semakin hari aku semakin menyadari, kalau perkara menggenap. bukan soal kepingin karena lihat orang, bukan soal target waktu. ini tentang aku dan penyelesaian masalah yang ada dalam diriku. ketika aku sudah mampu menyelesaikan banyaknya masalah dalam diriku, aku sudah berdamai dan mampu mengemban tanggung jawab besar itu. Allaah akan memberikan bonus tak terduga atas usaha dan segala doa ku. —Maika Dzikria
Setelah melewati perdebatan yang cukup sengit antara Maika dan Nara yang berebut kamar mandi. Keduanya kini sama-sama sibuk mengenakan jilbab dengan panjang seperut berwarna maroon.
“Ih kok jarum pentul gue gak ada,” kata Nara.
Maika yang tengah membenarkan letak ciputnya menoleh ke arah Nara. Tanpa banyak bicara, Maika langsung menyodorkan jarum pentul cadangannya pada Nara. Nara mengambilnya, lalu berucap terima kasih. Maika menatap tampilannya di cermin. Yang mau menikah ‘kan orang tuanya Nara. Kenapa dia ikut gugup dan deg-deg an juga?
“Lo bahagia?” tanya Maika pada Nara yang terlihat lebih bersinar hari ini.
“Bangeeeet, alhamdulillah. Doa gue selama ini dijawab Allah,” kata Nara dengan senyum yang tak pernah pudar sepanjang dia bangun.
Melihat Nara tersenyum seperti itu, Maika turut bahagia. Dia tahu seperti apa terlukanya Nara saat kedua orang tuanya berpisah. Setelah bertahun-tahun pisah, akhirnya kedua orang tuanya Nara memutuskan untuk rujuk. Benar, kalau jodoh memang tidak akan pernah kemana.
“ Mai, semisal lo nikah muda, gimana?” pancing Nara.
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Nara, pipi Maika bersemu. Ingatannya terlempar pada kejadian dimana dia bermimpi kalau dia menikah dengan Rafam. Oke fiks, ini tidak baik untuk kewarasannya. Lebih baik dia mengalihkan pemikiran ini.
“Ya gak gimana-gimana, gitu aja. Udah yuk, kita turun ke bawah. Udah jam 8 lewat,” kata Maika langsung menarik Nara.
Keduanya berjalan menuju tempat di mana akad akan dilaksanakan. Beberapa orang sudah hadir di sana. Termasuk Kedua orang tua Maika. Dalam diam, Maika memperhatikan Rafan yang tengah mengajak Zahira bermain. Nara yang disebelahnya langsung berlari kecil menghampiri Rafan dan Zahira.
Sedangkan Maika, dia tetap berdiri di tempatnya. Tangisan anak bayi berumur 5 bulan mengalihkan perhatian Maika. Sudah lama dia tidak melihat anak kecil. Dengan perasaan antusias dia menghampiri sepupu Nara. Sepertinya sedang butuh bantuan.
“Dedek kenapa?” Maika menunjukkan wajah cerianya kepada bayi itu.
“Kakak kok belum siap?” tanyanya.
“Iya, dari tadi Ayna rewel. Papanya lagi jemput saudara di depan. Jadi enggak ada yang bisa dititipin,” balas sepupunya Nara.
“Ayna sama aku aja, Kak. Aku juga gabut banget dari tadi,” kata Maika.
“Aku takut ngerepotin kamu,” ucap Dini- sepupunya Nara merasa tidak enak.
“Enggak apa-apa kak.” Maika langsung mengambil Ayna. Tangis anak bayi itu perlahan surut.
“Eh jadi gak nangis. Ya udah, Kakak titip Ayna sebentar, ya, Mai . Ayna baik-baik ya sama kakak Maika, Umi ke dalam dulu. “ Dini mengecup pipi chubby putrinya.I
Maika melemparkan senyumnya pada Ayna yang kini terbengong menatap ke arahnya. “Assalamu’alaikum dedek, ciluk baaa.” Tidak tahu di mana letak kelucuannya. Ayna tiba-tiba tertawa ngakak. Tawanya cukup nyaring hingga mampu membuat Rafan menoleh ke arah mereka berdua.
Maika kembali menjulingkan matanya, dia membuat ekspresi seabsurd mungkin untuk membuat Ayna tertawa. Dan rencananya berhasil.
“Kata gue juga apa, buruan diresmiin,” goda Nara pada sang kakak. “Dia udah cocok banget lho jadi istri.” Nara semakin bersemangat memanas-manasi sang kakak yang kini menatap datar ke arahnya.
Tanpa bicara, laki-laki itu berlalu meninggalkan Nara yang kini tengah tertawa puas. “Kok gue ikutan gemes sama mereka berdua sih,” ucapnya pelan.
Dia yakin, abangnya itu akan langsung melakukan apa yang dia sarankan. Secara gitu, sudah bertahun-tahun dia menanti Maika. Lagi pula, orang tua Maika juga sudah memberikan lampu hijau pada Rafan.
“Bismillah,maksud dari Rafan ngajak Om sama Papa ngumpul di sini. Ada yang mau Rafan omongin.” Rafan menarik napasnya sesaat.
“Rafan mau menjadikan Maika, putri Om sebagai istri Rafan.” Ucapan tegas Rafan awalnya membuat Papanya Maika sekaligus Papanya sendiri terkejut.
“Tapi Maika masih 18 tahun, Fan,” sela Papanya. Rafan menundukkan kepalanya lesu. Apa harapannya sudah pupus?
“Enggak masalah. Kalau Maikanya mau, Om dukung, Fan.” Perkataan Papanya Maika membuat semangat Rafan kembali hidup. Semoga langkahnya dipermudah.
“Tapi-“
“Gue percaya, kalau Rafan bakal jadi laki-laki yang tepat buat anak gue. Lo jangan raguin anak lo sendiri dong, Bang.”
“Woy! Bengong aja lo,” tegur Fajar membuat Rafan mendengus.
“Siapa juga.”
“Soal lamaran lo, jadi?” tanya Fajar pas sekali dengan topik yang tengah dibahas di kepala Rafan.
“Hmm, insyaallah besok sebelum mereka balik gue mau sampein,” balas Rafan mantap.
“Wess, mantap. Semoga lancar bro,” kata Fajar. Dalam hati dia mengaminkan. Hari ini dia sedang kalem. Jadi semenyebalkan apapun tingkah Fajar padanya atau siapapun yang menyebalkan hari ini. Dia tidak akan marah.
“Lo balik ke Jakarta lagi?” tanya Rafan.
“Iya, banyak kerjaan numpuk. Aing berasa jadi bos holiday terus. Kena semprot bokap, terancam dicoret dari KK gue.”
“Bikin KK sendiri aja,” balas Rafan.
“Ide bagus! Kalau gitu, proposal gue ke Nara bisa lo acc juga dong?” Fajar menaik turunkan alisnya.
“Bisa. Liwatan aing heula tapi,” balas Rafan santai. Namun dalam setiap katanya dia selalu memberikan penekanan.
“Lo tau kaga, Pan?” kata Fajar tiba-tiba heboh.
“Paan?”
“Si Rama sok-sokan ngelamar cewek. Kesel banget aing dengernya, tuh anak boro-boro bangun rumah tangga. Kerjaannya ngelayap sama abisin duit bokap doang. Pusing gue,” cerocos Fajar berapi-api. Dan satu fakta lagi yang membuat Fajar kesal dan sangat ingin menjual adiknya itu. “Tau gak lo siapa yang dia lamar?” Fajar sampai menggigit kulit pisang saking geregetnya. “calon bini lo!”lanjutnya membuat Rafan menatap tajam Fajar. Mendapat tatapan buas dari Rafan, Fajar meringis.
“Kalem bos, sama calon bini lo ditolak kok.”
Rafan menghembuskan napasnya dengan lega. Dia harus segera meresmikan Maika menjadi miliknya. Tidak akan dia biarkan laki-laki manapun berani mengusik gadis itu.
***
“Lo mau apanya lagi?” tanya Maika pada Nara. Gadis itu tengah menyendokkan dua potong rendang ke piring milik Nara.
“Itu Mai, kentang mustofa sama sup ayam.” Nara menunjuk makanan yang dia inginkan. Dan dengan telaten Maika mengambilkannya. Saat ini mereka bertiga, Rafan, Nara dan Maika tengah duduk di meja yang disediakan di tempat VIP- tempat yang dikhususkan untuk keluarga.
“Mau sekalian?” tawar Maika pelan pada Rafan yang berekpresi lempeng.
Laki-laki itu mengangguk.
“Nasinya udah cukup segini?” Rafan mengangguk.
Sebisa mungkin Maika menahan tangannya supaya tidak terlihat tremor.
“Mau ayam atau rendang?” tanya Maika, lagi-lagi suaranya sangat pelan.
“Ayam aja,” balas Rafan dengan nada datar tanpa menatap Maika sedikit pun.
Melihat interaksi Maika dengan kakaknya Nara dibuat gemas. Dia sungguh tidak tahan kalau harus disuguhkan ke-uwuan seperti ini.
“Uhuk!” Nara berpura-pura batuk. Hal itu membuat Rafan menatapnya tajam.
“Apaan, orang gue keselek.” Nara memeletkan lidahnya mengejek sang kakak.
Setelah selesai mengambilkan makan untuk kakak dan adik ini. Maika mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Sesuai dengan porsi yang dia butuhkan, tanpa pengurangan porsi. Dia tidak berniat menjaga image di hadapan Rafan. Siapapun yang kenal dekat dengannya, sudah tahu. Kalau porsi makan Maika ini cukup besar.
“Mai, lo belum jawab pertanyaan gue. Kalau lo nikah muda, gimana?”
Seketika Maika tersedak rendang. Ck, Nara ini benar-benar. Jangan berharap kalau Rafan akan berlaku manis. Sebab laki-laki itu tetap bertahan dengan ekspresi lempengnya.
“Hehe maapin, nih minum.” Nara menyodorkan minuman berperisa lemon pada Maika.
“Ngeselin lo, Nar!”
“Wkwk, kaget amat lo ditanya gitu sama gue. Emangnya kenapa sih?” goda Nara yang mengundang cubitan pelan Maika.
“Jadi gak sabar uwu.” Ucapan Nara mengundang dua reaksi yang berbeda dari dua orang di hadapannya. Maika mengernyitkan keningnya. Sedangkan Rafan menatap tajam sang adik yang dia yakini sering keceplosan.