Part 7

1021 Words
- Saat Istriku Tak Lagi kerja - Pura-pura Dipecat - Seluruh Gajiku Untuk Mamaku Bukan Istriku “Aku sendiri juga masih bingung, tidak bisa membedakan yang tulus dan modus. Apalagi apa itu air mata buaya." Riko. *** "Kenapa matamu tadi? Kelilipan?" tanyaku pada Rania, ada rasa gengsi jika aku harus mengatakan 'nangis,' jadi aku memilih jalur aman. "Enggak, aku hanya sedikit keberatan dengan cara Mama melarangku untuk tidak memasang pintu," ucapnya lemah. Memang aku tidak terbiasa melihatnya seperti ini. Biasanya juga berani dan tidak jarang dia berbicara dengan cara membentak. Baik itu sama Mama, apalagi Ica. Jadi aku malah heran kalau Rania banyak diam atau mengalah. "Ya, sudah, Mas mohon kamu bisa ngalah sama Mama. Walau bagaimanapun umurnya sudah tua, dan ibu dari suamimu. Jadi kamu harus bisa menghargainya," jelasku lagi. Namun kali ini, aku menjelaskannya secara perlahan. Semoga saja dia mengerti. "Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, Mas," jawabnya singkat, padat, dan jelas. Hish, ya sudahlah, mungkin dia butuh waktu untuk menyendiri. "Kenapa pintunya dipasang lagi?" tanyaku sambil santai dan menatap pintu yang kini berubah lebih tebal dan terlihat sangat kokoh. "Aku butuh waktu sendiri, jadi terpaksa aku pasang pintu lagi." "Waktu sendiri?" aku mengerutkan kening. "Iyalah. Meskipun aku sudah tidak bekerja, tapi aku tetap butuh waktu untuk mengistirahatkan diri," ucapnya tanpa melihatku sama sekali. Ketika kembali teringat kalau Rania sudah tidak lagi bekerja, aku menjadi malas untuk mengobrol baik-baik dengannya. Ngapain juga tadi aku bela dia di depan mama, padahal biarkan saja. Nyesel. "Harusnya kamu itu jangan mengundurkan diri," ucapku sambil menghela napas panjang. "Kenapa, Mas?” kedua matanya menatapku sempurna. "Karena kalau kamu kerja, kamu bisa bantu keuangan kira." "Oh, begitu. Aku cuman enggak enak sama Ibu dan Ica, kan katanya mereka jarang aku perhatikan. Jadi aku sengaja berhenti untuk bisa melayani mama dan Ica, meskipun sekarang mereka yang jarang di rumah," jelasnya. Kini ini, dia yang beberapa kali menghela napas panjang dan aku tidak bisa lagi mengatakan apapun. *** "Riko!" Pagi-pagi sekali, mama sudah berada di pintu kamar. Untung saja aku hafal dengan suaranya, kalau tidak, mungkin mama akan menunggu lama di depan kamar yang dingin. "Kenapa, Ma?" tanyaku setelah pintu terbuka. Bukannya menjawab, Mama malah masuk ke dalam kamar begitu saja. Tanpa berucap satu patah kata pun, sampai ia berada di dalam kamar. Matanya mengitari kamar, seolah ada yang sedang dicari. "Kamu sudah tanya Rania belum, dibawa kemana perhiasan itu?" ucapnya setelah diam lama. Aku hanya menggeleng. "Cepatlah kamu tanyakan! Jangan mengundur waktu lagi, kalau sudah keburu dijual, bisa bahaya," ucapnya perhatian. Syukurlah, ternyata mama masih memikirkan aku. "Iya, Ma. Nanti aku tanya Rania." "Jangan nanti-nanti! Setelah hilang, baru tahu rasa." Mama menatapku tajam, tidak lama menatap Rania yang masih meringkuk di atas tempat tidur. "Bilang sama istrimu, jangan pelit-pelit sama kita," pesannya lagi, "Iya, Ma. Sekarang masih pagi, Mama istirahat lagi saja." "Kamu ngusir Mama? Ingat, ya, Riko! Surga laki-laki itu meskipun sudah menikah tetap berada di bawah kaki ibunya," ucapnya emosi. "Maksudku, biar Mama bisa istirahat panjang." aku menghela napas panjang. Bisa-bisanya mama punya pemikiran seperti itu. "Meskipun surga laki-laki ada pada ibunya, tapi tetap saja kewajiban utamanya adalah membahagiakan istri," celetuk Rania. Ketika aku lihat ke atas kasur ternyata sudah kosong dan Rania sedang duduk cantik di depan meja riasnya. "Kamu! Jangan ngajarin anak saya yang tidak-tidak." mama menajamkan tatapannya, seolah ingin melahap Rania seketika. "Itu benar, Ma." Rania kini menatapku. "Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan pada Pak Ustadz, atau Pak Kiyai, Mas," ucapnya. "Tapi jangan kelamaan, karena bisa saja saat kau melakukannya, aku sudah tidak berada di sampingmu," lanjutnya. "Apa maksudnya tidak ada di sampingmu?" mataku membulat sempurna ketika ia mengatakan 'sudah tidak ada di sampingmu'. Apa mungkin dia akan memintaku untuk menceraikan? Tidak. Meksipun Rania sering membuatku kecewa, tidak mungkin bagiku untuk menceraikannya. "Kau pasti sudah tahu jawabannya, Mas." "Putraku tidak akan ditinggalkan, tapi dia akan meninggalkan," lagi-lagi mama bicara, membuatku tambah pusing saja. Dengan terpaksa, aku meminta mama untuk keluar dari kamar ini. Meksipun beberapa kali melawan, tapi untunglah aku berhasil merayunya dan kembali mengunci pintu. "Jelaskan yang tadi!" titahku padanya. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Karena aku juga tahu kalau hatimu sudah yakin aku akan melaksanakan ini,” ucapnya tegas. "Kita memang sering bertengkar, tapi aku juga tidak berharap bisa bercerai denganmu." aku menatapnya lekat dan romantis. "Sana jauh-jauh, kamu bau," ucapnya membuat keromantisan ini seketika membeku. Dengan terpaksa, aku langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Membuatku kesal saja. *** ”Sekarang apa lagi? Dari tadi enggak fokus!" kali ini bukan Bara mengataiku, tapi bos. Pak Dirga. Bos muda yang sudah berkepala tiga, tapi masih belum berkeluarga. "Maaf, Pak, biasa masalah rumah," jawabku malu. Pasti setelah ini aku akan dianggap orang yang tidak bisa membedakan antara masalah rumah dan pekerjaan. "Bedakan dong, Riko. Kalau masih kepikiran soal rumah ketika di kantin, sebaiknya kamu jangan dulu menikah," cibirnya. "Maaf, Pak." Pantesan belum nikah-nikah, ternyata mulutnya sangat pedas. Setelah jam istirahat, aku dan Bara di panggil ke ruangannya Pak Dirga. "Kenapa sih kita dipanggil?" tanyaku pada Bara. "Kagak tau, kan kamu yang selalu bengong di jam kerja. Kalau aku, mana pernah." Benar juga sih, apa jangan-jangan mau memberiku surat peringatan lagi? Ah, jangan sampai. "Riko!" panggilnya padaku. "Ya." "Kenapa kamu bengong terus kalau kerja dan selalu mencampur adukkan masalah?" "Em, maaf, Bos. Saya begini karena kepikiran istri saya terus." Terlihat bibir Pak Dirga tersenyum tipis, entah hanya penglihatanku atau nyata. Tapi syukurlah, berarti dia tidak marah. Selama bekerja hampir lima tahun, aku jadi tahu Karakternya. "Emang istrinya kenapa? Jangan sama laki-laki lain atau sering berkirim pesan?" tanyanya lagi. Bara menatap heran ke arahnya atas pertanyaan itu, tapi aku tidak. Rasanya tetap biasa saja. "Tidak, istri saya tipe wanita setia. Dia tidak pernah seperti itu," jawabku yakin. "Enggak usah dijawab padahal," bisik bara. "Terserah aku, dong." "Jangan salahkan aku jika hal yang tidak diinginkan terjadi," bisiknya lagi. Hal yang tidak diinginkan? Apa, sih, maksudnya? ** Yuhu, sepertinya saingan Riko sudah datang, nih? Gimana setuju gak kita panas-panasin si Riko dengan Dirga? Terimakasih sudah baca sampai part ini, ya. Yuk Subscribe sebelum baca dan tinggalkan jejak setelah baca. Kalau cepat rame, nanti cepat up juga, ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD