14

1608 Words
Kilas Balik — 14 # Semenjak Ada Laut _________________________ SETELAH pulang sekolah, Samudra tidak langsung pulang. Dia meminta Benua dan Brandon untuk pulang lebih dulu, karena Samudra harus berkumpul dengan tim futsal untuk membahas pertandingan futsal bulan depan. Sebelum pergi ke lapangan, Samudra harus memastikan terlebih dulu bahwasanya Benua ataupun Brandon sudah masuk ke dalam angkutan umum untuk pulang. Dia tidak mau kecolongan jika sampai ada orang yang akan mengganggu Benua atau Brandon. Lagipula, geng Laut atau siapapun tidak akan mungkin mengganggu Benua dan Brandon jika sudah dekat dengan rumah—mau cari mati mereka? Setelah itu barulah Samudra hendak beranjak masuk ke dalam sekolah lagi. Namun, Samudra kembali berpapasan dengan Lavina yang lagi-lagi dijemput oleh laki-laki yang kemarin. Sebenarnya ini bukan urusan Samudra, jadi untuk apa dia terlalu kepo dengan urusan orang lain. Toh, Lavina tampak biasa saja dan senang-senang saja. Manusia mudah berubah, bukan? Jadi, untuk apa Samudra mengkhawatirkan hal yang sebenarnya tidak perlu untuk dia khawatirkan. Walaupun mereka sempat beradu tatap, Samudra tidak bicara sama sekali. Dia memilih untuk masuk ke dalam sekolah lagi. Koridor sekolah masih cukup ramai, dipenuhi para siswa lain yang masih ada kegiatan lain seperti organisasi atau ekstrakulikuler. Beberapa orang pun menyapanya dengan ramah dan dibalas Samudra dengan lambaian tangan saja. Samudra buru-buru menuju ke lapangan di mana tim futsal akan membahas jadwal latihan dan juga pembagian kaos tim yang baru. Namun langkahnya melambat saat melihat di lapangan ada Laut dan kedua temannya sedang berdiri di sana. Laut menatap Samudra sambil tersenyum sinis. Sepertinya Laut berhasil mengagetkan Samudra. Buktinya Samudra tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Laki-laki itu bahkan tidak bertanya apapun. Dia langsung duduk di kursi yang ada di pinggir lapangan, bersebelahan dengan Melvin yang memegang kertas berisi jadwal latihan yang sudah dibuatnya. "Wah~ Lo benar-benar enggak tahu caranya menghormati orang yang sudah membantu membayar biaya sekolah Lo." Tandas Laut dengan wajah menyebalkan. "Dia memang enggak tahu malu, Bos." Sahut Raka sambil menatap wajah Samudra. Namun saat ditatap balik, nyalinya menciut. "Kasih paham lah, Bos." Ucap Reza, salah satu teman Laut yang satunya lagi. Samudra tersenyum sinis, "wajar kalau Lo bayar sekolah gue. Lagipula, gue sekolah di sini karena punya otak. Biasanya, orang punya otak memang sering dibayar. Lagipula itu salah Lo. Sekolah kok bayar! Kaya gue dong, sekolah dibayar..." Laut mengepalkan tangannya dan menatap kesal ke arah Samudra. Orang di depannya ini memang sangat menyebalkan, bahkan tidak pernah terlihat takut kepadanya. Mungkin semua ini seperti sesuatu yang sangat menghinanya. Bahkan ketika semua orang takut dan tunduk padanya, orang biasa seperti Samudra tidak pernah memperlihatkan rasa hormat padanya. Menangnya siapa Samudra ini? Dia hanya seorang siswa biasa, pemegang beasiswa. Latar belakang keluarganya pun bukan dari kalangan kelas atas. Laut tidak habis pikir dengan sikap Samudra yang terlihat tidak terganggu ketika duduk bersama dengan orang-orang yang berbeda kelas dengannya. Tidak lama kemudian, Koko—pelatih futsal mereka pun datang dengan membawa sebuah kertas yang dijepit di papan kayu. Mereka semua berdiri dan berbaris di lapangan. "Selamat siang, anak-anak." Ucap Koko dengan menatap anak-anak didiknya yang masih mengenakan seragam. "Selamat siang, Pak." Jawab mereka dengan semangat. Samudra menghela napas panjang. Mungkin hari ini akan menjadi hari yang panjang untuknya. Bagaimana tidak? Hari ini akan ada koordinasi tim, pengurangan atau penambahan pemain—karena ada Laut dan juga kedua temannya, pembahasan soal pertandingan, dan jadwal latihan yang sebenarnya sudah diurus oleh Melvin yang sempat Samudra baca tadi. "Seperti yang kalian tahu bahwa hari ini kita akan melakukan penambahan sekalipun pengurangan pemain untuk tim kita. Semua ini tidak lepas dari performa kalian di beberapa pertandingan beberapa bulan lalu ketika ada pertandingan persahabatan." Ucap Koko sambil menatap satu-persatu anak-anak didiknya. "Hari ini, Budi dan Pram terpaksa harus meninggalkan tim dan akan digantikan Laut dan Raka. Kalian berdua tentu saja tahu salah kalian apa, bukan?" Tanya Koko yang disambut anggukan Budi dan Pram. Baik Budi dan Pram mundur dari barisan dengan wajah kecewa. Laut tersenyum ketika namanya disebut dan dia langsung berbaris disamping Melvin, menggantikan tempat Budi. Sedangkan Raka berdiri disamping Samudra, menempati posisi Pram. Samudra menatap Raka yang tidak berani menatapnya. "Lalu untuk tahun ini, Laut yang akan menggantikan Melvin sebagai kapten tim futsal SMA kita." Tandas Koko yang membuat raut wajah Melvin berubah masam. "Pak..." Semua yang ada di lapangan menatap ke arah Samudra yang mengangkat tangannya. "Ya," jawab Koko mempersilakan Samudra untuk bicara. Samudra tersenyum tipis, "mengapa kapten tim juga harus diganti, Pak? Bahkan kita semua belum tahu apa kinerja Laut akan sebagus Melvin. Saya benar-benar tidak mengerti mengapa pergantian pemain dan kapten tim dilakukan sekaligus. Kita semua belum tahu bagaimana cara permainan mereka berdua." "Sudah lah, Sam. Saya yang paling tahu bagaimana permainan mereka. Saya yakin dengan pergantian pemain dan kapten tim akan membuat tim futsal kita keluar menjadi juara. Laut ini pemain terbaik di klub futsalnya dulu. Raka juga masuk sekolah futsal kok." Jawab Koko yang tidak berani menatap wajah Samudra. Samudra melipat tangannya di d**a, "bukankah Bapak pernah bilang pada kami, pertandingan dimenangkan oleh tim yang berkerjasama ketimbang tim yang dipenuhi dengan orang mahir dalam permainan. Banyak tim yang kalah karena mereka gagal untuk bekerjasama. Saya rasa—" "SUDAH!" Bentak Koko dengan kesal karena pertanyaan Samudra yang terlalu memojokkannya. "Ini adalah tim saya, kamu tidak berhak untuk mengatur pelatih. Bagaimanapun juga, saya yang paling tahu tentang strategi permainan." Sambungnya. "Udahlah Sam, jangan bersikeras. Pendapat Lo enggak berguna sama sekali. Jangan iri lah kalau gue jadi kapten tim." Ucap Laut sombong. Samudra melirik ke arah Laut, "gue enggak pernah iri sama tong kosong." "Apa maksud Lo?" Tandas Laut yang menarik kerah seragam Samudra. Semua orang panik dan berusaha untuk melepaskan keduanya. Jika tidak, mereka bisa adu jotos di lapangan saat itu juga. Melvin memegang kedua bahu Samudra, memintanya untuk mundur. Koko dengan terpaksa membubarkan semuanya dengan cepat dan akan mengatur ulang pertemuan mereka semua setelah kondisi kembali kondusif. Melvin menahan lengan Samudra agar tidak menghajar Laut yang tampak puas setelah melihatnya marah. Namun akhirnya Samudra menghela napasnya panjang. Dia hampir saja kelepasan karena kesal dengan sikap Laut. Hanya karena dia punya segalanya, seenaknya saja mengatur apapun yang dia mau. "Udahlah, Sam. Enggak masalah kok kalau gue enggak jadi kaptennya. Lo tahu sendiri, daripada gue, Lo yang paling berhak. Tapi Lo enggak pa-pa kalau jabatan kapten dikasih sama gue. Terus kenapa kalau kaptennya sekarang Laut? Siapa tahu dia lebih baik dari gue, 'kan?" Tanya Melvin sambil menyandarkan punggungnya disandaran kursi setelah Laut dan teman-temannya pergi. "Ini bukan cuma masalah kapten! Ini masalah tim! Lo tahu sendiri kalau Budi sama Pram itu pemain terbaik juga di tim kita. Selama gue gabung tim futsal, mereka orang-orang yang paling enak diajak kerjasama, Vin." Tandas Samudra sambil menunjuk ke arah lapangan yang kosong tidak berpenghuni. "Kenapa Pak Koko enggak ngeluarin gue aja dari tim? Kenapa harus mereka?" Sambung Samudra dengan emosi. Melvin mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya dia juga sangat kecewa dengan keputusan pelatih mereka. "Semenjak Laut masuk sekolah ini, semuanya jadi enggak beres, Sam." Jawab Melvin sambil menatap ke arah Samudra. "Semuanya hanya fokus ke dia doang. Kita enggak bisa melawan ataupun protes." Sambung Melvin. Samudra hanya bisa mengangguk. Walaupun dia tahu betul tentang ketidakadilan ini, dia pun tidak mampu berbuat apapun. Namun, Samudra tidak mau ambil pusing lagi. Dia hanya ingin fokus kepada Benua. Apapun keputusan dari sekolah, dia tidak akan mau tahu. Biarkan saja! Yang penting tidak menyenggol Benua. "Ya udah lah, kita juga cuma bisa ikutin aja, 'kan? Enggak masalah!" Jawab Samudra akhirnya. Melvin mengangguk, "Lo juga jangan belain gue atau yang lain di depan Laut. Gue enggak mau Lo dapat masalah karena dia. Intinya, kita semua main kalem aja, Sam. Enggak perlu terlalu ngotot! Pendapat kita pun enggak bakalan di dengar kok." "Ya ... tapi tetap aja gue merasa ini enggak adil untuk Budi untuk Pram. Budi bilang sama gue, kalau dia mau jadiin pertandingan kali ini sebagai gong awal buat daftar tim provinsi. Dia banyak minta saran dari gue beberapa bulan yang lalu. Dan gue kasih saran buat dia untuk ikut liga SMA tahun ini karena ada pelatih Provinsi yang bakalan nonton. Sayang, semuanya enggak bakalan bisa." Tandas Samudra dengan sedih. Mungkin posisinya aman di tim, namun teman-temannya yang lain belum tentu. Memang kehadiran Laut di sekolah ini membuat keributan. Padahal sebelumnya, semua berjalan dengan struktur yang jelas. Namun, semenjak sekolah ini mempunyai kepala sekolah yang tamak itu, ditambah cucunya yang sekolah di sini, membuat tatanan sekolah menjadi berantakan. Mereka yang tunduk akan tetap aman, namun para pelawan atau penentang akan disingkirkan begitu saja. "Sekolah kita kaya politik, bukan lagi pendidikan." Ucap Samudra sambil tertawa. Melvin mengangguk pelan, "Bokap gue pun udah bilang sejak awal sih. Kalau sekolah ini memang enggak murni sekolah yang mengandalkan nilai, lagi. Dulu ... semua harus serba otak. Sekarang hanya segelintir yang berprestasi, selebihnya tergantung sama berapa nominal yang berani mereka keluarkan. Padahal ini cuma SMA, belum juga perguruan tinggi." Samudra menenteng tasnya, "gue cabut deh, Vin. Besok kalau ada apa-apa, kabarin gue lagi." "Oke, Sam, hati-hati." Jawab Melvin yang melambaikan tangannya ke arah Samudra yang berjalan menaiki anak tangga. Samudra tersenyum kecut, semua menjadi berantakan. Padahal dia hanya ingin segera menyelesaikan semuanya dan bisa hidup santai lagi. Samudra berlomba-lomba dengan orang yang ber-uang, belajar lebih keras dan mengikuti semua kegiatan seperti robot agar beasiswanya tetap aman. Dia bagaimana b***k yang berusaha mendapatkan banyak penghargaan, bukan atas dasar keinginannya. Namun karena dia ingin tetap sekolah di sini. Sekolah yang Samudra pikir akan menjadi sekolah yang terbaik untuknya, tetapi malah membuatnya merasa tidak nyaman. "Gue datang sebagai murid di sekolah ini semata-mata karena Benua. Gue melakukan semuanya demi Benua. Enggak lebih!" Tandas Samudra kepada dirinya sendiri. Terkadang, kita akan menggadaikan kebahagiaan kita demi kebahagiaan orang lain. •••••••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD