Magic Pen

1177 Words
Satya terjatuh di kamar mandinya yang sempit. Tubuhnya setengah menyandar ke dinding kamar mandi. Dua kakinya terbuka lebar memperlihatkan bagian tubuhnya yang menantang siap tempur. Tubuhnya terbuka tanpa ditutupi selembar benang pun. Dan perempuan itu ..., perempuan yang tidak tahu dari mana datangnya, telungkup di atas tubuhnya. Dua tangannya menahan agar tubuh mereka tidak bersentuhan. Tapi tetap saja, Satya merasakan kulit kaki mereka bergesekan. Dan ujung tongkat saktinya menyentuh kulit perempuan di atasnya. "AAAAAAAA! PEMERKOSA! KAMU PEMERKOSA!" Perempuan mistis itu berteriak tiba-tiba. Dia melempar gayung, shampo, sabun, alat cukur, dan batu lulur ke arah Satya. "Sssttt! Jangan berisik! Nanti terdengar sama ibu kontrakan. Ssttt! Tolong jangan teriak-teriak!" Satya gugup dan membekap mulut perempuan itu. Perempuan itu memukuli tubuh Satya dengan membabi buta. Kakinya berusaha menendang tongkat sakti Satya yang layu cepat seperti bunga kurang air. Tapi Satya lebih sigap. Dia menekan tubuh perempuan itu ke dinding sehingga susah berkutik. Bekapannya semakin kuat. "Aku bakal lepasin bekapan aku tapi kamu harus janji nggak boleh teriak!" Perempuan yang ketakutan itu menjawab 'ya' dengan matanya. Dia hampir kehabisan napas. Dari pada mati dalam kondisi memalukan, lebih baik setuju dulu dengan syarat Satya. "Awas! Kalau kamu teriak, aku beneran bakal perkosa kamu!" ancam Satya galak. Mata perempuan itu terlihat ketakutan. Membuat Satya yakin jika gertakannya berhasil. Dia pun melepas bekapannya. Perempuan di hadapannya tampak kikuk menutupi tubuhnya yang tak tertutup selapis kain pun. Satya sempat memanjakan matanya sejenak dengan melihat pemandangan indah di depannya. Body seperti gitar spanyol dengan kulit seputih pualam. Matanya bulat besar dengan bulu mata lebat dan lentik membingkainya. Perempuan ini memiliki kecantikan di atas rata-rata manusia. "Handuk," pintanya. Satya memandangi tangan perempuan yang terulur padanya sementara tangan sebelahnya berusaha menutupi dadanya. Satya melirik sekilas ke bawah lalu menarik napas. Frustasi. "Handuk!" ulangnya lebih keras. "Eh? Oh!" Dengan kikuk Satya meraih handuknya dari paku dinding dan memberikannya pada perempuan itu. Buru-buru perempuan itu membungkus tubuhnya dengan handuk pemberian Satya. "SATYA! SATYA BUKA PINTU!" Gedoran dan terikan Ibu Emi pemilik kontrakan membuyarkan otak Satya yang sedang traveling. "SATYA KAMU NYEMBUNYIIN CEWEK, YA! BUKA PINTU CEPAT ATAU SAYA DOBRAK!" Satya panik. Jika Bu Emi sampai mendobrak pintu dan menemukan perempuan tanpa busana di kamarnya, urusannya bisa lebih singkat. Sesingkat umurnya di kontrakan ini. Satya menyiram tubuhnya dengan segayung air dan menyambar handuk yang melilit tubuh perempuan tak dikenal di kamar mandinya. "Eh ..., eh! Eh!" Perempuan itu berusaha protes karena kini tubuhnya kembali terbuka tanpa penutup apa-apa. "Diam di sini dan jangan bersuara. Kalau bisa, jangan bernapas juga." "Hah! Tap-tapi—" "Ssstt! Kubilang jangan bersuara! Kalau sampai Bu Emi nemuin kamu di sini, aku bisa diusir sekarang juga. Dan kamu bakal dikirim ke panti. Mau?" Perempuan itu menggeleng. Dia saja tidak tahu di mana saat ini berada. Dan apa katanya tadi? Dikirim ke panti? Mendengar cara Satya mengatakannya, bisa dipastikan itu tempat yang kurang menyenangkan. "Diam. Tahan napas!" Perempuan itu mengangguk dan mulai menggembungkan pipinya. "SATYAAAA!!!" Bu Emi kembali menggedor pintu kamar Satya. "Iya, Bu! Hadirrr!!!" Satya berlari keluar kamar mandi dan membuka pintu dengan tergesa-gesa. "Mana perempuan yang kamu simpen di kamar?" Bu Emi berusaha menerobos masuk. Satya memasang tubuhnya yang terlilit handuk di depan pintu. "Maksud Ibu?" tanya Satya dengan gaya menantang. Pikirnya, Bu Emi akan segan masuk kalau melihat kondisi dia yang cuma berlilitkan handuk. "Jangan pura-pura bego! Aku denger ada perempuan teriak di kamar kamu!" "Nggak ada siapa-siapa, kok, Bu. Saya lagi mandi dan nggak denger apa-apa. Tadi, kan Ibu lihat sendiri saya pulang sendirian." "Ah, anak sekarang pinter ngibul! Siapa tau selama ini kamu nyimpen perempuan di kamar makanya nggak bisa bayar kontrakan! Ayo ngaku!" "Saya nggak bohong, kok bu. Saya emang nggak ngumpetin siapa-siapa! Ibu salah denger atau itu cuma suara TV." "Kamu, kan nggak punya TV, Satya! Udah minggir, saya mau geledah kamar kamu!" Bu Emi menepis kasar tubuh Satya dan berjalan gagah memasuki kamar berukuran 3x3 meter itu. "Eh, tu-tunggu dulu, Bu!" d**a Satya berdegup kencang. Matilah dia kali ini. Dengan wajah panas dan d**a yang terus berdebar, Satya memperhatikan Bu Emi berkeliling kamar kontrakannya yang sempit dan berantakan. Dia memeriksa kolong tempat tidur. Lemari pakaian. Bahkan di bawah bantal Satya. ‘Hatsyiii!’ Suara bersin itu terdengar pelan dan lembut. Tapi suasanan sepi di kamar Satya membuat suar bersin itu terdengar sangat nyaring. “Suara siapa itu?” tanya Bu Emi dengan tatapan menyelidik ke arah Satya. Yang dipandang pura-pura bego setengah mati. “Engg … nggak tau. Nggak dengar apa-apa.” Dalam hati Satya memaki, Mampuslah aku kali ini! Dia mengikuti gerakan Bu Emi yang berjalan pelan ke kamar mandi dan membukanya. Di kamar mandi yang kecil itu, mau bersembunyi di mana perempuan mistis tadi? Nggak mungkin dia menjelma menjadi ikan koi yang berenang-renang di bak mandi Satya. Nggak mungkin juga dia menekuk tubuhnya menjadi dua dan bersembunyi di dalam bak mandi. Dengan posturnya yang jangkung, tubuhnya akan tetap menyembul meski dia berhasil melipat dua tubuhnya. Satya memejamkan mata dan menunggu teriakan legendaris Bu Emi saat mengusir penghuni kontrakan. Dia nggak berniat merapal doa-doa. Kecuali dia penyihir yang bisa menghilang, semua doa tidak akan mempan hari ini. “Kamu lolos hari ini. Tapi waktu tiga hari tetap berjalan. Ingat! Tiga hari!” ancam Bu Emi sambil mengipasi tubuh suburnya dengan kipas sate dan berlalu dari kamar Satya. Ap-apa? Lolos? Bagaimana mungkin? Begitu saja? Satya membuka matanya dan setelah memastikan kepergian Bu Emi, dia bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengecek perkataan Bu Emi tadi. “Tidak mungkin!” kata Satya heran melihat kamar mandinya yang kosong. Tadi Satya benar-benar yakin ada perempuan cantik yang nggak pakai baju di kamar mandinya. Masa, sih perempuan tadi cuma khayalan Satya? Tapi dia yakin banget kalau itu nyata. Satya bisa merasakan kulitnya yang halus menyentuh tubuhnya. Satya memandang kamar mandinya yang berantakan. Sabun dan shampoo yang tergeletak di lantai kamar mandi bukti bahwa khayalannya itu beneran ada. Tapi ke mana perginya perempuan mistis itu? Pandangan Satya tertuju pada pena bulu berwarna pink yang basah di lantai kamar mandi. Ternyata dia memang berkhayal. Tadi ia berencana mendzolimi tubuhnya sendiri sambil berfantasi dengan tubuh pena yang seksi. Dan fantasinya menjadi tidak terkendali ketika tiba-tiba muncul perempuan cantik berambut pink di hadapannya. Satya pun memungut pena itu dan melemparkannya begitu saja ke dalam tumpukan baju kotor. Asem, ternyata cuma imajinasi kotornya. Ini pasti teguran. Karena Satya sudah berniat tidak baik untuk melupakan masalahnya. Bukannya memohon kepada Tuhan agar diberi jalan keluar dari masalahnya, dia malah berniat mencari pelarian sementara dengan cara menyakiti diri sendiri. Iya, itu perbuatan menyakitkan meski outputnya melegakan. Sial! Hari ini sungguh sial. Dalam list hari yang terjadi dalam hidupnya, kesialan hari ini masuk dalam sepuluh besar hari tersial sepanjang hidupnya. Sudah ditolak untuk yang ke-99 kali. Kehabisan uang. Terancam diusir dari kontrakan. Digrebek ibu kontrakan. Dan sekarang, mi rebusnya sudah mengembang dua kali lipat karena dibiarkan terlalu lama. Satya bergegas mandi lalu menyantap mi-nya yang sudah lembek dan besar-besar. Dia lapar. Nasi basi pun rasanya sanggup dia habiskan. Setelah minum air putih banyak-banyak, Satya membaringkan tubuhnya di kasur. Ah, tidak ada salahnya memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan kekacauan yang baru saja dia alami.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD