Deux

3825 Words
Nara mengerjap kaget. Tak menyangka bahwa sosok yang sedang berada di dalam kamarnya itu adalah orang yang kemarin sempat mengaku sebagai pamannya. Jari telunjuk Nara refleks terangkat ke arah pria itu. "Ke-Kenapa kau ada di sini? Dari mana kau tahu rumahku?" Nara panik. Ia langsung bangkit dari ranjang guna menghampiri si pria aneh itu. Namun, rasa pening yang langsung menyerang kepalanya membuat Nara hanya mampu terduduk di pinggir ranjang. Tangannya menyentuh kepala. "Ah, kepalaku sakit sekali!" keluhnya. "Salah siapa mabuk tadi malam?" ujar pria itu dengan nada datar. Kedua tangannya terlipat di depan d**a dengan tubuh yang bersandar pada dinding dekat pintu. Rautnya sama sekali tidak menunjukkan keprihatinan atas apa yang sedang dialami oleh Nara. Sebaliknya, ia tampak dingin. Nara mendelik. "Bagaimana kau tahu kalau aku mabuk? Jangan-jangan kau yang membawaku pulang, ya?" "Tentu saja! Kalau bukan aku kau pikir siapa lagi yang melakukannya?" Pria itu mendengus. "Lain kali jika ingin menenangkan diri lakukanlah hal-hal yang berguna dan berdampak positif untukmu, bukannya malah mabuk-mabukan. Lihat! Kau rugi sendiri, kan?" "Iya, aku tahu! Aku juga tidak pernah mabuk sebelumnya. Semalam aku baru putus dengan kekasihku. Aku tidak ingin menangis, jadi kurasa mabuk adalah jalan terbaik untuk membuatku tenang." "Jadi kau baru saja dicampakkan?" "Enak saja! Justru aku yang memutuskan hubungan lebih dulu karena dia berse—Tunggu sebentar! Untuk apa aku bercerita padamu?" Nara tersadar. Sungguh, ia tak menyangka akan bersikap sepolos itu dengan menceritakan masalahnya pada orang asing. Pria itu hanya menatapnya datar. "Sekarang itu tidak penting!" Nara menyentak kesal. Ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke arah pria dewasa itu. Tatapan galaknya terhunus sempurna pada netra pria tersebut saat berujar, "Kau! Dari mana kau tahu rumahku? Bagaimana kau bisa tahu kalau aku mabuk di kedai semalam? Kau menguntitku, ya?!" Pria itu mendengus mendengar tuduhan Nara. Ia tergelak sinis lalu membalas tatapan Nara dengan sama tajamnya. "Aku menguntitmu? Yang benar saja!" "Kalau tidak menguntit lalu apa? Jawab pertanyaanku dengan jelas!" Nara gemas sendiri. Sungguh, ia kesal menghadapi kelakuan pria asing di hadapannya itu. Helaan napas lelah diloloskan kembali oleh pria tampan itu. Wajahnya kentara malas menanggapi Nara. Pria itu memejamkan matanya lalu membukanya pada detik ketiga. "Aku tidak tahu kalau kau begitu berisik." Nara membulatkan matanya terkejut mendengar ucapan pria yang kini malah berlalu dari kamarnya. "Hei! Aku belum selesai bicara!" Ia mengekori si pria yang sedang berjalan ke arah ruang makan. Nara terkejut melihat berbagai macam makanan telah tersedia di atas meja makan. Pria itu duduk dengan santainya di salah satu kursi, hendak menyantap makanannya. "Sarapan dulu," ajak pria itu dengan nada santai, seolah-olah dia sang tuan rumah yang mempersilakan tamunya untuk makan. Nara semakin melongo tak percaya. Ia tergelak sinis lalu mengepalkan tangannya yang berada di sisi tubuh. Nara menggeram tertahan. Ya Tuhan ... berikanlah kesabaran pada Kim Nara! Kalau tidak, mungkin ia akan menjadi seorang pembunuh sebentar lagi. Nara pun mengatur napasnya. Berusaha sekuat tenaga meredam kemarahan yang mulai meraja di hatinya. Sungguh, ia sedang berada dalam mood yang sangat-sangat buruk akibat kejadian kemarin. Jadi, ia tidak ingin menambah daftar kekesalannya pagi ini. Ia tidak mau harinya semakin buruk karena menghadapi segala tingkah laku lelaki asing dalam rumahnya itu. "Maaf, Tuan ... Tapi bisakah Anda pergi dari rumah saya?" Nara mendadak merubah tutur katanya agar terdengar lebih sopan. Raut angker yang sejak tadi menghiasi wajah cantik itu juga telah berganti. "Anda hanyalah orang asing dalam hidup saya. Tolong, jangan ganggu kehidupan saya dengan mengaku sebagai paman—" "Tapi aku adik ayahmu sungguhan. Aku saudara seibunya." "Eh?" Pria asing itu mendengus pelan kemudian merogoh sesuatu dari saku kemejanya. Rupanya itu sebuah foto. Ia menyerahkannya pada Nara. Nara menerima foto tersebut dengan diiringi perasaan ragu. Gadis itu mengamati fotonya dan terkejut saat menemukan sesuatu yang terasa tak asing baginya. "Bu-Bukankah ini ...." "Ya, itu foto masa muda Kak Yeonseok bersama kedua orang tuanya, Kim Taesang dan Yeo Seoran. Itu foto sebelum mereka bercerai. Apakah ayahmu pernah bercerita soal perceraian itu?" Nara mengangguk. "Ya, Ayah pernah bilang kalau Nenek dan Kakek bercerai saat ia berusia 13 tahun. Setelah kedua orang tuanya bercerai, Ayah ikut dengan Kakek sedangkan Nenek pergi entah ke mana. Sejak itu pula Ayah tak pernah lagi bertemu dengan Nenek bahkan hingga ia meninggal." Pria itu mengangguk. Senyum tipis menghiasi wajahnya. "Nenekmu menikah lagi setahun setelah perceraian itu lalu melahirkan seorang anak laki-laki. Aku adalah anak laki-laki tersebut. Itu artinya, aku adalah adik ayahmu." Perkataan pria tersebut membuat Nara terbelalak kaget. Mulutnya sampai membulat tak percaya. Apalagi ketika pria itu mengeluarkan selembar foto lagi dari saku kemeja yang sama dan menyodorkannya pada Nara. "Itu bukti kalau aku adalah anak dari Nenekmu itu. Namaku Oh Sehun." ♣♣♣ Perasaan bingung masih saja menghantui benak Nara. Gadis itu berjalan sambil terus memutar cerita dari pria bernama Oh Sehun yang digadang-gadang sebagai pamannya. Penjelasan yang diutarakan oleh pria itu memang cukup akurat dan terdengar meyakinkan, tapi entah kenapa Nara masih saja meragu. Benarkah Sehun adalah pamannya? "Argh!" Nara menjerit frustrasi sambil mengacak rambutnya. Wajah cantiknya menunjukkan kekalutan. "Dia itu benar pamanku atau bukan sih?!" "Kau punya paman?" "Astaga!" Nara memekik ketika suara berat seseorang terdengar tepat di dekat telinganya. Gadis itu segera menoleh dan terkejut begitu melihat cengiran khas seorang pria yang begitu dikenalnya. Wajah cantik itu berubah angker. "Monsieur Kim, kau mengagetiku!" Tangan Nara refleks terayun hendak memukul pria berusia tiga puluh tahun yang berjalan di sampingnya, tapi tidak jadi. Untung saja ia ingat kalau sedang berada di kampus, kalau tidak ia mungkin sudah memukul dosen tampan itu sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Ia hanya tidak ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang yang melihat keakraban mereka. Pasalnya, penggemar dosennya itu sangat banyak. Nara tidak ingin mencari masalah. Monsieur Kim, atau yang bernama lengkap Kim Jongin itu tertawa keras. Sungguh, menggoda salah satu mahasiswi yang juga merupakan asistennya tersebut sangatlah menyenangkan. Ya, bukan hanya sekali-dua kali ia melakukan ini, tapi sering sekali. Bukan karena ia menyukai gadis itu, tapi memang karena mereka cukup dekat. Kepribadian Nara yang baik, ramah, dan mudah bergaul membuat Jongin nyaman. Apakah Jongin menyukai Nara? Tentu saja tidak! Keakraban mereka dimulai karena sebuah kewajiban, baik dalam hal akademik, maupun pribadi. Sebagai asisten dan dosen, wajar jika mereka harus saling berinteraksi, bukan? Tapi, kenapa secara pribadi mereka juga harus dekat? Well, Jongin punya alasan tersendiri yang tak bisa ia katakan pada siapapun. Yang pasti, alasannya bukan karena suka atau cinta. Itu adalah bagian dari sebuah misi. "Hei, kau belum menjawab pertanyaanku!" sergah Jongin saat Nara mulai mempercepat langkahnya. Ia menyejajari langkah gadis itu. "Kau punya paman? Bukankah kau sudah tak punya sanak-saudara lagi?" "Itu dia masalahnya, Monsieur Kim!" Nara berhenti berjalan. Raut frustrasi terlihat jelas dari wajah cantik itu. "Ada seorang pria yang mengaku sebagai pamanku. Dia bilang bahwa dia adalah adik ayahku tapi mereka berbeda ayah." "Kau percaya dia?" "Tentu saja aku ...." Nara tampak bingung saat ingin menjawab pertanyaan itu. Gadis itu menimang-nimang. "Mm, sebenarnya aku tidak sepenuhnya percaya. Ada beberapa hal yang diungkapkan olehnya dan itu memang benar, tapi aku juga merasa masih ada yang mengganjal." "Mengganjal bagaimana memang?" "Dia—" "Selamat pagi, Monsieur Kim!" Sapaan heboh dari ketiga mulut manusia itu membuat Nara hampir terlonjak kaget. Sambil menahan perasaan geramnya, Nara menoleh pada ketiga sahabatnya yang entah sejak kapan sudah berada di sana. Jennie, Lisa, dan Joy sedang tersenyum manis pada Monsieur Kim. Tatapan dan sikap genit mereka pada dosen tampan itu membuat Nara sedikit mual. Berbeda dengan sikap yang Nara tunjukkan, Monsieur Kim justru membalas senyum dan sapaan mereka dengan sikap tak kalah menggoda. Membuat ketiga gadis itu hampir memekik kegirangan. "Selamat pagi!" Nara memutar bola mata malas. Dasar genit! rutuknya pada sosok ketiga sahabat serta dosennya tersebut. Padahal ketiga temannya sudah memiliki pasangan, tapi masih saja bersikap genit pada dosennya. Dosennya juga sama saja, hobi sekali menggoda para mahasiswinya. "Jen, Lis, kenapa kalian ada di sini? Bukankah kalian ada kelas?" Nara bertanya untuk mengalihkan rasa jengahnya. Ia menatap Jennie dan Lisa bertanya-tanya. Jennie dan Lisa langsung menyengir. “Mereka bolos,” bisik Joy pada Nara. Nara langsung memicing menatap kedua sahabatnya itu. “Jangan bilang karena kalian ingin melihat Monsieur Kim!” desis Nara dengan sedikit nada tajam yang terselip dalam tutur katanya. Jennie dan Lisa langsung mengalihkan pandangan begitu mendapat tatapan galak dari Nara. Nara mendengus lalu menggeleng tak percaya. “Ya sudah, kalau begitu aku pergi mengajar dulu! Au revoir, Mesdames! (Bye, Ladies!)” Monsieur Kim mengedip sebentar kemudian berlalu dari Nara dan ketiga sahabatnya. Sikapnya ini mengundang pekikan girang dari Jennie, Lisa, dan Joy sementara Nara hanya berdecak melihat tingkah laku ketiga gadis itu. “Au revoir, Monsieur! (Bye, Mr!)” balas ketiga sahabatnya. “Ya, ampun Monsieur Kim makin tampan, ya!” Lisa berseru heboh usai punggung Monsieur Kim menjauh dari mereka. Jennie dan Joy mengangguki. “Dia makin tampan dan seksi. Kalian berdua beruntung bisa diajar olehnya.” Jennie menghela napas lesu. “Di fakultas kami, dosennya tidak ada yang menarik!” Lisa mengangguk setuju. “Jelas saja, kami beruntung!” Joy tersenyum bangga. “Walaupun kebanyakan dosen kami orang Korea, mereka tak kalah tampan dan seksi dibandingkan pria Prancis asli. Benar kan, Nara?” Nara memutar bola matanya malas seraya menjawab, “Iya.” “Eh, tapi Nara lebih beruntung lagi. Dia kan asisten dosennya Monsieur Kim. Mereka juga cukup akrab,” timpal Joy kemudian. Gadis cantik itu mengerling pada Nara. Nara meringis. Well, walaupun semua mahasiswi jurusannya banyak yang cemburu dengan kedekatan mereka, Nara tidak pernah sekalipun menganggapnya sebagai sebuah keberuntungan atau apa pun itu. Baginya, hubungan antara ia dan Monsieur Kim hanya sebatas urusan akademik, tidak lebih. Lagi pula, setampan apa pun pria itu, Nara tak pernah tertarik. Ia juga tidak pernah terbawa perasaan sebab ia tahu bagaimana kelakuan asli dosennya tersebut. Ya, Monsieur Kim sama saja seperti pria kasanova pada umumnya; suka main perempuan. “Oh ya, aku baru ingat sesuatu!” Tiba-tiba Lisa berseru. Nara, Jennie, dan Joy kompak mengalihkan atensi pada dirinya. Lisa melanjutkan, “Tadi aku melihat Taeyong dan Soyoung jalan berdua, tapi sepertinya mereka sedang bertengkar. Kira-kira ada apa, ya? Aku jadi curiga dan penasaran.” “Kau yakin?” Jennie bertanya guna memastikan. Joy juga menatapnya seolah sedang menanti jawaban pasti. Lisa mengangguk yakin. “Aku yakin seratus persen! Tidak mungkin aku sal—“ “Sudahlah, tidak perlu dibahas!” Tiba-tiba Nara angkat bicara. Bergantian menatap ketiga sahabatnya yang merasa aneh dengan reaksinya. Nara menarik napasnya dalam-dalam sebelum berkata, “Semalam aku baru saja memutuskan hubungan kami. Taeyong dan Soyoung memang sudah lama menjalin hubungan di belakangku. Bahkan, saat ini Soyoung sudah hamil anak Taeyong.” “Apa?!” Jennie, Joy, dan Lisa langsung mendelik tak percaya. ♣♣♣ Tiga tahun bersama tentu saja tidak bisa menghilangkan rasa cinta Nara pada Taeyong begitu saja. Perlu waktu yang cukup lama bagi Nara untuk bisa menerima Taeyong sebagai kekasihnya secara penuh. Ya, saat mereka sepakat menjalin hubungan dulu, sebenarnya rasa suka Nara tidak sebanyak Taeyong. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Nara sulit percaya pada yang namanya ‘cinta’ ataupun ‘pria’. Itu sebabnya, hubungan mereka pada awalnya terasa sedikit hambar. Akan tetapi, sikap Nara akhirnya bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Rasa sukanya berubah menjadi cinta. Sikap dan segala macam perhatian yang Taeyong berikan padanya membuat Nara yakin pada pemuda tampan itu. Kegigihannya membuat Nara luluh. Namun, ketika tahu bahwa Taeyong berkhianat padanya, seketika itu juga rasa percaya Nara runtuh. Nara sakit hati dan berbalik membenci pemuda itu setengah mati. Alasan konyol! rutuk Nara ketika teringat akan alasan Taeyong berselingkuh darinya. Ia tidak menyangka bahwa seks adalah alasan yang cukup kuat untuk membuat pemuda itu berpaling darinya. Sekrusial itukah seks bagi sebuah hubungan percintaan? “Kau baik-baik saja?” Nara tersentak kaget saat sebuah suara mendistraksi lamunannya. Gadis cantik itu menoleh lalu menghela napas lega saat melihat cengiran sang bos yang bersandar di meja kasir tempatnya berada kini. Nara pun tersenyum meminta maaf. “Maaf, Bos saya melamun tadi.” Baekhyun terkekeh sambil menggeleng pelan. “Bukan itu maksudku. Kudengar kau baru putus dengan kekasihmu itu, ya?” “Dari mana Bos tahu?” Nara heran. Sepertinya ia tidak bilang apa-apa soal itu pada bosnya. Lantas, dari mana pria itu tahu? Lagi pula, apa urusannya? “Tadi ketiga temanmu heboh bercerita soal itu. Makanya aku tahu.” Nara menggerutu dalam hati. Pantas saja, batinnya. Tadi Jennie, Lisa, dan Joy memang berkunjung ke kafe. Sengaja, ingin mengantar Nara bekerja setelah kuliah. Namun, karena masih penasaran soal kisah putusnya hubungan percintaan Nara dengan Taeyong, mereka pun memilih tinggal untuk beberapa saat. Mereka memang terkenal sering sekali bersikap heboh jika sedang membahas sesuatu. Nara meringis pelan. “Iya, Bos. Saya baik-baik saja kok.” Baekhyun mengangguk sambil bergumam pelan. Namun, beberapa menit kemudian ia tampak mengerutkan dahinya penasaran. “Kau tidak mencintainya, ya? Kenapa sikapmu bisa sesantai ini setelah putus darinya?” “Eh?” Kali ini, Nara tampak membelalak terkejut mendengar pertanyaan itu. Jujur saja, ia merasa aneh sekaligus tak nyaman. Bagaimanapun, itu kan urusan pribadinya? Kenapa Baekhyun bersikap seolah ingin tahu? Sepertinya, Baekhyun menyadari ketidaknyamanan yang Nara rasakan. Ia pun terkesiap pelan dan segera berkata, “Eh, maaf, maaf. Hm, kau tidak perlu menjawab pertanyaanku barusan. Lupakan saja, oke?” Baekhyun berdeham sebentar sambil mengalihkan pandangannya ke segala penjuru kafe miliknya. Sejenak, Nara bisa menilai kalau bosnya tersebut dilanda kegugupan. Tapi, kenapa ia merasa begitu? “Ya sudah, kalau begitu kembalilah bekerja!” Baekhyun tersenyum lebar sambil berlalu dari meja kasir. Nara masih menatap aneh padanya. “Kenapa sejak kemarin ada saja yang bersikap aneh padaku?” gumamnya setengah menggerutu. Sungguh, ia lelah sekali menghadapi kelakuan para lelaki yang berada di sekitarnya. Setelah Sehun dan Taeyong, kini ada lagi Baekhyun. Kalau Jongin kan beda lagi. Bagi Nara, pria itu memang hobi bersikap aneh jadi ia tidak heran lagi. “Masa bodohlah!” Nara pun melanjutkan pekerjaannya. Berusaha bersikap abai pada apa yang menimpanya sejak kemarin. Waktu pulang kerja pun tiba. Nara melangkahkan kakinya menuju halte bus terdekat. Sesekali, helaan napas lolos begitu saja dari bibir mungilnya. Sungguh, ia merasa lelah melewati hari yang begitu berat hari ini. Semoga saja esok hari ia takkan mengalami hal ini lagi. Sekarang, ia ingin cepat pulang dan beristirahat di ranjangnya. Namun .... Rupanya keberuntungan belum berpihak pada Nara saat ini. Ia harus kembali menahan amarahnya ketika sebuah cekalan menahan tangannya. Membuat tubuhnya yang hendak naik ke dalam bus harus rela mundur. Nara menggeram kesal pada pelakunya yang ternyata adalah sang mantan kekasih. “Lepaskan!” desis Nara seraya menatap Taeyong tajam. Taeyong menggeleng. “Ada yang harus kubi—“ “Tidak, aku tidak mau dengar! Semua sudah jelas, jadi tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.” Nara berusaha menarik tangannya yang berada dalam cekalan sang mantan kekasih. Namun, Taeyong masih bersikeras mencengkeram tangan Nara. Bahkan, kedua tangannya menahan kedua tangan Nara. Membuat Nara semakin dilanda kesal dan tak dapat menahan diri lagi. “Kau itu maunya apa sih?! Belum cukupkah kau menyakiti hatiku kemarin? Kau bahkan tidak mencoba menahanku agar tidak pergi, tapi kenapa seka—“ Kata-kata Nara tak pernah dapat terselesaikan sebab kini Taeyong sudah membungkam bibir Nara dengan miliknya. Seketika Nara membeku. Tangannya yang tadi mencoba berontak, kini mendadak layu. Seolah pasrah dengan apa yang Taeyong lakukan pada dirinya. Well, sejujurnya ini bukanlah ciuman pertama mereka. Mereka sudah sering melakukan hal ini sebelumnya. Namun, ciuman yang diberikan oleh Taeyong saat ini terasa berbeda. Seolah ada rasa putus asa di dalamnya. Itu sebabnya Nara terkejut dan akhirnya hanya bisa berdiam diri dan pasrah begitu saja. Entah sejak kapan, tangan Taeyong tidak lagi berada di pergelangan tangan Nara. Kedua tangan kekar itu kini sedang memeluk tubuh ramping mantan gadisnya. Mendekapnya erat di d**a sambil semakin menekankan ciuman mereka. Lantas, apa yang Nara lakukan? Gadis itu masih saja tenggelam dalam rasa syok-nya. Akan tetapi, ia tidak menerima dan menikmati momen itu begitu saja. Terbukti dari matanya yang enggan terpejam dan membalas perlakuan Taeyong pada dirinya. Cukup sudah! batin Nara berontak. Gadis itu tersadar dan hendak mendorong d**a Taeyong guna membebaskan tubuhnya dari kekangan pemuda itu. Namun, niatannya gagal terlaksana karena sebelum ia sempat bertindak, tubuh Taeyong sudah lebih dulu menjauh dari tubuhnya. Bukan secara suka rela, tapi ada seseorang yang menariknya. Bugh! Satu bogem mentah mendarat dengan mulusnya di pipi kiri Taeyong. Membuat tubuh pemuda itu tersungkur begitu saja di atas trotoar. "Taeyong!" pekik Nara terkejut. Ia menoleh pada sosok yang menjadi pelaku pemukulan Taeyong. Ia semakin terbebalak. "Tuan?!" Yeah, rupanya Sehun yang memukul mantan kekasihnya. Pria itu tampak terengah usai melayangkan tinjunya pada Taeyong yang kini sedang menggeram marah, tak terima. "Hei, Tuan apa-apaan ini? Kenapa Anda memukulku?" Taeyong bangkit dari trotoar sambil mengusap pipinya. Sudut bibirnya ternyata juga berdarah. Sehun tersenyum miring menanggapi. "Harusnya aku yang bertanya, Bocah. Kau apakan Nara, hm? Kalian itu sudah putus, kan?" "Kemarin Nara memang memutuskan hubungan kami, tapi aku masih mencintainya—" "Bullshit!" Sehun tertawa sinis, terkesan meremehkan. "Kalau memang cinta, mana mungkin kau berselingkuh darinya?" Mata Taeyong melebar. Ia tampak gugup. "I-Itu ...." Sehun mendengus lantas menarik tangan Nara agar mendekat padanya. Nara tersentak kaget saat bahunya menabrak lengan pria itu. "Ayo kita pergi!" "Eh, tapi ..." Sehun segera menarik Nara agar meninggalkan tempat itu. Tak ada yang bisa Nara lakukan selain menurut saja. Lagi pula, ia juga sudah muak berhadapan dengan Taeyong. Apalagi setelah Taeyong berbuat seperti itu kepada dirinya. Sungguh, rasanya Nara tak terima. Tapi, ia juga tak dapat memungkiri getaran di hatinya yang masih terasa sama saat bibir dan tubuh mereka bersentuhan tadi. "Tunggu dulu!" Suara Taeyong membuat Sehun dan Nara menghentikan langkah mereka dan menoleh ke arah pemuda itu. "Maaf, tapi Anda ini siapa? Apa hubungan Anda dengan Nara?" tanya Taeyong penasaran. Bagaimana tidak? Taeyong sama sekali tidak mengenal Sehun, tapi pria itu seolah memiliki hak penuh atas mantan kekasihnya. Pantas saja jika ia merasa heran sekaligus penasaran, bukan? Sehun kembali menyunggingkan senyum miringnya. Ia menjawab, "Aku adalah pamannya, maka dari itu menjauhlah dari keponakanku sebelum aku sendiri yang akan bertindak." ♣♣♣ "Kau itu bodoh atau apa? Mau saja dicium oleh lelaki yang sudah mengkhianatimu." Sehun meloloskan dengusan kasar ke udara. Tatapannya terarah ke depan dan tangannya sedang sibuk memegang kemudi. Ia sedang melajukan mobil mewahnya menuju rumah Nara, mengantar gadis itu pulang. Di sampingnya, Nara ikut mendengus dan memutar bola mata malas. Tangannya bersedekap. "Siapa juga yang mau dicium olehnya? Aku tadi diam bukan berarti menikmati. Hanya saja aku masih dalam keadaan terkejut. Lagi pula," Nara melirik pada Sehun dan memicing. "apa urusannya denganmu? Kenapa kau harus sewot begitu?" "Karena aku pamanmu! Tentu saja aku tidak terima jika kau diperlakukan seperti itu olehnya." "Paman? Memangnya aku sudah percaya kalau kau itu pamanku? Percaya diri sekali!" Nara menggeleng tak habis pikir. "Kalau belum percaya lalu kenapa kau mau saja pergi denganku?" "Karena sudah tidak ada bus yang lewat lagi. Itu sebabnya aku mau menumpang mobilmu." Jawaban Nara membuat Sehun langsung melongo. Tak lama kemudian, ia tergelak pelan. "Hanya karena itu?" Nara mengangguk mantap. "Lagi pula, aku juga harus berterima kasih padamu karena telah memukul Taeyong jadi aku tak perlu mengotori tanganku untuk itu. Terima kasih ya, Tuan." Sehun hanya mendengus. Gurat kekesalan menghiasi wajah tampannya. Tapi, ia tidak mengatakan apapun. Ia melampiaskannya dengan cara menaikkan kecepatan laju mobilnya. Nara tak berkomentar dan mengarahkan atensinya ke luar kaca. Untuk beberapa saat kemudian, hanya keheningan yang terasa di dalam mobil Sehun. Baik Nara maupun Sehun tak ada lagi yang sudi memulai percakapan yang nyatanya sejak tadi lebih mirip perdebatan itu. Sampai pada akhirnya, Sehun mulai jengah dan melayangkan pertanyaan, "Apa yang harus kulakukan agar kau mau percaya?" Nara terkesiap dan menoleh menatap Sehun. Hanya sebentar, setelah itu ia kembali mengarahkan atensinya ke depan. "Tidak ada," jawabnya. "Sampai kapanpun aku takkan pernah percaya pada omonganmu. Kalau kau memang adik Ayah, kenapa tidak sejak dulu saja kau—" "Bukankah tadi pagi sudah kujelaskan apa alasanku baru muncul sekarang? Selama ini aku tinggal di Amerika. Aku pulang ke Seoul untuk bekerja sekaligus mencari dirimu. Aku bahkan baru tahu kalau sebenarnya aku punya seorang kakak yang telah meninggal dan membuat putri semata wayangnya jadi sebatang kara. Aku hanya ingin menggantikan tugasnya untuk menjagamu sebagai ganti atas waktu yang tak sempat kami habiskan bersama-sama." Nara terdiam cukup lama setelah mendengar perkataan Sehun. Bicara soal mendiang sang ayah membuat Nara merasa terpukul. Kerinduan pada sosok pria itu terasa jelas di hatinya. Namun, hal itu segera Nara tepis jauh-jauh. Ia tidak boleh bersedih pada saat seperti ini. Nara pun berujar,  "Tapi pengakuan dan ajakanmu itu terlalu tiba-tiba. Apalagi kemarin kita hanya tidak sengaja bertemu. Jelas saja aku merasa kaget dan tidak percaya. Harusnya kau datang secara baik-baik dan menjelaskan semuanya padaku sejak awal. Bukannya terkesan memaksa seperti kemarin." "Maaf," ujar Sehun singkat dan padat. Jawaban itu membuat Nara lantas menaikkan sebelah alisnya, merasa tak percaya karena hanya mendapat respon seperti itu. Sadar kalau telah membuat Nara bertanya-tanya, Sehun menghela napas pelan dan berujar, "Aku tidak langsung menemuimu karena alasan pribadi yang tidak bisa kujelaskan. Tadinya aku berniat menemui begitu waktunya sudah tepat. Tapi karena kemarin kita tidak sengaja bertemu, jadi aku langsung mengungkapkannya. Maaf, karena membuatmu salah paham." Nara hanya menggumam pelan sebagai respon. Lantas, gadis itu sibuk berdiam diri dan berpikir. Haruskah ia percaya sepenuhnya pada Sehun kali ini? Mobil Sehun berhenti di depan pagar rumah Nara. Nara pun segera melepaskan sabuk pengaman yang melingkupi tubuhnya dan membuka pintu mobil. "Terima kasih atas tumpangannya." Nara hendak keluar dari mobil Sehun, tapi gerakannya harus terhenti tatkala Sehun menarik tangannya agar tetap tinggal. Jantung Nara hampir saja copot saat Sehun mencondongkan tubuh ke arahnya. Tak sampai di situ, tangan Sehun yang terulur ke wajahnya seketika membuat Nara harus menahan napas. Sehun mengusap bibir Nara dengan ibu jarinya. "Lain kali, jangan biarkan sembarang pria menciummu tepat di sini. Bibirmu terlalu berharga jika harus dijamah oleh lelaki berengsek seperti mantan kekasihmu itu." Nara semakin merasa gugup setelah mendengar perkataan Sehun. Astaga, suara Sehun yang terdengar rendah dan sedikit serak membuat bulu kuduknya meremang! Nara menjadi takut menggerakkan seinci saja tubuhnya. Bahkan ia pun tak kunjung meloloskan napas yang sedari tadi ia tahan. Sekujur tubuhnya benar-benar terasa kaku, entah karena apa. Sehun pun menjauhkan tubuhnya. Ia segera berujar, "Kau boleh keluar sekarang. Cepat masuk rumah dan beristirahatlah!" Nara langsung berdeham pelan dan mengangguk perlahan. Gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih sekali lagi dan benar-benar keluar dari mobil mewah yang tadi membawanya. Sebelum sempat menutup pintu mobil, Nara mendengar Sehun berkata, "Oh ya, aku tidak akan menyerah untuk membujukmu tinggal bersamaku, Kim Nara. Jadi bersiaplah karena kita akan semakin sering bertemu setelah ini." Nara membulatkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengus tak percaya. Sungguh, ia tidak menyangka kalau Sehun merupakan orang yang cukup gigih dan tak mudah menyerah. Nara tak berucap apa-apa sebagai respon dan langsung menutup pintu mobil Sehun. Ia segera berbalik dan membuka pagar rumahnya. Rupanya Sehun tak langsung melajukan kuda besi kesayangannya meninggalkan rumah sederhana itu. Ia masih sibuk menatap arah kepergian Nara dengan tatapan yang sulit dimengerti. Setelah puas, barulah Sehun melaksanakan niatannya untuk pergi. Namun, semuanya tak berjalan sesuai rencana sebab ... "Aaa!!!" ... ia mendengar suara teriakan Nara dari dalam rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD