7. Suami Untuk Adiba

2254 Words
[Jika kalian membaca karyaku yang lainnya, mungkin akan merasakan perbedaan satu dan lain hal dalam cerita ini, terutama interaksi tokohnya. Tidak to the point ngeseks seperti kebanyakan. No. I'll take my time to enjoy this work. Aku cepet bosan, jadi aku suka mengeksplorasi dinamika hubungan yang nuansanya berbeda.] *** Bagaimana jika ada yang mengenaliku? Bagaimana jika mereka menemukanku? Apa yang harus kulakukan? Secara taktik, bersama Dokter Krisna adalah yang terbaik. Pria itu tidak pernah mempertanyakan apa pun mengenai masa lalunya. Juga tidak pernah bersikap menghakimi, bahkan dari caranya memandang. Pria itu bahkan tidak berniat menyentuhnya atau bernafsu padanya. Untuk sekali seumur hidup, Dokter Krisna adalah orang yang bisa dipercaya dan ia aman bersamanya. Sangat kecil kemungkinan ada pria yang akan memperlakukannya seperti Dokter Krisna memperlakukannya. Bu Mujibe ingin membantu, tetapi ia tidak ingin ada orang asing di rumahnya karena ia masih ada suami. Anak-anaknya juga kadang datang. Ia tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan, karena yang kasihan ya Adiba juga nantinya. Kalau tinggal bersamanya, otomatis gadis itu menjadi tanggung jawabnya. Bu RT dan Pak RT sebenarnya tidak ingin mengusik kehidupan pribadi Dokter Krisna. Mereka tidak ingin Dokter Krisna merasa tidak nyaman lalu hengkang dari desa. Namun, perzinahan juga tidak bisa dibiarkan dan mereka takut kena karma. Krisna bisa memahami itu dan ia juga tidak ingin menentang adat setempat. Mereka memberinya waktu beberapa hari untuk berpikir. Sudah satu bulan mereka bersama. Krisna tahu hari seperti ini akan tiba. Setelah semua orang pulang dan klinik tutup, ia pindah ke bagian rumah dan melihat Adiba sedang menyetrika pakaian sebelum dilipat. Gadis itu duduk di lantai memunggunginya. Krisna berdiri memandangi punggung itu. Entah beban seperti apa yang disandangnya, Krisna tidak tahu. Adiba tidak pernah bercerita, juga tidak pernah mengeluh ... kecuali jika ia lapar. Juga tidak pernah ingin tahu latar belakangnya seolah: "Aku tidak peduli hal lainnya. Aku hanya ingin kau menepati janjimu. Beri aku makan dan setelahnya aku bisa hidup dengan caraku sendiri." "Kamu mau tinggal bersama Bu Mujibe, Diba?" tanya Krisna dengan tangan dalam saku celana, menyandarkan punggungnya ke dinding. Terkadang, ketika di penjara mendapatkan kamar yang suasananya nyaman dan mulai betah, besok-besok bisa dipindah ke kamar lain dan situasinya bisa jadi tidak nyaman sama sekali. Ia harus menerima itu, suka atau tidak. Adiba juga belajar bahwa ucapan pria bisa berubah secepat arah angin. Ia tidak ingin berucap apa pun yang hanya akan membuat Krisna melanggar janjinya. Seperti diduganya, Adiba tidak menjawab, bereaksi pun tidak. Krisna berujar dengan tenang. "Bagaimana jika aku menikahimu?" Punggung Adiba menegak. Menyetrikanya pun terhenti. Krisna menyukai reaksi itu. Reaksi yang alami dari seorang perempuan. Menurutnya, tidak setiap pernikahan harus karena cinta. Nyaman bersama bisa jadi alasan. "Aku tidak ingin pergi dari desa ini. Kau juga tidak ingin pergi dari sini. Jika menikah bisa menyelamatkan kita berdua, kenapa kita tidak melakukannya? Tidak akan ada yang berubah, tetapi itu membuat semua orang bahagia." Adiba menghela napas, melirik ke belakangnya sekilas dan bertanya, "Apa aku punya pilihan lain?" "Kau bisa pergi, tetapi aku tidak akan membiarkannya. Kau belum membayarku, bahkan tidak sebatang KitKat yang kau curi." Krisna bermaksud bercanda mengingat pertemuan pertama mereka, entah bagaimana menurut persepsi Adiba, gadis itu sukar ditebak sikapnya, kecuali diam dan dingin. Adiba nyaris berdecih tahu Krisna masih ingat KitKat-nya. Tunggu saja, jika aku punya uang akan aku ganti semua KitKat dan Choco Bar itu. Dasar pamrih! Bukankah semua manusia seperti itu? "Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanya Adiba dengan suara pelan, lebih seperti menghela napas pasrah. "Kau tenang saja. Kita tidak terburu-buru. Aku akan bicara pada Dokter Syamsu dan Pak Deden. Mungkin mereka bisa memberi masukan." Krisna lalu pergi keluar rumah mencari sinyal untuk menelepon. Adiba melanjutkan pekerjaannya menyetrika lalu menaruh pakaian Krisna di kamarnya. Pria itu cukup lama berbicara di telepon. Adiba melihatnya mondar mandir di halaman melalui jendela kamar. Haruskah aku menjadi beban hidup seorang pria baik lagi? batin Adiba. Apa yang harus kulakukan? Aku ingin hidup tentram seperti orang lain. Di sini sudah nyaman. Aku lelah melarikan diri. Adiba ingin menjahit. Ia keluar dari kamar Krisna. Ia mengerjakan pakaian pesanan Sutiyeh. Ia membuat gaun model gamis berhias bordiran dan payet di bagian d**a yang ditirunya dari model lingeri. Mesin jahitnya manual sehingga bordir dan payet nanti akan dikerjakannya dengan tangan. Ia punya banyak jenis jarum dan benang, juga air guci dan manik-manik. Jadi, ia bisa berkreasi sesuka hati. Jika dibayar nanti, ia akan punya uang untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit. Krisna berdiskusi panjang di teleponnya. Syamsu memberinya nasihat. "Kata ulama, hal yang harus disegerakan adalah salat ketika sudah masuk waktunya, menguburkan jenazah, dan menikahkan insan yang sudah siap menikah. Umurmu mencukupi, hartamu mencukupi, bekal pengetahuanmu juga mencukupi, jadi tidak ada alasan bagimu menunda menikah, apalagi calonnya sudah ada. Mungkin kalian memang berjodoh. Katakanlah, aral malah membawa kalian bersama. Dan yang terpenting lagi, apakah hatimu menolaknya? Karena terus terang saja, jika kau tidak menyukai calonmu, kalian hanya akan membuat hidup kalian masing-masing menderita." "Nah, justru herannya aku di situ, Mas. Aku tidak keberatan sama sekali dengan Adiba. Jika aku harus memilih, aku sama sekali tidak keberatan memilihnya sebagai istriku." "Pertanyaan selanjutnya, apa Adiba mau kamu jadi imamnya? Huahahha ...." "Ah, Mas Syamsu meledek aku saja. Masa sih ada cewek yang menolak aku?" "Eeh, mana tau. Mungkin dia punya kriteria khusus. Mungkin ingin suami yang soleh, agamis, biar bisa mengimami dia. Memangnya dia ada tanda-tanda suka sama kamu? Aku lihat sekilas Adiba itu lebih terobsesi pada kerjaannya daripada orang." Eh, benar juga! Krisna kelu sesaat. "Atau kamu sudah coba-coba sama dia, Kris?" selidik Syamsu. "Enggak, Mas. Nggak ah!" bantah Krisna cepat. "Masa sih? Modelan cowok kek kamu loh, masa nggak tergoda sekali pun?" "Nggak ada! Nggak ada!" "Lalu kenapa tiba-tiba mau menikahi dia? Atau kamu takut dia nikah sama orang lain?" Ketika Bu RT menyebut Bu Mujibe bisa mencarikan suami untuk Adiba, ada rasa tidak nyaman dalam perut dan dadanya mendengar itu. Jadi, apakah itu artinya ia tidak suka ada laki-laki lain memiliki Adiba? Hoi, aku sudah berinvestasi banyak pada Adiba, masa tiba-tiba saja laki-laki lain mengambil dia? Sungguh, Kris? Itukah yang kau pikirkan? Krisna gamang dalam pikirannya sendiri. Laki-laki lain bisa jadi memperlakukan Adiba dengan buruk. Ia gelandangan, sedikit gangguan jiwa, terlebih lagi ia tidak punya orang tua. Ia anak haram yang dibawa TKW dari luar negeri. Keluarga mana yang akan menerimanya? Orang tua akan menolak gadis semacam itu menjadi mantu mereka. "Kris? Krisna? Kok diem? Halo? Ini jaringannya putus ya?" ujar seniornya, membuat Krisna tersentak. "Ya, Mas? Ada kok. Tadi lagi mikir sebentar," jawab Krisna akhirnya. Terdengar Syamsu menghela napas. "Dengar, Kris, aku dan Deden nggak keberatan kamu menikah dan tinggal di rumah itu. Kami malah senang. Kami ingin yang terbaik untukmu, tetapi hendaknya menikah itu menjadi ibadah untukmu supaya berkah. Kamu salat istikharah dulu deh. Insyaallah dimantapkan hatimu dalam menentukan pilihan. Aku percaya kalau jodoh pasti dipertemukan. Kalau nggak, mana mungkin coba kalian bisa bareng sampai sekarang padahal sejak awal pun kalian benar-benar berada di dunia yang berbeda." "Iya, Mas, akan aku kerjakan malam ini," ujar Krisna. Krisna kembali ke dalam rumahnya dengan perasaan sedikit tercerahkan. Dilihatnya Adiba sibuk menjahit seperti belakangan selalu dilakukannya saat siang sampai malam dan harus diingatkan supaya berhenti. Ditatapnya lagi gadis itu dengan perhatian khusus. Adiba memang berbeda dari gadis-gadis yang pernah dikencaninya. Malah bukan tipenya. Ia terbiasa bersama gadis berbadan tinggi dan berkaki jenjang, muka eksotis bermekap bold, serta rambut panjang selicin satin, lurus atau bergelombang. Kerap tersenyum manis dan menggodanya ke dalam pelukan mereka. Adiba malah bertolak belakang dari segala aspek. Ia tidak tahu apakah Adiba bisa membuat syahwatnya bangkit. Jika seperti Paula, ia akan melarikan diri jika melihat Paula telanjang. Sungguh. Krisna melangkah ke meja dapur. "Kamu mau makan, Diba? Mau kubikinkan mie? Rasa apa?" Tanpa mengindahkan matanya dari jarum mesin jahit yang bergerak cepat, Adiba menyahutinya. "Ehmm. Mau. Yang rasa soto saja. " "Oke!" Krisna mengambil dua bungkus mie rasa soto ayam dari lemari dapur dan mulai merebusnya. Mereka tidak bicara apa pun sehingga suara mesin jahit terdengar nyaring. Gadis itu berada di dunia lain kalau sudah menjahit. Krisna bisa memandangi Adiba tanpa mengusiknya. Kadang ia melihat kepolosan gadis kecil dalam diri Adiba. Keceriaan yang ditenggelamkan oleh kenyataan menakutkan dan mungkin oleh masa lalunya. Masa lalu yang buruk seperti kanker yang diam-diam menggerogotinya. Kau melihat ke belakang dan kau berpikir sejenak kau telah aman, ia akan muncul tanpa diduga dan memakanmu hidup-hidup. Ssshhhh ... Air rebusan mie meluap sehingga tumpah ke kompor. Krisna terperanjat dan buru-buru mematikan api kompor. Namun, percikan air mendidih mengenai tangannya sehingga ia terjengkit-jengkit. "Ah! Uh! Aduh, aduh, panas!" Tiba-tiba Adiba menangkap tangannya, membuat Krisna mematung. Mereka bertatapan. Wajah Adiba tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya terlihat cemas. "Di-Diba...." Krisna tergagap karena menyadari itu pertama kalinya mereka berpegangan tangan. Wajah Krisna terasa memanas. Adiba melirik telapak tangan Krisna yang kemerahan. Akan sulit nantinya pria itu bekerja atau memasak jika tangannya kenapa-kenapa. Adiba meletakkan cempal dan sarung tangan kain ke telapak tangan Krisna. "Pakai ini!" katanya lalu kembali ke mesin jahitnya, meninggalkan Krisna terperangah sendirian. Mata Krisna mengerjap-ngerjap dan melongo. Apa-apaan itu tadi? herannya. Jantungnya berdegup kencang dan mukanya memerah. Ia raba dadanya. Apakah Adiba merasakan hal yang sama? Krisna menjitak dahinya sendiri. Haiiisssh, ini gara-gara memikirkan mau menikah nih, makanya jadi begini. Krisna merutuk diri sendiri. Adiba, yang notabene calonnya, malah tenang-tenang saja, sibuk dengan dunianya sendiri. Krisna mendengkus lalu balik ke kompornya. Ia memindah mie ke mangkok lalu mengaduk bumbunya merata dalam kuah mie. Sambil merengut ia membawa dua mangkok itu ke tengah rumah. "Nih, sudah masak mienya. Ayo cepat dimakan. Katanya lapar ...." Tidak perlu diingatkan dua kali, Adiba duduk di karpet dan menerima mienya dengan mata berbinar-binar. Mereka mulai makan berbarengan. Krisna mencuri pandang gadis itu yang berhadapan cukup dekat dengannya. Sedikit anak rambut Adiba keluar dari sela kerudungnya. Maksudnya, jika ia tidak mengenakan kerudung, rambut aslinya akan megar ke sana kemari dan mengganggunya makan. Cukup lama ia tidak melihat rambut keriting Adiba. Entah kenapa rasanya terhibur melihat rambut seperti itu. Seperti mie keriting, seperti gumpalan gula kapas, seperti pohon willow, seperti sesuatu yang ceria dan menyenangkan. Jika Adiba istrinya, tentu tidak akan ada yang menghalanginya melihat keindahannya, bukan? Krisna bersuara penuh kehati-hatian. "Adiba, kamu mau 'kan jadi istriku?" Mata amber gadis itu meliriknya, lalu terpejam saat menyeruput mie, dan ketika selesai, kembali menatapnya. "Apakah aku punya pilihan?" katanya balik bertanya. "Kau yang membawaku ke sini, maka aku tanggung jawabmu." Krisna jadi manyun-manyun. Agaknya, semua tergantung keputusannya sendiri. Ia akan minta petunjuk dari Allah SWT agar tidak ada kesalahan dan keraguan lagi. Sore itu, ada warga yang memberinya singkong satu kilo. Krisna sudah tahu apa yang harus dilakukan pada singkong. Ia membersihkan umbi kayu itu, lalu memotong-motongnya dan membumbuinya untuk digoreng. Malamnya hujan turun gerimis, tetapi udara menjadi sangat dingin. Adiba berhenti menjahit karena tegangan listrik turun mengakibatkan lampu terlalu redup untuknya. Ia terlihat sedikit sebal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa sehingga ia duduk meringkuk di ruang tengah memandangi mesin jahitnya. "Udah, nggak usah kesal," ledek Krisna. "Nih bawa makan ini saja." Ia serahkan sepiring singkong goreng ke hadapan Adiba. Ada saos sambal terasi sebagai cocolan. Krisna duduk sembari mencomot singkongnya. "Enak, Diba. Aku rasa gorenganku pas kali ini. Nggak ada yang mentah dan gak ada yang gosong." Adiba tidak bicara apa pun, ia mengambil sepotong lalu mengunyah singkong itu sambil bertumpu dagu di lutut. Krisna mendadak berdiri lagi. "Oh, kelupaan. Aku bikin kopi dulu bentar. Cocok buat udara dingin-dingin begini." Ia ke meja dapur, mengambil gelas kopi lalu mengisinya dengan bubuk kopi hitam dan gula pasir. "Kamu mau juga, Diba?" "Tidak usah," jawab Adiba tegas. Ia makan singkong saja. Krisna kembali menikmati singkongnya bersama segelas kopi hitam panas. Kopi itu sangat alami sehingga memberikan efek yang sangat kuat. Duduk dan tidak melakukan aktivitas apa pun, membuat tubuh Krisna bereaksi bersemangat. Ia kepanasan dan jantungnya berdebar-debar sehingga Krisna melegakan diri dengan meluruskan kakinya dan mengembuskan napas keras. "Wuaaah ...." Lalu ia terpaku melihat gundukan besar memuncak di selangkangannya. Aduh, little Krisna dia mengacung! "Ehhehe, anu ...." Krisna beringsut hendak menyembunyikan pertanda itu, akan tetapi ia terlambat. Adiba terdiam memandanginya. Memandangi Little Krisnanya. Mata gadis itu mengerjap-ngerjap gelisah, kemudian ia berdiri dan buru-buru menjauh. "Aku akan ke kamarku. Aku mau tidur." "Hei, Adiba, tunggu!" Krisna ingin menghentikannya karena ini tidak seperti yang gadis itu bayangkan. Ia bisa mengendalikan kekerasan si Little Krisna. Are you sure, Kris? Pintu kamar gadis itu tertutup dan terdengar suara kuncinya diputar dari dalam. Krisna menepuk wajah tampan nelangsanya. "Damn, Kris! Kamu pasti membuatnya ketakutan ...." Ia lalu menekan-nekan makhluk yang mengeras itu. "Oh, c'mon, guys! Jangan di saat seperti ini. Aku tidak bisa menyerang Adiba. Dia belum sah jadi istri aku," pelasnya, tetapi makhluk itu tidak mau bekerja sama. "Aiiih, kenapa jadi begini?!" Krisna kelimpungan dan bangkit dari lantai lalu melangkah mondar-mandir tidak karuan dalam rumah sambil memijat keningnya sementara puncak di balik celananya menunjuk ke depan terus menerus. Jika tidak turun hujan, ia bisa keluar sebentar, lari-lari mengitari halaman. Namun, cuaca tidak memungkinkan. Krisna ke kamar lalu melakukan sit -up dan push-up sampai puluhan sesi untuk menguras energinya. Ia akhirnya tepar dengan peluh bercucuran, tetapi Little Krisna tidak juga menunjukkan tanda-tanda penurunan gairah. Krisna melirik jam ponsel sudah pukul 00.06, semakin malam justru pikirannya semakin liar. Krisna merengek-rengek sebal sendiri di pembaringannya. Kemudian ia teringat suruhan Dokter Syamsu agar berdoa meminta petunjuk mengenai permasalahannya. Ia sigap bergerak bangun dan menuju belakang rumah. Meskipun udara sangat dingin dan air wudhu seperti air es, Krisna menyelesaikan wudhunya. Ia kembali ke kamarnya dan melaksanakan salat istikharah. Alhamdulillah nafsunya terkendali dan ia mendapatkan ketentraman hati yang dicarinya. Ia mantap menikahi Adiba Farhana. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD