his decision to move on

1806 Words
Waktu sudah menunjukkan dini hari tetapi Diaz belum juga lelap tertidur. Ia menempati sofa di ruang tamu apartemen dengan posisi tiduran memainkan smartphone miliknya. Beberapa kali berganti posisi tetapi layar hp tidak pernah lepas dari pengamatannya. "Bang Yas?" Ratna terbangun untuk sholat malam. Saat keluar kamar, ia mendapati putranya masih terjaga. "Uhm eh,, ibu. Ibu...masih jam dua bu. Kok bangun? eh mau sholat ya bu?" "Abang belum tidur apa kebangun, trus ga bisa tidur?" Ratna mengurungkan niatnya untuk segera mengambil air wudhu di kamar mandi dan memilih menghampiri anak laki-lakinya. Cengiran Diaz menandakan bahwa anaknya memang belum tidur. Ini adalah hari kedua selepas pernikahan Dian dan sejak hari itu Ratna melihat anak nomor duanya ini menunjukkan gelagat berbeda. Setiap libur Diaz dan hp adalah dua hal yang tidak saling mengenal tetapi dua hari ini Diaz begitu lengket dengan salah satu alat komunikasi itu. Tentu saja tidak mungkin bahwa Diaz merindukan saudara kembarnya yang kini tengah berbulan madu. Tidak mungkin juga karena urusan pekerjaan karena Alan pasti akan rusuh menghampiri apalagi perihal Deka, lebih tidak mungkin lagi. "Kenapa belum tidur? Gak bisa tidur? bukannya Bang Yaz besok ada kerjaan ya?" Kepala Diaz sudah berpindah di atas pangkuan sang ibu. Ratna secara teratur mengelus rambut putranya yang masih asyik memainkan ponselnya. "Bu, paling lambat Diaz nikah umur berapa?" Ratna mengernyit heran karena pertanyaan Diaz yang tiba-tiba. Pertanyaan dengan topik serius yang rasanya selama ini tidak pernah sekalipun disinggung anaknya. Ada dua kemungkinan yang kini dipikirkan oleh Ratna, bahwa yang pertama putranya ini sudah memiliki tambatan hati yang siap diajak berkomitmen atau jutru Diaz kini sedang merasa insecure karena ditinggal menikah kembarannya. "Gak papa kan ya bu kalau Diaz nikahnya nanti-nanti? Alan aja mau 32 juga belum nikah, pacarnya baru lulus kuliah sih" Diaz lebih terdengar bergumam pada diri sendiri. "Abang kenapa? kepikiran karena Dian sekarang udah nikah?" "Ck.. enggak lah. Walaupun sama sekali gak punya pasangan tapi abang tu ga ngrasa kebebanan yang gimana-gimana bu. Mau Deka yang nikah duluan juga ga papa" "Hush.. kalau bisa sesuai urutan kenapa engga? itu lebih baik" Ratna mengoreksi. Setelah hening beberapa saat, Ratna kembali bersuara "Emang abang ga punya pacar?" yang langsung dijawab cepat oleh Diaz "Kalau punya pasti langsung Yaz kenalin di hari pertama kami jadian bu. Ibu kok nanyain pacar?" "Anak ibu di usia segini, mapan, tampan gini kan harusnya ya punya pacar. Terus kenapa ini mainan hp terus dari kemarin? Abang tu lagi cari pacar?" mantan pacar bu, jawab Diaz dalam hati. "Udah tua bu. Diaz ga mau lah pacar-pacaran.... usap lagi bu biar Diaz nyenyak tidurnya." Diaz menelungkupkan ponselnya di d**a lalu mulai memejamkan mata menikmati usapan sang ibu. Ia bersiap untuk tidur atau lebih tepatnya memutuskan menyudahi pencariannya. "Pindah ke kamar aja bang! Di sini badannya nanti sakit" Tak mengindahkan perintah sang ibu, Diaz pun mulai terlelap. Ratna juga tidak memaksa dan terus mengelus perlahan rambut sang putra sampai anaknya pulas dalam tidur. Setelah di rasa sudah nyenyak Ratna pun perlahan memindahkan diri agar kepala Diaz pun juga nyaman di sofa sebelum nanti diganti dengan bantal. Ratna mengambil ponsel di dekapan Diaz. Layarnya masih menyala yang menampilkan deretan foto-foto beberapa orang yang didominasi perempuan. Ratna memang penasaran dan karena ponsel Diaz memang belum terkunci jadi Ratna pun bisa leluasa mengamati. Ada satu orang dari deretan perempuan yang berdiri di depan sebuah toko itu, Ratna merasa mengenali salah satunya. Perempuan dengan jilbab panjang itu adalah orang yang sama yang bertemu dengan Ratna dua hari lalu di pernikahan anaknya. Pagi menjelang dan Diaz sudah bersiap untuk jadwalnya hari ini. Terhitung hanya tiga jam saja ia tertidur. Semalam Ratna memberikan bantal juga menyelimuti putranya yang tidak mau berpindah saat tertidur di sofa. Sebenarnya Ratna tidak tega untuk membangunkan karena durasi tidur Diaz yang belum cukup lama tetapi Diaz memang sudah terbiasa bangun pagi, jadi saat alarm penanda sholat di ponselnya berbunyi Diaz pun otomatis terbangun untuk sholat subuh. "Abang ga sarapan dulu?" Ratna bertanya dari dapur apartemen Diaz kala melihat anaknya sudah menenteng sepatu. "Diaz sarapan di lokasi aja bu. Hari ini live acara pagi soalnya, ini aja Alan udah nunggu di bawah" Ratna mengangguk mengerti lalu mengemas bekal ke dalam paper bag yang diserahkan ke anaknya "Roti isi biar kenyang." "Terima kasih ibuuu. Ibu beneran gamau di sini aja? nemenin Diaz?" "Tanaman ibu ga keurus nanti" Diaz berdecak karena ibunya masih sama yaitu tidak mempercayai siapa saja untuk mengurus tanaman-tanamannya sekalipun itu pembantu rumah tangga yang sudah bersama mereka dalam waktu yang cukup lama. "Deka baru bisa jemput ibu abis dhuhur katanya" sambung Diaz sambil berjalan ke arah pintu diikuti Ratna. "Bang Yaz.." Suara Ratna membuat Diaz berbalik saat hendak membuka pintu. Biasanya ia berpamitan saat sudah keluar pintu tetapi sang ibu sepertinya hendak menyampaikan sesuatu. Benar saja saat sudah saling berhadapan Ratna meletakkan telapak tangannya di kedua pundak sang putra. Ratna mengelus perlahan berulang kali pada bahu Diaz. Ada kekuatan, perasaan sayang, keyakinan, dan kenyamaan yang dirasakan Diaz ketika mendapat perlakuan tersebut. "Bang Yaz harus percaya bahwa jodoh itu sudah diatur dengan indah oleh sang maha kuasa. Waktu yang tepat, orang yang tepat itu benar-benar sudah diatur sama Allah. Abang harus sabar dan yakin, fokus memperbaiki diri ya bang. Ibu selalu berdoa untuk kebahagiaan dan kesehatan abang." Perkataan ibunya memang membuat Diaz termangu tetapi segera merengkuh tubuh sang ibu dalam pelukannya. Doa tulus sang ibulah yang Diaz yakini selama ini sebagai kunci kesuksesannya. Ia selalu berusaha mendengar nasihat baik Ratna yang ia jadikan pegangan selama ini. Ibu selalu mempunyai insting yang kuat tentang apapun perihal anak mereka. Jadi Diaz menyimpulkan bahwa sang ibu pasti mengetahui kegundahan yang menyerangnya. Diaz memang tengah dibuat galau beberapa hari ini. Bukan karena siapapun tetapi melainkan oleh pikirannya sendiri. Masa depan, mimpi, hubungan, pasangan hidup, dan banyak hal lainnya menjadi bahan pikiran Diaz. Singgungan kehidupannya dengan milik Melinda, banyak mempengaruhinya. Selama ini Diaz hanya mendiamkan perasaannya. Ia simpan dan tidak berani ia tengok. Setelah kenyataan yang ia hadapi Diaz benar-benar harus membunuh rasa itu, membuang jauh perasaan yang pernah ada. "Kata Deka kemarin mantan lo dateng ke nikahan Dian.." Tidak ada yang pernah tahu bahwa Diaz pernah terpuruk karena perpisahan yang ia alami tujuh tahun silam. Mungkin karena terlalu sering menyimpan perasaannya hingga Diaz terbiasa melakukannya. Diaz kehilangan dan berharap bahwa hubungan yang telah terjalin empat tahun itu tidak benar-benar kandas. Ia pernah ada pada hari-hari pencarian dalam pikiran yang berkecamuk. Meski orang lain akan melihatnya tengah bekerja keras memforsir diri membangun karirnya. Orang lain tidak tahu bahwa saat itu ia berusaha untuk memperbaiki keputusan yang telah dia ambil ketika sedang emosi. Satu hal yang seharusnya tidak ia putuskan saat mentalnya tidak stabil karena berujung dengan penyesalan. Diaz menyesal karena bagaimanapun juga yang mengucapkan kata perpisahan itu dirinya. Tetapi seharusnya semua tidak berjalan semudah itu. Hari dimana Melinda berangkat ke Belanda saat itu juga Diaz melakoni adegan dalam dunia nyata bak adegan film. Ia dulu berlarian di tengah riuhnya bandara berusaha mencari Melinda lalu mengatakan bahwa ia menyesali keputusannya, bahwa Diaz tidak masalah jika harus menjalin hubungan jarak jauh. Bahwa Diaz ikut bahagia atas pencapaian yang Melinda raih. Tetapi Diaz terlambat dan semesta bekerja sama menunjukkan ketidak mungkinan itu. Melinda yang sama sekali tidak bisa dihubungi bahkan keluarganya sekalipun lalu rumah Melinda juga dijual dan tidak ada satu orang pun yang tahu. Di tengah kebuntuan itu Diaz pun merasa bahwa mungkin seperti ini cara Melinda menunjukkan bahwa kebersamaan mereka selama ini tidak membuatnya bahagia. Diaz terkurung rasa insecure atas dirinya sendiri juga perasaan bersalah untuk Melinda. Pengakuan Melinda saat perdebatan mereka waktu itu selalu terngiang-ngiang. Semua hal yang Melinda ucapkan tentang apa yang perempuan itu rasakan ketika menjalin hubungan dengannya seolah menghakimi Diaz bahwa dia bukanlah orang yang baik yang selama ini membersamai pasangannya. Karena dengan semua kesusahan yang dialami pasangannya kala itu, Diaz sama sekali tidak tahu atau sedikit saja memahami keadaan Melinda. "BROOO Bener lo masih gagal move on?" suara Alan lebih keras karena sapaannya sedari Diaz memasuki mobil tidak digubris. Melihat keadaan Diaz dengan lamunannya membuat Alan khawatir hingga memutuskan menepikan mobil mereka. "Apa?" "Lo bakal fokus kerja gak hari ini? Jangan kayak orang stress deh, banyak perempuan lain di luar sana. Ingat mantan lo udah nikah dan punya anak. Apa yang lo harapin?" "Ngomong apa sih lo? Kita bisa telat nih" Alan berdecak dan kembali melajukan mobil yang mereka tumpangi. Diaz memang orang yang sulit sekali untuk terbuka. Saat masa dimana Diaz sedang patah hati, Alan belum sepenuhnya menjabat sebagai manager. Sekalipun begitu Diaz tidak juga pernah bercerita atau membahas hal-hal di luar pekerjaan selebihnya sekedar obrolan ngalor ngidul tongkrongan. Peringatan Deka tentang mood abangnya yang mungkin buruk karena katanya kemarin baru ketemu mantan ternyata lebih buruk karena Diaz menjadi lebih pendiam dari biasanya. Sejak dua hari yang lalu Diaz tidak tahu sendiri tentang isi hatinya. Ia mencoba mengorek informasi-informasi yang ia sendiri tidak tahu untuk apa ia mencari tahu. Diaz mencari sosial media Melinda yang berakhir tidak ada satupun milik perempuan itu. Mungkin Diaz ingin memuaskan rasa penasarannya untuk melihat kehidupan yang dijalani Melinda sekarang. Sejak pertemuan mereka ada kelegaan yang belum sepenuhnya lega karena ada banyak pertanyaan yang sayangnya tidak bisa ditanyakan. Diaz hanya dapat menemukan akun Bea&Co. yang tentu saja berisi foto-foto perhiasan. Salah satu clue bahwa memang Bea&Co. dan Melinda saling berhubungan adalah foto perempuan itu di salah satu postingan paling awal adanya akun sosial media galeri perhiasan tersebut. Melinda benar-benar menghilang kala itu. Tidak heran bila teman-temannya menanyakan keberadaan perempuan itu pada Diaz. Sebuah tindakan yang mereka lakukan kala bertemu dengan Diaz di setiap reuni SMA yang mereka hadiri. Padahal kehadiran Diaz di setiap tahun saat acara reuni berlangsung adalah tak lain bisa bertemu dengan orang yang mereka cari. Nihil, Diaz tidak juga memenangkan peluang untuk bertemu. "Mau ngopi dulu gak? Biar otak lo agak settle dikit" ajak Alan saat mereka selesai menghadiri acara talkshow pagi untuk promosi film Diaz. Beruntung Diaz bisa tetap profesional untuk fokus pada pekerjaannya walaupun sebelum take tampangnya sangat tidak bersahabat. "Abis ini apa?" "Kita ada janji ketemu Bea&Co. buat bahas lo jadi BA mereka" Sepanjang berada di cafe seberang Bea&Co. Diaz masih dalam mode diamnya. Begitu juga ketika ia dan Alan menuju Bea&Co karena waktu pertemuan mereka telah tiba. Hingga sebuah mobil menurunkan seseorang. Dia adalah Melinda yang melambaikan tangan pada anak kecil yang melongokkan kepala keluar ikut melambai antusias. Seseorang yang mengendarai mobil itu membunyikan klakson saat pergi seolah menyapa berpamitan pada Diaz yang terpaku. "Selamat pagi saya Melinda salah satu perwakilan Bea&Co. baru mau masuk kan?" "Pagi saya Alan manager Diaz Putra. Kami mampir ngopi sebentar di depan" "Oh iya, mari silakan" Seperti yang Diaz katakan sebelumnya bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk benar-benar membunuh lalu membuang jauh perasaan yang ia punya untuk Melinda. Kehidupan yang mereka jalani meski sudah bisa saling menyapa kehadiran masing-masing tetapi sudah tidak lagi untuk urusan hati yang pernah sama-sama mereka miliki. Semua sudah berakhir. Begitu Diaz memutuskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD