3. Baru Berkenalan

1341 Words
Bayu Aksara Ketika aku sedang fokus melihat artikel berita bisnis di layar laptopnya ada permintaan video dari aplikasi layanan konferensi video berbasiskan cloud computing dari akun bernama Jerome Orlando. Aku meraih earphone lalu menyambungkannya ke laptop. “Selamat pagi, Pak Jerome,” sapaku sopan dan penuh hormat. “Pagi Bayu. Sudah makan siang?” balas Jerome. Aku hanya tertawa ringan, kemudian menjawab, “Sebentar lagi, Pak.” Wajar memang sapaan aku dengan balasan Jerome agak sedikit kurang sinkron, karena perbedaan waktu di tempat keduanya berada saat ini. 11:29 in Tokyo, Japan, sementara itu 09:29 Saturday, in Jakarta. Awalnya kami berdua hanya sekadar mengobrol seputar perusahaan, bisnis, dan hal-hal lain yang sifatnya universal. Tidak ada hal-hal berbau privasi dalam obrolan kami. Jerome dan aku memang akrab dan sering sependapat dalam berbagai hal. Namun kalau dalam urusan privasi kami kurang saling terbuka. Terutama aku yang seringnya menjaga jarak. Karena biar bagaimanapun aku adalah seorang bawahan. Sudah sewajarnya aku benar-benar menjaga etika pertemanan dengan seorang atasan. Namun siang ini waktu Jepang, Jerome kurang tertarik membicarakan soal bisnis denganku. Bapak satu anak itu sedang tertarik mengulik soal kehidupan pribadi bawahan, sepertinya. Hal yang sangat jarang bahkan tidak pernah ia lakukan selama memiliki perusahaan bahkan selama hidupnya yang tidak pernah suka mengulik kehidupan pribadi orang lain. “Apa kamu sudah bertemu Dokter Chandra, Bayu?” tanya Jerome memulai aksinya. “Dokter Chandra siapa, Pak?” “Loh, sudah lupa aja. Yang waktu itu saya kirim lewat email.” Aku mengangguk paham. “Belum, Pak. Karena sampai detik ini staf saya belum mengkonfirmasi soal kedatangan Dokter Chandra." "Dia bilang sudah mengurus persiapan keberangkatannya dari awal bulan yang lalu. Semoga saja dia tidak lupa kalau sedang mengurus visa dan lain sebagainya." "Maaf, Pak. Sepertinya Pak Jerome memberikan perhatian lebih pada dokter itu. Maaf kalau saya salah." Jerome tertawa. "Untuk apa saya tersinggung. Dia malaikat berwujud manusia versi saya. Kamu pasti akan jatuh hati padanya." "Loh, gimana, Pak?" tanyaku tidak memahami arah pembicaraan atasannya ini. "Sepertinya sinyalnya kurang bagus. Jadi penyampaian saya kurang kamu pahami dengan baik." "Pak Jerome bisa saja. Jadi gimana? Dokter Chandra jadinya ke sini kapan?" "Nanti sekretaris saya yang mengabari kamu. Intinya perlakukan dia dengan baik. Dia mudah tersinggung dan sedikit bertemperamen tinggi, jadi hati-hati kalau berbicara dengannya. Jangan sampai salah bicara. Selebihnya dia orang baik dan tulus." "Pak Jerome seperti sedang merekomendasikan seseorang supaya bisa diterima bekerja menjadi staf kantor." "Bayu!" "Maaf, Pak. Saya hanya bercanda. Akan saya ingat dengan baik semua yang dikatakan Pak Jerome soal dokter itu." "Namanya Dokter Chandra, Bayu. Bukan dokter itu." "Ah, iya. Akan saya ingat juga soal itu. Dokter Chandra ya." Lalu panggilan video diakhiri lebih dulu oleh Jerome. Sementara itu aku kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda karena harus menerima panggilan video dari Jerome. ~~~ Candralekha Setelah melalui proses yang cukup panjang karena beberapa kali batal, akhirnya aku ditemani oleh sahabat karibku, Syfo, berangkat juga ke Jepang. Kami berdua punya tujuan yang sama ke negara Matahari Terbit itu. Meski sama-sama ingin healing tapi hal yang butuh disembuhkan beda-beda. Kalau aku lebih tepatnya ingin melarikan diri dari jelmaan malaikat pencabut nyawa. Meski untuk sementara karena aku tahu rasa aman itu akan berlangsung lama. Aku dan Syfo harus menempuh perjalanan selama kurang lebih tujuh jam. Kami sampai Narita sekitar pukul lima sore waktu setempat. Perjalanan ke Jepang kali ini bertepatan dengan musim dingin, dan aku tampak salah kostum. Syfo tidak berhentinya meledekku dan menjadi hiburan tersendiri baginya setiap kali aku mengumpati kebodohanku sendiri. Kesialan yang menimpa aku sepertinya tidak cukup sampai salah kostum saja, tetapi juga jaketku ketinggalan di bangku pesawat. Aku terburu-buru tadi saat keluar dari pesawat sehingga lupa mengambil jaket yang sampirkan di kursi. Akibatnya aku harus menahan dingin seperti ini hanya dengan tubuh dibalut jaket rajut tipis saat menunggu jemputan di bandara. Sebenarnya aku membawa beberapa coat dan overcoat di dalam koper. Hanya saja aku tidak mungkin membongkar koper di bandara. Karena seingatku benda yang dibutuhkan itu berada di posisi tumpukan yang mengharuskan aku mengeluarkan seluruh isi koper untuk bisa mengeluarkan salah satu coat atau overcoat. Dan kini sudah lebih dari setengah jam sejak pesawat mendarat tapi jemputan belum juga tiba. Kesialan itu terus bertambah ketika hendak menghubungi pihak agensi yang menjanjikan akan menjemputku di bandara, aku mendapati ponselku kehabisan baterai. Aku mulai mengubek handbag milikku. Namun benda yang dibutuhkan tidak juga bisa aku temukan. Aku lalu ingat kalau charger itu disimpan di dalam koper. Sementara ponselku dengan Syfo berbeda merek dan tentunya jenis charger-nya juga beda. Syfo segera memeriksa ponselnya untuk mencari jalan keluar atas persoalan yang menimpa kami sore ini. Tidak mungkin kami akan menghabiskan waktu di lounge tanpa kejelasan seperti ini. Saat aku dan Syfo sibuk mempelajari Narita melalui ponsel Syfo, aku merasa ada seorang yang berdiri di depanku. Seorang laki-laki. “Benar dengan Dokter Chandra?” sapa laki-laki itu ramah. Aku mengangguk pasti. “Iya, saya Dokter Chandra. Maaf siapa ya?” tanyaku, sambil menatap sedikit curiga pada laki-laki asing yang mengetahui namaku itu. Laki-laki itu menyodorkan tangan sambil memperkenalkan diri. “Saya Bayu. Salah satu staf Pak Jerome Orlando.” “Oh... Gimana-gimana?” tanyaku, dengan secercah harapan mendapatkan bala bantuan dari Jerome Orlando. “Apa Dokter Chandra tidak mengkonfirmasi staf Orland’s Group kalau mengubah jadwal perjalanan?” Keningku refleks berkerut. Sepertinya ada yang nggak beres. Pikirku. “Kenapa mesti konfirmasi? Saya nggak mengubah jadwal perjalanan,” jawabku ketus, padahal jelas-jelas aku yang salah. Dengan tenang Bayu menunjukkan ponselnya. “Jadwal tiket pesawat yang sudah dibooking oleh staf Orland’s Group untuk Dokter Chandra adalah penerbangan pagi. Harusnya Dokter Chandra tiba di Jepang menjelang sore, bukan menjelang malam seperti yang sedang terjadi saat ini.” Ah, ya. Aku yang salah. Saking bingungnya pengin segera kabur aku sampai lupa melakukan konfirmasi perubahan jadwal pada staf Orland’s Group yang ada di Jepang. Aku hanya membereskan urusan pekerjaanku saja, tanpa memikirkan harus melakukan konfirmasi apa pun. Aku kemudian menjelaskan secara singkat penyebab yang membuat kami terjebak dalam situasi menyebalkan seperti ini tentunya tanpa menunjukkan kalau sebenarnya akulah yang paling salah di sini. Meski Syfo akhirnya tetap saja menyalahkan aku. Hingga terjadi perdebatan kecil di antara kami gara-gara itinerary yang aku rancang jadi kacau. Beruntung ada Bayu yang melerai perdebatan kecil itu. Setelah itu aku memperkenalkan sahabatku pada Bayu. Ketika menjabat tangan Syfo, aku mendapati sepertinya Bayu melirik ke arahku. “Dokter Chandra tidak pakai jaket atau coat? Udara di luar sangat dingin,” ucap Bayu sembari melihat penampilanku. Kemudian aku menjelaskan kesalahanku soal jaket pada Bayu. Bersamaan dengan itu Bayu melepas mantel miliknya lalu diberikan padaku. “Pakai ini saja,” tawarnya padaku. Aku menatap takjub pada Bayu. “Pak Bayu sendiri gimana?” tanyaku skeptis, tidak begitu saja menerima tawaran Bayu. “Saya sudah terbiasa dengan udara dingin di sini. Lagipula suhu dingin seperti sekarang ini masih belum begitu dingin bagi warga Jepang.” Setelah mengucapkan terima kasih aku memakai jas panjang milik Bayu. Aku dan Syfo kemudian mengikuti langkah Bayu menuju tempat Bayu meminta kami menunggunya karena harus mengambil mobil di tempat parkir. Dari bandara Narita, Bayu membawa aku dan Syfo menikmati kuliner Jepang di salah satu restoran halal. Lokasinya tidak jauh dari stasiun Narita. Bayu ini sepertinya pendiam. Karena menurutku dia tidak terlalu banyak bicara dan ikut nimbrung ke dalam obrolanku dan Syfo. Kecuali kalau ditarik ke dalam obrolan kami. “Bisa nggak kalau kita ngobrolnya agak santai. Cukup panggil saya Lekha aja. Kalau Dokter Chandra itu terasa seperti sedang di rumah sakit,” ucapku sambil tertawa saat kami menikmati sajian makan malam di restoran pilihan Bayu. Bayu mengangguk ringan. “Boleh aja,” jawabnya enteng. “Kalau gitu apa boleh juga saya panggil Bayu tanpa embel-embel ‘Pak’?” tanyaku ragu. Kali ini Bayu tertawa kecil. “Nggak masalah. Mau dipanggil Pak juga nggak apa-apa. Memang sudah bapak-bapak.” “Oh…” jawabku dengan tatapan menelisik. Kemudian tak ada obrolan lagi setelah itu. Bayu yang pendiam dipertemukan dengan aku yang memiliki kemampuan komunikasi buruk dengan orang baru, terutama laki-laki. Namun sikap Bayu yang dingin membuatku merasa penasaran untuk sedikit ingin tahu lebih jauh soal laki-laki itu padahal baru berkenalan. ~~~  ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD