Part 5. Distraksi

1043 Words
Suara bel terdengar, tanda jam pelajaran telah berakhir. Sebagian siswa di kelas menarik nafas lega. Sebagian lagi panik dan dengan tergesa-gesa menulis apapun yang masih mampu mereka tuliskan di lembar jawaban. Siswa yang duduk di bagian belakang, meningkatkan kecepatan tangannya menulis. Mencoba memanfaatkan waktu sebaik mungkin, selagi Bu Utami mengumpulkan lembar jawaban dari bangku deretan depan.  Sudah menjadi kebiasaan guru kimia mereka ini, mengadakan semacam kuis dadakan. Jadi ketika beliau selesai menjelaskan materi berikut dengan contoh soalnya, tanpa ragu beliau akan langsung meminta para siswa menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas. Hanya menyisakan pulpen di atas meja masing-masing. Tip ex pun dilarang, saat menjawab soal dari Bu Utami. Beliau lebih senang siswanya mencoret jawaban yang salah daripada harus dihapus dengan tip ex dan ditimpa dengan jawaban yang menurut mereka benar. Langkah Bu Utami sudah sampai di kursi deretan belakang, dan tanpa ampun tangan beliau menarik lembar jawaban meskipun siswanya masih terus berusaha menulis. Bagi beliau, ketika waktu habis, maka waktu untuk menjawab sudah selesai. Alat tulis harus diletakkan.   “Baik. Kita bertemu lagi minggu depan.” ucap beliau sambil melangkah perlahan menuju ke depan kelas. Suara ketukan dari sepatu beliau yang khas, membuat suasana sedikit tegang. “Buat yang dapat nilai tertinggi, seperti biasa, akan ada reward-nya. Dan yang nilainya di bawah tujuh puluh, tenang saja. Pasti ada reward khusus.” lanjut beliau sambil menyeringai aneh.  Raut wajah nelangsa seketika tergambar dari beberapa siswa yang tadi merasa kesulitan menjawab. Sementara Yona, dia menghela nafas lega karena merasa beruntung sudah mempelajari materi beberapa hari sebelumnya. Karena jujur saja, selama pelajaran berlangsung tadi dia sama sekali tidak bisa fokus mendengarkan penjelasan Bu Utami. Maka untuk menjawab soal kuis dadakan tadi Yona mengandalkan ingatannya akan apa yang sudah dipelajarinya beberapa hari yang lalu. Bagaimana bisa seorang siswa yang rajin seperti Yona tidak memperhatikan pelajaran? Oh tentu saja bisa, ketika seluruh pikirannya dipenuhi akan satu nama. Gaga. Selama ini Yona tidak pernah merasa terusik dengan perasaannya pada sahabat sang mama. Dia hanya menyimpan rapat segala rasa yang menurutnya sangat indah itu. Membaginya hanya pada Iva, meskipun terkadang temannya itu melayangkan protesnya. Kehadiran Hasna di sisi Rangga, mau tidak mau membuat rasa yang bagi Yona indah, kini perlahan berubah. Berubah menjadi apa, gadis itu sendiri tidak tahu. Tidak bisa menggambarkan dengan jelas bagaimana perasaannya pada Rangga saat ini. Hanya saja, ada rasa tidak rela, was-was dan juga kecewa yang berkecamuk dan saling berebut untuk memenuhi rongga dadanya. Tidak rela jika nanti perhatian Rangga padanya beralih pada Hasna. Was-was jika sewaktu-waktu Hasna tidak mengijinkan Rangga dekat dengannya karena Hasna merasa memiliki Rangga. Dan tentu saja satu rasa yang paling besar menguasai dirinya kini. Kecewa. Kecewa karena apa yang dirasakannya ternyata bertepuk sebelah tangan. Dan kini Yona tidak tahu harus bagaimana menyikapi apa yang dirasakannya.  Sebagai seseorang yang telah cukup lama menyimpan rasa, adalah suatu hal yang wajar apabila tumbuh harapan yang menyertai perasaan itu sendiri. Harapan apa? Tentu saja harapan akan berbalasnya rasa. Harapan dimana bukan hanya dia sendiri yang memiliki rasa itu, namun juga Rangga. Ternyata? Rasa itu tidak bertemu, karena berlabuh di hati yang lain. Suasana canggung seketika tercipta, saat siang itu lagi-lagi Rangga yang menjemputnya. Yona hanya diam saat masuk ke mobil dan duduk di samping Rangga. Membuat lelaki itu menatapnya heran, karena biasanya Yona banyak bicara, kali ini tidak. “Yona…” panggil Rangga. Hening. Tidak ada jawaban. Pandangan Yona lurus ke depan, namun menerawang. Menandakan gadis itu sedang melamun. “Yona…” panggil Rangga lagi. Kali ini tangan besarnya menyentuh bahu Yona, membuat gadis itu menoleh. “Ya? Kenapa, Ga?” “Melamun?” Yona menggeleng. “Terus kenapa diam aja? Kamu lapar? Mau makan dulu, sebelum Gaga anterin pulang?” Lagi-lagi gadis itu menggeleng. “Kamu lagi ada masalah di sekolah? Cerita aja, Gaga siap dengerin. Jangan dipendam sendiri.” “Mama lagi dimana sekarang, Ga?” Yona justru menanyakan keberadaan mamanya. Tidak menghiraukan pertanyaan Rangga tadi. “Mama kamu lagi di hotel, ngawasin kru kafe yang lagi tugas di sana. Buat persiapan resepsi pernikahan customer nanti malam.” jawab Rangga menjelaskan kenapa Arfa lagi-lagi tidak bisa menjemputnya. Yona terlihat mengangguk sebentar, “Gaga mau dengerin aku cerita kan? Tapi jangan bilang-bilang sama mama ya?” Sekitar sepuluh menit kemudian, Rangga dan Yona sudah tiba di rumah. Rangga mengekor di belakang Yona yang tergesa-gesa memutar anak kunci untuk membuka pintu. Lalu berlari cepat menuju ke kamar mandi. “Ga, tolong tutup pintunya ya. Nggak tahan, mau pipis.” teriak Yona sambil menutup pintu kamar mandi. Kali ini Rangga menggelengkan kepalanya melihat tingkah Yona. Namun tangannya bergerak mencabut anak kunci di pintu, lalu memindahkannya ke lubang kunci yang ada di sisi dalam. Menutup pintu, lalu berjalan menuju ke arah dapur. Ingin mengambil air minum karena tiba-tiba dia merasa haus. Rangga memang sering kali berkunjung ke rumah sahabatnya ini. Sehingga membuatnya tidak sungkan untuk sekedar mengambil minum sendiri. Terlebih Yona sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Namun jika di rumah hanya ada Arfa, Rangga memilih untuk duduk di teras saja mengingat status Arfa adalah seorang single parent. Untuk menghindari ftnah dan pikiran buruk para tetangga, karena Rangga tahu Arfa sangat menjaga dirinya. Selama enam belas tahun ditinggal oleh almarhum Rio, Arfa tidak pernah sekalipun dekat dengan lelaki lain. Padahal bukan hanya sekali dua kali ada lelaki yang mencoba untuk mendekatinya. Namun Arfa menolak mereka secara halus, dengan alasan ingin fokus menjaga Yona. Yona sudah keluar dari kamar mandi dan kini berjalan mendekati Rangga yang duduk di ruang tengah. Meletakkan ranselnya di sofa tepat di samping Rangga, Yona lalu duduk di sebuah stool berwarna biru di samping sofa yang diduduki oleh Rangga. Mengangkat kedua kakinya dan mencari posisi yang nyaman sebelum memulai bercerita. Setelah merasa nyaman dengan posisi bersila, tangannya meraih sebuah toples berisi stik balado yang ada di meja. Mengunyah beberapa batang stik balado, lalu mulai membuka suara. Rangga yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik Yona hanya mengerutkan dahinya sambil tersenyum. Menunggu Yona mulai bercerita. “Ga…” “Ya…?” “Gaga pernah ditolak nggak?” tanya Yona yang langsung membuat Rangga melotot tidak percaya. Ditolak?  Kenapa Yona menanyakan hal itu? Apa Yona habis nembak cowok? Berharap dirinya salah dengar, lalu Rangga mengulangi pertanyaan Yona. “Ditolak gimana maksud kamu?” 08 - April - 2021 20.40 WIB
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD