7

1483 Words
7 Camelia POV “Gimana jalan-jalannya tadi malam, Mel? Seru?” tanya Andrew sambil membelokkan mobilnya memasuki area kantor tempatku bekerja. Darahku berdesir. Seketika perasaan bersalah menusuk hatiku. Aku telah berbohong pada Andrew bahwa tadi malam aku jalan bareng Anya, adik perempuanku. Padahal, aku bersama Daniel dan berkenalan dengan seluruh anggota keluarga besarnya sebagai calon istri si playboy. “Lumayan,” jawabku singkat. Mobil Andrew berhenti di pekarangan kantor. Kami sama-sama keluar dari mobil. “Drew, makasih. Aku masuk kantor dulu, ya,” pamitku sambil tersenyum kaku pada Andrew. Aku masih merasa bersalah karena sudah membohonginya. “Mel, tunggu,” kata Andrew sambil meraih tanganku. “Mungkin ini bukan tempat dan waktu yang tepat, tapi aku harus mengatakannya padamu,” kata Andrew dengan raut wajah serius. Aku mengerut kening. “Ada apa?” tanyaku dengan perasaan tidak enak. Andrew terlihat sangat serius. “Besok aku harus berangkat ke Jakarta,” katanya sambil menatap mataku dalam-dalam dan meremas jemariku. “Emm, berapa hari? Urusan kantor?” tanyaku heran. “Mungkin setengah tahun atau lebih, aku dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta,” kata Andrew sambil meraih tanganku. “Tapi kenapa tiba-tiba sekali?” tanyaku heran. Kakiku seketika lemas. Setengah tahun? Itu artinya bila Andrew kembali, aku sudah dinikahi Daniel! “Iya, katanya manajer di kantor Jakarta kecelakaan dan meninggal. Jadi untuk sementara aku menggantikannya hingga ada manajer baru yang pantas untuk mengisi posisi itu,” jelas Andrew. Aku menghela napas, “terus kantor di sini gimana?” “Ada Bu Lini, dia menggantikanku untuk sementara. Kamu nggak apa-apa kan, Mel?” tanya Andrew ragu melihat raut wajahku yang kurang semangat mendengar kepindahannya. Aku kembali menghela napas dan menggeleng pelan. “Nggak apa-apa sih. Cuma rasanya mendadak sekali,” kataku dengan suara pelan. Jelas aku keberatan dengan keberangkatan Andrew. Yang aku takutkan bukan pacaran jarak jauh, tapi kondisi Andrew yang sama sekali belum tahu tentang masalahku yang dipaksa agar menikah dengan Daniel. “Aku juga baru diberitahu kemarin, Mel, dan karena kita tidak bertemu kemarin malam, aku baru bisa kasi tahu ke kamu sekarang,” kata Daniel sambil terus meremas jemariku dengan lembut seolah ingin menghiburku. Mendengar kalimat Andrew, perasaan menyesal menyapa hatiku. Harusnya tadi malam kami masih bisa bertemu. Sekarang waktuku untuk bersamanya hanya tinggal sehari saja. “Yakin padaku, Mel, aku akan setia dan hanya mencintaimu,” kata Andrew sambil menatap mataku dalam-dalam. Seketika rasa sedih menyapa hatiku. Mataku berkaca-kaca. Aku tersenyum kaku pada Andrew. Andrew mungkin setia dan selalu mencintaiku seperti katanya. Tapi bagaimana dengan nasibku? Sebentar lagi si playboy Daniel akan menjadikanku istrinya. Tanpa kuduga Andrew menunduk dan mencium bibirku. Hanya sekilas, tapi cukup memacu detak jantungku. Selama ini kami tidak pernah berciuman di tempat umum seperti ini. Wajahku memanas. “Nanti malam kita jalan ya, Sayang. Aku kangen banget ingin berduaan denganmu,” kata Andrew mesra. Aku mengangguk pelan. “Ya. Aku masuk dulu ya, Drew. Nanti kamu telat,” kataku sambil menahan rasa sedih akan kepindahannya dan rasa gugup karena dicium olehnya di tempat umum seperti ini. Semoga saja tidak ada satu orang pun yang melihatnya. “Nanti pulang kerja kujemput ya, Sayang,” Aku mengangguk, “Hati-hati di jalan.” Andrew menuduk dan mencium keningku. Setelah itu, ia kembali masuk ke dalam mobilnya. Setelah mobil Andrew berlalu, aku berjalan menuju gedung kantor. Sambil berjalan, aku mendongak ke atas. Terlihat Daniel berdiri di dekat dinding kaca kantor dan menatap ke arahku. Seketika dadaku berdebar. Sambil menenangkan debar di d**a, aku kembali melangkahkan kakiku memasuki gedung kantor DGC tanpa mau memikirkan apa Daniel melihat Andrew menciumku. *** Author POV Dengan d**a sesak menahan amarah, Daniel melangkah ke ruangan Camelia. Ia sangat tidak suka melihat Andrew mencium calon istrinya, apalagi di halaman kantornya. Camelia akan menjadi istrinya, dan ia tidak mau para karyawannya tahu kalau sebenarnya Camelia berpacaran dengan Andrew. “Ciuman yang sangat manis dipagi yang cerah,” tegur Daniel sinis pada Camelia yang baru memasuki ruangannya dengan membawa sekuntum bunga mawar merah. Wajah Camelia langsung memerah mendengar kalimatnya. Tidak lama kemudian raut wajah itu berubah menjadi kecut dan terkesan mencibir. Seketika amarah Daniel terpancing melihat reaksi Camelia yang seperti itu. “Siapa yang mengizinkanmu berciuman dengan pria lain, hah? Nggak cukup hanya bibirku yang memuaskan hasratmu?” tanya Daniel kesal sambil menarik tangan Camelia yang sedang meletakkan tas di atas meja. “Apaan sih?! Lepasin!” kata Camelia dengan nada kesal. Daniel makin mempererat cekalannya pada tangan Camelia. “Aku tidak suka calon istriku disentuh pria mana pun!” kata Daniel dengan mata menyala-nyala. Camelia cukup sukses menghidupkan api cemburu yang selama ini tidak pernah menyala di dalam hatinya. Bisa dikatakan, ia tidak pernah marah atau cemburu bila wanita yang menjadi pasangannya dengan jelas bermain dengan pria lain, ia justru dengan senang hati mencari penggantinya. Berbeda dengan Camelia. Saat melihat gadis itu dicium oleh Andrew, rasa cemburu berkobar-kobar membakar dadanya, “Aku bukan calon istrimu! Dan aku mau berciuman dengan siapa, itu bukan urusanmu!” tukas Camelia marah sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Daniel. Mendengar kalimat Camelia, kemarahan Daniel makin tersulut. “Kamu wanita tidak tahu diuntung! Aku mau menikahimu, tapi kamu jual mahal! Di luar sana, beribu wanita mengemis-ngemis ingin menjadi istriku!” kata Daniel pajang lebar dengan napas memburu menahan amarah. Ia menarik Camelia ke dalam pelukannya. Satu tangannya menahan punggung Camelia yang terus meronta ingin melepaskan diri. “Lepasin!” pinta Camelia dengan suara keras, “kalau begitu kenapa tidak menikah dengan mereka saja? Aku toh tidak menginginkanmu!” Daniel menyeringai. “Karena aku menginginkanmu dan bukan mereka!” bisik Daniel di wajah Camelia. Ia menunduk dan menyapu bibir Camelia. Hanya sekilas, tapi cukup membangkitkan hasratnya. “Tapi aku tidak menginginkanmu!” Daniel mengelus b****g Camelia. Napas Camelia yang terengah-engah dengan d**a turun naik di dalam pelukannya makin membuatnya b*******h. Camelia terlihat sangat seksi saat terengah-engah seperti itu. “Aku akan membuatmu menginginkanku…” bisik Daniel dengan suara penuh gairah. Tangannya mulai menyingkap rok kerja Camelia yang panjangnya di atas lutut dan mulai mengelus paha mulus Camelia. “Lepasin!” teriak Camelia sambil menahan tangan yang mulai menyentuh pahanya. Tanpa mendengarkan permintaan Camelia, Daniel membopong tubuh gadis itu ke ruangannya lewat pintu penghubung dan langsung menghempaskan tubuh mungil itu di sofa empuk di ruangannya. Camelia berusaha bangun dengan napas terengah-engah dan wajah merah padam. Sebelum usaha Camelia berhasil, secepat kilat Daniel menindih tubuh Camelia dan membuat tubuh mungil itu terkunci di bawah tubuhnya. “Lepaskan aku!” teriak Camelia dengan suara bergetar sambil memukul d**a Daniel. “Aku akan melepasmu kalau kamu menurut dan patuh padaku,” bisik Daniel sambil menyeringai. “Aku bukan budakmu, kenapa juga aku harus patuh padamu?!” Daniel tersenyum mengejek mendengar kalimat Camelia. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan usaha Camelia untuk melepaskan diri. “Kamu memang bukan budakku, tapi calon istriku,” bisik Daniel. Ia menunduk untuk mencium bibir Camelia. “Jangan…” pinta Camelia memelas saat bibir Daniel sudah akan menyentuh bibirnya. Darah Daniel berdesir mendengar kata ‘jangan’ yang keluar dari bibir Camelia, yang terdengar sangat sensual dan menggoda di telinganya. Seketika gairahnya makin membara. Selama ini tidak ada wanita yang mengucapkan kata yang satu itu saat ia akan mencium mereka.  Tanpa menunggu lama, Daniel mengecup bibir Camelia dan memagutnya. Camelia berusaha mendorongnya. Tapi gairah Daniel semakin terpancing oleh penolakan Camelia. “Lepasin!” pinta Camelia disela-sela ciumannya. Tanpa peduli pada permintaan Camelia, Daniel terus memagut bibir mungil yang setiap malam memenuhi khayalnya itu, yang membuat ia sudah tidak bisa lagi menyentuh atau menginginkan wanita mana pun karena hanya menginginkan bibir Camelia. Dengan gesit, satu tangannya mengusap d**a Camelia. “Daniel!” Sebuah suara menggelegar memenuhi ruangan. Daniel mengumpat dalam hati. Ini sudah kesekian kali acaranya bersama Camelia terganggu. Tahu begini, ia akan mengunci pintu kantornya atau membuat akses fingerspot biar lebih aman. Daniel menarik dirinya dan duduk di sisi sofa. “Ada apa Pi?” tanya Daniel berusaha cuek walau sudah dipergoki ayahnya. “Kamu yang ada apa? Pagi-pagi sudah mengumbar nafsu di kantor!” bentak Dennis marah dengan wajah merah padam. Daniel berdiri dan membiarkan Camelia bangun. Di tatapnya wajah Camelia yang juga merah padam. Camelia terlihat sibuk merapikan pakaiannya. “Ada apa pagi-pagi Papi ke sini?” tanya Daniel tanpa menanggapi kalimat ayahnya. “Papi heran sama kamu, apa di otakmu hanya ada nafsu saja?” omel Pak Dennis tak puas karena kalimatnya sama sekali tidak ditanggapi anaknya. Ia melirik wajah Camelia yang telihat merah padam. “Biasalah, Pi, anak muda,” jawab Daniel berusaha bersikap santai. Padahal sebenarnya ia merasa malu. Gairahnya yang tadi membara langsung menguap begitu saja. Daniel melirik Camelia yang sedang berjalan menuju pintu penghubung antar ruangan. Camelia sama sekali tidak bersuara atau pamit pada ayahnya. Daniel yakin, Camelia juga pasti malu terus-menerus kepergok sedang dicumbu olehnya. Daniel tersenyum dalam hati. Mungkin ini ada hikmahnya. Orangtuanya pasti akan mendesaknya agar mempercepat pernikahan mereka. Dan ia sudah tidak sabar ingin menjadikan Camelia miliknya. *** Love, Evathink Follow i********:: evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD