10. Kesan Sesudah Menikah

2319 Words
Ia sudah menikah, terjadi begitu saja dalam ucapan dengan satu tarikan napas. Ia seorang suami dan wanita yang bersamanya sekarang menyandang gelar istri. Dan rasanya ternyata menyenangkan. Lebih menyenangkan lagi, Adiba adalah pilihannya sendiri, tanpa ada embel-embel gengsi, kongsi, maupun negosiasi. Boleh dikatakan ia membuka mystery box dan isinya Adiba yang unik, sangat berbeda dari stereotipe wanita-wanita yang dikenalnya. Krisna merasa lega mengikuti saran Fahmi bahwa klinik tutup saja dulu selama 3 hari, jadi akan buka kembali seperti biasa hari Kamis. Tulisan pengumuman itu dipasang di pintu klinik. Kalau tidak, Krisna akan kelimpungan akibat bangun kesiangan sementara pasien memanggil-manggilnya. Soalnya, malam pertamanya langsung forsir cetak gol sebanyak-banyaknya. Jam menuju pukul 11 siang, Krisna lihat di layar ponselnya. Ia membuka mata malas-malasan. Ada pesan SMS masuk dari ibunya dan Paula yang ter-delay karena kendala jaringan. Menurutnya, dua orang itu pasti merasakan sesuatu tentangnya sehingga mengirimkan pesan tersebut. Krisna tidak membukanya. Ia letakkan ponsel di lantai lalu memilih menyusuri helaian rambut keriting Adiba yang tidur meringkuk dempet ke dadanya. Mereka tidak mengenakan pakaian sehelai pun dan tidur berdekatan seperti itu memberikan kehangatan alami. Krisna tersenyum sekaligus heran melihat posisi tidur istrinya itu. Meringkuknya sangat dalam seperti posisi janin dalam rahim. Jari jemari menyentuh bibir. Seolah dalam jangka waktu lama Adiba tidur dalam wadah yang sempit atau berdesakan. Terpikir ia pernah dijual ayahnya, mungkin yang terjadi Adiba sempat dikumpulkan bersama korban lainnya dan mereka harus mendekam dalam sel atau sejenisnya. Krisna gamang menanyakan hal itu. Ia tidak ingin Adiba mengungkit masa lalu yang menyakitkan. Lihat saja dari cara tidurnya, Adiba masih terkekang trauma. Wajar saja Adiba takut memiliki perasaan mendalam pada seseorang. Apa pun yang terjadi, Krisna yakin mantan Adiba tidak bisa melindunginya, apalagi membahagiakannya. Melihat Adiba tidur nyenyak bersamanya, Krisna bisa berbangga hati. Ia menarik napas dalam, memperbesar rongga dadanya, lalu ia dekap Adiba, ia cium keningnya, ia sosor bibirnya. Namun, bukannya terlena, Adiba malah tersentak dan bangun langsung panik. "Oh, tidak! Aku kesiangan!" "Oi oi oi, sabar ...," gumam Krisna yang terpaksa membuka dekapannya. Adiba bergegas hendak berdiri, akan tetapi kakinya lemas dan dehidrasi membuat kepalanya pusing tiba-tiba. Adiba kembali jatuh ke dekapan Krisna. "Ahh ...," desah Adiba seraya memijit kening dan memejamkan mata karena gelap mendadak. "Makanya jangan buru-buru bangun. Tenang dulu. Memangnya kenapa?" tanya Krisna penuh perhatian. Adiba teringat kebiasaan dalam penjara harus bangun pagi, bersih-bersih, dan bertugas di bagian laundry. Setelahnya mereka akan mengikuti pelatihan kerja seperti menjahit, merias pengantin, kerajinan tangan anyaman, dan sebagainya. Adiba menjawab Krisna dengan kikuk. "Aku ... aku mau pipis ... dan ... aku mau makan. Aku lapar." "Ooh, soal itu. Oke, kau bisa ke kamar mandi dan bersihkan dirimu sementara aku menyiapkan makanan, tapi aku minta satu hal." Adiba diam dengan sepasang mata amber menatap tajam Krisna seolah tahu pria itu akan mengerjainya. Dan memang iya. Krisna menyengir sembari mengungkapkan keinginannya. "Berbicaralah lebih sopan padaku karena aku ini suamimu. Setiap kau punya keinginan, jangan lupa sebut Mas." Adiba garuk-garuk pelipis. "Baiklah," katanya. "Aku pergi dulu." Adiba bangun dan hendak berdiri, tetapi jatuh lagi ke dekapan Krisna karena ditariknya. "Ah, aduh! Apaan sih?" ringis Adiba. Krisna senyum-senyum jahil. "Barusan tadi aku bilang apa? Pakai Mas dong, Dek Diba." Adiba merengut mengantup bibirnya. Agak kesal ia menuruti keinginan Krisna. "Aku ke belakang dulu, Mas." Krisna pun merentangkan tangannya melepaskan Adiba. "Iya, begitu dong. Manisan dikit." Adiba memasang tampang datar, lalu merangkak meraih pakaiannya di lantai, dan berdiri sambil mengempit kaki serta menutupi bagian d**a dengan mendekap gaun nikahnya. Ia berlari kecil keluar dari kamar suaminya. Krisna memandangi badan belakang telanjang itu sambil menahan tawa. Padahal mereka suami istri, tetapi Adiba bertingkah seperti one night stand dengannya. Sesuai perkataannya tadi, selama Adiba mandi, ia menyiapkan makanan. Krisna mengenakan celana pendek saja di dalam rumahnya, tidak menutupi badannya yang berbekas kuku Adiba di sana sini. Ia sibuk memanaskan nasi kuning sisa tumpeng nikahannya. Tambahan lauk telor masak sambal merah, sambal goreng hati, dan ayam goreng. Adiba mandi wajib sehingga rambutnya basah dan kurang mengembang. Ia keluar kamar mandi sudah berpakaian gamis panjang, sambil menudungi kepalanya menggunakan handuk. Melihat Krisna tidak mengenakan baju, muka Adiba sontak terasa panas, segera ditutupinya dengan handuk. "Sudah siap. Yuk kita makan!" ajak Krisna sambil membawa piring makanan serta dua gelas teh manis panas ke tengah karpet. Ia duduk bersila bersiap makan. Adiba bergeming. Krisna heran sikap Adiba tidak seperti biasanya. Ia gercep kalau soal makan. "Kenapa diam saja? Ayo duduk sini. Kita makan." "Apakah ... sebaiknya pakai baju dulu ..., Mas?" Krisna pandangi tubuhnya yang memang sengaja ia pertontonkan dan senang ternyata Adiba bereaksi soal itu. Bagi Krisna, itu pertanda bagus. Adiba memiliki ketertarikan fisik pada lawan jenis dan ia akan memanfaatkan itu. Akan ia goda Adiba terus terusan. Mumpung liburan pengantin baru. Ia menyengir menjawab Adiba. "Buat apa? Mas tidak ada niat keluar rumah kok. Lagi pula, kita sudah sah suami istri, jadi, bebas saja melihat tubuh masing-masing. Mas juga ingin kamu tidak usah menutup-nutup diri lagi selama kita berdua saja di rumah." "Terserah Mas sajalah," ucap Adiba seraya mengembuskan napas. Ia sudah sangat kelaparan sehingga lekas duduk di hadapan makanan dan mulai menyantapnya. Krisna juga makan sambil menyembunyikan senyum kepuasannya. Begitu selesai makan dan minum, ia tarik Adiba ke kamar dan duduk mengasuhnya di kasur sembari menciumi lehernya. Adiba menggeliat gelisah. "Ma-Mas ... aku barusan mandi. Mas mau apa?" Itu pertanyaan konyol, tetapi Krisna tidak keberatan menjelaskan niatnya. "Diba, kita nikah tanpa pacaran. Sebagai gantinya, kita pacaran setelah nikah. Sini, Diba. Cium Mas." Tanpa mengharapkan reaksi Adiba, ia lahap saja bibir gadis itu. Adiba ingin berpaling, tetapi takut menolak. Ia tidak punya alasan menolak. Ciuman Krisna membuatnya memejamkan mata dan tangan malah meraba-raba badan pria itu. Ia rasakan gundukan terselubung celana pendek Krisna menjulang menekan pahanya. Adiba mendesah, "Mas ...." Krisna masih betah menyesap-nyesap bibir Adiba, sehingga menyahut parau. "Apa, Dek?" "Mas mau membuat Diba hamilkah, Mas?" tanya Adiba dengan suara pelan timbul tenggelam dalam kecupan yang membuat napas berat. "Uhmm," sahut Krisna mengiyakan. "Mas nikahin kamu bukan untuk main-main, Diba. Mas akan menjalankan seluruh kewajiban sebagai seorang suami, kita bangun keluarga kita. Sejujurnya, Mas tidak tahu caranya, karena itu kita sama-sama belajar menjalani ini." Mata Adiba memanas mulai berair. Ia ingin menangis. "Tapi Mas ... apa Mas tahu latar belakang Diba?" lirihnya. "Apa kamu sanggup menceritakannya pada Mas?" Krisna cepat bertanya balik. Adiba menarik bibirnya berpaling muka. Ia menggeleng dan tertunduk pasrah. Krisna angkat dagunya agar melihat wajah Adiba meskipun netra gadis itu menolak menatap balik. "Karena itu, nggak usah dibahas. Mas terima kamu apa adanya." Lalu ia cium lagi bibir Adiba hingga terhanyut bersama. Limpahan kasih sayang Krisna yang begitu tulus padanya seakan-akan itu mimpi belaka. Kali ini kasih sayang itu tidak terbagi sehingga ia bisa percaya bahwa ia tidak bermimpi. Tidak seperti sebelumnya, ia dilimpahi cinta dan kenikmatan, tetapi harus terbagi dengan yang lain. Karena kepolosannya, ia dijadikan istri simpanan tanpa menyadari apa dampak itu semua pada sebuah keluarga. Adiba semakin terpuruk dan memilih pergi sambil membawa tanya. Apakah ini sudah takdirnya? Mantan napi, tanpa tujuan dan masa depan, lalu dihampakan janji manis. Ia lahir untuk tersisih. Setelah itu ia belajar seharusnya ia tidak menerima bantuan dari seorang pria. Namun, Krisna mengikis kekhawatiran itu. Sungguh pria yang sangat baik. Adiba bingung bagaimana cara membalasnya, kecuali ... ikuti naluri alami. Krisna mencumbui istrinya sepanjang siang. Menelanjanginya perlahan-lahan. Ia usap setiap jengkal kulit hangat Adiba, mengamati reaksinya disentuh seperti tanaman putri malu. Mengenalnya melalui naluri dasar seorang laki-laki, ia memang menginginkan Adiba. Ia menikmati mengeksplorasi tubuh Adiba dan menemukan titik-titik sensitifnya. Adiba bereaksi paling b*******h saat dikecup di tengkuknya. Tubuh Adiba akan melengkung dan kepala terdongak menyerah, desahannya keras dan sekujur tubuhnya meremang. Krisna sangat suka melihatnya. Adiba tampak binal dan butuh dikendalikan. Ketika malam tiba dan udara semakin dingin, dua tubuh urian (kl: telanjang/bu.gil) semakin kepanasan. Bernapas terasa berat, akan tetapi bukannya menjauh mencari udara, keduanya malah berdempetan tiada jarak pemisah dan bersuara terengah-engah. Adiba bersujud mengigit bantal sementara pantatnya diremas-remas oleh Krisna dan pukasnya dijejali Little Krisna. (p***s: (n) bibir kelamin perempuan) "Hisshh .... Enak, Dek?" tanya Krisna menggereget mempertahankan tempo pompaannya. "Uhmmm," sahut Adiba teredam bantal karena tidak ingin teriakannya terdengar keluar rumah. Khawatir ada warga yang mendengarnya lalu datang menggerebek. Entahlah. Mungkin saja. "Aaahh ...." Krisna mengerang terserang jepitan kemaluan sang istri. "Ouhhh, Diba ...." "Hiks ...," isak Adiba, turut menderita oleh nikmat yang dijunjung mereka berdua. Adiba membuka bekapannya lalu menangis membentak pada Krisna. "Mas ... tambah cepat, Mas! Cepat!" "Oh yaaah ...." Krisna memompa gila-gilaan hingga detik-detik penghabisan luapan puncak persanggamaan itu. Setelahnya, lututnya lemas dan ia rebah menindih istrinya. "Hahhh ... Diba ...," ucap Krisna engap-engap sedangkan Adiba terisak-isak merelakan basah hangat meluap dari pukasnya. Krisna lemas tapi mampu berguling ke sisi Adiba. Ia rangkul lalu ia kecup puncak rambut Adiba yang berantakan. Adiba pasrah karena tak bertenaga. Dadanya sama dengan Krisna, bergejolak turun naik. Melihat Adiba demikian rupa, Krisna merasa lega bisa memuaskan istrinya. Tanpa beranjak dari kasur, Krisna meraih rak dan mengambil snack KitKat yang ada di situ. Sambil rebahan, ia buka kepingan cokelat tersebut. Adiba melirik nanar. "Mau, Dek?" Krisna menawari Adiba KitKat-nya. Tanpa menjawab, Adiba ambil sepotong lalu mengunyahnya seperti ia gigit jari. Krisna memakan KitKat-nya sambil bergumam, "Kau mengambil KitKat Mas 'kan malam itu?" Adiba tidak menjawab, malahan membalik tubuh memunggungi Krisna. Pria itu menyikut belakangnya. "Hei, bilang ya atau tidak saja, kenapa sih? Mas gak bakalan marah kok. Mas penasaran aja," bujuk Krisna, tetapi Adiba tidak menggubrisnya. Mungkin orang lain tidak akan mengerti, mengakuinya di saat ia tidak bisa menggantinya, serasa sangat merendahkan diri. Dan juga, satu pernyataan jujurlah yang menjerumuskannya ke balik jeruji. Ia mengiyakan menusuk Om Erkan. Ia marah pada pria itu. Ia membenci pria itu atas apa yang dilakukannya. Semua itu diramu sedemikian rupa hingga disimpulkan bahwa ia memang sengaja membunuh Om Erkan karena cemburu. Ia ingin menjadi sugarbaby Om Erkan, tetapi tidak tahan dengan kelakuan mata keranjang pria itu. Sungguh sial! "Diba. Adiba ...." Krisna memanggil mesra istrinya. Ia sikut Adiba yang terlihat melamun. Mata Adiba melirik yang artinya tidak melamun lagi. Ia sudah lebih bertenaga. Adiba bangun dan meraih baju gamisnya lalu ia kenakan tanpa pakaian dalam. Sikap Adiba membuat Krisna terhenyak. "Aku mau tidur di kamarku saja, Mas," katanya dan beranjak dari sisi Krisna tanpa menoleh. Hah? Masa sehari nikah sudah pisah ranjang? Krisna buru-buru bangkit lalu menghalangi di pintu sebelum Adiba membukanya. Kerabat kecilnya berayun menggelantung. Wajah Adiba mengeras lalu membuang muka. Krisna tangkup kedua pipi Adiba untuk merayunya. "Maafin Mas kalau kamu tidak suka disinggung soal itu, Diba. Mas cuman bercanda. Gak akan Mas ungkit lagi soal itu. Mas janji." Ekspresi muka Adiba melunak, tetapi masih tidak mau menatap suaminya. "Aku mau ke belakang, Mas, bersihin bekas tadi." "Tapi nanti tidur di sini lagi 'kan?" Agak segan Adiba mengiyakan. "Iya." "Kalau begitu kita bareng deh. Mas juga mau cuci-cuci sekalian." Adiba diam saja. Krisna semringah dan membukakan pintu. Kebetulan malam juga sudah larut. Mereka ke belakang bersama-sama. Setelahnya, Krisna menggiring istri dinginnya itu ke kamarnya lagi. Ia hangatkan kasur bersama Adiba. Saat hendak tertidur, tubuh Adiba meringkuk yang membuat Krisna iba. Kebanyakan wanita akan mengincar merebahkan kepala ke dadanya. Istrinya sendiri malah tidak memanfaatkan six pack-nya. Benar-benar tidak tahu terima kasih! Segera ia sela tidur Adiba. Ia dekap Adiba dan ia tautkan kedua kakinya agar Adiba tidak menekuk lutut. "Mas, aku mau tidur. Aku mengantuk," protes Adiba berkial-kial. Namun, Krisna tetap menahannya. Ia rayu agar Adiba tenang. "Diba, kamu punya Mas sekarang, jadi, mulai sekarang, kamu tidurnya harus meluk Mas." Kening Adiba mengernyit, kemudian memasang tampang datar dan berseloroh sambil memejamkan mata. "Terserah Mas sajalah." Ia mengikuti keinginan Krisna. Ia peluk pria itu dan berusaha tidur. Ia tidak nyaman dengan posisi itu, tetapi kelelahan bersanggama akhirnya membuatnya tertidur pulas. Paginya, Krisna bangun tidur Adiba sudah tidak ada di sisinya. Agaknya Adiba kembali pada rutinitasnya. Ia dengar suara air seperti biasa Adiba mencuci dan bersih-bersih rumah. Krisna meraih ponselnya untuk mengecek jam. Ia melihat pesan teks belum dibaca ada 6 pesan, dikiranya sebanyak itu dari operator. Ternyata pesan dari ibunya dan Paula bertambah. Krisna membuka pesan dari ibunya terlebih dahulu. [Nak, belakangan ini kamu makin jarang telepon ke rumah. Kamu baik-baik saja 'kan Nak? Telepon Ibu ya kalau kamu baca pesan ini.] [Ibu mau ngingetin kamu, minggu depan acara tunangan kakak kamu sama Diaz. Kamu datang ya, Nak. Nggak bagus ntar kesannya di keluarga Diaz kalau kamu nggak hadir.] [Jangan lupa pesan Ibu. Kamu harus hadir. Ntar bapak kamu tambah marah. Jaga kesehatan, ya Nak.] Mood Krisna langsung lesu jika ayahnya disebut-sebut. Kenapa apa-apa harus selalu demi kesenangan bapak itu? Krisna berpindah membaca pesan dari Paula. [Kris, aku coba telepon kamu berkali-kali gagal terus. Kamu di mana sih? Lama gak denger suara kamu. Kangen nih!] [Kris, Mba Mita jadi tunangan sama Diaz Nareswara. Lengkap dong keluarga kita ntar. Ada CEO, ada dokter, ada psikolog, trus tambah pengacara lagi. Keren gak?] Apa Paula menaruh sugestinya lagi bahwa mereka akan bertunangan? Krisna semakin jemu dengan masa-masa kehidupannya di Jakarta. Ia tutup pesan dari Paula itu lalu meletakkan ponselnya ke nakas dan mengabaikan benda itu. Krisna keluar kamar sambil mengenakan handuk menutupi ketelanjangannya. Ia melihat istrinya berjongkok mengepel lantai. Ia sapa dengan semringah meskipun mengantuk. "Pagi ...!" Adiba menoleh tetapi tidak menyahut. Mungkin menyahutnya dalam hati. Ia kembali menunduk menjelalat lantai. Krisna jadi timbul isengnya. Di ambang pintu kamar mandi ia panggil Adiba. "Adiba, sini!" Adiba lekas mendekat sebagaimana pembantu memenuhi panggilan majikannya. "Ada apa, Mas?" tanyanya. Krisna senyum-senyum yang sedikit membuatnya waswas. Pria itu meraih belakang kepalanya, lalu berbisik di telinganya. "Mas mau mandi. Temenin Mas ya. Nggak susah kok. Cuman isap punya Mas bentar aja." Mata Adiba mengerjap-ngerjap polos. "Maksudnya, Mas? Isap apa?" Mata Krisna melebar mendengar pertanyaan itu. Jika Adiba tidak mengerti, apakah itu artinya ... ia belum pernah melakukan felatio dengan mantannya? Ah, akhirnya ia menemukan sesuatu yang baru untuk dilakukan Adiba. Krisna menyengir. Ia tarik tangan Adiba. "Sini, ikut sama Mas. Mas ajarin." *** Hmmm, dapat 'kan clue-nya siapa suami pertama Adiba? Hehehe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD