Bab 1

513 Words
27 Januari 2021 Bila dulu peribahasa "s**u dibalas air tuba" hanya kujadikan materi saat menjelaskan pelajaran Bahasa Indonesia di kelas, agaknya kini justru terjadi pada hidupku sendiri. s**u manis yang kuberi, dibalas tuba pahit yang kuterima. Adalah Ranti, seorang siswaku kelas 3 SMP, saat kutanya "apa hobimu?", dengan malu ia menjawab "beres-beres rumah, Bu Guru" Kebetulan sekali, waktu itu aku sedang kewalahan mengurus rumah karena pembantu yang mengundurkan diri. Terlebih, aku memang tipikal perempuan yang sangat suka kerapian. Dua anakku, kendati perempuan, sungguh sangat aktif di usia balita. Rumah rapi sangat jarang bertahan lama. Ranti yang piatu, kuajak tinggal bersama. Pulang sekolah, ia bisa membantuku mengurus rumah, pikirku kala itu. Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, semua berjalan lancar tanpa kendala. Ranti tumbuh di rumahku sebagai gadis baik nan cantik. Sementara aku, semakin hari semakin sibuk. Karirku menanjak. Di usia menjelang empat puluh, aku telah menjabat kepala sekolah, persis saat anak ketiga terlahir. Kak Yudis, suamiku meminta memasang KB. Efeknya sangat mengganggu. Timbangan badan semakin ke kanan dan flek hitam di wajah mulai bermunculan. Kendati berkali ganti jenis KB, tubuhku tak kunjung kembali ke kondisi semula. Lama-lama aku mulai tak peduli. Karena kupikir, selama Kak Yudis tak protes, berarti itu bukan masalah berarti. Sialnya, kondisi tenang dan damai dalam rumah tanggaku, seperti puncak gunung es di tengah lautan. Ada bagian besar dan tersembunyi yang sangat telat kusadari. Seperti kisah kapal "Titanic" yang melegenda, rumah tanggaku hancur karena sebab yang tak pernah aku sangka . "Oh, begini ya perilaku kalian kalau aku sedang tidak ada," suaraku bergetar. Pot keramik yang kujinjing di tangan kanan rasanya ingin kulempar pada dua makhluk tidak tahu diri di depanku. Kak Yudis yang awalnya dalam posisi memeluk Ranti dari belakang sontak menoleh. Matanya membeliak tak percaya. Barangkali pikirnya, tadi pagi aku berpamitan padanya berangkat sekolah sekaligus mengantar anak-anak, dan kini justru telah kembali ke rumah dan memergokinya sedang beradegan gila. Ranti sendiri, terlihat menunduk dalam. Kedua tangannya saling meremas. Sungguh gadis malang nan tak tahu diri. "Ning, biar kujelaskan dulu ...." ucap Kak Yudis. Ia perlahan berjalan menghampiriku, dengan kedua tangan terbuka seperti hendak meraih bahuku. Aku menepis kasar tangannya yang merapat ke bahuku, "Tak perlu jelaskan apapun, aku melihat kalian berdua sudah gila!" seruku. Air mata memburai di pipi, kuusap kasar dengan tangan kiri. "Ning ... dengar dulu ...." Kak Yudis masih terlihat tak menyerah untuk mengajakku bicara baik-baik. "Selama ini, aku selalu mengabaikan cerita Namira tentang kalian yang sering berduaan. Kupikir, itu hanya cerita rekaannya. Keyakinanku tentang rumah tangga kita yang baik-baik saja membuatku lupa, bahwa Namira terlalu kecil untuk berkata dusta. Tega kamu, Kak. Tega kamu membiarkan anak sekecil Namira melihat ayahnya bermesraan dengan perempuan selain ibunya!" ucapku dengan isak yang semakin memilukan. Di belakang tubuh Kak Yudis yang semakin berusaha merapat, kulihat Ranti duduk menggelosor. Bisikan setan di telinga membuatku tiba-tiba melempar pot keramik di tangan kananku ke arahnya. Sontak ia terpekik. Kak Yudis pun spontan menoleh dan berbalik menghampiri gadis itu. Memastikan bahwa pot keramik yang hancur berkeping di dekatnya tak mengenai tubuh yang terduduk dan menunduk. Sungguh, pemandangan yang membuatku semakin terluka. Next?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD