Bab 20

1713 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nadia sudah menunggu Keanan mengabarinya untuk mendiskusikan perihal pertemuan mereka besok dengan Tn. Richard sejak pukul sembilan malam. Tapi, hingga kedua matanya mulai lelah dan mengantuk, lelaki itu tak kunjung memberi kabar. Nadia enggan mengirim pesan duluan pada suaminya. Pikir gadis itu Keanan belum tentu akan membalas pesan yang ia kirim atau mengangkat panggilan telepon darinya, sebab lelaki itu tengah bersenang-senang dengan sahabatnya —Oscar. Akhirnya Nadia memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi, sampai tanpa sadar membuatnya tertidur di atas sofa kamar masih dengan pakaian santai yang ia kenakan ketika makan malam dengan Oscar. Nadia terkejut ketika pintu kamar hotel diketuk. Ia yang sepertinya baru terlelap sedikit limbung saat berjalan hendak membuka kamar. Gadis itu terkejut begitu melihat Keanan berdiri di depan pintu kamarnya tengah dipapah oleh Oscar. "Keanan kenapa, Mas?" tanya Nadia yang tampak khawatir akan kondisi suaminya yang terlihat tidak baik. "Tolong aku, Nad. Suamimu ini mabuk. Aku tidak tahu harus minta tolong siapa untuk mengurusnya selain meminta tolong padamu." "Kenapa tidak Mas Oscar saja yang urus?" Meski khawatir sejatinya Nadia sudah malas untuk peduli pada suaminya itu. "Sudah, sudah, aku rebahkan di mana suamimu ini? Tubuhnya berat sekali." Nadia terdiam sejenak, memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak membuatnya berada dalam kesulitan. "Ke kamarnya saja, Mas." "Maksud kamu?" Oscar bertanya heran. "Kami tidak satu kamar. Keanan memilih untuk memesan kamar sendiri sebab tak mau satu kamar denganku." "Apa? Dasar gila! Ya sudah, di mana kamarnya?" sahut Oscar akhirnya. "Sepertinya, aku tahu. Sebentar." Nadia kemudian menutup pintu kamarnya dan mengantar Oscar menuju kamar yang dipesan suaminya itu. "Ini kamarnya," ucap Nadia memberi tahu. "Aku juga baru tahu tadi!" sahut Nadia cepat setelah melihat tatapan mata Oscar yang kesal padanya, seolah mengatakan 'mengapa tidak kamu katakan sejak tadi!' Kemudian Nadia mencoba mencari kunci di pakaian Keanan dan membuka pintu kamar hotel. "Sepertinya kamu banyak dosa, Keanan. Sumpah Demi Tuhan, tubuhmu berat sekali!" gerutu Oscar yang kemudian menyeret tubuh Keanan masuk ke dalam kamar. Nadia mengikutinya dari belakang, menyaksikan saja tubuh suaminya yang dibaringkan di atas kasur. "Aku harus segera pergi. Ada kawan yang mengabariku untuk bertemu." "Ini sudah malam, Mas!" seru Nadia sembari melihat jam di layar ponselnya. "Sudah tengah malam, memang mau ke mana?" "Ini Bali, Nad. Jam sibuk untuk berpesta memang jam segini." Oscar terkekeh. Nadia hanya menggelengkan kepalanya, demi melihat tingkah laku sahabat suaminya tersebut. "Sudah yah, titip Keanan! Kalian ke mari bersama, di luar hubungan kalian yang tidak baik, dia tetap suamimu —lelaki yang sejatinya kamu cintai." Oscar menatap iba kemudian menepuk pundak Nadia. "Aku pikir dia baik-baik saja!" sahut gadis itu sembari melihat Keanan yang sepertinya sudah tertidur. "Tapi, jangan ditinggalkan. Aku khawatir Keanan akan berbuat macam-macam," pesan Oscar pada Nadia. "Memang Keanan akan berbuat apa? Mengapa Mas Oscar khawatir kalau dia akan berbuat macam-macam?" tanya Nadia curiga. "Ah, eh, itu? Ah, pokoknya aku minta kamu jangan meninggalkannya. Kamar ini 'kan besar, kamu bisa menjaganya di sofa itu sementara, sampai ia benar-benar pulas tertidur, ok?" pesan Oscar sebelum akhirnya pergi. Nadia pasrah ketika Oscar meninggalkannya untuk menjaga Keanan. "Mengapa hanya kamu yang mabuk sedangkan Mas Oscar tidak?" gumam Nadia yang belum sempat menanyakan hal itu pada sahabat suaminya tadi. Gadis itu melepaskan sepatu kets yang Keanan kenakan. Membetulkan posisi tidur suaminya sebab Oscar membaringkannya tidak benar. "Mengapa di saat seperti ini harus aku yang mengurusmu. Ke mana wanita yang begitu kamu cintai itu? Yang selalu kamu puja meski aku tahu sebenarnya wanita itu hanya mengincar uangmu saja." Nadia terus bergumam sembari menarik tubuh Keanan supaya berbaring nyaman. "Aneh jika kamu sampai tidak tahu mengenai hal itu, apakah karena perasaan cinta yang kamu miliki sampai kamu buta dibuatnya?" Keanan sudah terlihat nyaman dengan posisinya. Mau bagaimana pun Nadia tak bisa meninggalkan sang suami begitu saja tanpa memastikan kondisinya aman terkendali. "Aku pikir kamu akan baik-baik saja kalau aku tinggal sekarang," ujar Nadia sembari membetulkan selimut yang menutupi tubuh Keanan hingga ke d*danya. Namun, baru saja Nadia akan meninggalkan suaminya untuk kembali ke kamar, tiba-tiba Keanan bersuara. "Maura! Kau benar-benar wanita sialan!" racau lelaki itu. Kedua mata Keanan terpejam, tetapi mulutnya terus berbicara. Nadia menunggu hingga suaminya berhenti, berdiri di samping tempat tidur sebelum memutuskan kembali melanjutkan langkahnya. "Syukurlah, sepertinya ia sudah tenang. Aku akan kembali ke kamarku sekarang." Lagi-lagi untuk kedua kalinya langkah kakinya terhenti, sebab lelaki itu tiba-tiba menahan tangannya. "Nadia, jangan pergi!" gumam Keanan. Entah sadar atau tidak, tetapi Nadia melihat kedua mata lelaki itu masih terpejam. "Nadia, maafkan aku." "Tolong maafkan aku. Aku menyesal. Aku akan tetap mempertahankan rumah tangga kita bagaimana pun caranya. Meski kamu membenciku, aku tidak akan menyetujui permintaanmu untuk bercerai dariku!" Deg! Nadia terdiam. Apakah itu suara hati Keanan atau hanya sebuah ucapan penyesalan yang sejatinya sama sekali tak ingin lelaki itu ucapkan. Nadia berusaha untuk melepaskan cekalan tangan Keanan di lengannya. Tapi, suaminya menggenggam begitu erat. "Aku tak akan lepaskan, Nad. Tak akan!" Nadia bingung. Keanan sepertinya mengigau. Tapi, mengapa momennya pas dengan situasi mereka saat ini. Di mana ia yang tengah berada di dekat suaminya dan ingin lepas dari genggaman tangan lelaki itu. Semakin Nadia ingin melepaskan, semakin erat pula tangan Keanan menahan. Hingga akhirnya lelaki itu membuka mata setengah tersadar. "Nadia!" lirihnya dengan tampang terkejut. Tapi, tak lama kemudian lelaki itu tertawa. "Keanan, tolong lepaskan tanganku!" pinta Nadia yang heran melihat lelaki itu tertawa. Keanan yang melihat tangannya sedang memegang lengan istrinya itu segera melepaskan "Oh, maaf!" ucapnya masih dengan senyum di bibirnya. Lelaki itu pun kemudian mencoba bangun dari posisi tidurnya. Duduk bersandar sebab tubuhnya yang terasa oleng. Tiba-tiba Keanan memegang kepalanya yang terasa pusing. "Ish!" desisnya mengaduh. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Nadia berusaha untuk bersikap biasa. Meski sebetulnya ia sedikit khawatir dengan kondisi suaminya itu. Nadia tak pernah tahu jika Keanan suka minum-minuman beralkohol. Sebab sejak dulu gadis itu memang tidak pernah melihat suaminya mabuk-mabukkan, baik ketika mereka belum menikah ataupun setelah keduanya tinggal berdua dalam satu rumah. Sebab itulah, Nadia tidak mengerti bagaimana menghadapi orang yang sedang dalam situasi mabuk. Dalam bayangannya orang mabuk itu menakutkan, bisa berbuat apa saja yang akan membuatnya dalam situasi yang tidak baik. Kejadian di mana ia akhirnya dinikahkan oleh Tuan Hari, sudah bisa membuktikan jika orang mabuk memang patut untuk diwaspadai. Itulah mengapa ketika Oscar memintanya untuk mengurus Keanan, ia ragu jika suaminya harus ada di dalam kamarnya. "Kepalaku pusing!" jawab Keanan sembari tangan yang terus memijat pelipisnya. "Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Nadia sedikit cuek. Padahal dalam dirinya was was karena melihat tingkah Keanan yang meringis, tetapi masih tertawa. Lelaki itu kemudian menatap wajah istrinya. Memandang wajah cantik yang juga tengah memandangnya khawatir. "Apakah kamu mengkhawatirkanku?" Seringai itu jelas terlihat dari kedua mata Nadia. Gadis itu pun akhirnya sedikit memundurkan tubuh, mencoba untuk menjauh dari jarak yang sebelumnya cukup dekat dengan posisi suaminya. "Aku hanya tidak mau jika tujuan kita ke sini malah gagal karena kondisi kamu yang tidak baik dan mengacaukan semuanya." "Benarkah? Bukankah berarti itu sama saja dengan keadaan hatimu yang mengkhawatirkan diriku?" sahut Keanan tersenyum, diiringi suara cegukan setelahnya. Nadia tak mau berdebat. Mendengar suaminya yang begitu percaya diri, gadis itu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. "Aku rasa kamu sudah lebih baik. Aku akan kembali ke kamarku!" seru Nadia yang sudah akan berbalik meninggalkan Keanan. Namun, baru saja ia berjalan selangkah, Keanan sudah menahan tangannya kembali. "Kamu mau ke mana? Bukankah ini sudah malam? Kenapa kita tidur saja." Keanan sudah beranjak dari posisi sebelumnya, dan kini lelaki itu sudah duduk di tepi ranjang. "A—aku mau ke kamarku! Jadi, tolong lepaskan aku, Keanan!" Nadia merasakan gelagat yang tidak baik. "Kenapa kamu tidak tidur di sini saja? Bukankah tidak ada yang melarang kita untuk tidur dalam satu kamar sebab kita adalah pasangan suami istri!" Nadia merasakan datang jantungnya yang berpacu cepat. Sikap suaminya sungguh tidak seperti biasa. Seringai di bibirnya semakin terlihat menakutkan di matanya. "Selama ini kita tidak pernah tidur bersama meskipun kita adalah pasangan suami istri, Keanan." Mendengar ucapan Nadia, lelaki itu lalu menarik tangan sang istri kencang, mengakibatkan tubuh Nadia tertarik dan akhirnya duduk di pangkuannya. "Kalau begitu, bagaimana kalau malam ini kita tidur bersama selayaknya pasangan suami istri pada umumnya?" bisik Keanan di telinga Nadia yang tertutup jilbab. Kemudian mengecup telinga itu pelan. "Keanan, lepaskan aku! Kita tidak terbiasa seperti ini." "Kalau begitu, kita mulai membiasakannya. Bagaimana?" Lagi lelaki itu berbisik sembari mencumbu sekitar area belakang kepala sang istri. Nadia menggeram. Geraman antara perasaan marah juga karena suatu rasa aneh yang menjalar di tubuhnya. Rasa menggelitik nikmat, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tidak! Aku mohon, lepaskan aku!" ucap Nadia terpejam. Gadis itu berusaha melepas pegangan tangan Keanan di tubuhnya, tetapi lelaki itu menahannya sangat kuat. Sekuat apapun Nadia memberontak, semakin kuat pula Keanan menahan tubuh istrinya untuk tetap duduk di atas pangkuannya. "Nadia, ayolah! Bagaimana kalau kita mulai malam ini?" lirih Keanan berbisik. "Tidak! Keanan, aku minta jangan seperti ini. Kamu sedang mabuk, tidak biasanya kamu begini." Nadia berusaha bicara baik-baik, mencoba cara lain supaya ia bisa terlepas. Bukannya berhenti, Keanan malah semakin mencumbu ke area wajah sang istri. Nadia yang menyadari hal itu, mencoba untuk menghindar dan berpaling. "Keanan, aku mohon!" lirih Nadia dengan genangan air mata yang mulai terasa di kedua matanya. Lelaki itu seolah gelap mata, efek alkohol sepertinya masih terasa di kepala dan jiwanya. Ia tak melihat wajah sang istri yang ketakutan, Keanan malah semakin tersenyum. "Nadia, bukankah kita suami istri? Agama membolehkan aku untuk menyentuhmu bukan?" "Keanan!" geram Nadia ketika tangan Keanan sudah mulai menyingkap jilbabnya, kemudian lelaki itu menelusupkan kepala dan mencumbu area leher sang istri. "Hem, sejak aku menciummu untuk pertama kali kemarin lalu, aku sudah mulai suka dengan aroma tubuhmu, Nad!" Nadia sudah meneteskan air mata. Ia takut, sungguh takut. Dengan kekuatan yang belum sepenuhnya ia keluarkan, Nadia kembali mencoba untuk melepaskan diri, dan berhasil. Nadia akhirnya bisa terbebas. Ia beranjak dari pangkuan Keanan dan hendak lari meninggalkan kamar. Namun, baru saja akan menggapai pintu, tubuh Nadia sudah tertangkap kembali oleh Keanan. Lelaki itu memeluk tubuhnya dari belakang dan menagngkat tubuh Nadia. "Kyaa! Keanan, lepaskan aku!" teriak Nadia yang terus memberontak. Memukul punggung suaminya itu dengan sisa kekuatan yang masih ia miliki. "Kita nikmati malam ini bersama, Nadia!" ucap Keanan yang berhasil membawa tubuh istrinya kembali ke atas ranjang. Dalam kamar luas itu Nadia terus berteriak, meminta suaminya untuk melepaskannya. Apakah usaha Nadia berhasil? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD