Tsundere

2347 Words
Gio melangkah pelan ke koridor kelas sesekali memperbaiki tali ranselnya pada bahu. Pemuda itu menolehkan kepala ke samping memandangi beberapa murid lain yang berkumpul di depan kelas mereka masing-masing. Sudah saling mengakrabkan diri, bahkan bertukar cerita tanpa beban. Berbeda dengan Gio, pemuda jangkung itu masih belum bisa mengakrabkan diri dengan teman-teman kelasnya di kelas berbeda. Gio tidak tahu kenapa ia sampai masuk ke kelas berbeda yang merupakan program kelas baru yang dibuat oleh kepala sekolah. Ia juga tidak pernah melanggar aturan sampai harus diasingkan ke kelas baru itu. Apalagi isinya murid-murid yang bermasalah, katanya. Gio sudah sampai di depan pintu kelas, pemuda bermata menggemaskan seperti kelinci itu melenggak masuk. Namun, tubuhnya terdorong pelan oleh sosok jangkung di sebelahnya yang juga mau masuk ke kelas. Keduanya saling berpandangan dengan tatapan tidak bersahabatnya. Gio mengerjapkan matanya, jadi melangkah mundur perlahan mempersilahkan cowok berahang tegas itu masuk duluan. Bukan karena Gio takut dan terintimidasi dengan tatapan cowok bernama Jaya itu. Hanya saja, Gio tidak ingin mencari masalah di sekolah. Di rumah saja sudah banyak masalah, jangan sampai di sekolah pun begitu. Bisa-bisa otaknya nanti berbusa. Seperti hari pertama kemarin, kelasnya sudah ribut dengan teman-teman kelasnya yang belum ia kenal sama sekali. Muka-muka mereka pun masih terlihat asing dimatanya. Entah karena memang karena dulu mereka jarang keluar kelas atau Gio sendiri yang tidak pernah bersosialisasi dengan keadaan sekitar. Jadinya, semua muka terlihat seperti orang baru semua. Gio menyampirkan ranselnya pada belakang kursinya lalu mendudukan diri di mejanya yang paling depan di sudut kiri. Ia melirik ke meja sebelahnya yang masih kosong, begitu pun tiga meja deretan depan. Belum ada penghuninya. Entah mereka memang masih belum datang atau sudah berkeliaran di luar kelas. Karena dari kelihatannya mereka anak-anak yang hiperaktif, tidak ada lelahnya. Gio mendesah samar, mulai merasa bosan. Pemuda itu memandang keluar jendela di sampingnya, tatapannya menyayu sendu dengan punggungnya yang sudah menyentuh kepala kursi, bersandar di sana. Ya, tidak buruk juga menjadi salah satu anak kelas berbeda. Sekarang ia tidak harus dipaksa untuk belajar mati-matian untuk mempertahankan rangkingnya. Tidak saling menjatuhkan antara sesama anak kelas hanya karena nilai dari guru. Dan juga tidak akan terus mimisan karena terus begadang hanya karena belajar yang tidak ada istirahatnya. Gio tersentak kecil dengan merintih lirih saat sebuah tangan tidak sengaja mendorong kursinya sampai mengenai belakang punggunya. Ia sontak menoleh dengan tatapan tajamnya membuat cowok berwajah kalem itu jadi menciut mundur. "Sorry, gue tadi gak sengaja nginjak tali tas. Makanya jadi gak sengaja ngedorong lo, sekalo lagi sorry." Ujar cowok itu benar-benar merasa bersalah. Gio tidak menanggapi, mengeraskan rahangnya langsung menghadap ke depan dengan mengepalkan tangannya erat. Arseno, cowok yang barusan menubruk kursi Gio jadi merapatkan bibir saat melihat pemuda itu beranjak berdiri dengan mengambil ranselnya. Dan pergi begitu saja, keluar kelas. Guru yang baru masuk karena bel berbunyi sudah berbunyi beberapa menit yang lalu jadi menghadang pemuda itu yang hendak pergi. "Mau kemana, sudah bel masuk." Tahan sang guru dengan absed dalam tangan, Gio tidak menggubris dan melangkah pergi terburu-buru membuat teman-teman kelasnya saling pandang dan mulai berbisik-bisik di bangkunya. "Itu Gio kenapa? Ada yang tau kenapa dia sampai ke luar kelas padahal sudah bel masuk?" Tanya Jaelani, sang wali kelas dengan nada lelah. "Palingan juga pergi ngadem di UKS, pak." Sahut Hendrik di mejanya santai, masih dengan matanya yang fokus pada komik bacaannya. "Anu pak, dia mau ngantin kali. Atau bapak mau panggil dia lagi? Biar saya aja kan ke sana, pak? Sekalian mau jajan, hehe." Ujar Gilang menimpali lalu bertos ria dengan Lucas di sebelah kanannya. "Tadi itu pak, gak sengaja kesenggol sama Seno. Makanya dia langsung ngambek gitu, kayak cewek anjir." Jelas Eric yang memang menjadi saksi mata saat kejadian dramatis itu terjadi. "Buset dah, ada yang lebih nyeremin dari Jay––" Omongan Yogi terpotong saat merasa bulu kuduknya meremang membuat ia jadi menoleh ke meja sudut belakang. Benar saja, Jaya menatapnya tajam kini. Sorot matanya seakan menjelaskan kalau pemuda itu akan menghajarnya sebentar lagi. "Kebelet kali, pak. Atau di lupa ganti pembalut, tadi bocor makanya buru-buru." Celetuk Bento masih memancing. "Apaan? Bacot ae lo," sahut Yogi di sebelahnya tidak setuju. "Apaan, b**o! Emang kelihatannya begitu, lihat aja itu tasnya gak ada. Berarti emang benar kalau dia rada-rada." Bento masih belum berhenti, "jangan sok tau, siapa tau emang dia lagi gak enak badan." Kata Yogi membela, "sudah, sudah, kenapa jadi kalian yang berdebat." Tegur sang guru dengan frustasi. Energinya sudah duluan habis karena kebisingan murid-muridnya itu. Padahal belum ada sepuluh menit dia berdiri di kelas yang isinya dua puluh bujang itu. "Kenapa jadi kalian berdua yang bacot anak muda, sekarang saatnya belajar. Jadi, tolong tutup mulutmu kisana." Ujar Hendrik sudah drama, "dua tiga kucing berlari, mari kita belajar menari." Sahut Jhonu di meja tengah sudah berdiri menggoyang-goyangkan bahunya membuat teman-temannya sontak meledakan tawa. Niki yang sedang tertidur lelap jadi tersentak kaget dan terbangun. Cowok itu mengerjapkan matanya kebingungan saat mendengar teman-temannya tertawa. Ia pun jadi bertepuk tangan heboh, ikut tertawa walau tidak tahu apa yang lucu. Hanya ikut-ikut saja. "Nanti lanjutin lagi main-mainnya ya, sekarang kita akan melakukan pemilihan ketua kelas dan wakilnya." Jelas Jaelani sudah kembali duduk di kursinya, memandangi murid-muridnya yang sudah perlahan diam. "Ada yang mau menawarkan diri jadi ketua kelas? Ada yang berani?" Tanya guru muda itu membuat murid-muridnya saling pandang dan saling menunjuk. "Elo aja, Mang. Keahlian lo kan ngebacot, cocok buat bacotin anak-anak kelas yang susah diatur." Bisik Eric pada Mark yang punya nama asli Mamang Rakaputra itu. "Apaan, sat. Gue gak ada jiwa kepemimpinan. Gak bisa, gak mau gue." Tolak cowok itu sudah mengibaskan tangannya heboh. "Lo aja, Hen. Lo kan suka membaca siapa tau ilmu lo bisa diterapkan ke anak-anak kelas." Kata Lucas dengan menendang pelan meja Hendrik yang membuat pemuda itu acuh saja, tidak peduli. "Atau ... bapak aja yang milihin? Biar aman?" Tanya sang guru membuat Seno jadi merunduk dalam menyembunyikan wajahnya ke dalam ransel. Takut ditunjuk. Yuta sudah mode pura-pura sok sibuk menulis. Jhoni sendiri sudah memasang senyuman manis, bersiap untuk nanti kalau dipilih. Dia juga sudah menyiapkan pidato apa yang akan disampaikannya ke anak kelas. Eric sendiri mendadak alim, berdoa dalam hati agar menjadi manusia tak kasat mata untuk beberapa saat agar tidak terpilih. Berbeda dengan Daehwi yang duduk melipat tangannya rapi, sudah mengacungkan tangannya sedari tadi namun Mark berulang kali menurunkannya. "Lo gak usah jadi ketua kelas, ingus lo dilap dulu." Kata pemuda itu membuat Daehwi menyeka hidungnya. "Gak ada ingus, kok." "Udah lo diem aja, anjir. Gak usah bacot." Daewhi tersenyum samar lalu menganggukan kepalanya menurut, "iya." Balasnya masih dengan wajah sumringahnya. "Sepertinya bapak sudah menemukan kandidat terbaik untuk menjadi ketua kelas kita. Kamu siap kan jadi ketua jelas, Jaya Mahesa?" Niki yang sedang tertidur langsung melebarkan mata kaget dengan menoleh horor pada Jaya yang kini memandangi sang guru lurus. "Buset, kenapa jadi anak setan itu, sih?" Bisik Hendrik jadi panik sendiri, "silahkan maju ke depan Jaya." Kata sang guru membuat cowok itu mendesah samar lalu mau tidak mau menurut dan melangkah maju ke depan. Teman-teman kelasnya jadi meneguk ludah berulang kali. Kalau sampai Jaya jadi ketua kelas, tidak akan ada yang berani membuka mulut sedikit pun nantinya. "Wakilnya harus yang ramah, biar seimbang." Ujar Yogi entah untuk siapa, "iya, yang bisa diajak kompromi." Sahut Bento jadi setuju membuat Yogi tersenyum lebar mendapat dukungan. Jaya memandangi teman-teman kelasnya yang menghindari bertatapan dengannya. Bahkan, sampai ada yang merunduk takut. Padahal Jaya biasa-biasa saja. "Jadi, Jaya bersedia kan jadi ketua kelas?" Tanya sang guru dengan nada riangnya membuat cowok itu memejamkan saja matanya sebagai balasan. "Kalau begitu wakilnya siapa?" Lanjut wali kelas dengan mengedarkan pandangannya membuat murid-muridnya sontak menunduk lagi. "Hendrik Candra, pak. Dia mau jadi wali kelas katanya." Teriak Yogi di belakang membuat Hendrik melotot tajam dan mengumpat sekasar-kasarnya walau setengah berbisik. "Dia dari kemarin bilang mau jadi ketua kelas atau gak wakil, pak. Tolong kabulkan keinginan dia, pak. Supaya cita-citanya tercapai." Sambung Yogi dengan muka menelas. "Cita-citanya apanya sih, bang––" "Silahkan Hendrik, maju ke depan." Hendrik yang dari kemarin berusaha menghindari pemuda bernama Jaya Mahesa itu akhirnya disandingkan kini sebagai ketua dan wakil ketua kelas. "Hendrik berdiri sampingan sama Jaya, kok kaya supirnya ya?" Celetuk Yogi jadi terkikik sendiri. "Kusut banget muka lo, Hen. Berasa banget susahnya." Tambah Yogi sudah tergelak sendiri. Hendrik berusaha menggigit lidah menahan u*****n, sesaat menoleh pada Jaya di sebelahnya yang hanya mengendorkan ekspresi tanpa mencair sedikit pun dengan kerecehan anak-anak kelas. Hendrik jadi curiga kalau mukanya Jaya terbuat dari lempengan besi. Susah banget buat cair dan senyum kecil begitu pada teman-teman. "Apa." Hendrik langsung mengalihkan pandangan saat tertangkap basah memandangi Jaya. Sampai tidak sadar kalau Jaya sedari tadi juga membalas tatapannya dengan tajam. "Cie cie, udah saling tatap-tapan aja. Sebentar lagi pasti udah kirim sinyal cintong." Celetuk Eric heboh sendiri lalu merapatkan bibirnya saat Jaya menatap ke arahnya. "Ah, kok gue merinding ya?" Ceplosnya dengan tertawa hambar perlahan jadi suara ringisan yang dibuat-buat seakan menangis. "Oke, jadi sekarang ... Jaya dan Hendrik jadi ketua kelas dan wakil ya?" Kata Jaelani tersenyum kecil, "iya, pak." Jawab murid-muridnya serempak dengan memandangi Hendrik yang sudah misuh-misuh ingin memprotes. Tapi, karena Jaya tidak ikut buka mulut protes sepertinya. Jadinya, Hendrik pasrah saja daripada nanti di hadang depan gerbang sekolah. Dijadiin bubur oleh pemuda itu. Untuk satu semester ke depan, Hendrik akan berusaha bertahan berdampingan dengan manusia menyeramkan itu. ** Gio berada di ruang UKS. Tiduran di sana dengan memandangi langit-langit ruangan itu. Perlahan ia mendengar suara langkah ke luar dari UKS membuat pemuda itu sontak beranjak berdiri dan melihat sekitar. UKS sepi kini, hanya ada ia seorang. Penjaganya pun baru beberapa menit yang lalu ke luar dari sana. Katanya mau mengambil stock barang yang habis di gudang. Gio pun mengambil kesempatan, ia membuka seragamnya cepat dan merintih sesaat. Pemuda itu menatap pantulan dirinya pada cermin kecil pada lemari membuat ia mendecak melihat darahnya sampai membasahi seragam sekolahnya itu. Gio perlahan membuka perban dalam tubuhnya membuat bibirnya makin merintih kesakitan karena lukanya yang masih menganga itu tertarik pelan oleh kulit perban. Ia pun mengambil perban di atas nakas, menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Lalu, menutupi lukanya dengan perban. Melingkarkan perban putih itu bada badannya yang mulai terbentuk. "Ck," decaknya sembari membuang bekas perban lukanya ke dalam tempat sampah plastik di antara ranjang UKS. Kemudian ia memasukan seragamnya ke dalam ransel dan mengeluarkan kaos hitam cadangannya untuk ia pakai. Tidak ingin sampai teman-teman kelasnya ataupun guru mengetahui keadaannya sekarang. Pemuda itu pun beranjak berdiri, menyampirkan ranselnya pada punggung sembari melangkah keluar dari UKS. Rahangnya mengeras merasa kepalanya mendadak pusing karena kehilangan banyak darah juga. Pemuda itu menghela napas samar dengan berdiam diri di depan UKS beberapa saat, masih menenangkan diri. Ia pun hendak melangkahkan kakinya, namun terhenti saat melihat sosok jangkung di depannya yang kini berdiri menatapnya dingin. "Cukup jam pertama lo bolos, jangan di pelajaran kedua lagi." Tegur pemuda itu dengan tatapannya yang masih tidak bersahabat, di adalah Jaya. "Gue bisa urus diri gue sendiri." Kata Gio sudah melangkah pergi namun lagi-lagi Jaya menghadangnya. "Kemarin lo mungkin bisa bersikap seenaknya, tapi sekarang gue akan ikut campur karena lo salah satu anak kelas berbeda." Jelas cowok itu masih dengan ekspresi dinginnya. "Lo perhatiin aja anak lain, jangan gue." Ujar Gio masih kekeuh membuat Jaya mendecak kasar. "Gak, bukan cuma lo tapi semua anak kelas akan gue perhatiin sekarang. Karena gue ketua kelas." Gio menaikan alisnya mendengar itu, ia tidak menyangka kalau Jaya akan menjabat sebagai ketua kelas. "Hm, terserah. Jangan halangi gue, ini gue mau ke kelas." Jaya mendesah di tempatnya lalu menarik lengan Gio untuk kembali masuk ke ruang UKS. Gio melotot tajam ke arahnya namun seperti biasa, Jaya tak gentar sama sekali. "Lo ngapain?" Jaya menunjuk punggung belakang pemuda itu dengan dagu, "kalau lo mau memperlihatkan luka lo sekarang, silahkan keluar." Ujar pemuda itu dengan nada dinginnya. "Kaos lo sampai kecium aroma darah, dan lo sama sekali gak sadar." Decak Jaya dengan menggelengkan kepalanya heran. "Padahal tadi gue udah ganti baju." Lirih Gio jadi meneguk ludah kasar, "percuma, karena luka lo gak lo obatin." Balas Jaya lagi dengan melangkah maju, makin ke dalam ruangan dan mencari sesuatu. "Buka baju lo." "Heh? Mau ngapain?" Panik Gio sudah menjauhkan diri membuat Jaya mengumpat lirih. "Lo mau seluruh anak sekolah tau, kalau lo anak buangan di rumah?" Gio merapatkan bibir dengan perlahan menurut. Pemuda itu sudah membuka kaosnya dan memperlihatkan tubuhnya yang dililit perban sampai seluruh tubuh itu. Jaya memandangi itu dengan mamik mata agak melebar, namun berusaha kalem tidak ingin ikut campur. Perlahan pemuda itu pun sudah menuangkan obat pada kapas dan mengusapnya pada luka Gio yang masih terbuka membuat bibir pemuda itu merintih samar. "Ck, pelan-pelan." "Ini udah pelan," balas Jaya dingin. "Heh! Itu pedis banget, pelan-pelan dong." "Kalau mau diobatin mending diem, gak usah ngebacot." Kata Jaya kesal membuat Gio jadi merapatkan bibir dengan kembali menahan perih lukanya. Beberapa menit kemudian, badan Gio pun sudah kembali terlilit perban setelah lukanya dibersihkan dan diobati seadanya. Pemuda itu hendak memakai kaos hitamnya lagi, namun terhenti saat Jaya menahan tangannya. "Bentar," tahan pemuda itu membuat alis Gio terangkat naik. "Apaan?" Jaya tidak menanggapi, malah merunduk dan sibuk mengembalikan sisa perban dan obat-obatan yang ia gunakan tadi. Pintu UKS terbuka lagi membuat Gio sontak menarik hordeng di depannya dan menutupi tubuh. Jaya yang melihat sosok Hendrik masuk dengan memeluk hoodie hitam miliknya langsung menunjuk Gio dengan dagu. Setelah itu Jaya melangkah keluar meninggalkan dua orang itu yang masih kebingungan. "Ini hoodienya Jaya, dipake aja." Kata Hendrik menyodorkan pada Gio yang langsung menerima tanpa protes. "Gila, tadi gue udah tremor gara-gara dapat sms dari Jaya. Kirain gue mau ditonjok sampe bonyok karena jadi wakil ketua kelas." Cerocos Hendri sudah heboh sendiri, "ternyata malah di suruh antar hoodienya ke UKS." Tambah Hendrik masih merasa aneh. Hendrik menoleh ke samping, Gio sudah selesai memakai hoodienya. "Udah, kan?" "H-hm, udah." Balas Gio kikuk. "Yaudah anjir, ayo balik kelas. Lo mau ngajak gue mojok di sini? Jangan, belum mahrom." Katanya membuat Gio jadi mendelik sendiri lalu buru-buru ke luar UKS. Hendrik mendengus samar jadi mengerjar pemuda itu yang sudah melangkah keluar dari sana. Gio perlahan melangkah di koridor kelas, perasaan sakit dan sesaknya entah kenapa perlahan meringan begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD