Paris

1005 Words
Paris berdiri di balkon sambil menatap menara Eiffel. Menara Eiffel, orang-orang menyebutnya sebagai lambang keromantisan dan cinta. Meskipun menjadi simbol romantisme, menara ini juga sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kisah cinta atau roman asmara perancangnya seperti Taj Mahal di India dan Mirabell Palace di Austria. Eiffel dibangun untuk sebuah perhelatan pameran dunia bertajuk Exposition Universelle tahun 1889 sekaligus memperingati 100 tahun hancurnya penjara Bastille sebagai simbol bergulirnya Revolusi Perancis. Belum pernah dalam hidup Paris merasakan perasaan yang tidak ia mengerti, perasaan tidak menentu yang terasa begitu menyesakkan dadanya. Perasaan yang membuat suasana hatinya sangat kacau hingga tidak bersemangat melakukan apa pun. Hanya bersama Samuel selama tiga hari tetapi pria itu seolah mengambil alih seluruh hidupnya. Dua Minggu sudah ia berada di Paris tetapi untuk berkumpul bersama teman-temannya melakukan arisan seperti biasa ia sama sekali tidak memiliki minat. Ia tidak lagi tertarik bermain-main dengan sugar baby bahkan ia tidak tertarik untuk memikirkan pria manapun. Yang lebih parah lagi saat Arsen menyentuh kulitnya Paris merasa tidak rela, ia tidak ingin di sentuh siapa pun meskipun itu adalah Arsen, suaminya sendiri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Paris menginginkan Samuel lebih dari apa pun. Andai samuel memintanya untuk tinggal lebih lama lagi di Tokyo, ia akan mengangguk. Tetapi, pria itu tidak mengatakan apa pun, tidak mencoba menahannya untuk pergi. Ada yang salah dengan diriku. Masih terbayang dalam ingatan Paris ketika mereka memutuskan mengunjungi Osaka dan Kyoto lalu mereka kembali ke Tokyo menggunakan kereta terakhir. Entah bagaimana dan siapa yang memulai ketika sampai di hotel keduanya saling menautkan bibir hingga gairah membakar keduanya. Samuel perlahan membawa Paris ke dalam permainannya yang begitu lembut tetapi seribu kali lebih memabukkan di banding permainan pertama mereka. Cara Samuel memesrai setiap inchi kulit tubuh Paris, sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya akan ada hari di mana ia akhirnya bisa menemukan seorang pria yang tercipta dari khayalannya. Samuel adalah perwujudan dari imajinas liarnya. Cara samuel menggerakkan pinggulnya, cara Samuel menggeram ketika mereka akan mencapai klimaks. Ah, samuel sangat menggoda. Aroma napasnya yang sedikit berbau tembaku, meski Paris sangat membenci aroma tembakau nyatanya ia dapat menerimanya. Malam itu mereka bercinta dengan amat sangat b*******h seolah saling menumpahkan kerinduan dua orang kekasih yang telah lama tidak bertemu. Paris menggelepar di bawah kuasa Samuel, mengerang dan merintih memanggil nama Samuel mendamba kepuasan yang tidak pernah cukup dari Samuel. Ia tidak bisa mengingat berapa kali Samuel membuanya melebur hingga ia kehilangan seluruh tenaganya tetapi sentuhan Samuel selalu berhasil membangkitkan gairahnya lagi dalam waktu yang berdekatan. Begitu juga Samuel, ia memuaskan dirinya seolah ia menemukan lautan madu yang membuatnya tidak bisa berhenti untuk terus meneguk manisnya. Ia tidak ingin mengakhiri malam panjang itu. Pagi harinya Paris kembali bangun di dalam pelukan Samuel. “Aku akan kembali sore ini,” kata Paris memberitahu Samuel. Samuel mengangguk tak berdaya meski jantungnya terasa terpotong karena ia mungkin tidak akan pernah bisa lagi untuk melihat wanita yang hingga yang belum bersedia menyebutkan siapa namanya. “Jam berapa penerbanganmu?” pertanyaan itu nyaris tidak mampu ia suarakan, tersekat di dalam tenggorokannya. “Jam lima sore,” jawab Paris. Samuel menarik napasnya yang terasa begitu berat lalu sedikit menjauhkan kepalanya agar ia bisa melihat wajah Paris yang bersembunyi di dalam bersembunyi di dadanya. “Kenapa begitu terburu-buru?” “Tidak terburu-buru, aku memang telah mengaturnya demikian sejak awal.” Seperti Samuel, suara Paris terdengar begitu berat. Hening menyelimuti keduanya, masing-masing dari mereka terlarut dalam pikirannya. “Apa kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti?” tanya Samuel memecah keheningan. “Jangan konyol, aku seorang wanita yang bersuami.” Benar atau tidak yang diucapkan oleh Paris tetap Samuel merasa ia membenci kalimat yang barusan Paris ucapkan karena jika itu benar maka ia memang tidak memiliki peluang untuk memiliki Paris. Sepertinya aku mulai membenci kenyataan. “Jadi, kau masih tidak ingin menyebutkan siapa namamu?” Paris menatap Samuel kemudian ia menggeleng. Mereka benar-benar menghabiskan waktu mereka di dalam kamar, memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memuaskan diri mereka. Ketika Paris keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya, ia tidak mendapati Samuel di dalam kamar itu. Paris menduga Samuel meninggalkannya begitu saja tetapi dugaan Paris salah. Tepat Paris berada di lobi hotel hendak melangkahkan menuju mobil yang akan mengantarkannya ke bandara, Samuel muncul mengendarai sepeda motor. “Cantik....” Samuel memanggil Paris sambil melepaskan helm di kepalanya dan meletakkan di atas jok sepeda motor. Diam-diam Paris merasa sangat bahagia, Samuel ternyata tidak meninggalkannya begitu saja setelah bercinta. Dia datang untuk melihatku, untuk terakhir kalinya. Mungkin. “Bisakah aku berbicara denganmu? Hanya sepuluh menit,” kata Samuel yang telah berdiri di depan Paris. Sejujurnya Paris merasakan perasaan yang sangat gugup, jantungnya bahkan seperti meronta-ronta hendak terlepas dari rongga dadanya karena perasaan gugup berpadu dengan perasaan bahagia tiada terkira. “Ada apa?” tanyanya dengan nada sebiasa mungkin. “Tidak di sini,” kata Samuel. Ia memberikan kode kepada Paris untuk mengikutinya menuju toilet hotel yang tak jauh dari area itu. Samuel menyerahkan sebuah benda kecil kepada Paris. “Foto-fotomu ada di sini, aku kembali ke apartemenku untuk menyalinnya,” katanya. Paris tentu saja terkejut. “Oh Astaga, bukankah agenmu bisa mengirimkan foto-foto itu kepada sekretaris suamiku nanti?” Samuel menggeleng. “Aku ingin menyerahkan kepadamu seluruhnya, aku tidak sempat mengeditnya tapi percayalah, fotomu itu sempurna.” “Terima kasih,” kata Paris lirih sambil menimang-nimang benda kecil yang telah berada di tangannya. “Aku harap suatu saat kita bisa bertemu lagi,” ucap Samuel sambil menatap Paris dengan tatapan yang tak bisa Paris artikan. Sorot mata cokelat almond yang membuat Paris takluk di bawah kuasanya. Paris memaksakan senyumnya. “Jangan konyol,” ucapnya dengan suara yang nyaris tertahan di tenggorokannya, bibirnya sedikit bergetar. Samuel meraih dagu Paris perlahan, menatap mata hijau Paris dalam-dalam lalu perlahan ia menyapukan bibirnya di atas bibir Paris. Mengecupnya pelan dan lembut. “Katakan padaku siapa namamu,” pinta Samuel. Bibirnya begitu dekat nyaris bersentuhan dengan bibir Paris. Air mata Paris mendadak tergelincir dari matanya yang indah. “Paris,” jawabnya lirih tetapi masih terdengar dengan jelas di telinga Samuel. “Nama yang indah, aku akan mengingatnya,” ucap Samuel sungguh-sungguh. Paris mengangguk kemudian menarik diri menjauhi Samuel, ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya mengatur napasnya kemudian memberanikan diri menatap mata Samuel. Memaksakan senyumnya kembali kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan Samuel. Samuel hanya mampu memandang punggung Paris yang semakin menjauh dari pandangannya dengan telapak tangan terkepal, wanita itu mampu menggetarkan hatinya hanya dalam waktu beberapa jam mengenalnya dan sekarang betapa bodohnya dirinya karena hanya mampu melihat wanita itu menjauh meninggalkannya tanpa mampu berbuat apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD