Fa

1052 Words
Kesal sekesal-kesalnya. Raja k*****t sedunia telah lahir rupanya. Ha? Penanak nasi?! Dasar pria gila! Okeh, peduli amat dengan statusnya sebagai dosenku --you know lah harusnya aku hormat-- tapi berhubung kelakuannya membuat tanganku terpesona untuk memberinya bogem, mungkin tak ada salahnya jika aku memaki meski hanya dalam hati. Yah, ada si gendut Moza di sini. Tuh kan, aku masih berbaik hati. Meski sudah dibilang mirip penanak nasi juga! Masih berusaha menahan diri agar semua sumpah serapah tidak keluar dari mulut cantikku. Etapi, ngomong-ngomong ini airnya segimana ya? Satu gelas? Tapi kayak kekurangan air ya? Halah, sebodo amat! Mau bagus atau enggak juga! Kumasukkan 10 gelas air untuk 2 gelas beras yang aku masak. Hm, sepertinya cukup. "Pakai air panas, biar cepat matang!" "Diamlah! Saya tahu kok!" jawabku sambil menggerutu. "Bahasamu tolong dijaga, Clara!" "Ish, bahasa apanya? Salah saya apa, Pak?" "Salah kamu? Rekaman cctv? Ah, nilaimu juga. Barangkali harus saya ingatkan!" Anjir! Kusumpahin kakinya panuan deh! Itu lagi yang dibahas! "Ada apa di cctv, Dad?" tanya si bulat Moza. "Kamu yakin mau tahu, Boy?" "Yes!" jawab Moza dengan antusias. Dasar bocah! Masa begitu aja penasaran! Pak Michael melirik ke arahku sambil menyeringai. Mataku membulat saat kulihat bibirnya bergerak dan mulai bersuara,"Jadi di cctv itu Mom Clara se-hmph!" Dengan sigap kututup mulut menyebalkannya dengan telapak tanganku. Lalu beralih menatap si gembil Moza yang makin melongo. "Ahaha, di cctv memangnya ada apa? Kamu tahu, di cctv ada rekaman daddy-mu sedang berenang di kolam!" Krik, krik, krik. Moza masih diam dengan alis terangkat. Matanya masih menampakkan rasa terkejut. Kenapa anak itu? Lalu aku mengikuti arah tatapannya menuju tanganku yang membekap mulut Pak Michael. Mataku melihat Pak Michael yang memutar bola matanya dengan malas, lalu menunjuk ke arah mulutnya sendiri. Membuat isyarat agar tanganku menyingkir. "Ah, maaf!" "Ck, mulut saya jadi kotor dan bau penanak nasi, Clara!" Setan! Penanak nasi lagi! Trek. Suara dari mejikom terdengar. Aha, ini dia penyelamatku. Nasi sudah matang. Ini artinya aku bisa pulang. "Mom mau ke mana?" tanya Moza lalu turun dari kursinya. Menarik-narik ujung kaos oblongku. "Mom, nasinya sudah jadi? Ayo makan!" "Diamlah, Moza! Aku sedang mengangkat nasinya!" ucapku sambil membuka penutup mejikom. Omaigat! Apaan ini?! Kenapa jadi mirip bubur ayam?! "Kenapa, Clara?" "Ah, ini ... nasinya sudah matang," cicitku. Kok rasanya malu ya saat menyajikan masakan sendiri dalam keadaan mengenaskan begini? Sesaat aku tertegun. Bodoh! Kenapa harus malu? Pak Michael kan hanya dosenku? Bukan orang yang kucintai. Ya kan? Bahkan bagus sekali untuk membalas semua perlakuan menyebalkannya. Kami bertiga duduk di meja makan dengan masing-masing mendapat bagian sepiring nasi plus ceplok telur tak berbentuk. "Ini kamu sebut nasi?" tanya Pak Michael. "Ini bagus buat pencernaannya Moza, Pak. Nasinya lembut. Jadi Moza gak perlu capek-capek ngunyah. Ya kan Moza?" jawabku. "Mom ini kan bubur? Mana cakwenya? Ayamnya ada gak?" Busyet! Kalau saja dia bukan bayi gendut, sudah aku keramasin tuh mulutnya! "Ini nasi, Moza Sayang, makanlah! Biar Mom bisa cepat pulang. Oke?" jawabku disertai dengan sedikit pelototan. Si Moza malah nyengir. "Benar apa kata Daddy, Mom lucu seperti penanak nasi." Oke. Kesabaranku habis. Lebih baik aku pulang. "Mau kemana kamu?" tanya Pak Michael saat melihatku bangkit dan mengambil tas. "Tugas saya sudah selesai hari ini, Pak. Saya mau pulang." "Selesai apanya? Moza belum makan. Diamlah!" Rasanya kepalaku mulai berasap sekarang. Meski begitu, pantatku kembali duduk. "Sekarang apalagi, Pak?" "Saya bilang diam dulu! Tunggu sebentar!" Kulihat Pak Michael mengambil ponselnya. Entah sedang apa dia, tapi selang lima menit, datanglah 2 orang pelayan yang membawakan dua nampan besar berisi nasi beserta lauknya. Mulutku menganga tak percaya. "Anda memesan ini semua?!" tanyaku. Pak Michael mengangguk lalu mempersilakan dua pelayan itu untuk menata hidangan di atas meja. "Harusnya," oke, aku mengatur nafas, tarik dan hembuskan! "Harusnya tadi gak usah pake drama pengen dimasakin segala!" "Itu pelajaran pertama. Sebagai pengasuh Moza, kamu harus bisa membuat nasi. Nyatanya malah membuat pakan bebek begini." Kampret!!! "Mom, ayo makan!" Moza menarik ujung kaosku lagi. "Makan saja sen--" ucapanku tertahan saat melihat pelototan Pak Michael. Lalu kulihat mata Moza yang sedikit tenggelam di pipi tembemnya mulai berair. Lah, mewek lagi nih bocah! "Oke, kita makan ya, Moza! Kamu mau sama apa?" tanyaku setelah merapal doa agar iblis laknat yang ngajak marah segera enyah dari otakku. Moza tersenyum lebar, "Mau ikan!" jawabnya sambil menunjuk ikan goreng. Duh Gusti, cobaan apalagi ini? Sumpah, bukannya benci ikan, tapi aku gak doyan sama bau amisnya! "Ayam saja ya?" bujukku sambil melirik Pak Michael yang mulai menikmati makan malamnya. "Suka nyelip, Mom!" jawabnya sambil menunduk dan memainkan jemarinya. Nih anak kayaknya emang kloningan bapaknya ya? Nyebelin banget, dijamin deh, tekanan darah naik jika harus tiap hari bersamanya! *** "Nov, kemarin lo kemana?" tanya Riaz saat aku tiba di kantin kampus. "Masih dalam usaha menyelesaikan nilaku yang jeblok," jawabku sambil menyandarkan kepala ke atas meja. "Lo habis ngapain emang? Lesu amat? Macam cewek yang ditinggal cowok dengan penderita ejakulasi dini." Pluk! Terpaksa ku timpuk mulut harimau Riaz dengan tissue bekas di depanku. "Sialan! Gue gak semengenaskan itu!" "Haha, habis dari tadi lo murung terus," jawab Riaz dengan cengiran menyebalkan. "Gue habis dijajah kompeni semalam," jawabku. Niatku ingin menceritakan semuanya pada Riaz, tapi urung. Lebih baik dia jangan tahu dulu. "Oh ya, gimana pembagian kelompok KKN sudah selesai?" "Udah, dan bersyukurlah, lo masih dapat bagian satu kelompok sama gue." "Lo emang ditakdirkan gak jauh sama gue, haha!" "Mau lo! Eh, lo tahu siapa pembimbingnya?" "Siapa?" "Pak Michael!" "Apa?! Lo jangan bercanda, Yaz!" "Asli, gue juga gak tahu sih. Awalnya gue lihat di pengumuman kalau kelompok kita dibimbing sama Pak Marzuki yang terkenal galak itu. Tapi kayaknya gak jadi, katanya Pak Marzuki mendadak sakit dan gak bisa bimbing akhirnya jatohlah ke Pak Michael." "Mampus gue!" ucapku lebih ditujukan pada diriku sendiri. "Lah, kenapa? Justru bagus dong, lo kan masih butuh sama nilai dari dia? Sekalian aja barangkali dia mau juga berbaik hati mengampuni lo yang selama masa kuliah, lihat wajahnya aja gak pernah." "Gak semudah itu, Markonah!" "Eh, tuh orangnya! Gila ya dia? Meski pada tahu sudah punya anak juga, tetep aja banyak cewek yang nempel!" Aku mengikuti arah pandangan Riaz. Benar ternyata. Pak Michael nampak sedang dikerumuni beberapa mahasiswi bermake-up tebal. Dasar playboy bangkotan! Lihat, senyum palsunya! Seakan dia orang baik sedunia! Padahal aslinya tukang nyiksa! Ponselku bergetar. Satu pesan masuk. Mimisan k*****t : kamu cemburu, Clara? Cemburu dari Hongkong!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD