Sebagai orang tua, kita hanya perlu mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita. Khawatir boleh, tapi tidak dengan mengekang atau mencampuri urusannya secara berlebihan. — Papanya Maika.
Pagi-pagi sekali Maika sudah bersiap. Hari ini gadis itu akan kembali ke Bogor bersama orangtuanya juga kedua adiknya. Semalam dia sudah bilang pada kedua orang tuanya kalau dia menerima lamaran Rafan. Dan rencananya sepulang dari Bandung. Mungkin sekitar 1 minggu lagi akan diadakan pertemuan resmi dua keluarga untuk menentukan tanggal pernikahan.
“Lo di sini aja kali, balik bareng gue,” bujuk Nara. Maika menghela napas, kalau itu namanya cari mati.
“Gak bisa, gue mesti balik. Ntar deh kita liburan lagi ke Bandung kapan-kapan,” balas Maika.
Dia juga ingin sebenarnya, hanya saja sekarang kondisinya berbeda. Dia harus mulai lebih menjaga jarak dengan Rafan hingga hari H nanti. Bahkan sepanjang kenal dengan laki-laki itu, dia tidak memiliki nomor Rafan. Semua terkait pernikahan dihandle oleh Mamanya dan Bundanya Nara yang kini sudah membuat grup keluarga beranggotakan Papanya, Nara, Bundanya Nara, Mamanya Maika, Papanya Maika, Nara, Rafan dan Maika.
“Yah. Ya udah deh, oh iya Mai. Gue lanjut kuliah di Indo. Enggak balik ke Jepang lagi,” kata Nara.
Hal tersebut membuat wajah Maika berbinar senang.
“Serius lo?” tanya Maika.
“Iya bener.” Mendengar jawaban Nara senyum Maika makin melebar.
Akhirnya dia tidak perlu berjauhan lagi dengan Nara. “Alhamdulillaah, Yaa Allaah. Kalau gitu gue balik ya, nanti kalau lo udah sampai Bogor. Datang ke markas gue ya, assalamualaikum,” pamit Maika pada Nara.
Gadis itu sudah bersalaman dengan orang tuanya Nara, lebih tepatnya bundanya Nara dan Neneknya. Papanya Nara sedang tidak ada. Begitu juga Rafan yang tadi dia lihat pagi-pagi sekali sudah pergi.
“ Oh iya, ini ada titipan buat lo.” Nara Nara menyerahkan sebuah goodie bag berwarna kuning pada Maika.
“Jazaakillaahu khayr.” Maika mengulas senyumnya. Sejujurnya dia merasa sangat gugup untuk acara lamaran resmi nanti.
Gadis itu lalu mulai berjalan menuju mobil orangtuanya. Ketika sudah sampai di mobil. Tangannya tergerak untuk mencari sesuatu di Google.
“Yang harus dipersiapkan jika akan menikah” lalu mulai muncul berbagai artikel. Matanya meneliti setiap kata demi katanya.
Di nomor 1 dan 2 ada Ilmu Pranikah, Ilmu Pasca menikah, untuk kedua ilmu itu dia belum mempelajari lebih lanjut. Karena jujur saja, dia masih agak sedikit malu. Tapi sekarang mau tidak mau gadis itu harus mulai mempelajarinya. Maika beralih ke aplikasi note di ponselnya. Lalu mulai mengetikkan jadwal menonton kajian Ustadz Syafiq Riza Basalamah dan Kajian Ustadz Khalid Basalamah yang membahas tentang pernikahan.
Setelah selesai mengetik planningnya, Maika kembali membuka browser tadi. Selesai ilmu tadi, di nomor 3 dia harus belajar memasak. Ehm, kalau soal itu Maika tidak perlu diragukan. Sekolah di jurusan Kuliner alias Tata Boga. Membuat Maika familiar dengan kegiatan memasak, bahan-bahannya maupun alat-alatnya. Dia hanya perlu mengasah kemampuannya dengan sering memasak.
Di nomor keempat dan kelima ada psikologi pasangan dan ilmu parenting. Dia juga belum mempelajari ini.
PRnya begitu banyak. Mungkin dia akan meminta tips dari Risya juga.
Semoga saja semuanya berjalan dengan baik.
***
Maika mengernyitkan keningnya. Matanya mengerjap. Ketika membuka matanya, Maika mendapati dirinya sendirian di dalam mobil. Nasib orang yang hobi tidur, selalu ditinggal. Gadis itu menggeliatkan badannya, lalu menguap kecil. Seluruh tubuhnya terasa pegal.
Dia juga lapar, matanya tak sengaja menangkap goodie bag kuning pemberian Nara. Maika membukanya, sebuah kebahagiaan ketika dia mendapati banyak sekali makanan yang bisa dia gunakan untuk mengganjal perutnya. Ada samyang, beberapa cookies juga s**u cimory.
Maika membaca sebuah note yang tertempel di kotak cookiesnya.
Yang beli bukan gue, tapi abang gue. Wkwk bismillah dulu lo, jangan langsung mangap.
—Manusia cantik yang baik
“Apaan nih manusia cantik yang baik? Geli banget gue.” Maika bergidik. Perasaan semenjak balik dari Jepang, Nara sedikit beda. Lebih ceria. Sifat mereka malah seperti terkesan terbalik. Maika jadi makin galak dan cuek. Nara makin ceria dan lebih friendly.
Tapi tidak apa lah, selagi perubahannya tidak sampai membuat orang lain terganggu. Lagi pula Maika sudah nyaman dengan dia yang seperti ini. Pintu mobil terbuka, Mamanya membawa seplastik makanan dari Richeese Factory.
“Udah bangun? Nih makan dulu, tadi udah mama bangunin. Kamunya kebo banget,” sapa Mamanya sambil menyerahkan satu paket nasi dan ayam beserta minumannya pada Maika.
“Papa mana, Ma?” tanya Maika sambil mengambil makanan yamyg disodorkan mamanya.
“Tuh lagi jalan ke sini, tadi kita abis sholat juga.” Maika menatap mamanya yang kini tengah menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Mama kenapa ngeliatin aku gitu?” tanya Maika heran.
Mamanya tersenyum lembut, lalu mengelus puncak kepala Maika.
“Anak mama ternyata udah besar, udah dipinang orang. Padahal rasanya baru aja kemarin mama gendong kamu pakai bedongan.”
Maika menatap sendu mamanya.
“Maafin Maika, Ma. Maika belum bisa banggain Mama sama Papa.”
Nala menggelengkan kepalanya. Dia tahu apa yang ada dipikirannya Maika saat ini. Putrinya itu pasti merasa tidak enak. Yang dipikiran Maika saat ini, dia merasa belum bisa membanggakan kedua orang tuanya. Belum bisa memberangkatkan mereka ke tanah suci. Tapi malah menikah di usia yang masih sangat muda.
“Kamu selalu buat Mama dan Papa bangga. Melihat kamu tumbuh menjadi anak baik dan penurut. Membuat Mama sama Papa ngerasa senang karena udah didik kamu dengan baik. Dan sudah jadi kewajiban kami untuk memilihkan pendamping yang baik untuk kamu, sayang,” jelas Nala dengan mata berkaca-kaca.
“Sekarang, kamu makan dulu. Ini ayamnya bagian d**a kesukaan kamu.”
Maika tersenyum. Gadis itu mulai makan dengan lahap. Melihat Maika makan, Nala mengusap sudut matanya yang berair. Maikanya sudah banyak terluka, masa kecilnya dipenuhi banyak hal menyakitkan. Gadis itu jadi korban keegoisan dia dan Revan saat keduanya harus menjadi orang tua di usia muda.
Pertengkaran yang disaksikan Maika. Pasti meninggalkan bekas luka. Meski semua keadaan kini jauh lebih baik. Tapi tetap saja ‘kan? Yang namanya luka, akan selalu berbekas. Dia menyesal karena pernah mengganggap Maika sebagai beban.
“Maafin Mama,” ucap Nala nyaris seperti berbisik.
“Mama, d**a i kan!” Suara Zahira jadi penanda kedatangan Papanya Maika, Jihan dan Zahira. Mereka bertiga sepertinya baru saja selesai berburu banyak oleh-oleh.
Nala pun berpindah posisi ke kursi dekat kemudi.
“Ini cuanki pesenan kamu,” kata Papanya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah. Makasih, Pa.” Maika mengambilnya.
“Sama-sama, sayang.”
“Tumben kamu beli cuanki, ‘kan di daerah rumah juga ada yang jual?” tanya Mamanya merasa heran.
Dengan santai Maika menjawab,” Mama tau gak? Temen aku lho, si Risya?” Nala menganggukkan kepalanya.
“Dia ‘kan udah nikah dari semester 1. Waktu nikah emang gak ngundang banyak orang, cuman keluarga deketnya gitu. Nah kemarin dia kasih kabar ke aku, katanya lagi hamil. Terus dia ngidam deh pengen aku bawain cuanki asli dari Bandung,” jelas Maika dengan wajah ceria.
Berbeda dengan Maika, wajah Nala justru mendadak pucat pasi. Apa Maika juga akan mengalami hal yang sama? Menjadi ibu diusia muda? Jujur saja, dia tidak mau hal itu terjadi pada Maika. Dia tahu bagaimana rasanya menjadi ibu di usia muda. Sadar kalau Nala sedang khawatir, Revan mengelus pelan tangan Nala.
“Jangan samakan Maika dengan kita. Percaya dengannya, kalau dia bisa lebih baik dari kita,” ucap Revan dengan pelan.
“Tapi–“ Revan menatap Nala. Hal itu membuat Nala mengangguk samar.
“Sebagai orang tua, kita hanya perlu mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita. Khawatir boleh, tapi tidak dengan mengekang atau mencampuri urusannya secara berlebihan. Maika akan baik-baik saja. Rafan pria yang baik.”
Aku tidak pernah merasa kalau orang tuaku lebih baik daripada orang tua lain. Aku juga enggak ingin membandingkan orang tuaku dengan orang tua lain. Mereka punya nilai spesial di mataku. Ada ruangan khusus yang aku sediakan di hatiku khusus untuk mereka. Kata apapun enggak mampu mendeskripsikan betapa berharganya mereka buatku. Mereka orang tuaku, aku sayang mereka. Sebaik apapun orang lain, kalau mereka bukan orang tuaku. Mereka enggak bisa jadi tiket buat aku pergi ke Surga.
—Rafan