Chapter 2 - Resleting

2614 Words
Dua bulan yang lalu… Suara hingar bingar menyambut saat Azril memasuki sebuah kelab malam  yang berada di kawasan Seminyak, Bali. Kelab yang selalu ramai apalagi saat penghujung minggu seperti, menjadi tempat yang sangat cocok untuk refreshing setelah bekerja. Pandangan Azril mengarah ke seluruh tempat untuk mencari saudara kembarnya, Faiz yang mengatakan sudah berada di sini sejak setengah jam yang lalu. Sebenarnya, sekarang Azril sudah sangat terlambat untuk datang karena terhalang pekerjaannya. Ini pertama kalinya mereka akan bertemu setelah dua bulan terpisah karena urusan pekerjaan. Azril tinggal di Jakarta sementara Faiz tinggal di Singapura untuk mengurus perusahaan. Azril sangat suka berada di tempat ramai karena dia akan melupakan sejenak tentang kesendiriannya. Ketika bayangan masa lalu itu mulai masuk ke dalam pikirannya, Azril melihat Faiz yang sedang melambai dari arah meja yang tepat berada di depan bartender. “Ah, aku pikir kau tidak akan pernah datang.” Keluh Faiz. Azril memukul saudara kembarnya itu pelan, “Aku akan menepati janjiku walaupun terlambat.” “Ck, jika kau tidak datang maka aku akan membawa pulang salah satu wanita mabuk yang ada di sini.” Ucap Faiz lalu tersenyum miring kepada Azril. Azril langsung menjitak kepala Faiz, “Jangan sembarangan. Kamu harus inget janji kita sama bunda. Nggak boleh minum alkohol apalagi main sama perempuan.” Faiz langsung mengusap kepalanya cepat lalu menatap Azril tajam. Tetapi, tidak bisa melawan karena Azril sudah menatapnya tajam. Dia hanya cemberut lalu memesankan minuman untuk Azril. “Iya-iya, dasar cerewet. Lihat, sejak tadi semua wanita itu tertawa karena aku hanya memesan jus jeruk.” Ucap Faiz dengan ekspresi cemberut. Azril duduk di samping saudara kembarnya itu, “Ya, siapa suruh mau ketemu di sini. Kenapa nggak di restoran atau café?” “Yah, suasananya di sini lebih bagus dari pada café, lumayan bisa cuci mata.” Jawab Faiz tanpa rasa bersalah dan sudah bersiap untuk menghalau tangan Azril yang sudah siap melayang. “…aku bukan anak kecil. Jangan di jitak terus!” Azril menurunkan tangannya lalu terkekeh pelan, “Eh, udah kebiasaan. Biarin lah sekali-kali, kan jarang ketemu.” “Iya, tapi pulang-pulang bisa bengkak. Kegantenganku nanti ilang.” Ucap Faiz jengkel. Azril tertawa, suaranya sangat renyah hingga membuat Faiz ikut tersenyum. Mereka mengobrol sampai minuman di depan mereka tandas. Bartender yang sibuk bergerak di depan mereka ikut memandangi keduanya. Bartender itu menatap mereka heran karena datang ke bar seperti ini hanya untuk minum jus jeruk. Minuman yang sangat jarang di pesan oleh pria seperti mereka. Tetapi, raut wajah heran bercampur kesal itu hilang ketika Azril menyodorkan kartu berwarna hitam miliknya. Bartender itu langsung menebar senyum dan membungkuk ke arah mereka. “Sekarang, mau kemana?” tanya Azril. Faiz melihat arlojinya, “Tunggu di sini dulu, Lea mau datang.” “Hah? Bukannya Lea lagi di Inggris?” Faiz mengangguk, “Tapi, aku bilang kalau kita mau ketemuan di sini. Sekarang dia sudah dalam perjalanan ke tempat ini.” “Dasar, giliran mau kumpul bertiga cepet datang giliran acara keluarga banyak banget alasannya.” ucap Azril sembari menggelengkan kepala. Faiz setuju, “Iya, yah mungkin Lea malas ketemu sama temen Papa yang mau jodohin sama anaknya.” “Ah, orang itu? Aku jelas orang pertama yang menentangnya. Orang itu hanya menginginkan harta keluarga kita. Tidak pantas jadi kekasih Lea.” ucap Azril sembari mengingat-ingat orang yang dia maksud. Azril juga pernah bertemu dengan pria yang akan di jodohkan dengan Lea dan menurutnya pria itu hidung belang dan memiliki banyak w************n di dekatnya, sama sekali tidak pantas untuk bersanding di samping Lea. “Harusnya Papa segera menyingkirkannya.” Ucap Azril. “Tenang saja, satu bulan lagi kontrak kerja perusahaan akan segera berakhir dan lintah itu akan segera pergi dari kehidupan kita.” Ucap Faiz dengan tatapan penuh arti. Azril tersenyum miring, “Pastikan dia tidak punya nyali untuk membuat masalah dengan keluarga kita.” “Tanpa kau suruh akan kulakukan, lagipula jika kita tidak melakukannya pasti Lea yang akan memberinya pelajaran. Adik kita itu hanya menghormatinya sebagai relasi kerja ayah. “Nah, itu adik kita datang.” Azril membalikkan tubuhnya, begitu juga dengan Faiz dan semua pelanggan yang sedang bersantai di dalam bar itu. Mereka semua menatap ke satu titik di mana seorang perempuan sedang berjalan dengan percaya diri ke arah mereka berdua. Azril menatap tidak percaya ke arah Lea. Adik perempuannya itu memakai terusan panjang berwarna merah dengan leher dan pundak tidak di tutupi sehelai benangpun. Azril menatap Faiz dan adik laki-lakinya itu hanya tertawa pelan mendapati reaksi keterkejutan kakaknya. Lea langsung memeluk kedua kakak kembarnya, “Aku rindu kalian. Ayo, keluar dari tempat ini.” Faiz menaikkan sebelah alisnya, “Tequila?” “Tidak, kak. Kau tahu aku tidak minum.” Jawab Lea menarik kedua pria itu untuk berdiri dan berjalan pergi. Azril merangkul posesif pinggang adiknya agar tidak dilirik p****************g yang saat ini menatap lapar ke arah Lea. “Kau gila! Kalau bunda melihat pakaianmu sekarang mungkin dia akan terkena serangan jantung.” “Maka jangan beritahukan kepadanya, kak. Ini aku yang sebenarnya, bagaimana? Cantik?” tanya Lea dengan mengedipkan matanya ke arah Azril. Azril mengusap wajahnya kasar, kepalanya pusing melihat penampilan berani Lea. Adik perempuannya itu sangat berani menggunakan pakaian terbuka dan masuk ke dalam sebuah kelab malam. “Ayo keluar, sebelum aku membunuhmu.” Ucap Azril dingin. Lea seketika membelalakkan matanya, sekujur tubuhnya merinding mendengar ucapan Azril. Dia menatap kakaknya itu dengan takut, tenggorokan Lea tercekat ketika melihat tatapan tajam Azril. Azril langsungg menggiring Lea masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh orang untuk membawa mobil Lea. Faiz hanya menatap adik perempuannya itu dengan tatapan kasihan karena sebelum ini dia sudah mengingatkan agar Lea tidak mengenakan pakaian seperti itu. Sekarang, mereka tidak bisa melakukan apapun ketika Azril marah. Lea duduk lesu tepat di samping Azril dan melihat kakaknya itu mengemudikan mobil di jalan raya entah menuju kemana. “Kita mau kemana, kak?” tanya Lea. Azril tidak menjawab tetapi Lea bisa melihat rahang kakanya itu mengeras. Membuatnya diam dan mengikuti kemanapun Azril akan membawanya. Lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah toko baju. Hal itu membuat Lea yang sudah mati-matian berdandan harus merelakan dressnya menjadi kain biasa yang tidak terpakai. Azril bahkan melemparnya ke bagasi mobil ketika mereka sudah selesai berbelanja. “Bagaimana? Pakaiannya lebih nyaman kan?” tanya Azril. Lea mengangguk, sebenarnya dia memang sedikit risih memakai pakaian pendek dan terbuka tetapi di sudut hatinya yang lain dia juga merasa tertantang untuk memakai pakaian seperti itu karena sebelumnya dia tidak pernah berani sebelum nekat mencobanya beberapa kali dan Lea merasa sangat puas dengan penampilannya. Azril yang melihat ekspresi setengah-setengah dari Lea hanya menggelengkan kepalanya. “Yuk, makan malam. Udah pesan hotel?” “Belum, rencananya mau nginep di apartemen kakak.” Jawab Lea dengan wajah penuh senyum. Azril mengangguk pelan, “Ya sudah, nanti barang-barang kamu di antar ke apartemen kakak.” “Kak Faiz nginap di mana?” tanya Lea. Azril menoleh, “Di hotel, tapi nggak lama lagi bakal ke bandara. Sibuk dia.” Lea berdecak, “Kapan sih kita bisa kumpul bertiga tanpa gangguan pekerjaan.” “Kalau begitu, suruh Faiz jangan pergi. Dia pasti akan menurutimu.” Ucap Azril lalu memarkirkan mobilnya di tempat parkir sebuah restoran langgannnya. Ketika orang itu langsung menjadi pusat perhatian ketika berjalan memasuki restoran. Walaupun restoran sudah cukup sepi tetapi mereka tetap memesan tempat lebih privasi agar bisa mengobrol dengan nyaman. Setelah memesan makanan, Azril berdiri dari kursinya. “Mau kemana?” tanya Faiz. “Toilet, mau ikut?” Faiz menggeleng cepat, menyuruh Azril untuk segera pergi. Dia segera melangkah di koridor, Azril yang sudah menjadi langganan di restoran ini sudah sangat tahu letak toilet di mana. Saat berjalan, dia memperhatikan beberapa pegawai lain sudah berkemas membersihkan meja serta peralatan lain. Munkin mereka menjadi tamu terakhir restoran itu dan akan tutup setelah mereka pergi. Azril mengenal baik pemilik restoran ini, mereka pernah bertemu dengan pemiliknya beberapa kali. Ketika dia berbelok di koridor, Azril tidak sengaja melihat seorang pegawai perempuan sedang di tarik paksa oleh seroang laki-laki yang dia tahu bekerja sebagai manager restoran. Azril mengerutkan kening, dia batal pergi ke kamar mandi dan masuk ke sebuah ruangan yang sepertinya tempat ruang ganti para karyawan. “Lepaskan aku!” Azril tersentak ketika mendengar suara itu, dia segera melangkah masuk dan mendapati manager restoran itu sedang berusaha mencium karyawan wanita di depannya. Karyawan wanita itu melebarkan mata ketika melihatnya, Azril langsung menarik tubuh manager itu dan mendorongnya menjauh. “Sial! Siapa yang berani menggangguku.” Umpat manager itu marah. Sementara karyawan wanita itu langsung bersembunyi di belakang Azril. “Terimakasih, Pak.” Azril tidak meresponnya, dia menatap manager restoran itu dengan tatapan tajam. “Cih, kau pelanggan restoran? Berani sekali mengganggu urusanku. Silahkan keluar, Sir. Ini urusanku dengan karyawan ceroboh itu!” ucap magaer itu masih tidak menyadari apa yang ingin dia lakukan. Azril tersenyum miring, “…kau hanya pegawai disini dan beraninya mengoceh di depanku. Kau ingin melcehkannya!” “Itu hukumannya karena selalu ceroboh. Dia merugikan restoran ini!” ucap manager itu murka. Azril tertawa pelan, “Lalu apa hukuman yang kau berikan kepadanya?” “Sekali lagi itu bukan urusanmu, lebih baik kau kembali makan dan pergi dari tempat ini.” umpat manager itu sudah tidak bisa mengontrol amarah karena rencananya telah di rusak oleh Azril. Azril menoleh ke belakang, tempat seorang perempuan mungil sedang berdiri ketakutan sembari memegang ujung kemejanya dengan sangat erat. “Dia sering melakukan ini kepadamu?” Perempuan itu menggeleng cepat, “Ini pertama kalinya.” “Cih, dasar pria berengsek!” Azril menghindar cepat dari terjangan manager restoran yang sangat marah itu. Dia menendang pria itu telak di perut hingga membuatnya terlentang di lantai sembari memegang perutnya kesakitan. “Yuk…” Azril melangkah keluar dari ruangan itu. Tetapi, tidak dengan perempuan di belakang Azril. Perempuan itu malah melepas salah satu sepatunya lalu memukulkan bagian runcingnya tepat di aset berharga milik manager restoran itu. Azril membulatkan matanya, dia menatap perempuan itu dengan tatapan ngeri. Bukan hanya sekali tetapi perempuan itu memukulnya tiga kali dan tiga-tiganya dengan tenaga super membuat manager itu berteriak kesakitan. “Dasar otak burung!” ucap perempuan itu lalu menendangnya sekali lagi. Azril menelan ludahnya gugup, dia perlahan memegang asetnya dan melindunginya dengan tangan dari depan. Seluruh tubuhnya ngilu melihat apa yang dilakukan perempuan itu. Mereka keluar dari tempat itu dengan canggung, sementara perempuan itu sedikit puas. “Terimakasih Pak, sudah nolong saya. Kalau nggak ada bapak, mungkin saya sekarang sudah lebih ngamuk. Mungkin burungnya sudah saya sembelih jadi empat! Manager gila!” ucap perempuan itu puas. “Sama-sama.” Ini kali ketiga Azril berbicara kepada perempuan asing yang baru saja dia selamatkan. Hal yang sangat jarang Azril lakukan jika bertemu dengan orang asing. Azril merasa percakapan mereka sudah cukup sampai di sini. “Saya bersyukur bapak datang, kalau nggak pasti sekarang saya sudah jadi dendeng. Amit-amit deh di grepe sama manager kayak dia, ganteng aja nggak. Muka buluk kayak dedak aja kepedean gara-gara posisinya lebih tinggi di restoran.” Perempuan itu masih mengoceh da mengeluarkan semua yang ada di dalam pikirannya. Bibir Azril berkedut, dia setengah mati menahan dirinya untuk tidak tertawa. Ketika berhasil, Azril melangkah pergi dari tempat itu dan menuju toilet. “Eh, namanya siapa pak? Belum juga kenalan, udah ditinggalin aja. Nama saya…” Azril sudah tidak mendengar kata terakhir dari perempuan itu karena dia sudah cukup jauh dan tidak ada suara langkah yang mengejarnya. Azril kembali dan di tatap oleh kedua saudara kembarnya. “Ke toilet lama banget? Ngapain aja?” tanya Lea penasaran. Azril menggelengkan kepalanya, dia tidak berniat untuk memberitahu kejadian tadi kepada siapapun. “Udah, makan yuk.” Lea cemberut mendengar jawaban kakaknya, tetapi memilih untuk mengangkat bahu acuh dan menyantap makanan yang sudah terhidang di atas meja. Azril duduk dan mengecek ponselnya, dia melihat dua email masuk lagi-lagi tentang pekerjaan. Mereka bertiga yang merupakan cucu dari pemilik perusahaan terkemuka di dunia yang juga ikut bergelut dalam perusahaan itu memiliki pekerjaan bertumpuk. Mereka sangat nyaman dengan pekerjaan mereka dan memilih untuk melanjutkan perusahaan keluarga tanpa di paksa siapapun. Tiba-tiba pintu di ketuk dan dua orang pelayan masuk untuk menghidangkan makanan terakhir. Kebetulan itu milik Azril, mereka menghidangkannya dengan rapih. Terakhir, Azril terkejut ketika perempuan yang dia selamatkan ikut masuk membawa tiga buah mangkuk sop jagung beserta air putih. Saat sedang memindahkan gelas air, perempuan itu tidak sengaja menumpahkannya ke badan Azril karena terkejut ketika salah satu dari pria yang ada di situ memukul meja. “Maaf, Pak. Aduh,” perempuan itu langsung membungkuk dan mengusap perut Azril yang basah dengan telapak tangannya. Azril melebarkan mata dan menatap perempuan itu tidak percaya, sementara Lea dan Faiz terkikik geli dan menatapnya dengan tatapan sangat puas. Keduanya begitu bahagia melihat Azril dalam keadaan kacau. ‘Wah, perutnya legit banget Pak. Makan apa deh? Kayak papan gilesan gini. Enak buat nyuci.’ Azril melotot, Lea mengusap ujung matanya karena menangis akibat menahan tawa. Sementara, perempuan itu tidak menyadari jika dia baru saja menyuarakan apa yang terlintas di dalam pikirannya. Azril berdecak lalu mendorong kening perempuan itu dengan telunjuk ketika melihat mengeluarkan sebuah handuk putih untuk mengusap perutnya yang basah. “Berhenti! Saya bersihkan sendiri.” ucap Azril. Perempuan itu menggeleng, “Tinggal dikit ini, Pak. Sabar.” Azril menggeram tertahan ketika perempuan itu kembali mengusap perutnya, dia sedikit tersentak ketika merasakan ucapan lembut perempuan itu dan Azril langsung menepisnya. “Keluar!” Perempuan itu mengerjapkan mata, “Tapi, pak…” “Tuli ya? Saya bilang keluar!” Perempuan itu beranjak dengan ragu-ragu lalu melihat bagian celana Azril lalu menghela napas panjang dan keluar dari tempat itu. Azril makan dengan nyaman karena masakannya lezat dan tidak terlalu mempermasalahkan kejadian air tumpah barusan. Mereka menghabiskan waktu dua jam di restoran itu lalu berjalan keluar untuk membayar tagihan. Azril terkejut ketika melihat perempuan itu dengan mata mengantuk sedang menunggu mereka keluar dari tempat itu “Pak, saya minta maaf.” Ucap perempuan itu sedikit terlonjak karena melihat mereka tiba-tiba keluar. Lea dan Faiz berjalan terlebih dahulu meninggalkan Azril, “Biar aku yang bayar makanannya.” Azril tidak memperdulikan perempuan itu, dia berjalan keluar dengan tenang. Tiba di tengah restoran beberapa pegawai dan pelayan yang sedang membersihkan restoran tampak menatapnya, Azril yang sering di tatap itu hanya biasa saja. Dia tidak menangkap sesuatu yang ganjil kecuali salah seorang perempuan yang terus mengikuti langkahnya dengan terburu-buru. “Eh, tunggu pak!” Azril berusaha menahan amarahnya, “Apa lagi sih?” “Aduh, jangan kenceng-kenceng pak. Saya tahu, saya memang ceroboh tapi nggak perlu di teriakin juga. Saya belum budek.” Ucap perempuan itu sabar. Sementara Azril tidak berhenti berjalan, dia sudah hampir sampai di pintu restoran ketika perempuan itu menarik kencang tangannya. “Pak, resletingnya terbuka.” Ucap perempuan itu dengan suara pelan ketika Azril hampir saja menumpahkan kekesalannya. Azril langsung mengecek celananya dan benar saja jika resletingnya terbuka. “Kenapa nggak bilang dari tadi?” tanya Azril menggeram, dia berbalik ke belakang dan melihat beberapa orang melemparkan senyum aneh kepadanya. “Ya, saya sudah liat dari tadi. Saya pikir bapak sengaja buka.” Jawab perempuan itu. Azril bedecak, “Sengaja gundulmu.” Perempuan itu tertawa geli, “Wah, ternyata bapak bisa becanda juga, ya?” Azril tidak menanggapi ucapan perempuan itu dan berjalan keluar dari restoran ketika melihat Lea membunyikan klakson mobil. Azril mengambil alih kemudi dan masuk ke dalam mobil. “Dia lucu ya?” Azril memakai sabuk pengaman, “Siapa?” “Tuh…” Mereka berdua menatap pintu restoran dan melihat perempuan tadi sedang melambai ke arah mereka dengan bersemangat. “Perempuan sinting!” Azril langsung mengalihkan pandangan dan itu membuat Lea terkikik geli. Azril mengusap wajahnya kasar ketika kembali teringat ketika dia lupa menaikkan resleting celananya dan merinding ketika mengingat sesuatu. Shit! Jangan bilang perempuan itu lihat?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD