke arahku. Aku tersenyum jahil. Saat aku sudah membuka pintu kelas, pemandangan aneh menyerbu mataku. Aku melihat Papa, Papa Soraya, Papa Ardi, Papa Kiran dan Papa Dian sedang main catur di dalam kelas. Suara tawa mereka menggema kelas. Yang lebih aneh adalah penampilan mereka yang nampak jauh lebih muda dari usia mereka sekarang dengan seragam sekolah yang sama dengan yang Ardi dan Dian kenakan. Apa maksud semua ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD