13. Masa Lalu

2263 Words
Krisna sibuk di klinik, Adiba mengintipnya sebentar, kemudian menjauh dengan perasaan gamang. Ia meraih jahitannya dan menjalankan mesin jahit, merangkai bahan kain itu menjadi gaun utuh. Bersamaan dengan itu, pikirannya jalan berusaha mengenyahkan hal yang mengganggunya. Sentuhan tangan Krisna yang menenangkan itu masih terasa di jemarinya. "Kamu hadapi orang-orang itu. Kamu nggak perlu takut kalau kamu nggak salah, Diba." Seandainya dahulu ia seberani itu. Seandainya orang-orang yang datang waktu itu hanya sekelas warga kepo dan julid. Kadang kala, meskipun kamu tidak bersalah, kamu harus bungkam karena ada kekuatan yang lebih berkuasa. Sebuah kebaikan dan kebenaran harus ditenggelamkan. Kamu harus berlutut dan menerima nasib bahwa kamu bukanlah siapa-siapa. Kamu hanya sampah. 4 tahun yang telah berlalu ... Ketika Septiana Maharani berusia 18 tahun, ia dipindahkan ke lapas wanita dewasa. Ia menjalani hari-harinya seperti biasa, dengan tambahan ia mulai mengenal napi-napi yang mesti menjalani kehamilan, melahirkan dan membesarkan anak mereka dalam penjara. Ada segmen khusus ruang ramah anak dan lebih tampak sebagai sebuah daycare daripada penjara, meskipun di sana sini ada jeruji dan penjaga. Septiana tetap belajar menjahit dan sesekali membantu rekan mengurus anak-anak mereka. Literally, anak-anak itu tumbuh dan tinggal di sana tanpa prasangka karena keseharian yang mereka lihat adalah lingkungan dalam penjara tersebut. Biasanya mereka ikut tinggal di penjara karena tidak ada kerabat yang mau menampung atau sang ibu menunggu anaknya selesai disapih baru diserahkan ke luar penjara. Suatu hari, Ibu Siti Maisyaroh, Kepala Lapas, memanggilnya ke ruangan beliau. "Septi, nanti ada tamu buat kamu." Septiana tidak mengerti dan bingung soal tamu ini. Karena tidak pernah ada tamu untuknya, bahkan ketika pemakaman ibunya ia tetap ditahan dalam penjara tanpa ada seorang pun datang memberi kabar. Ia takut orang itu adalah ayahnya. Ibu Mai melihat gadis belia itu cemas, sehingga menenangkannya. "Nggak usah takut. Ntar saya dampingi kamu. Kamu bicara saja seadanya sama orang itu, ya. Soalnya mereka mau bantu buka kasus kamu kembali. Jika berjalan lancar, kamu bisa mendapatkan pengurangan hukuman, bahkan pembebasan, Septi." Septiana mengangguk dan mengiyakan saja walaupun dalam hatinya tidak bisa membayangkan pembebasan itu seperti apa. Itu seperti surga yang tidak pernah dilihat atau dipijaknya. Kemudian masuklah 2 orang pria. Yang satu berpakaian polisi. Ia kenal polisi itu adalah Kompol Rifani, penyidik yang menangani kasusnya dari awal sampai putusan. Sedangkan pria kedua berpakaian setelan jas dan berdasi, membawa koper berkas. Dari tampangnya juga terlihat masih muda, rupawan dan gagah seperti Kompol Rifani. Ibu Mai mempersilakan kedua pria itu duduk. Kompol Rifani menyapa, "Septi, apa kabar? Masih ingat saya?" "Ingat, Pak," jawab Septiana dengan suara pelan dan ekspresi dingin tanpa minat. Bagaimana mungkin ia lupa tampang orang yang menjebloskannya ke penjara. Kompol Rifani menunjuk pria di sisinya. "Bapak satu ini pengacara. Beliau ngambil tesis dan kebetulan tertarik dengan kasus kamu, jadi, mulai saat ini beliau akan menangani masalah hukum kamu, Septi. Kenalkan diri kamu sama Bapak ini." Septiana tidak antusias terhadap pria itu. Matanya menatap kosong. Namun, ia tetap berusaha bersikap wajar. "Saya Septiana Maharani, Pak. Saya terdakwa pembunuh tingkat II. Vonis saya 15 tahun." Itu perkenalan diri yang sangat menyakitkan. Sungguh. Septiana benar-benar membenci dirinya sendiri mengucapkan hal itu. Pria itu tersenyum hangat dan mengulurkan tangan menyalaminya. "Jangan terlalu tegang, Dek. Perkenalkan, nama saya Diaz Nareswara. Saya bakalan banyak berkonsultasi sama kamu, jadi jangan segan ya sama saya. Saya akan dampingi kamu sampai kamu dibebaskan karena bagi saya kamu tidak bersalah. Kamu hanya butuh pembela yang tepat." "Iya, terserah Bapak saja," sahut Septiana. Pria itu menyebut berkonsultasi padanya. Seorang kriminal? Bukan ia yang mengemis-ngemis meminta pembelaan, tetapi pria itu yang datang padanya menawarkan bantuan. Septiana sama sekali tidak menyangka ia diperlakukan sehormat itu oleh seorang pengacara bonfide. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya konsultasi yang mereka lakukan, komunikasi mereka juga semakin instens. Itu tidak berlangsung singkat. Melainkan 3 tahun lamanya. Semakin mendalami kasus, Diaz mengenal juga lebih dalam sosok Septiana. Kekakuan sikapnya adalah bentuk pertahanan diri yang luar biasa. Gadis itu benar-benar seorang diri. Seperti kucing dikarungi lalu dibuang ke tempat asing. Diaz menjadi jatuh iba. Tidak salah ia memilih kasus, bahwa hukum tidak berlaku adil pada gadis itu dan kebebasannya layak diperjuangkan. Dalam setiap kali pertemuan, Septiana bisa melihat kesungguhan pengacara muda itu untuk menolongnya. Sering kali tanpa ada Ibu Mai, Pengacara Diaz akan berdebat dengan Kompol Rifani, dan lucunya, mereka melakukan itu di hadapannya seolah ia tidak ada. Kedua orang itu ternyata teman akrab. "Tega sekali kalian menuntutnya dengan hukuman 15 tahun. Dia seharusnya bebas. Septiana tidak bersalah sama sekali," tuding Diaz. "Karena masalah ini tidak sesimpel itu, Diaz. Kau tahu yang dibunuhnya adalah putra mafia Turki yang sudah terkenal keras dan kejam, bahkan sampai saat ini kepolisian tidak bisa memberangus mereka. Kau pikir jika ia dibebaskan, ia masih hidup sampai sekarang? Kami melakukan ini demi menyelamatkan hidupnya. Jika keluarga Mahmud tidak mengincarnya lagi, baru dia bisa melenggang bebas." "Kalian bisa memasukkannya ke perlindungan saksi. Dia sebenarnya bisa memberikan informasi yang sangat krusial mengenai perdagangan gadis di bawah umur yang dilakukan Erkan dan ayahnya. Ia bahkan menyelamatkan gadis lain yang nyaris dijual." "Tidak bisa. Dia tidak melihat apa pun saat di rumah itu. Yang dilakukannya hanya membunuh Erkan. Ia tidak tahu menahu di rumah itu juga disekap beberapa orang seperti dirinya. Dan kamu pikir perlindungan saksi bisa menjamin keselamatannya? Aku benar-benar ragu. Kami pernah punya beberapa saksi demikian dan mereka hilang tanpa jejak. Mahmud akan melakukan apa pun untuk melindungi bisnisnya. Kalau tidak, darimana mereka dapat duit sehingga bisa leluasa hidup di luar sana. Jika mau melindunginya, harus ada bekingan yang lebih kuat daripada Mahmud. Aku maaf saja, ada banyak kasus yang kutangani. Aku tidak bisa mengurus Septiana seorang." "Sialan kau, Rif!" rutuk Diaz. Kemudian ia membalik badan menghadap Septiana. Ia tatap gadis itu yang duduk dengan muka datar karena ia tidak peduli dengan kebebasan, bahkan tidak mengerti apa pun dunia di luar sana. Namun, Diaz merasa hidup gadis ini telah dirampas dan ia akan mengembalikannya lebih sempurna. Diaz kembali menatap Rifani yang sedang meresah mengusap kasar wajahnya. "Kalau begitu, bantu aku, Rif. Kita sembunyikan kebebasan Septiana. Selanjutnya aku akan membawanya. Septiana akan ikut denganku, aku beri identitas baru, dan memulai hidup baru. Denganku." Rifani terperangah. "Maksud kamu?" Ia menatap ke arah Septiana lalu ke Diaz bergantian. "Aku tidak akan membiarkan hidupnya sia-sia dalam penjara. Aku juga tidak akan membiarkan nasibnya terlunta-lunta di luar sana. Aku akan bertanggung jawab terhadap Septiana, sebagai pria." Rifani mencak-mencak frustrasi. "Kamu ... kamu mau nikahi dia?" "Jika memang harus demikian, aku akan melakukannya. Aku akan menikahi Septiana." Diaz dan Rifani lalu sama-sama menatap Septiana. Gadis itu terlihat tegang kemudian menelengkan kepalanya dengan kikuk. Septiana sadar kedua pria itu mengharapkan responsnya. Namun, ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. "Sa-saya ... tidak mengerti apa yang Bapak bicarakan," kata Septiana akhirnya. Diaz buru-buru duduk ke sisi gadis itu dan menyapu helaian rambut keriting di tepi wajahnya ke belakang telinga. "Tidak etis seorang pengacara punya hubungan pribadi dengan kliennya, apalagi dengan statusmu saat ini, Septi. Namun, sudah di tahap ini, aku akan blak-blakan sama kamu. Aku merahasiakan ini sejak lama. Aku benar-benar suka kamu, Septi. Aku harap kau pun demikian. Segera setelah kau bebas, aku akan menikahimu dan aku akan memberikan perlindungan yang kau butuhkan. Tidak ada lagi yang perlu kau takutkan. Aku akan melindungimu sebagaimana seharusnya seorang suami." Yang berpikir waras saat itu mungkin hanya Rifani. Ia menggerutu, "Kau gila, Diaz!" Jika bahagia itu rasanya bagai melambung tinggi lalu jatuh dengan cepat seperti rollercoaster, maka lonjakan perasaan itu pertama kali dialami Septiana. Ia kelu, tak mampu berkata-kata. Ia merasa berada di alam mimpi selama berhari-hari semenjak Bapak Diaz mengungkapkan perasaannya. Sangat aneh rasanya. Bagaimana bisa pria dewasa dan sepertinya seseorang yang sangat sukses di luar sana, malah menyukainya dan ingin menikahinya? Apa para pangeran berhenti mencari putri-putri di acara pesta? Apa sekarang mereka mencarinya di sarang penjahat atau tempat terlaknat? Apa pria senang gadis yang ternoda dan be.jat? Septiana benar-benar berada di alam mimpi indah. Perlu waktu sekitar 3,5 tahun, akhirnya Bapak Diaz berhasil mengurus kebebasannya. Meskipun itu tidak menghapus statusnya sebagai pembunuh. Banyak napi yang iri dengannya, terutama yang kerap membenci kemampuan menjahitnya. Hari ia bebas, Bapak Diaz memberinya gaun gamis dan kerudung serta sepatu yang sangat indah untuk dikenakannya sebagai langkah pertama menghirup udara bebas. Ia dilepas secara rahasia demi menjaga berita jangan sampai ke telinga orang- orang Mahmud. Ibu Mai membawanya ke parkiran lalu memasukkannya ke mobil SUV hitam milik Bapak Diaz di mana di dalam situ ada Kompol Rifani dan Bapak Diaznya duduk di kursi depan. "Semoga kau mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Septi," ucap singkat Ibu Mai dengan mata berkaca-kaca melepas kepergiannya. "Makasih, Bu," sahut Septiana lalu pintu mobil buru-buru ditutup dan Ibu Mai kembali ke dalam kantornya. Septiana diam tegang ketika mobil bergerak keluar halaman lapas lalu melaju di jalan raya. Ia ingin sekali mendekat ke jendela dan melihat-lihat apa saja di sepanjang jalan. Namun, ia juga malu pada dua orang itu. Diaz dan Rifani juga diam saja dan terasa kikuk sehingga kedua pria itu mendeham-deham sesekali. Septiana yang berusia 21 tahun itu terlihat sangat berbeda dari penampilan kesehariannya setelah didandani dan mengenakan gaun indah. Dia gadis yang tak kalah cantik dari artis-artis model selebgram berfilter yang meramaikan jagad entertainment. Diaz yang mengemudi melirik Septiana melalui kaca pantul lalu memulai pembicaraan. "Apa rencanamu setelah bebas ini, Septi?" "Saya ingin jadi penjahit, Pak. Kalau ada lowongan pekerjaan menjahit, saya mau kerja." Rifani terkekeh halus dan mengantup bibir rapat-rapat berusaha menahan tawa. Diaz sangat ingin menyepak kaki Rifani, tetapi ia tidak ingin membuat kesan buruk di mata Septiana. "Err ... tapi saya punya rencana lain buat kamu, Septi," gumam Diaz. "Rencana apa, Pak?" "Hhhh.... Apa mesti saya ulang-ulang lagi? Hari ini juga saya mau bawa kamu ke penghulu. Makanya kamu saya pakaikan gaun itu. Kita nikah, Septi." "Oh." Septiana menunduk menatap rok gaunnya yang terbuat dari bahan brokat mahal dan warnanya pastel sangat kalem. Ia menyembunyikan wajahnya yang menghangat. Ia katup bibir rapat-rapat mengulum senyumnya. Diaz melihat reaksi itu dan hatinya jadi menghangat, lega, Septiana menyambut ajakannya. "Kamu mau 'kan jadi istri aku, Septi? Dan ... Ini." Diaz meraih laci dashboard mengambil dompet kartu lalu menyerahkannya pada Septiana. Septiana keheranan menerima dompet itu dan membukanya, matanya membulat. Ternyata isinya KTP. "Mulai sekarang nama kamu Adiba Farhana. Ingat itu ya. Tidak ada lagi Septiana Maharani. Kamu adalah Adiba Farhana, istri Diaz Nareswara." *** Pernikahan itu berlangsung singkat dan sederhana di sebuah masjid besar di kota Jakarta. Mereka memilih jam sepi sehingga tidak banyak orang berada di masjid itu. Kompol Rifani dan beberapa pengurus masjid menjadi saksinya. Selesai ijab kabul, Diaz membawa Septiana, yang telah berganti nama menjadi Adiba Farhana ke apartemen mewah di Imaginary Land. Adiba sah secara hukum dan agama sebagai istrinya sehingga membawanya ke apartemen itu adalah langkah selanjutnya meresmikan Adiba sebagai istrinya. Begitu pintu tertutup rapat, ia cumbui Adiba seraya melepas kerudung dan gamisnya perlahan-lahan. Adiba benar-benar kikuk karena itu pengalaman pertamanya. Namun, Diaz sangat sabar dan tidak terburu-buru. Ia ajak Adiba ke kamar dan mendudukkannya di tepi ranjang. Ia tidak berkata-kata, begitu juga Adiba. Ia hanya menyentuhnya selembut mungkin hingga Adiba pasrah ditelanjanginya dan melekap padanya. Penglihatan Adiba nanar. Kamar mewah itu tidak jelas lagi apa isinya. Di bawahnya empuk sangat seperti menenggelamkannya. Berat badan di atasnya menindih, membuatnya sesak napas oleh gerayangan tangan dan kecupan. Itu yang hendak Erkan lakukan padanya dahulu. Namun, bersama Bapak Diaz itu tidak terasa menakutkan. Ia malah ... terbangkitkan. Sesuatu dalam tubuhnya menggeliat gelisah dan jika tidak disentuh, ia akan kecewa. Ketika Diaz menindih dan ingin membungkas keperawanannya, barulah gadis itu bersuara lirih. "Pak, uhmh, sakit," ujarnya dengan pipi merah dan berusaha menunduk. Diaz berhenti mendorong batang kerasnya. Ia kecup bibir Adiba agar mendongak, lalu ia jilati lekukan leher Adiba sambil berujar parau, "Aku suami kamu sekarang. Panggil saja aku Mas, Diba." "Uh? Hmm, anu, Pak, masih terasa aneh. Nama saya 'kan Septiana, Pak." Diaz tersenyum tipis, menatap keseluruhan wajah Adiba dan rambut keritingnya yang menggemaskan. Ia usap pelipis gadis itu lalu ia kecup keningnya. "Harus Mas ulangi lagi ya, Septiana sudah tidak ada lagi. Kamu Adiba, istri Mas." Lalu ia ciumi bibirnya dan terus turun ke bawah, hingga lembah dara gadis itu menjadi tempatnya membenamkan wajah. Ketika lututnya membuka kedua kaki Adiba lebih luas dan gadis itu tidak melawan, Diaz mengangkat wajah untuk menatap reaksi Adiba lagi. Mata gadis itu sayu dan bibir ranum menggigit jari. Diaz mulai mendorong lagi sehingga gadis itu terjengkit lalu terisak halus. Diaz berbisik serak. "Jangan takut, Dek. Ini sakitnya sebentar saja kok. Mas tidak akan menyakiti kamu. Mas cinta sama kamu." Dan Diaz mendorong masuk seluruhnya hingga terengah-engah. Keperkasaannya terhenyak di dalam sana. Hangat yang nyaman dan erat melingkupi. Gemetar tulang belakangnya melemaskan kedua lututnya. "Ohhh ...," desah menyerah nikmat Diaz. Matanya mengerjap-ngerjap, tetapi ia sempat melihat air mata Adiba menetes dan gigit jari meredam tangisnya. Ia singkirkan jemari Adiba lalu ia ganti dengan mengecup bibir itu. "Sudah masuk, Dek. Jangan khawatir lagi. Nggak bakalan sakit lagi, kok," bujuk Diaz. "Kamu milik Mas sekarang." Mata amber Adiba yang berkaca-kaca mengerjap polos memelas. Bibir digigit tak kuasa berkata-kata. Diaz terpesona oleh tatapan itu, sangat dekat seolah ia tersedot ke dalam kelamnya Adiba. Benar rasa hatinya selama ini. Adiba wanita terindah yang pernah ditemukannya. Penderitaan menempanya menjadi permata yang sangat mahal. Dan layaknya permata berharga, tangan-tangan jahat akan berusaha merebutnya. "Mas gerak, ya sayang?" pelas Diaz yang dibalas Adiba memejamkan matanya. Diaz mewujudkan keinginannya. Ia mengayun pinggulnya perlahan-lahan dan menyaksikan lelehan merah tua di celah penyatuannya. Ia tersenyum haru, lalu meyusurkan bibirnya ke rahang Adiba. Ia bergerak penuh kasih seraya berbisik mesra. "Mulai sekarang namamu adalah Adiba. Adiba Farhana. Kau aman bersamaku, Diba. Tidak ada seorang pun bisa menyentuhmu. Karena aku akan melindungimu dengan segenap jiwa ragaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD