Bab 4.

1994 Words
Jenita masih terjaga meski jarum jam sudah menunjukkan pukul dini hari. Wanita itu sama sekali tidak merasakan kantuk, meski seharian tadi tidak mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak. Sepulang dari makam Anita—mamanya, Jenita memang kembali ke hotel tetapi ia sama sekali tak bisa tertidur meski sudah berusaha untuk memejamkan mata. Pikirannya terlalu penuh. Tak disangka, menjalani hari-hari di sekitar orang penyebab lukanya, membuatnya gusar. Dan waktu sore harinya ia habiskan untuk membaca buku, setelah sebelumnya Jenita menghubungi keluarganya di Sydney. Jenita mengerang kesal. Tubuhnya merasakan lelah, ia ingin sekali untuk tidur namun usahanya berkali-kali gagal. Banyak hal di dalam kepalanya yang membuat Jenita terus memikirkan berbagai kemungkinan. Beranjak dari posisi berbaring, Jenita memilih menuju pantry di ruangan terpisah dari kamar perawatan Saiful. Tangannya terulur membuka lemari penyimpanan. Mengambil satu sachet kopi instan lalu menyeduhnya perlahan. Gerakannya pelan kala mengaduk kopi hitam pekat tersebut. Sebuah tindakan yang mengingatkannya pada sebuah peristiwa yang sudah membuat hatinya bernanah.  Saat itu. Jenita pernah memergoki mamanya, tengah mengaduk kopi dengan tatapan kosong menatap pada cangkir kopi di hadapannya. Hingga tanpa sadar kopi terus teraduk dan tersenggol lantas terjatuh. Pecahan kacanya melukai kaki Anita, melainkan mamanya justru tertawa terbahak-bahak. Jenita mengerti, itu adalah tawa yang sarat akan kesakitan. Karena beberapa menit sebelumnya mamanya bertengkar hebat dengan papanya. Tawa yang digaungkan mama Anita kala itu tidak lain adalah sebuah pengalihan akan rasa sakit yang teramat sakit yang dirasakan sang mama. Jenita memejamkan matanya. Berusaha mengempaskan kenangan buruk yang tiba-tiba melintas di kepalanya. Tidak boleh. Jenita menyugesti diri untuk tidak larut dalam sakit hati yang terus menderanya. Ia harus fokus pada kesembuhan sang papa, agar ia bisa segera kembali ke Sydney dan menjalani kehidupannya secara normal kembali.  Dan mengenai sebuah kemungkinan yang kelak terjadi jika pada akhirnya sang papa sadar atau bahkan berakhir di pemakaman, Jenita tidak ingin terlalu memikirkan. Ada Sebastian Nugraha, yang pasti akan siap sedia membantunya mengatasi segala hal. Seperti yang selama ini lelaki itu lakukan padanya. "Mbak Jen belum tidur?" Suara serak Tian sedikit mengejutkan Jenita. Wanita itu lantas berbalik dan mendapati Tian sedang berdiri menyandarkan bobot tubuhnya pada pintu, memandang lurus ke arahnya. "Saya belum ngantuk, Bang," jawab Jenita. Netranya tanpa sadar memindai penampilan Tian malam ini yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih tulang dilengkapi celana training panjang. Membuat lelaki berumur 41 tahun itu terlihat jauh lebih muda dari usianya. "Hei." Suara Tian mengalihkan Jenita dari lamunannya pada lelaki itu. "Kalau begitu kita ngobrol di depan saja. Saya temani Mbak Jen menghabiskan kopi.” Tian mengulas senyum tipis. "Bukannya Abang harus ke kantor besok," kata Jenita sebagai penolakan secara halus atas keberatannya ditemani Tian. Sungguh ia ingin menyendiri, menghabiskan secangkir kopi dengan melamun atau bermain ponsel. Jenita sedang tidak ingin berdebat atau berbicara hal-hal yang terlampau berat. Dan keberadaan Tian justru akan memperburuk suasana hatinya yang sejak dua hari ini kacau balau. Alis Tian terangkat sebelah disertai kekehan pelan. "Mbak Jen keberatan saya temani?"  Jenita berdecak kesal karena Tian mampu membaca isi kepalanya. Wanita itu lantas berbalik untuk mengambil cangkir kopinya. "Tadinya saya ingin sendirian menghabiskan kopi ini," terangnya masih memunggungi Tian. "Kenapa?" "Karena saya ingin sendiri." "Apa waktu selama dua belas tahun belum cukup untukmu menyendiri?" Pertanyaan macam apa itu? Tubuh Jenita sontak kembali menghadap Tian. Kali ini sorot tajam ia berikan pada Tian. Sindiran dari lelaki itu sedikit melukai egonya. Tahu apa lelaki itu tentang dua belas tahun yang dilewatinya dengan tertatih. Tidakkah lelaki itu lupa. Bahkan untuk menghidupi dirinya di sana, Jenita hampir saja menjual diri? Jika saja paman dan bibinya tidak menggagalkan rencananya tersebut dan mengabari Tian. Lalu esoknya Tian datang dengan amarah dan setumpuk uang untuk membantu perekonomian Jenita. Ini bukan hanya tentang rasa sakit karena diabaikan oleh seorang ayah. Lebih dari itu. Jenita sudah merasakan kepiluan saat sang mama masih bernafas. Lagi-lagi kenangan tentang tangisan sang mama yang sedikit demi sedikit memupuk kekecewaan akan sikap sang papa yang lebih condong pada 'perempuan' itu dan juga Diana—anak mereka, membayangi Jenita. Hey! Perlu diingat. Bahwa Tian tidak berada di sisinya selama dua puluh empat jam. Jadi, hanya bagian terkecil dari kesakitannya yang diketahui lelaki bermata sipit itu. "Jika Abang pikir karena bantuan Abang untuk saya dan Mama bisa membuat Abang berbuat semena-mena pada saya, maaf sekali ... Abang salah." "Jenita ...." Jenita terkesiap ketika lelaki di depannya itu menyebutkan namanya tanpa embel-embel 'Mbak'. Terlebih suara itu lebih seperti bisikan lirih sarat keputusasaan. "Maaf, saya tidak bermaksud ...." "Tidak." Jenita mengangkat kelima jarinya. Meminta Tian untuk menghentikan ucapannya. "Abang tidak perlu minta maaf. Abang benar, sudah terlalu lama saya menyendiri." Jenita tertawa getir. Menertawakan kemalangan dirinya sendiri. "Dua belas tahun. Seharusnya waktu sebanyak itu cukup untuk menyembuhkan luka yang saya peroleh dari mereka. Tapi sayangnya, Bang ... bahkan sedikit pun, luka itu masih utuh. Sakitnya bahkan masih bisa saya rasakan hingga sekarang, ketika bertemu kembali dengan mereka pembuat luka di sini." Jenita berkata dengan tenang, menunjuk dadanya. Mencoba menstabilkan suaranya agar tidak bergetar karena menahan tangis yang hampir saja pecah. "Jenita ...." "Saya akan tidur." Jenita meletakkan cangkir kopi yang sudah digenggamnya. Keinginan mencicipi cairan berwarna pekat sedikit manis itu menguap begitu saja setelah pembicaraan singkatnya dengan Tian yang entah mengapa kembali mengaduk-aduk emosinya. Lalu tanpa berkata apa pun lagi. Jenita melangkah pelan menjauhi kitchen island. Hingga langkahnya semakin dekat dengan Tian, wanita itu berhenti sejenak untuk menatap wajah lelaki itu. Wajah sepasang manusia berlawanan jenis itu saling memandang dalam diam. Jenita dengan kaca-kaca yang kini melapisi maniknya, membuat Tian dihantam gelombang rasa bersalah. Lelaki itu mengutuk bibirnya yang entah mengapa begitu mudah mengucapkan kata-kata yang menyinggung Jenita. Demi Tuhan, Tian tidak bermaksud untuk mengungkit luka atau apa pun yang berkaitan dengan kisah pilu Jenita. Sesungguhnya jauh di palung hatinya sana, lelaki itu ingin Jenita bisa mengikhlaskan segala sesuatunya yang berkaitan dengan masa lalu wanita itu. Ia ingin Jenita melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang bernama dendam dan sakit hati. "Maafkan saya," ucap Tian dengan tulus. Lama Jenita bergeming, dan akhirnya mengangguk pelan. Langkahnya sedikit terseok menjauhkan diri dari Tian, menuju sofa bed yang menjadi tempat tidurnya selama di rumah sakit. Tian meraup wajahnya lalu meremas rambutnya dengan kencang. Ia kembali menyesal akan kelancangan mulutnya. Tetapi untuk malam ini, ia tidak akan bersikeras meminta maaf pada Jenita. Ia akan membiarkan Jenita untuk menenangkan diri, selagi menemani Saiful Hirawan yang masih terbaring tak berdaya. Dengan langkah berat, Tian perlahan meninggalkan pantry. Berusaha untuk tidak menoleh pada tubuh yang terbaring memunggunginya. Ia pusatkan pandangannya pada Saiful—sang atasan yang sama sekali tidak terusik dengan obrolan dirinya dan Jenita tadi. Tangan besar Tian terulur hendak membuka gagang pintu yang dingin karena efek pendingin ruangan, saat rungunya menangkap isakan kecil dari belakang punggungnya. Langkahnya terhenti seketika. Tian menoleh ke titik suara dan mendapati bahu Jenita yang tengah bergetar hebat. Relung hati lelaki itu berdenyut nyeri menyaksikan wanita yang ia tahu benar telah melewati banyak kekecewaan di hidupnya, tengah menangis di tengah sunyinya malam. Tanpa memikirkan apa pun lagi, Tian melangkah cepat menuju sofa. Dengan sekali sentakan, ia menarik tubuh ramping Jenita yang bergetar karena tangis ke dalam pelukannya. Jenita sendiri tidak menolak dekapan Tian. Wanita itu masih saja mengeluarkan bulir-bulir bening yang kini justru membasahi baju Tian. Lelaki yang kini duduk bersama Jenita sembari mengusap lembut surai wanita itu hanya mampu merapatkan bibir. Tian tidak ingin kembali salah bicara yang mungkin akan kembali melukai Jenita.  Sementara tanpa dua orang itu sadari, di balik pintu sana, Elang hanya mampu menatap kedekatan wanita di masa lalunya dengan Sebastian yang tak lain adalah orang kepercayaan Ayah mertuanya dengan perasaan remuk redam. Mendengar tangisan Jenita berhasil mengoyak sisi hati lelaki itu. Sebab, karena keegoisanlah, Jenita harus merasakan kepedihan tak berujung. . . Tian masih memandangi wajah Jenita yang tengah tertidur dengan damai. Wanita itu akhirnya tertidur setelah meluapkan tangisnya beberapa saat. Jemari Tian perlahan terulur menuju helaian surai yang menutupi bagian kening Jenita. Dengan lembut lelaki itu menyingkirkannya di balik telinga. Lantas dengan sangat lembut, jemarinya menyusuri pipi yang tadi bersimbah air mata. Sebuah perasaan tak kasat mata kembali menyerang lelaki itu, setelah sekian lama ia mencoba menguburnya. Rupanya saat kulit mereka bersentuhan secara langsung, membuat perasaan asing tersebut kembali menjalari hatinya. Tian memejamkan mata. Dengan segera menarik kembali tangannya yang sejak beberapa saat menyentuh pipi Jenita. Dengan gerakan tergesa ia menuju pintu untuk meninggalkan ruangan tersebut. Tian tidak ingin larut dengan perasaannya yang dengan lancang hadir di tengah kerumitan permasalahan keluarga Hirawan. Rahang Tian mengeras mendapati sosok Elang Bimantara sudah ada di ruang tunggu pasien begitu ia keluar dari kamar perawatan Saiful Hirawan. Tian tidak lupa pesan Jenita yang tidak ingin bertemu dengan Elang dan lelaki itu tentu saja akan menuruti apa pun permintaan Jenita. Meski dalam hati kecilnya, ia ingin Jenita menyelesaikan masa lalunya, agar mampu melewati hari-hari ke depannya dengan damai. "Bang." Elang berdiri menyapa Tian. Pria itu membuka matanya begitu mendengar derit pintu terbuka dan menampilkan sosok Sebastian yang memandangnya dengan dingin. Tian mengangguk sebagai balasan sapaan Elang. Lalu tangannya terulur ke depan mempersilakan Elang untuk duduk kembali. Keduanya kini duduk bersisian namun sedikit berjarak. Helaan napas Elang yang berat membuat Tian menolehkan kepalanya pada lelaki itu. Keduanya berpandangan sejenak sebelum saling melempar pandangan ke arah lain. "Saya ...." "Ada harga yang harus dibayar mahal atas apa yang sudah Mas Elang lakukan pada Jenita." Tian menghentikan ucapan Elang yang belum sepenuhnya diucapkan. "Jenita tidak ingin bertemu dengan Mas Elang juga Mbak Diana," ujar Tian dengan memberi tekanan pada kata 'tidak ingin bertemu'. Elang kembali mengembuskan napasnya. "Saya paham, Bang.” Lelaki itu menyadari kesalahannya di masa lampau tidak mudah untuk dimaafkan. Tetapi ia ingin memperbaiki hubungan yang telah ia rusak. Meski tidak mungkin sedekat dulu, karena ia sendiri telah beristrikan Diana, Elang ingin hubungannya dengan Jenita membaik. Belasan tahun lalu, Jenita pergi. Lenyap. Tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan wanita itu. Termasuk Saiful Hirawan. Elang dihantui rasa bersalah. Bayangan pertemuan terakhirnya kala itu dengan tangis Jenita memilukan membuat Elang selama belasan tahun pula dihantui rasa bersalah. Elang mengakui dirinya berengsek. Mendekati dua gadis sekaligus yang masih memiliki ikatan darah. Tetapi ia bukan lelaki tak berperasaan, kala menyaksikan tangis dari wanita yang sudah mengisi hari-harinya dengan tawa, pergi tanpa kabar. Ia pun menyesal sudah menjadi berengsek, meski rasa sesal itu tidak bisa merubah apa pun yang sudah terjadi di masa lalu. "Maka dari itu, sebaiknya Mas Elang meninggalkan tempat ini sebelum Mbak Jenita bangun dan mendapati Mas Elang berada di sini." "Saya hanya ingin memperbaiki apa yang sudah saya rusak di masa lalu.” Elang bersikukuh. Seringai kecil muncul di bibir Tian. Matanya menatap lekat pada sosok lelaki yang tentu saja lebih muda darinya itu. Ia tak habis pikir dengan tindakan Elang yang berkeras hati ingin bertemu dengan Jenita. Wanita yang sudah dicampakkannya layaknya sampah.  Untuk memperbaiki hubungan? Tian tergelak mendengar kalimat itu. "Bang. Setidaknya biarkan saya di sini sampai besok pagi." "Jangan menjadi lelaki egois." Tian berkata dengan wajah serius. Mode tak ingin dibantahnya kembali terpasang sempurna di wajah tampannya yang sudah sedikit dihiasi keriput-keriput halus. "Dulu bukankah mas Elang yang sudah membuang Mbak Jenita? Jadi untuk apa sekarang menginginkan hubungan baik lagi dengan perempuan yang sudah Mas Elang buang?" "Itu bukan urusan Abang." Elang tidak terima. "Abang jangan terlalu ikut campur mengenai masalah saya dengan Jenita." "Tentu saya perlu ikut campur, karena Jenita adalah tanggung jawab saya." Elang menyeringai lebar. "Jadi apakah cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan itu rupanya masih bertahan sejak dulu hingga kini?" "Ini bukan tentang perasaan saya. Ini tentang siapa yang membawa Jenita pulang." "Ah tentu saja, hanya Bang Tian yang bisa membawa Jenita pulang ke Indonesia. Karena selama ini Abang yang turut andil menyembunyikan Jenita dari kami semua, bukan?" Elang bertanya sinis. Asumsinya kali ini yakin tidak salah. Jika tiba-tiba Jenita muncul, dan hubungannya dengan Sebastian Nugraha begitu baik, tentu saja laki-laki itu berperan penting dalam persembunyian Jenita selama ini. Ah, mengapa hal itu tidak terpikirkan sejak dulu? "Benar," Tian menjawab dengan tenang. Terlalu tenang bagi orang yang mengakui sebuah kesalahan, bagi Elang dan tentu saja Saiful Hirawan. "Karena saya ingin melindungi Jenita dari orang-orang yang sudah menyakitinya."   Bersambung                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD