3. Sihir

1015 Words
Sihir, guna-guna, santet dan ilmu hitam, suatu hal yang memang sudah saling berkaitan. Banyak mediasi untuk menyihir seseorang. Banyak juga ilmu untuk guna-guna dan kesakitannya. Beda cara, beda pula efeknya. Mengguna-guna orang bukan hal yang sulit bagi Sulastri. Dia sudah banyak menguasai berbagai ilmu hitam. Sulastri tidak akan murka kalau tidak ada yang memgusiknya. Tapi, anak ingusan itu sudah mengibarkan perang padanya. Siapapun yang menyatakan perang, akan Sulastri ijabanin sampai titik terakhir. "Yaksa Andira. Rupanya kau memang harus diberi pelajaran!" ucap Sulastri terkekeh kejam. Tidak akan ada ampun untuk pengganggu. Sulastri merasa tak pernah mengganggu anak ingusan itu. Tapi, anak itu malah mencelakainta dengan melempar bawang dan sapu ijuk. Rupanya memang Yaksa sengaja ingin memancingnya. Bukankah lebih baik pemuda itu tidur manis di rumah, ketimbang berburu kunyang yang tidak ada faedahnya. Tentang sihir, banyak macam-macam sihir yang dikuasai Lastri. Mulai sihir tenung, sihir burung, sampai sihir suwuk. Semua mempunyai mantra dan media-media tersendiri. Lastri memilih sihir tenung. Sihir yang terkenal paling ganas diantara sihir yang lainnya. Yang terkena sihir ini, akan muntah darah dan demam berkepanjangan. Bila sang pelaku ingin korbannya meninggal, pelaku harus memecahkan menyan dan membungkus garam dengan kain kafan hingga menyerupai mayat. Saat garam itu diletakkan diatas lilin, maka korban akan mati perlahan. Lagi-lagi tidak mudah melakukannya. Karena ilmu sihir tingkat tinggi, tidak sembarang orang bisa menguasai. Pelaku harus bertapa dan menyiapkan banyak sesajen untuk para roh-roh jahat yang akan membantunya. Lastri harus menyingkirkan siapa saja yang berani mengganggunya. Perempuan itu menyiapkan sajen untuk perantara ilmunya. Dia tak akan membunuh. Tapi, membuat Yaksa menderita dengan panas yang tak kunjung berakhir. Itu akan lebih menyakitkan ketimbang mati tiba-tiba. Mati perlahan dengan rasa sakit, itu yang Lastri inginkan pada Yaksa. Mantra demi mantra Lastri baca. Ia duduk bersila sambil menatap cermin kecil yang ia letakkan di tengah-tengah sesajen. Cermin sangat berguna untuk memanggil roh-roh jahat yang akan membantunya. Semua ilmu guna-guna, pastilah menggunakan bantuan roh jahat yang sukarela mencelakai manusia. Yaksa yang sedang cuci piring, tiba-tiba merasakan perutnya sangat sakit. Ia muntah-muntah dengan hebat. Yang isinya pun membuat Yaksa seketika pingsan. Darah serta belatung mengalir dari bibir Yaksa. Guna-gua Lastri tepat pada sasaran. Kehebantan wanita itu memang sudah tidak diragukan lagi. Sekali mantra keluar dari bibirnya, Yaksa langsung jatuh terkapar. Joyo dan Nainira yang melihat keadaan Yaksa, lantas segera membantu Yaksa bangun. Joyo sudah kebakaran jenggot. Ia sudah ingin memukulkan tongkatnya ke tanah, agar Sulastri hancur berkeping-keping, tapi Nainira mencegahnya. "Bapak jangan aneh-aneh. Emang semua ini gara-gara bapak. Jangan memupuk rasa penasaran Yaksa. Yaksa sendiri yang celaka." ucap Nainira dengan tajam. "Nira, Bapak akan membalas siapapun yang menyakiti Yaksa." ucap Joyo kekeuh. Baginya, ini semua salah Lastri. Joyo hanya memberitahu rasa penasaran cucunya. Bukan bermaksud mencelakainya. "Bapak sendiri yang menyakitinya. Andai Yaksa tidak memancing keributan pada Sulastri. Sulastri juga gak akan dendam sama Yaksa." omel Nainira. "Berjalanlah kearah selatan. Ambil daun bidara tujuh lembar!" titah Joyo yang kemudian pergi. Pria itu kelewat sakti. Tanpa bertanya apa penyebab Yaksa muntah darah, ia sudah tau sendirinya. Hanya dengan melihat air tenang dalam ember. Joyo sudah bisa membaca semuanya. Sulastri dalang dibalik sakitnya Yaksa. Setelah membantu Yaksa masuk kamar. Nainira segera berjalan keluar rumah. Ia mengikuti perintah bapaknya untuk jalan ke selatan. Ia tidak perlu menanyakan lagi sebelah mana daunnya tumbuh. Cukup ia mengikuti ucapan bapaknya untuk menuju ke selatan, pasti daun bidara itu akan ada. "Mau kemana, yu?" sapa Sulastri yang muncul dibalik g**g. Yu adalah panggilan untuk wanita jawa yang umurnya lebih muda. "Ini mau beli sayur." jawab Nainira mencoba tersenyum. Sulastri menatap tajam punggung Nainira yang menjauh begitu saja. Andai dimata Sulastri ada belatinya, punggung Nainira sudah bolong karena tatapan tajam perempuan itu. "Laa illaha illallah.. laa illaha illallah.." Nainira terus berdizkir untuk menghalau kekuatan jahat yang coba bersitubruk dengannya. Fokus Nainira pada jalan terbagi dengan menamengi dirinya sendiri. Dzikir, wirid, sholawat Nainira bacakan untuk memperkukuh pertahannya. Tak ada hal yang lebih mujarab ketimbang doa-doa. Sebenarnya, daun bidara hanya bentuk perantara. Selebihnya, semua karena doa. "Argghhg!" teriak Lastri memegangi dadanya. Inilah saat yang dia benci. Sulastri tak pernah menang melawan Nainira. Nainira terlalu kuat untuk ia kalahkan. Tak satu dua kali Lastri ingin menghancurkan Nainira. Tapi berkali kali. Semua karena Lastri tertarik dengan Yan, suami Nainira. "Bodoh!" maki Nainira kesal. Setelah aura disekelilingnya membaik, Nainira kembali fokus mencari daun bidara. Setelah ketemu, ia mengambil tujuh lembar. Hanya tujuh tidak boleh lebih. Ada pantangan juga dalam mengambil daun itu, yakni jangan sampai merusak daun yang lain. Ambil sesuai kebutuhan dan jangan merusak. Sejatinya, alam juga akan lestari kalau manusia menjaganya. Setelah bangun dari pingsan, Yaksa tak keluar dari kamar mandi. Karena ada cairan yang meronta ingin dikeluarkan. Yaksa tersiksa dengan semua ini. "Yaksa, yang terjadi padamu itu, guna-guna. Roh-roh jahat telah mempermainkanmu." ucap Joyo dari balik pintu. "Kenapa harus aku, Kek?" tanya Yaksa yang sudah tidak kuat. Ia lemas. Seolah energinya disedot habis. "Karna kamu telah mencelakai Sulastri." "Sulastri? Siapa Sulastri kek?" "Kunyang yang kau sakiti tadi malam. " jawab Joyo terkekeh. Seakan apa yang dilakukan cucunya adalah sebuah lawakan ataupun lelucon. "Huuueekkk hueeeek!!" Yaksa muntah-muntah kembali. Malah kali ini lebih parah. "Kek, Yaksa sudah tidak kuat!" keluh Yaksa memegangi perutnya. "Sama seperti jika kau memelihara tuyul. Mereka akan menyusu. Bukan asi yang disedot. Tapi energi. " "Tuyul? " tanya Yaksa. Dalam keadaan parah begini, dia masih sempat-sempatnya mikir tuyul. Dan rasa penasaran itu bangkit tidak tau tempatnya. "Jangan cari tau apapun lagi, Yaksa!" marah Nainira yang baru masuk kamar mandi. "Bapak jangan meracuni otak Yaksa lagi. Sudah cukup Yaksa seperti ini. Kalau bapak ngotot. Nira akan bawa Yaksa ikut bapaknya." ancam Nainira. "Sudah bu, jangan bertengkar!" ucap Yaksa lemah. Nainira menggeret Yaksa untuk duduk diatas diatas jarik. Ia meremas ketujuh daun bidara dan menggigitnya. Nainira mengucap doa-doa. "Buuuhhh!" Nainira menyembur muka Yaksa dengan daun yang sudah dia kunyah. Yaksa diam saja. Hanya mengamati ibunya yang sakti. Samar-samar, Yaksa mendengar suara orang bernyanyi merdu. Nainira menggeram marah. Si kunyang itu ternyata belum menyerah juta. "Bu, suaranya ada lenggam jawa." "Jangan dengarkan apapun, Yaksa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD