Part 3. Tak Terganti

1176 Words
Rumah Yona dan kantor Hasna berada di arah yang jauh berlawanan. Demi mengejar waktu agar Hasna tidak terlalu lama tiba di kantor, maka Rangga mengantar Hasna terlebih dahulu. Hasna bekerja di sebuah kantor pemasaran perumahan yang cukup besar di kota ini. “Nanti pulang jam berapa? Aku jemput ya?” tawar Rangga pada Hasna yang duduk di sampingnya.  Posisi Yona kini tergeser, di kursi belakang. Demi menghilangkan rasa kesalnya, Yona memilih memainkan ponselnya. Membuka berbagai jenis sosial media miliknya. Mengalihkan perhatiannya dari dua orang yang sedang asyik mengobrol tanpa menghiraukan keberadaannya. Hasna menggelengkan kepalanya, “Nggak perlu, Mas. Aku tadi berangkat sama Suzan jadi pulangnya bareng dia juga.” Ketika mobil berhenti di area parkir kantor Hasna, Rangga mencondongkan tubuhnya ke arah Hasna. Mengecup kening kekasihnya sekilas yang langsung dihadiahi cubitan di perutnya. Bisa-bisanya Rangga melakukan itu, sementara di belakang mereka ada Yona yang terdiam menyaksikan live show kemesraan yang ditunjukkan oleh Rangga. “Yona, Kakak duluan ya… Daaahhh…” pamit Hasna pada Yona yang hanya dibalas dengan anggukan malas oleh Yona. Rangga menoleh ke belakang, menawari Yona untuk pindah ke kursi depan. Namun Yona menolak dengan alasan sudah dalam posisi yang nyaman. Padahal tidak ada satupun perasaan nyaman yang hinggap di hatinya. Terlebih setelah melihat bagaimana mesranya Rangga pada Hasna tadi. Ada rasa kesal, sedih, marah dan juga kecewa. Selama ini dia terbiasa memiliki Rangga hanya untuknya sendiri. Rasanya Yona belum siap untuk berbagi seorang Rangga dengan orang lain. Yona tidak rela. “Beneran nggak mau pindah ke depan? Gaga bukan supir kamu loh.” tanya Rangga sekali lagi.  Dia bingung dengan perubahan yang terjadi pada Yona. Tadi saat dia menjemputnya, Yona masih terlihat ceria. Kini gadis kecilnya itu terlihat berbeda. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Biasanya ada saja bahan pembicaraan yang dilontarkan Yona menemani perjalanan mereka. Yona menggeleng lesu, “Pulang, Ga. Aku capek. Ngantuk.” “Ya sudah, kita pulang.”  Rangga akhirnya membiarkan Yona tetap duduk di belakang. Posisi Yona sudah setengah berbaring. Lengan kanannya terangkat menutup kedua matanya. Sepasang headset terpasang di telinganya, memutar musik untuk mengusir segala pikiran yang berputar-putar di kepalanya mengenai Hasna dan Rangga. --- Arfa baru tiba di rumahnya sekitar pukul setengah enam sore. Tadi dia menemui seorang kostumernya yang ingin mengadakan resepsi pernikahan dan menginginkan menu es kopi andalan di kafenya untuk menjadi salah satu minuman yang akan dihidangkan di acara pernikahan itu nanti. Karena itulah tadi sore dia tidak bisa menjemput Yona dan meminta Rangga untuk menggantikan tugasnya menjemput putri kesayangannya. Setibanya di rumah, Arfa dengan segera menuju ke kamar putrinya. Mengetuknya beberapa kali karena Yona tidak kunjung menjawab. Pasti putrinya itu sedang tidur. Maka Arfa perlahan membuka pintu kamar Yona, dan melihat putrinya itu berbaring di atas ranjang. Masih dengan mengenakan seragam putih abu-abunya. “Yona… Sayang…” Telapak tangan lembut milik Arfa membelai wajah Yona. Sungguh dia sangat menyayangi putrinya ini. Satu-satunya harta peninggalan suaminya yang paling berharga. Arfa sama sekali tidak menyangka bisa bertahan sejauh ini. Merawat dan membesarkan Yona seorang diri, hingga kini Yona beranjak dewasa.  Ada masa-masa dimana Arfa ingin menyerah untuk berjuang dan bertahan melawan rasa sedih dan kecewa terhadap takdir yang digariskan Tuhan padanya. Namun saat melihat wajah polos putrinya, semangatnya kembali berkobar. Dia tidak ingin Yona kesepian dan kekurangan kasih sayang. Dia tidak ingin menyia-nyiakan apa yang ditinggalkan oleh Rio untuknya. Jika orang melihat sosok Arfa adalah sosok ibu yang tangguh dan pekerja keras, semua itu dijalaninya hanya demi Yona. Demi memberikan kehidupan yang layak dan tidak kekurangan bagi Yona. “Nak… Bangun. Sudah mau magrib ini. Nggak boleh tidur.”  Kali ini Arfa menepuk-nepuk pipi Yona agar putri kecilnya itu bangun. Yona menggeliat, perlahan membuka matanya lalu menguap lebar. Membuat Arfa mengulurkan tangannya untuk menutupi mulut Yona. “Selalu lupa pesan mama, kalau nguap mulutnya harus ditutup.” Yona tersenyum kecil, lalu bangkit dari posisinya. Duduk dengan kedua kaki yang menjuntai di tepi tempat tidur. Sementara itu Arfa bangun dan bergerak menuju jendela untuk menutupnya. Tangannya menarik tirai berwarna biru yang menutupi jendela di kamar Yona. “Mama baru pulang?” tanya Yona sambil melepaskan satu per satu kancing seragam sekolahnya. Setelah terlepas dan menyisakan tanktop hitam di tubuhnya, tangan Yona dengan cekatan melempar baju seragamya ke arah keranjang cucian di sudut kamarnya. Arfa mengangguk, “Iya, mama tadi ada janji. Jadi nggak bisa jemput kamu. Kamu mandi dulu, nanti kita makan malam di luar aja ya. Mama nggak masak soalnya.” Yona mengangguk semangat, “Yes… Makan ayam bakar yang di pinggir sungai itu ya, Ma.” pinta Yona sambil bergegas menuju ke kamar mandi. Sementara itu, Arfa beranjak meninggalkan kamar putrinya menuju ke kamarnya sendiri. Duduk di depan meja rias, sambil membersihkan wajahnya dengan kapas dan cairan pembersih wajah. Di cermin meja riasnya itu tertempel dua buah foto. Foto pernikahannya dengan Rio, dan foto Yona saat baru lahir. Hatinya sakit jika mengingat bahwa mereka bertiga bahkan tidak memiliki foto keluarga bersama. Jemarinya bergerak, menyentuh wajah Rio yang sudah tidak bisa ditemuinya lagi selain dalam mimpi. Mimpi yang kadang membuat Arfa tidak ingin terbangun dari tidurnya. Mimpi indah saat Rio datang padanya, memeluknya erat. Atau hanya tersenyum padanya dari kejauhan. Mimpi yang membuat rasa rindunya tidak berkurang, justru semakin bertambah. Tanpa dia tahu bagaimana caranya melepaskan rasa rindu itu, selain dalam doa di setiap sujudnya. Di dalam benaknya masih terbingkai dengan jelas bagaimana wajah suaminya yang selalu tersenyum padanya. Raut wajah bahagianya saat Arfa dinyatakan hamil. Dan tidak lupa juga kebiasaan Rio setiap malam sebelum tidur, yaitu mengelus perut Arfa sambil mengajak calon bayinya mengobrol. Semua itu dilakukan Rio sejak perut Arfa masih rata, hingga membuncit saat kehamilannya mendekati HPL (hari perkiraan lahir). Setelah mengajak anaknya berbicara, Rio akan mengecup perutnya dengan lembut, lalu mendaratkan kecupan di kening dan bibir Arfa. Tanpa sadar, tangan Arfa bergerak mengelus perutnya.  Dulu saat Yona masih kecil, putrinya itu sering menanyakan sosok papa yang tidak pernah ditemuinya. Terlebih saat Yona memasuki sekolah taman kanak-kanak. Saat teman-teman seusianya pergi sekolah diantar oleh ayahnya, terkadang Yona menatap mereka. Lalu setelah sepulang sekolah, Yona akan merengek pada Arfa, ingin diantar sekolah oleh papanya. Dengan sabar Arfa menjelaskan pada Yona bahwa papanya sudah tiada. Papanya sudah pergi ke surga. “Kalau pergi ke surga, nggak bisa pulang ke rumah lagi ya, Ma?” tanya Yona saat itu. “Kenapa kita nggak tinggal di surga aja, Ma? Biar sama-sama papa.” “Di surga ada sekolahan kayak di sini nggak, Ma?” “Rumah papa di surga besar ya, Ma? Lebih bagus daripada rumah kita? Jadi papa nggak mau pulang?” Seiring berjalannya waktu, pertanyaan-pertanyaan itu semakin berkurang dan kemudian hilang. Yona tidak pernah lagi menanyakannya, karena dia mengerti bahwa papanya sudah tidak mungkin kembali ke dunia ini lagi. “Sayang… Aku rindu.” bisik Arfa pada foto Rio yang seolah-olah memandangi wajahnya. Suara adzan magrib berkumandang, membuyarkan segala lamunan Arfa akan sosok suaminya. Suaminya yang sudah tiada. Suaminya yang sudah pergi meningalkannya dan Yona. Namun sosoknya masih tetap hidup dan menguasai seluruh ruang di hati Arfa. Tak tergantikan. 02. April - 2021 22.40 WIB
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD