4. Makanan dan Pakaian

3632 Words
Lapar .... Haus .... Dua rasa itu yang menguasai dalam kepala Adiba ketika ia berjalan tak tentu arah di kerumunan. Berhari-hari menggelandang, makan dari mengais sisa-sisa, berebut dengan gelandangan lain, serta tidur dari emperan ke emperan. Tidak ada yang mempedulikannya. Ia melewati orang-orang seolah ia tidak ada bagi mereka. Aku rasa aku akan segera mati dan tidak ada seorang pun yang peduli. Kalimat itu sudah terpatri di benaknya ketika merasa nyawanya sudah di ujung tanduk. Kemudian pria itu datang dan sayup-sayup suaranya menggema. "... pencuri ...." Oh, tidak! Tidak! Tiba-tiba pukulan menghantam kepalanya. Suara keras memakinya dan tangan-tangan menggapai tubuhnya seolah akan dicabik-cabik atau lumat oleh bogem mentah mereka. Seolah derita yang dibawanya selama ini belum cukup untuk mematahkan tubuhnya menjadi dua. Aku tidak ingin berakhir seperti ini. Aku ingin bahagia. Bisakah aku bahagia? Terakhir yang dilihatnya adalah gelap gulita dan ia merasa sangat damai. Ia bisa saja mati. Sepertinya ia sudah mati. Namun, suara pria itu kembali terdengar. Suara yang sangat mengganggu. "Iya, nama saya Krisna Adimulya. Saya bekerja sebagai dokter di Yayasan Bisa Kita, di Desa Kare." Pria itu berwajah cemas, bicara padanya seakan mengenalnya. "Diba, bagaimana perasaanmu? Sudah baikan?" Diba? Adiba? Ya, aku Adiba. Aku Adiba Farhana. Tidak ada yang perlu kutakuti lagi. "Jadi, yang mana yang kau pilih?" Suara pria itu kembali mengganggunya dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab olehnya. Krisna melirik pada gadis di kursi belakang dan sekali lagi mendapatinya dalam posisi siput yang tidak terusik dunia luar. Pada kenyataannya, gadis itu berusaha menyangkal keadaan di sekitarnya. Fahmi juga turut memperhatikan gadis itu. Agaknya Dokter Krisna menyadari gadis itu tidak bisa mengambil keputusan untuk diri sendiri sehingga memilih menyelamatkannya sebelum terjadi apa-apa. "Baiklah, karena kau tidak menjawab, aku anggap kau setuju apa pun keputusanku. Aku akan membawamu bersamaku." Fahmi jadi keheranan. "Anda serius, Dok?" "Tentu saja aku serius. Dia bisa jadi pembantu di rumahku, mengurus cucian dan bersih-bersih rumah. KTP-nya ada padaku dan aku punya nomor telepon polisi tadi. Jika dia macam-macam, aku akan melaporkannya pada mereka biar dimasukkan ke penjara." Kening Fahmi mengernyit. Agaknya Dokter Krisna punya dendam kesumat pada gadis itu. Mungkin mereka punya sejarah bersama. Dilihatnya Adiba diam tak bergerak berselubung pasmina di kursi belakang. Krisna pikir keluyurannya Adiba karena dia kabur dari panti. Ia perlu tahu apa alasan Adiba kabur dan menggelandang, baru ia bisa memikirkan solusi untuk gadis itu, karena tidak sedikit anak panti yang kabur karena mengalami tindak kekerasan, kemudian dikembalikan ke panti hanya untuk mendapat perlakuan serupa. Kejadian seperti itu akan menghancurkan hidup mereka. Adiba diam seribu bahasa karena dalam pikirannya sibuk bicara pada diri sendiri. Haruskah aku melakukan ini? Haruskah aku melakukan itu? Mungkin lebih baik begini, putusnya. Setidaknya aku bisa hidup tenang barang sejenak. Krisna mengabarkan soal Adiba pada Deden dan Syamsu. Mereka tidak keberatan Krisna mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, asalkan nanti dia melapor pada Ketua RT setempat mengenai keberadaan Adiba di rumah itu. Mereka tiba di Kandangan saat malam hari di mana lingkungan sekitar rumah Krisna sunyi senyap. Rumahnya terlihat karena lampu teras menyala. Mobil parkir di depan teras. Fahmi menurunkan barang belanjaan dan membawanya ke dalam rumah sementara Krisna mencari posisi sinyal ponsel di halaman agar ia bisa menelepon ketua RT. Adiba turun dari mobil perlahan-lahan karena tubuhnya lemah dan kaku. Bekas infus dilepasnya sendiri sewaktu di perjalanan tadi. Ia tidak merasa ketakutan melihat sekeliling tempat sepi itu. Justru binar matanya beberkas penuh harap. "Aku sudah memberitahukan soal kamu pada RT dan pengelola kebun, jadi kau tidak bisa macam-macam di sini. Kamu bakalan dalam pengawasanku dan mengerjakan instruksiku," kata Krisna saat melengos di depan Adiba. "Masuk ke dalam! Aku tunjukkan kamarmu," lanjut Krisna. Krisna menggiring Adiba ke dalam rumah. Lampu dinyalakan dan tampaklah isi rumah mungil itu. Di sebelah kanan ada dua pintu bersebelahan yang merupakan kamar terpisah. Lalu di ruang utama seukuran 3x6, sebuah karpet tergelar di tengah ruangan. Di dekat pintu belakang ada lemari dapur berisi peralatan makan, meja kompor gas, galon air minum, kulkas, dan rak bahan makanan. Di dinding sebelah kiri ada sebuah pintu lagi. "Di situ klinikku, tempat aku memeriksa pasien," ujar Krisna lalu ia mengarah ke kamar yang bersebelahan. "Ini kamarku," yang lebih besar, "dan kamarmu di sini." Kamar yang lebih kecil. Tidak ada apa pun dalam ruangan itu. "WC dan kamar mandi di luar. Atau kau bisa pergi ke sungai di belakang jika ingin susana alam terbuka," cetus Krisna. Adiba diam saja, tipikal gadis pasrah dan manut diapakan, akan tetapi Krisna tahu isi kepala gadis itu menyusun rencana spekulatif. Krisna menghunuskan tatapan tajam padanya. "Aku akan mengawasimu 24/7 supaya kau tidak melarikan diri atau mencoba melakukan sesuatu padaku." Fahmi yang membawakan barang ke dalam rumah terkejut mendengar ucapan Krisna, akan tetapi, Adiba terlihat tanpa eskpresi sehingga Fahmi semakin tidak mengerti dinamika hubungan seperti apa antara Krisna dan Adiba. Namun, ia tidak ingin ikut campur. "Sekarang kau mandi dulu! Badanmu bau sampah," ketus Krisna dan Adiba tidak terusik dengan ucapan itu. Alih-alih, gadis itu malah meminta sesuatu yang lain. "Aku lapar. Aku ingin makan sesuatu. Kau menjanjikanku makanan yang enak." Krisna mendengkus. "Mandi dulu, baru kau mendapatkan makananmu." "Aku tidak punya pakaian." "Akan kupinjami milikku." Adiba juga tidak tampak keberatan. "Di mana kamar mandinya?" "Di sini." Krisna membuka pintu belakang dan tampaklah halaman luas yang gelap gulita, Siluet pepohonan rimbun dan gelap tempat yang cocok sekali untuk seseorang bersembunyi dan mengintip. Menyatu dengan bangunan utama, setelah pintu, ada sebuah kamar kecil yang merupakan kamar mandi yang dimaksud. Krisna menyodorkan handuk dan pakaian ganti pada Adiba. "Kau mandi di situ. Aku akan menyiapkan makananmu." Adiba tidak protes. Ia ke kamar mandi dan lalu mandi menggunakan perangkat mandi milik Krisna yang ada di sana. Krisna membiarkan pintu belakang terbuka agar ia bisa melihat jika Adiba sudah selesai. Fahmi tercenung memandangi semua itu, akan tetapi memahami pengawasan seperti itu biasa dilakukan pada orang- orang di panti sosial. Biasanya ODGJ atau gelandangan bisa kabur atau melakukan sesuatu yang berbahaya jika tidak diawasi. Krisna merebus mie instan berkuah. Ia menceplok telur mentah dalam rebusan itu dan membiarkannya mendidih hingga matang bersama mie. Saat mie itu matang, Adiba selesai mandi dan masuk ke dalam rumah. Krisna punya pengendalian nafsu yang sangat luar biasa jika bisa menahan diri melihat Adiba setelah mandi bersih. Demi Tuhan! Dia seorang perempuan dan Krisna seorang laki-laki normal. Situasi bisa jadi sangat riskan bagi keduanya. Fahmi yang ada di situ jadi ketar-ketir sendiri. Gadis itu sangat molek setelah ia bersih dan segar. Rambutnya yang basah mengubah kriwil awut-awutannya lebih lemas, terlihat berambut tebal hitam. Kulitnya pucatnya tampak merona. Ia mengenakan kaos oblong, sempak laki-laki, dan celana piama milik penolongnya. Kesalahan Krisna ada pada satu hal. Ia tidak punya bra, sehingga Adiba tidak mengenakan penyangga buah itu. Kaos oblong tidak menyembunyikan bentuk dadanya menggunung dan puncaknya berbentuk bulat mungil mengeras karena dingin. Namun, Adiba tidak terlihat sungkan sedikit pun. Dia mengangkat rambutnya yang digelung bersama handuk. Bukannya Adiba itu cantik sangat. Tidak. Sungguh bukan karena fisiknya. Melainkan karena semenjak tinggal di Desa Kare, di samping karena kesibukan suasana kerja baru dan sebagainya, Krisna telah berpuasa seks. Tenggorokan Krisna terasa kering seketika. Apa yang telah kau lakukan, Kris? Jika orang bertanya siapa yang menghancurkan hidupmu, maka jawabannya adalah kau sendiri. "Sekarang, mana makananku?" tuntut Adiba seakan Krisna adalah pelayannya. Krisna bergeming. Fahmi benar-benar kikuk dengan situasi di rumah itu sehingga ia pamit pulang. "Permisi, Dok, semua barang sudah diturunkan. Saya pulang dulu. Khawatir kalau hujan nanti, jalanan jadi susah dilewati." "Oh, iya, ya, silakan!" sahut Krisna. Ia mengantar Fahmi ke pintu depan. "Terima kasih atau bantuannya, Fahmi," ujar Krisna pada pria itu. "Sama-sama, Dok! Kita ketemu lagi besok," sahut Fahmi kemudian menaiki sepeda motornya dan pergi dari situ. Krisna menutup dan mengunci pintu rumahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, memantapkan tekad berhadapan lagi dengan Adiba, kali ini mereka berdua saja. Godaan yang datang tentu lebih berat. *** Banyak hal janggal mengenai gadis itu. Alamat Adiba di KTP merupakan apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Ada temannya yang tinggal di sana. Namun, jika punya hunian semewah itu, buat apa dia menggelandang? Krisna bertanya mengenai hal itu, tetapi tidak digubris Adiba. "Apa benar di Apartemen Imaginary Land ini rumahmu?" Gadis itu tidak menjawab, malah menyeruput mie kuah hingga menimbulkan suara seruputan yang keras. Adiba mendongak meminum kuah mie itu. Krisna terhenyak, yakin bukan karena masakannya sangat enak, melainkan karena Adiba sangat kelaparan. Adiba duduk di lantai dan makan bagai gembel. "Sssh, ahhh," desah gadis itu setelah selesai menyantap mie. Ia menghentak mangkoknya lalu mengusap celemot di sekeliling mulutnya dengan punggung tangan. Krisna meringis melihat cara makannya yang terkesan jorok itu. "Adiba, kamu belum menjawab pertanyaanku," desak Krisna. "Aku mengantuk. Boleh aku tidur?" Krisna mendesah panjang. Diliriknya jam tangan sudah pukul 11 malam. "Ya, baiklah. Kau boleh tidur." Adiba masuk ke kamarnya dan pintu tertutup rapat. Krisna terjengkit melihat mangkok bekas yang ditinggalkan gadis itu sehingga ia buka kamar Adiba untuk menyuruhnya mencuci dulu. Namun, Adiba sudah membungkus diri dalam selimut loreng-loreng yang disediakannya, meringkuk di sudut ruangan, membuatnya berposisi seperti siput. Tanpa alas tidur. Bagaimana mungkin seseorang yang menghuni apartemen mewah tidur meringkuk di lantai seperti itu setiap kalinya? Pikiran Krisna gamang lagi. Gadis macam apa yang telah dibawanya ke rumahnya? Adapun ia telah membawa Adiba di bawah naungannya, maka ia harus bertanggung jawab sampai akhir. Krisna tidak sampai hati mengusik gadis itu. Ia tutup kembali pintu, lalu membereskan bekas makan Adiba dan panci bekasnya merebus. Setelah ia mengamankan seluruh pintu rumahnya, Krisna pun pergi tidur. Keesokan paginya, ia bangun tidak berharap akan menemukan Adiba masih di rumahnya. Ia cukup yakin Adiba menemukan cara membobol pintu dan kabur entah ke mana lagi. Namun, dugaannya ternyata meleset. Adiba masih ada di rumahnya, duduk di ambang pintu belakang dengan handuk ditudungkan menutupi kepalanya dan gundukan dadanya. Gadis itu sepertinya sudah mandi, akan tetapi kembali mengenakan pakaian gantinya "Uhmm .... Pagi," sapa Krisna, hendak melewati Adiba karena ia ingin ke kamar mandi. Gadis itu tidak menyahut. Dia menoleh sekilas, lalu beringsut ke pinggir untuk memberi jalan Krisna lewat. Ketika hendak masuk ke kamar mandi, Krisna tercenung sesaat melihat jemuran pakaian sudah berderet di halaman belakang rumahnya. Pakaian kotor yang ditumpuknya selama beberapa hari dalam keranjang rupanya sudah dicucikan Adiba, begitu juga gamis dan pasmina hitam kepunyaan Adiba. Di situ juga terlihat pakaian dalam Adiba yang tak disangka, modelnya cukup eksotis. Maksudnya, Krisna mengira dalamannya akan melar atau bulukan, ternyata cukup baru dan model pakaian dalam mahal. Pokoknya ia tahu itu pakaian dalam yang hanya dijual di toko eksklusif. Ah, gila! batin Krisna. Ia geleng-geleng lalu masuk ke kamar mandi. Di dalam sana, ia terpana lagi mendapati dinding dan lantai kamar mandi yang bersih baru disikat dan botol-botol perkakas mandinya telah ditata ulang. Krisna jadi mangut-mangut senang. Adiba memahami fungsinya dan sepertinya gadis itu menerima tinggal bersamanya. Ketika ia selesai mandi, Adiba selesai mengepel lantai dan sedang membasuh kain pel di tempat cuci di belakang rumah itu. Krisna semringah melihat gadis itu bekerja. Ia ke kamar mengganti jubah mandi dengan pakaian kemeja dan celana kain, dilapisi dengan jas praktik dokternya. Ia berpikir berencana ke kota setelah praktik untuk membelikan pakaian Adiba. Pintu depan diketuk oleh seseorang. "Assalamualaikum, Pak Dokter Krisna!" Suara seorang perempuan terdengar dari luar. Krisna keluar kamar dan melihat Adiba bergegas ke belakang rumah, sepertinya tidak ingin terlihat oleh tamunya. "Wa'alaikum salam," sahut Krisna. Ia membukakan pintu depan dan berhadapan dengan seorang wanita muda yang dikenal bernama Ayu Dewi. Dia seorang janda tanpa anak yang sudah beberapa kali mengantarkan makanan untuk Krisna. "Eh, Mba Ayu, ada apa, Mba?" tanya Krisna ramah. Ayu Dewi menggamit rantang stainless, berujar malu-malu. "Anu, Dok kebetulan saya lewat di sini. Dokter Krisna belum sarapan 'kan? Nah, ini saya ada bikin nasi liwet lebihan, Dok. Buat Dokter aja. Silakan dicicipi." Ia menyodorkan rantangnya pada Krisna. Krisna menerima dengan senang hati. "Wuaah ini banyak banget, Mba. Tapi makasih loh. Mba-nya baik banget sih!" puji Krisna. "Nggak apa-apa, Dok. Dokter yang baik banget mau tugas di sini. Kami, semua warga di sini sangat terbantu oleh Pak Dokter. Eh, sudah dulu, ya Dok. Nanti kalau saya kelamaan di sini, Dokter terlambat makannya. Silakan dinikmati. Saya pergi dulu." "Eh, sebentar! Ini bagaimana rantangnya? Tunggu sebentar saya salin dulu." "Eh, nggak apa-apa, nggak usah. Nanti aja saya ambil lagi." "Nggak, Mba, ntar numpuk wadah-wadah di tempat saya. Itu sudah ada beberapa. Tunggu sebentar, ya," ucap Krisna sambil berbalik ke dalam rumah sementara Ayu Dewi berdiri tersipu-sipu di teras. Namun, Ayu Dewi tegang ketika mendengar Krisna menyebut nama perempuan. "Diba! Adiba! Sini bentar. Tolong silihkan isi rantang ini, lalu cucikan segera biar bisa dibawa lagi sama Mba Ayu," ujar Krisna. Adiba muncul dari pintu belakang, mengerudungi kepalanya pakai handuk, menyambut rantang makanan itu sambil tertunduk dalam. Dengan sigap ia memindahkan isi rantang yang terdiri dari beberapa hidangan. Krisna tidak enak meninggalkan tamunya, jadi ia kembali ke pintu depan. "Tunggu bentar, ya Mba, pembantu saya menyilihkan," katanya. "Pembantu?" gumam Ayu Dewi sambil berusaha mencuri lihat ke dalam rumah. Ia tidak jelas melihat bagaimana rupa perempuan itu, tetapi ia yakin perempuan tersebut masih muda. Rasa tidak sukanya segera merentan. "Orang mana, Dok?" tanya Ayu Dewi kemudian. Krisna tidak berpikir orang akan berprasangka buruk padanya, sehingga ia tidak memusingkan perkara keberadaan Adiba. Ia jawab saja dengan santai. "Orang Jakarta juga, Mba, kebetulan kenalan saya." "Ooh." Ayu Dewi lalu terdiam. Kemudian Krisna ke dalam mengambil rantang dan mengembalikan padanya. "Makasih banyak, Mba Ayu. Akan saya makan masakannya," ucap Krisna. "Iya, iya, Dok. Sama-sama," sahut Ayu Dewi gelagapan karena senyum tulus Dokter Krisna tertuju padanya. "Saya pulang dulu. Permisi, Dok." Ayu Dewi lalu menuruni teras dan berjalan menjauh. Krisna kembali ke dalam rumahnya dan segera menyamperi nasi liwet pemberian Ayu Dewi. Nasi kukus berbumbu, ayam goreng serundeng, tahu tempe goreng, ditambah cumi goreng pedas, tersaji di piring-piring. "Nah, 'kan, makanan di sini enak-enak 'kan?" gumam Krisna. Ia bawa piring-piring itu dari meja dapur ke karpet. Adiba yang duduk di ambang pintu belakang memandangi. Krisna mengajaknya, "Ayo, Diba, cepat ambil piring. Kita makan bareng." Diba tidak berlama-lama berdiam diri. Ia pun bergegas menyiapkan alat makan. Krisna membagi makanan ke piringnya tanpa segan-segan. Porsi yang ada dibagi dua sama banyak. "Orang-orang di sini sangat ramah dan perhatian. Aku sering diberi makanan seperti ini, kadang sampai berlebihan. Sekarang, ada kamu, aku rasa tidak akan ada lagi makanan yang terbuang." Krisna semringah, tetapi Adiba tidak bereaksi apa pun selain matanya terpaku pada makanan. Krisna mempersilakannya makan lalu gadis itu segera melahap cepat seolah itu makanan terakhirnya. Krisna mengulum senyum saja. Agaknya ia harus terbiasa melihat cara makan Adiba yang seperti itu. Selesai makan, Adiba membereskan bekasnya, Krisna membuka pintu klinik. Sudah ada orang yang mengantri untuk memeriksakan diri padanya. Tak lama kemudian, Fahmi, Bidan Mujibe, dan analis Sutiyeh datang. Mereka turut melayani pasien. "Eh, kata Fahmi, Pak Dokter membawa orang buat bantu-bantu di rumah? Iya? Bener, Dok?" celetuk Bidan Mujibe. Orangnya sangat perhatian dan berbicara selalu lemah lembut. Merupakan bidan lama memilih mengabdi di desa itu karena mengikuti kerja suami di perkebunan kopi. Fahmi tersenyum jengah karena bisa jadi Dokter Krisna berpikir ia tukang gosip. Ia hanya mencemaskan ada perempuan tinggal bersama dokter itu. "Iya. Dia gelandangan, Bu. Kasihan, jadi saya bawa saja biar ada manfaatnya," jawab Krisna. "Tuh orangnya ada di dalam. Ibu lihat aja. Orangnya pendiam. Mungkin dia mau bicara sama Ibu." "Waah, saya jadi penasaran. Boleh ya, Dok, saya ke dalam ya?" "Saya mau lihat juga ah!" seru Sutiyeh yang berusia sepantaran Krisna. Ia mengiringi Bu Bidan Mujibe. Kedua wanita itu pindah ke ruang tengah rumah Dokter Krisna. Ia melihat gadis yang dimaksud Dokter Krisna duduk di ambang pintu belakang, bersandar di sana, kedua lutut ditekuk, menggigit jari dengan pandangan menerawang ke halaman belakang. Pemandangan hutan berbukit-bukit serta sungai kecil di sana memang sangat indah menyejukkan mata serta udaranya segar alami. Namun, bukan pemandangan itu yang menyita perhatian gadis itu. Sorot matanya sendu memendam kesedihan. Bidan Mujibe memperhatikan rambut kriwil di sela handuk yang dijadikan kerudung oleh gadis itu. Serta warna matanya yang unik, wajahnya yang boleh dibilang cukup menarik, dan masih muda juga. Bidan Mujibe tidak menampik geritik hatinya jika Dokter Krisna punya perhatian khusus pada gadis itu. "Nak, baru kerja di sini, ya? Siapa namanya?" sapa Bidan Mujibe. Gadis itu tersentak sadar dari lamunan. Matanya menatap penuh curiga pada kedua perempuan berpakaian seragam serba putih itu. Yang lebih tua bertubuh semok berjilbab instan, yang lebih muda juga berjilbab instan, hanya tubuhnya lebih kurus. Bidan Mujibe tersenyum ramah. "Saya bidan di sini. Panggil saja saya Bu Mujibe. Kalau ini Sutiyeh. Dia analis laboratorium. Kami sudah lama bekerja di sini. Baru sekarang saja ada dokternya, yaitu Dokter Krisna." "Iya, Saya Sutiyeh. Rumah kami ada di dekat gerbang masuk perkebunan itu loh. Nah, kami tinggal di sana. Kalau pagi kerja di sini sampai ntar siang lepas Zuhur. Nama kamu siapa? Aslinya orang mana?" "Anu, saya Adiba, Bu. Saya orang Jakarta ...," jawab Adiba dengan suara pelan dan segan. Dia tetap duduk di posisinya, sementara kedua wanita itu lalu duduk melantai di dekatnya. "Kamu sepertinya bukan orang Indonesia asli ya?" ujar Bidan Mujibe lagi yang memperhatikan warna mata serta rambut Adiba. "Ibu saya dulu TKW di Turki ...." "Ooo pantes ...," seloroh kedua wanita itu seakan sudah tahu kisah panjang dari semua itu. Adiba bergerak gelisah merapikan kerudung handuknya. "Anu ... ayah saya tidak terima itu, jadi ... Saya mau dijualnya ... tapi saya kabur dari rumah ...." "Ooo begitu ...." Adiba tertunduk dalam dan menggunakan handuk menutupi wajahnya sekaligus menghapus air matanya. "Sejak dulu saya sering dipukuli ... jadi saya takut .... Dia bukan ayah saya ... saya diancam mau dibunuhnya. Saya tidak mau dia tahu saya ada di sini. Saya tidak mau kembali ke Jakarta lagi." Bidan Mujibe dan Analis Sutiyeh iba mendengarnya. Mereka menyentuh pundak Adiba dengan rasa prihatin. "Dokter Krisna sudah tahu hal ini? Kamu sudah cerita?" Adiba menggeleng, terlihat oleh kedua wanita itu matanya merah sembap. "Saya tidak berani cerita, Bu. Takut nanti Pak Dokter malah mengembalikan saya ke orang itu. Tapi pas Pak Dokter membawa saya ke sini dan saya tidak diapa-apain, saya jadi tahu Pak Dokter beneran orang baik." "Oh, iya kamu benar. Lebih baik kamu di sini saja ikut Dokter Krisna. Beneran orang baik loh dia. Ya, coba pikir aja, mana ada orang mau menolong orang asing di jalanan dan maaf ya ... Kalau laki-laki lain mungkin kamu sudah diperkosa atau apa, tapi Dokter Krisna nggak melakukan apa pun pada kamu 'kan?" Adiba mengangguk. "Dia malah kasih saya makan ...." Mujibe dan Sutiyeh saling pandang dan mangut-mangut. "Benar-benar baik hati Dokter Krisna itu. Ya Allah, masih ada toh rupanya laki-laki sebaik ini. Ta kira sudah punah, ya Allah," gumam Mujibe. "Iya, Mba. Kalau kayak kisah di novel itu loh, Mba, ada perempuan kek gini, sudah dipake sama si laki-lakinya. b***t banget!" timpal Sutiyeh. "Iya, ku jadi yakin laki-laki baik tuh masih ada di zaman sekarang. Bukan cuma zaman bapaknya anak-anak saja." "Iya, ya Mba, gak kayak suami aku, sih. Udah nikah juga, masih saja suka jelalatan cari perempuan muda. Untungnya gak ada yang mau. Soalnya dia kere ...." Mujibe dan Sutiyeh lalu tertawa bareng. Adiba diam saja dengan muka agak tegang. Mujibe dan Sutiyeh lalu menepuk-nepuk pundaknya lagi. "Udah, kamu tenang saja. Kamu aman di sini. Lagi pula ini tempatnya jauh dari kota. Kayaknya nggak bakalan bapak kamu itu bisa menemukan kamu di sini," hibur mereka. "Iya, Bu. Terima kasih banyak," ucap Adiba lagi-lagi sambil merapikan kerudung handuknya. Mujibe jadi berceletuk, "Kamu biasa pakai kerudung atau jilbab, ya?" "Eh, iya, Bu," jawab Adiba malu-malu. "Kok Dokter Krisna kasih kamu baju kayak gini, sih? Haduuuh, Dokter itu kok gak sensitif ternyata orangnya." "Eh, mungkin karena memang nggak punya, Bu ...." "Lah loh iya, toh, Mba. Masa Dokter Krisna nyimpen baju perempuan kalau dia memang nggak tahu bakalan ada perempuan ikut sama dia," imbuh Sutiyeh. Mujibe tiba-tiba punya ide. "Oh iya, aku punya banyak baju bekas yang sudah kekecilan masih ta simpen di almari. Bagaimana kalau ta kasih buat kamu aja ya, Diba? Kamu mau?" "Mau, Bu," jawab Diba dengan suaranya yang pelan. "Aku ada juga loh. Ntar ta bawain juga ke sini. Tapi kayaknya agak kegedean sih. Tapi nggak apa-apa lah ya, daripada kamu pakai baju laki-laki," tambah Sutiyeh. "Nggak apa-apa, Bu. Nggak masalah. Ntar bisa saya kecilin sendiri. Saya bisa jahit sedikit-sedikit." "Eh, yang benar?" tanya Mujibe dan Sutiyeh sambil menepuk pundak Adiba cukup keras seolah itu hal yang luar biasa. "Iya .... Ibu saya dulu penjahit. Habis dari TKW, lahirin saya, dia jadi penjahit di rumah, buat penghasilan sehari-hari. Saya juga diajarin ...." "Ooo, begitu. Bagus kalau begitu." Bidan Mujibe melanjutkan, "Ntar sekalian saya kasih peralatan jahitnya. Pakai jahit tangan saja bisa 'kan? Saya ada punya mesin jahit bekas usaha adik saya dulu, tapi rusak. Nggak sempat diperbaiki. Susah cari orang buat servis sekarang. Apalagi mesin jahit model lama. Yang ada palingan disuruh beli baru aja. Malas orang sekarang memperbaikinya." "Ngg ... Anu ... Gimana kalau saya lihat, Bu, mesin jahitnya? Mana tahu bisa saya perbaiki." "Eh, yang benar?" tanya Mujibe dan Sutiyeh sambil menepuk pundak Adiba cukup keras seolah itu hal yang luar biasa. "Mungkin ... Kalau modelnya sama dengan punya ibu saya, bisa saya perbaiki." "Oalaaah, bagus kalau begitu. Iya, bolehlah nanti kamu lihat ya barangnya. Ntar sama Dokter Krisna jalan ke tempat saya." Dokter Krisna heran Bidan Mujibe dan Analis Sutiyeh tidak muncul-muncul juga. Ia pun mendatangi ke ruang sebelah. Dan ternyata mereka asyik mengobrol. [Ye kaan? Kalo ibu-ibu sudah ngobrol pada asyik sendiri, ye kaaan? ?] "Bu! Bu! Itu loh, ada pasien hamil mau periksa," sela Krisna, membuat Bidan Mujibe dan Analis Sutiyeh beranjak. "Eh, iya, iya, Dok? Segera, Dok!" Kedua perempuan itu kembali ke klinik. Krisna menyempatkan menatap Adiba sambil tersenyum karena senang Adiba bisa membuat pertemanan dengan orang sekitarnya. Namun, gadis itu memasang tampang dinginnya dan memalingkan muka. Krisna memble, tetapi dengan perasaan semringah. Pastinya Adiba hanya gengsi mengakui bahwa ia harus berterima kasih dan malu karena telah mencuri darinya. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD