07

1658 Words
Kilas Balik — 07 # Kenapa dengan Benua? _________________________ SEBELUM pulang ke rumahnya, Samudra memilih untuk duduk di dalam perpustakaan yang dipenuhi dengan buku-buku baru yang sangat beraroma menyenangkan; aroma buku baru. Samudra mengambil beberapa buku pelajaran yang ingin dia baca dan meletakkannya di atas meja penjaga perpustakaan untuk meminta stempel peminjaman buku hari ini. Setelah bosan dengan buku yang berada di perpustakaan, dia memilih untuk keluar sambil menunggu Brandon yang katanya akan pergi ke kantin untuk membeli minuman untuk mereka berdua. Namun sampai lima belas menit, tidak ada tanda-tanda Brandon akan datang kepadanya. Samudra yang takut terjadi sesuatu kepada Brandon pun hendak pergi menyusulnya. Namun terdengar langkah kaki yang mendekat ke arah Samudra, Brandon datang dengan membawa plastik berisi minuman dingin yang baru saja keluar dari kulkas. Selain minuman, fokus Samudra beralih kepada penampilan Brandon yang tadinya rapi menjadi  berantakan. Bahkan bisa dikatakan sebagai tidak rapi sama sekali. Rambutnya yang awalnya diolesi minyak rambut pun sudah seperti angin topan. "Minuman datang," seru Brandon dengan sangat ceria, seperti tidak terjadi apa-apa. "Buku yang kamu pinjam banyak banget. Padahal kata penjaga perpus, pinjam maksimal tiga buku. Kalau kamu yang pinjam, bisa sampai sepuluhan buku tetap aja dikasih pinjam." Sambung Brandon sambil menyodorkan satu kaleng minuman kepada Samudra. "Karena penjaga perpusnya tahu kalau gue benar-benar belajar pakai bukunya. Bukan buat gantiin bantal di kelas." Sindir Samudra kepada Brandon. Brandon hanya nyengir, "itu 'kan cuma sekali doang." "Lagian, buku buat belajar malah dibikin bantalan tidur. Itu namanya, Lo enggak menghormati ilmuwan yang susah payah menemukan ilmu di dunia ini. Supaya dunia enggak gelap kaya masa depan Lo," tandas Samudra yang mendapatkan tatapan kaget dari Brandon. "Bercanda," sambungnya dengan wajah biasa saja. Samudra mengambil satu kaleng minuman yang disodorkan Brandon untuknya dan meminumnya. Awalnya dia ingin langsung pulang, namun alangkah baiknya untuk duduk sebentar sambil menikmati minuman yang dibelikan Brandon untuknya. Mereka berdua duduk di depan perpustakaan, tanpa banyak bicara. Apalagi seharian ini, Samudra tampak banyak bicara kepada siapapun. Tidak hanya bicara kepada Brandon saja, namun kepada perempuan bernama Lavina itu. "Kamu sudah tahu kalau Ben enggak berangkat hari ini?" Tanya Brandon yang membuat Samudra menoleh ke arahnya dengan penasaran. "Enggak," jawab Samudra dengan wajah kaget. Brandon menoleh sebentar dan memejamkan matanya sejenak. Dia merasa bahwa sudah salah bicara kepada Samudra. Walaupun nantinya Samudra akan tahu sendiri, tetapi 'kan lebih baik begitu. Daripada dia diberondong dengan banyak pertanyaan, bukan? "Tahu dari mana?" Tanya Samudra kemudian. "Anak-anak di kelas," cicit Brandon ragu-ragu. "Huft ... ada kejadian apa selama gue enggak ada? Ada yang cerita sama Lo atau dengar apa gitu?" Tanyanya lagi. Brandon menggeleng pelan, "hm ... sepertinya tidak ada apa-apa. Aku cuma dengar kalau Ben enggak masuk hari ini." "Tanpa keterangan?" "Kurang tahu," jawab Brandon yang semakin takut. Ya, pembahasan tentang Benua memang lumayan sensitif untuk dibahas di depan Samudra. Mereka semua tahu bagaimana sayangnya, over-protektifnya Samudra kepada Benua—saudaranya. Bahkan, semua orang pun setuju jika Benua sangat beruntung mempunyai saudara kembar seperti Samudra. Samudra yang baik, peka, selalu melindungi, bahkan mengorbankan segalanya untuk Benua. Samudra beranjak dari duduknya, menenteng ranselnya dan beberapa bukunya setelah membuang kaleng minumannya yang telah kosong ke tempat sampah. "Gue balik duluan ya," pamit Samudra tanpa menunggu jawaban dari Brandon. Samudra berjalan dengan cepat menyusuri koridor sekolahnya yang sepi karena masih waktunya KBM. Sesekali dia menoleh ke arah kelas sebelas IPS-1 untuk memastikan Benua yang tidak ada di dalam. Dia penasaran, ada apa sampai Benua tidak berangkat ke sekolah? Apa Benua sakit? Apa ada orang yang mengganggu Benua? Apa alasan yang kuat yang membuat Benua tidak berangkat ke sekolah? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Samudra. Dan tidak ada satupun jawaban yang bisa dia simpulkan sampai sekarang. Kekhawatirannya pun semakin memuncak ketika dia ingat tentang video call yang tidak diangkat oleh Ayahnya kemarin. Apakah semua itu ada hubungannya? Samudra berhenti di depan halte bus dan menunggu bus selanjutnya. Dia benar-benar ingin segera sampai dan mengetahui sesuatu yang tidak dia tahu. "Hai, Sam," sapa seorang laki-laki yang berjalan menuju ke halte bus juga. "Hai," jawabnya singkat. "Mau balik juga?" Tanya laki-laki itu dengan akrab. Samudra menganggukkan kepalanya sambil mengulas senyum tipisnya ke arah laki-laki itu. "Besok mulai latihan futsal lagi, ya. Lo udah download jadwal yang gue share di grup belum?" Tanya laki-laki itu lagi. Samudra hanya menggeleng, "gue enggak tahu. Handphone gue rusak kemarin." "Oh gitu ... besok gue print aja deh." Jawab laki-laki itu dengan serius. Samudra mengangguk pelan, "soal pertandingan bulan depan itu, jadi?" "Kayanya sih. Persiapan aja dulu," tandas laki-laki itu. "Melvin," panggil Samudra kepada laki-laki yang bernama 'Melvin' itu. "Hm," dehemnya untuk menanggapi panggilan Samudra. "Enggak jadi," ucap Samudra saat melihat bus sudah datang. "Bus-nya udah datang. Lo mau naik enggak?" Tanyanya sambil menunjuk ke arah sebuah bus warna biru yang masih melaju. Melvin menggeleng, "enggak! Gue nunggu taksi online. Kalau gitu hati-hati di jalan." Samudra hanya mengangguk pelan dan masuk ke dalam bus ketika beberapa orang telah turun. Dia menatap Melvin dari jendela bus, sedangkan temannya itu hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum. Bus perlahan melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan halte yang menyisakan Melvin saja. Samudra menatap ponsel yang ada di dalam saku celananya, ponsel milik Ibunya yang sengaja dipinjamkan kepadanya selama Olimpiade berlangsung. Katanya, untuk memudahkan komunikasi antara dirinya dan keluarga. Tetapi pada kenyataannya, mereka jarang meneleponnya. Ditelepon pun jarang sekali mengangkat. Pasti ada sesuatu yang serius sampai mereka berusaha menghindari bicara padanya. Hanya butuh lima belas menit, bus berhenti di halte bus yang dekat dengan gang rumahnya. Samudra keluar bersama dengan beberapa orang dan berpisah ke tujuan masing-masing. Samudra memilih untuk mampir sebentar ke sebuah minimarket untuk membeli roti dan juga sekaleng s**u. Tampaknya mereka kehabisan itu untuk sekedar sarapan pagi. Untunglah ada uang pembinaan yang selalu dia dapatkan ketika mengikuti lomba apapun dari sekolah. Setidaknya lumayan untuk jajan dan membeli kebutuhan rumah yang kurang. Setelah mengambil roti tawar yang masih baru dan sekaleng s**u putih, dia meletakkannya di atas meja kasir untuk membayar. "Perusahaan percetakan milik Aryodi diduga mendapat suap—" Samudra menarik belanjaannya setelah membayar nominal yang tertera di layar monitor. Dia berjalan pelan menuju gang untuk cepat sampai ke rumahnya. Terlihat di depan rumah ada motor butut milik Ayahnya yang terparkir di sana. Samudra membuka pagar rumahnya dan mendorong pintu rumahnya dengan pelan. Terdengar suara dari ruang keluarga; suara perbincangan antara kedua orang tuanya yang tampak serius. "Ayah enggak tahu kalau masalahnya akan serumit ini," ucap Agung yang meremas jemarinya sendiri. "Padahal Ayah tahu sekali kalau Bos Ayah di percetakan sama sekali bukan orang yang suka menerima suap seperti yang diberitakan media." Sambung Agung prihatin. "Namanya juga media, Yah. Mau benar atau salah, pasti mereka akan memihak orang-orang yang punya kuasa, punya uang, punya kedudukan, punya segalanya." Imbuh Sarah yang meletakkan secangkir kopi di atas meja. Agung mengangguk pelan, "Ayah dapat uang darimana lagi kalau sampai percetakan itu ditutup? Belum lagi alat bantu itu harganya mahal." "Alat bantu apa?" Tanya Samudra yang akhirnya muncul di depan orang tuanya yang sedang berbincang. Keduanya cukup kaget dengan kehadiran Samudra di sana. Bahkan mereka tidak mendengar suara pintu dibuka atau langkah kaki sehingga menyatakan ada orang yang masuk ke rumah. Samudra meletakkan kantung plastik dengan logo minimarket itu di atas meja dan menarik salah satu kursi untuk dia duduki. "Alat bantu apa?" Ulangnya dengan penasaran. Agung menghela napas panjang dan menatap Sarah, "alat bantu dengar Benua rusak." "Lho, kok bisa? Perasaan baru beli beberapa bulan lalu. Harusnya bawa ke tukang service alat itu aja. Masih garansi 'kan, Yah?" Berondong Samudra. Sarah memegang tangan Samudra dan tersenyum, "kamu sudah makan belum?" "Sudah tadi, sebelum pulang." Jawab Samudra yang paham dengan sebuah sentuhan tangan dari Sarah. Samudra tahu, ada yang sedang Ibunya sembunyikan. Tetapi Sarah memintanya untuk tidak bertanya terlebih dahulu. Mungkin karena memang ada masalah yang serius diantara mereka. Walaupun dia masih remaja, Samudra paham sekali tentang kesulitan orang tuanya. "Kamu ... jangan tanya apa-apa sama Benua, ya?" Ucap Sarah memberikan peringatan kepada Samudra. "Alat itu berharga sekali untuk Ben, tapi dia merasa bersalah karena merusaknya. Dia enggak sengaja menjatuhkannya dan menginjaknya saat mencarinya. Ayah dan Ibuk sudah bicara kalau semuanya akan baik-baik saja. Kami berdua berjanji untuk membelikan yang baru. Tapi kamu dengar sendiri 'kan kalau Ayah mendapatkan masalah di pekerjaannya." Sambung Sarah berbohong tentang penyebab alat bantu dengar Benua yang rusak. Samudra mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya, "beli aja pakai uang ini, Yah, Buk. Jangan bilang kalau uangnya dari Sam." "Jangan," tolak Agung tidak enak. "Kamu masih anak sekolah, jangan memikirkan tentang masalah orang dewasa. Lagipula ini uang kamu, untuk keperluan kamu saja." Sambung Agung yang merasa tidak perlu membebankan beban keluarga kepada Samudra. "Terima aja, Yah. Samudra 'kan belum butuh-butuh banget uangnya. Nanti kalau butuh, Sam minta sama Ayah. Sekarang yang penting itu alat bantu dengarnya Ben. Biar dia bisa sekolah lagi dan bisa ngobrol sama kita lagi. Aku enggak mau ditolak, karena ini usahaku juga. Lagipula bulan depan akan ada turnamen futsal, siapa tahu Sam bisa dapat uang dari sana juga. Ayah dan Ibuk tenang aja!" Ucap Samudra yang meletakkan amplop berisi uang pembinaan miliknya di atas meja. Agung dan Sarah hanya terdiam tanpa menyentuh amplop itu. Sedangkan Samudra meninggalkan mereka berdua sendiri. "Aku merasa gagal menjadi kepala keluarga," keluh Agung dengan wajah sedih. "Berulangkali aku mengambil uang Sam untuk kebutuhan keluarga. Aku merasa sudah membuat anak kita yang lain menderita. Dia terlalu sempurna untuk jadi anakku, 'kan?" Ucap Agung sambil menatap amplop itu. Sarah mengelus pundak Agung dan menghapus air matanya pelan, "aku juga merasa menjadi Ibu yang gagal untuk mereka berdua. Aku membuat mereka berkubang dalam sebuah kemiskinan. Aku benar-benar Ibu yang buruk." "Sudah ... kita jangan menyalahkan diri sendiri. Kita harus mulai bekerja lagi, 'kan? Ayah akan mendapatkan pekerjaan yang lain. Ibuk di rumah mengerjakan catering. Kita pasti bisa menyelesaikan cobaan apapun jika bersama. Kita 'kan kuat," ucap Agung menguatkan. Samudra mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya dari dalam kamar dan tersenyum tipis. Beruntungnya dia hidup bersama dengan orang tua seperti mereka. Walaupun dalam kekurangan. ••••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD