Part 5

755 Words
”Sepertinya di sini ada hantu, Ma," rengek Ica, wajahnya tampak ketakutan. "Ngaco, kamu!" Mama menepis tangan Ica yang akan memegang tangannya. "Kalau bu-bukan, mana mungkin Mbak Rania gak ada di sini?" ucapnya sambil melihat seisi kamar dengan tatapan takut. "Dia pasti ada di sini, mana ada suara tanpa ada wujudnya," suara Mama juga terdengar gemetaran. Aku hanya diam. Ada rasa aneh, antara percaya dan tidak. "Nah, itu maksudku," jawab Ica membenarkan. Mama dan Ica mulai gemetar, berbeda dengan aku yang justru semakin curiga kalau Raya sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui. "Ayo kita keluar, Ma?" Ica terus menempel pada Mama. "Bentar dulu, kita harus mencari perhiasan Rania dulu." Mendengar kata perhiasan, aku langsung menatap Mama untuk mendapatkan jawaban. Meskipun aku tidak suka sama Rania karena tidak pernah memperhatikan Mama dan Ica, tapi aku juga tidak ingin merampas apa yang tidak sepantasnya. "Maaf, Riko. Tapi maksud Mama, biar kita saja yang mengamankan. Jangan dia. Takutnya nanti dijual, kan dia sudah gak kerja," jelas Mama masuk akal dan bisa diterima. Aku segera mencari dimana letak dan keberadaan kotak perhiasannya. Tapi setelah mencari beberapa jam dan mengobrak-abrik semuanya, tetap masih tidak ketemu. "Sepertinya dugaan Mama benar, kalau Rania sudah menjual perhiasannya," ucap Mama mantap. "Mama benar, karena selama ini aku tidak pernah memperhatikannya sedikit pun," jawabku pasrah. "Sudah Mama katakan dari dulu, kalau dia itu bukan dari keluarga baik-baik. Dia pun sikapnya tidak akan jauh dari pohonnya," ucap Mama greget. "Mereka itu menikahkan Rania sama kamu karena kita kaya dan kamu mapan, tentunya seorang manager yang punya kekuasaan. Mama sudah menduga dari awal kalau orangtuanya mata duitan," lanjut Mama geram. Prang.... Belum sempat aku merespon perkataan Mama, suara benda pecah langsung mengalihkan fokus kita. "Kalian boleh hina aku, tapi jangan orangtuaku. Memangnya kalian siapa, sampai berani menghina orang tuaku, hah?" teriak Rania. Suaranya menggelegar. Mama dan Ica langsung berlari ke arahku, mencari perlindungan di belakangku. Darimana Rania datang? Bukankah dari tadi di sini kosong, tidak ada orang sama sekali, kan? "Lihatlah dia, Riko! Setiap harinya selalu terlihat mengerikan seperti ini," lagi-lagi Mama mengadu. Rania memang sudah keterlaluan. Bagaimana bisa menakut-nakuti kami? "Ya, kau benar mama mertuaku tapi sayang tukang ngafu. Aku memang mengerikan, tapi itupun karena kalian sudah menghina orangtuaku!" ucapnya lagi, lalu tertawa. Mengerikan. Langkah Rania mulai mendekat, dia berusaha untuk menyerang Mama dan Ica. "Kemarilah mama mertuaku, Sayang!" Rania mencoba untuk mendorong Mama, tapi aku segera menjauhkannya. Sekarang, dia mencoba untuk mendekati Ica. "Arghhh!" Ica berteriak kencang karena rambutnya berhasil Rania jambak. "Beraninya kau menghina orangtuaku, wahai gadis kecil. Apa yang kau punya sampai berani seperti itu, hah?" Berkali-kali Rania menarik rambut Ica. "Lepaskan adikku, Rania! Dia tidak bersalah!" sebisa mungkin aku melepaskannya dari Ica, tapi tenaganya sangat kuat. "Kau pikir aku tidak akan berani sama dia karena adikmu, suamiku? Kau salah besar. Selama dia tidak bisa menutup mulutnya, aku akan memberikan pembelajaran yang berharga untuknya. Hahaha." Gelak tawa Rania terdengar nyaring, dia seperti sudah tidak waras. Untunglah Ica berhasil melepaskan diri berlari ke kamarnya dan menguncinya dari dalam. Aku juga segera menjauhkan Mama dari Rania. Melelahkan. *** "Kalau kerja itu fokus, Riko!" Bara menatapku serius. "Aku enggak bisa tenang." "Kenapa lagi?" "Ini semua gara-gara Rania!" ucapku kesal. "Ada apa dengan Rania?" Bara tidak percaya. "Istri cantik dan pintar begitu, tidak mungkin membuat masalah." "Justru karena dia pintar, aku jadi semakin takut. Kemarin baru saja kejadian hal yang membuatku tidak bisa tenang meninggalkan Mama dan adikku," jelasku. "Kamu terlalu berlebihan, Riko. Aku tahu betul siapa Rania." Bara melempar tatapan curiga. Aku sudah tahu kalau Bara pasti tidak akan percaya. "Itu benar, Bar. Aku menyaksikan sendiri dengan kedua mataku." "Riko, Riko. Harusnya kamu tahu, apa yang terlihat oleh mata bukan berarti kebenarannya. Kamu hanya perlu percaya dan percaya pada pasanganmu." "Percaya? Mana bisa. Justru setiap waktu, Rania membuatku semakin khawatir dan tidak bisa tenang." "Apa yang terjadi?" "Rania kemarin mendadak hilang kendali, dia berusaha menyerang Ica dan Mama." Dengan berat hati, akhirnya aku menceritakan semuanya. "Tahu enggak penyebab Rania seperti itu?" "Dia memang begitu." "Harusnya kau jangan dulu menikah jika tidak mau memahami sikap pasangan, teruslah berada di ketek mamamu. Aku yakin kamu tidak akan ada perubahan dan tidak akan ada wanita yang mau menjadi istrimu," ucapnya menyakitkan. "Kau!" "Jangan salahkan aku, tapi ini kenyataan. Aku tidak menyangka kalau otakmu begitu dangkal dalam hal ini dan aku sangat kagum Rania mau bertahan denganmu beberapa bulan ini," jelasnya panjang. "Malu gak kamu di begitukan sama istri?" ucapnya lagi kemudian berlalu tanpa mempedulikan bagaimana jawabanku ataupun kejelasannya. Ya, malu lah. Padahal dalam situasi ini Rania memang salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD