TDH 01

1492 Words
Ini aku, Callista Brianna. Umurku 20 tahun. Aku begitu menyukai novel, bisa di bilang aku tidak bisa hidup tanpa buku yang namanya novel itu, hah! Bahkan aku rela menghabiskan uang bulanan ku untuk membeli novel favorit ku. Aku tidak peduli seberapa sering mama dan papaku melarang, aku akan tetap membaca novel. Hariku sepi tanpa membaca dunia halusinasi itu, tak apa jika aku tak punya kekasih. Bagiku membaca novel sudah bisa membuatku bahagia dan sedih secara bergantian. Aku bahkan sampai begadang hingga menjelang pagi, demi membaca setiap buku novel yang aku beli. Pagi ini, aku sudah tidak sabar ingin segera berangkat kuliah, lebih tepatnya sudah tidak sabar ingin segera mampir ke toko buku langgananku, tadi penjualnya bilang jika ada buku novel keluaran terbaru. Tak jarang juga aku membeli novel online di olshop ternama yang menjual novel-novel limited edition. "Ma ... aku berangkat dulu," ijinku. "Sayang, ini masih sangat lah pagi. Apa kau tidak sarapan dulu?" tanya mamaku. "Tidak, Ma! Aku ada janji dengan temanku," dustaku. "Jangan bilang jika kau mau membeli buku tidak berguna itu lagi," cerca mamaku, beliau memang begitu menentang tentang hobyku membaca novel. "Ma ... ayolah! Jangan seperti ini," keluhku. "Kau sudah sangat keterlaluan Ta, kau melupakan segalanya, pelajaran, dan kegiatanmu yang lain terbengkalai begitu saja, dan itu semua di karenakan novel tidak bergunamu itu," marahnya. Aku muak setiap pagi harus mendengar ceramah dari orang tuaku, aku memilih abai dan pergi meninggalkan rumahku secepatnya. Aku tak peduli mamaku marah. Aku merasa dia terlalu mengekang ku. Sesampainya di toko buku langganan Callista. "Yuhuu ... spada ...! Aku datang!!" girangku. "Ooii ... kau sudah datang beb! Bagaimana jadi membeli novel yang aku ceritakan padamu tadi malam?" tanya sahabatku, sekaligus pemilik toko yang bernama Tera. "Jadilah! Aku sudah memesan novel itu jauh-jauh hari. Komplit kan novelnya?" tanyaku memastikan. "Tentu saja," Tera mengambilkan sekardus novel yang masih tersegel. Kedua mataku berbinar, melihat tumpukan buku-buku itu. Rasanya aku seperti menang lotre, bahagia yang tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata. Aku sangat menyukai bahkan mencintai novel selayaknya kekasihku. Aku tak sabar untuk segera membuka dan membaca cerita-cerita yang akan membuat jiwaku melayang, membayangkan jika aku yang menjadi sosok dalam cerita itu. "Ta, sepertinya aku merasa kau sudah kelewat batas," Aku sedikit tak mengerti dengan ucapan sahabatku. "Kelewat batas gimana maksudmu?" "Ya, kau seperti kecanduan novel, begitu," ucap Tera canggung. Aku hanya tertawa kecil. "Kau benar, aku sangat ketagihan dengan buku-buku ini. Aku tidak bisa melewatkan hariku tanpa membaca," ucapku, aku sendiri sebenarnya juga bingung sejak kapan aku begitu maniak novel. Hingga rasanya aku lebih bahagia hidup di dalam dunia novel. Dari pada di dunia nyata. "Ayo kita berangkat, bagaimana dengan pembayaran buku-buku ini?" tunjuk Tera pada buku di dalam kardus tersebut. "Aku akan membayarnya nanti," ucapku mantap. "Ta, kau tidak akan menggunakan uang kuliahmu lagi, kan?" tanya Tera khawatir. "Hehe ... sayangnya, iya," sahutku acuh. "Ta, kasihan orang tuamu. Dia mengeluarkan banyak uang untuk biaya pendidikanmu. Tapi kau justru menghabiskan uang itu untuk membeli novel-novel ini," "Ra, udah ya, jangan seperti mama dan papaku. Kita saling menguntungkan, ok," jengahku. Aku sedang malas berdebat. Sungguh aku sangat sebal, kenapa semua orang melarangku?. Tera memilih diam tanpa ingin berucap lagi. Berdebat dengan Callista hanya akan membuat masalah semakin besar. Callista tipe gadis yang keras kepala dan tidak ingin mengalah. "Ah, sudahlah. Ayo kita berangkat! Nanti telat," akhir Tera. Aku hanya mengangguk dan pergi dari toko Tera, menuju ke kampus dimana aku kuliah. Sepanjang mata pelajaran, otakku tidak bisa terfokus. Aku hanya memikirkan novel, aku sudah tak sabar ingin segera membaca mereka. Uh, kesayanganku. Sesuai janjiku, aku kembali ke toko Tera dan mengambil buku-buku ku. Tak lupa aku membayar lunas buku tersebut. Tentunya aku menggunakan uang yang harusnya untuk biaya bulanan kuliahku. Ah, tak apa! Nanti aku bisa memintanya lagi pada mama dan papa. Sesampaiku di rumah. Mama dan papa sudah menatap nyalang ke arahku. "Ada apa Ma, Pa?" malasku. "Callista, tempo hari pihak kampus menghubungi Papa. Dia bilang jika biaya kuliahmu sudah menunggak selama 3 bulan, dan Mama bilang, Mama sudah menyuruhmu untuk membayarnya. Jadi sekarang Papa tanya, kemana uang itu Callista?!" tanya datar pria paruh baya itu. Aku hanya bisa menghembuskan nafasku lelah. Sudah terlampau biasa bagiku menghadapi situasi seperti ini. "Iya ... aku yang salah. Aku sudah menghabiskan uang itu untuk membeli Novel kesayanganku, Pa," tuturku tanpa merasa berdosa. "CALLISTA! Sudah Papa bilang berapa kali padamu?! Jangan pernah lagi membeli buku-buku tidak penting seperti itu lagi! Apa yang harus Papa lakukan untuk membuat mu mengerti ha?" marah pria itu tersungut-sungut. Aku merasa emosi, aku tidak suka dilarang seperti ini. "Pa, aku menyukai hobyku!!!" teriakku. "Papa tau, Papa tidak melarang hobymu. Tapi kau sudah sangat keterlaluan," "Pokoknya aku akan tetap mengoleksi novel-novel kesukaannyaku, jika Papa masih melarangku. Aku akan berhenti kuliah," ancamku, tak terima. Kedua orang tua Callista, hanya bisa memejamkan mata sembari menggeleng frustasi. Aku bahagia, tiada yang melarang ku. Biarlah aku membangkang. Yang penting aku bahagia, mendapatkan novel-novel terbaru. Bahkan aku sudah berencana untuk meminta papa membuatkan ruangan khusus untuk menaruh novel-novel berhargaku. "Pa ,.." panggilku, seraya bergelayut di lengan kokoh papaku. "Ada apa?" sahut lembut beliau. "Aku mau membuat museum untuk novel-novel kesayanganku, kamarku sudah penuh, Pa," rengekku. Papa hanya menghela nafas dan mengiyakan permintaanku. Hah! Aku sangat bahagia dibuatnya. Tak butuh waktu lama, papaku sudah membuatkan ruangan tersendiri untuk menaruh novel-novel kesayanganku, aku begitu bahagia, serasa punya surga tersendiri. Aku tipe gadis yang tak pernah bisa merasa puas dengan sesuatu. Hingga suatu ketika, saat aku menjalani hari-hariku di kampus. Tiada waktu tanpa ngegibah masalah novel. Dan datang seorang mahasiswa, yang entahlah, aku tak mengenalnya. Tiba-tiba dia berseru padaku. "Kau Callista, kan?!" serunya. Aku memandang heran ke arahnya, aku merasa tak pernah mengenal sosok itu. Tapi, bagaimana bisa dia mengenalku?. "Kau mengenaliku?" tanyaku. "Siapa yang tidak kenal dengan mu, sang pecinta novel," kikik mahasiswa itu. Aku tersenyum canggung, memang benar sih, apa yang anak itu katakan. "Em, iya," "Oiya, apa kau sudah mengetahui jika akan ada pameran novel di salah satu bangunan tua diujung kota?" tanyanya tiba-tiba. Aku membolakan kedua mataku. Mendengar kata novel, otakku serasa konek seketika. "Benarkah? Dimana?" tanyaku antusias. "Ini alamatnya, datanglah! Jangan sampai terlewatkan," seru sosok itu, memberikan secarik kertas kecil berisikan alamat tempat itu, menyodorkannya ke arahku. Aku tersenyum memandang secarik kertas di tangan kananku, penuh minat. Aku ingin mengucapkan terima kasih pada sosok itu. Tapi, kenapa dia sudah tidak ada? Kemana perginya?. Ah, sudahlah. Tidak penting juga, aku bahkan tak mengetahui siapa namanya. Aku ingin mengajak temanku untuk datang ke tempat itu besok. "El, maukah kau menemaniku pergi ke tempat ini besok?" ajakku, pada sosok teman gadis yang biasa ku panggil dengan sebutan Eli, itu. Eli melihat kertas yang ada di tangan kananku, gadis itu terlihat tidak terlalu setuju dengan ajakanku. Sudah terlihat dari raut wajahnya. "Tempat ini sangat jauh, Ta," keluhnya. "Maka dari itu, besok temani aku membolos," "Ah, maaf! Aku tidak bisa, ayahku sudah pasti memarahiku nanti, jika tau aku bolos kuliah," tolaknya. Aku mengerucutkan bibirku, sudah kuduga dia pasti akan menolak ajakkanku. Hah, baiklah! Mungkin aku akan nekat pergi sendiri besok. Demi novel, aku tidak ingin keduluan orang lain. Keesokan harinya. "Ma, Pa, aku berangkat kuliah dulu," pamitku. "Nak, kenapa kau membawa bekal sarapan? Tumben sekali?" Tegur mamaku. "Aku hanya ingin makan masakan Mama," alasanku. Mama hanya mengiyakan ucapanku, tanpa curiga. Jika aku sebenarnya tidak ingin masuk kuliah hari ini. Aku ingin mendatangi tempat yang tertera di kertas yang terlipat rapi di dalam saku ku. "Aku berangkat dulu Mam!" pamitku lagi. Entah kenapa aku merasa seakan berat untuk meninggalkan rumah, dan juga keluargaku. "Nak, hati-hati di jalan, entah kenapa, Mama merasa resah, hati Mama terasa tidak tenang," tutur mama, ketara sekali jika beliau tengah khawatir. "Mam, aku hanya pergi kuliah saja. Mama jangan terlalu khawatir," sahutku menenangkan beliau. Aku pun akhirnya berangkat dengan memesan taxy online, keluargaku belum mengijinkanku membawa mobil sendiri. "Pak, ke alamat ini!" aku menunjukkan secarik kertas yang baru saja ku ambil dari kantong sakuku. Sosok sopir itu sedikit terkejut. "Loh, Neng, tempat ini sangat jauh. Hampir perbatasan kota," ucap sosok sopir itu sedikit syok. "Iya aku tau, antarkan saja aku ke tempat itu, tenang saja! Aku akan bayar," malasku. Sopir itu hanya mengangguk dan melajukan mobilnya ke tempat tujuanku. Sudah hampir tiga jam lamanya, namun tak kunjung sampai. Apa anak yang kemarin membohongiku? Otakku mulai bertanya-tanya. Namun setengah jam kemudian, aku sampai ke tempat tujuanku. Ternyata benar, tempatnya begitu asing dan terletak di pinggiran kota. "Eneng yakin, ini tempatnya?" tanya sopir itu khawatir. "Sepertinya iya, Pak," sahutku sedikit tidak yakin. "Apa Eneng periksa saja dulu, Bapak akan menunggu Eneng di sini. Jika salah tempat kita kembali kagi," tutur sopir tersebut, aku tidak menyangka jika sopir itu begitu baik hati. Atau mungkin karena sudah menjadi langgananku?. Aku mengangguk setuju dan menuruni mobil tersebut, ku langkahkan kakiku, memasuki area bangunan tua di sana. Terlihat sedikit ngeri, karena bangunan tersebut terletak di pinggiran hutan. Dan kenapa sepi sekali, tubuhku jadi sedikit meremang. Namun, aku harus yakin. Demi novel yang sudah menjadi bagian dari hidupku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD